Ahmad Syafi'i Ma'arif, atau yang akrab disapa Buya Syafi'i, adalah salah satu tokoh sentral dalam peta intelektual Islam modern di Indonesia. Sosoknya bukan sekadar pemimpin organisasi keagamaan terbesar, Muhammadiyah, tetapi juga seorang filsuf, sejarawan, dan kritikus sosial yang keberaniannya dalam menyuarakan kebenaran menjadikannya "nurani bangsa." Kehadiran Buya Syafi'i melintasi batas-batas ideologi dan politik, menawarkan perspektif Islam yang inklusif, rasional, dan berpihak pada keadilan universal. Analisis mendalam terhadap pemikiran dan kontribusinya memerlukan penelusuran yang holistik, mencakup latar belakang pendidikannya yang unik—perpaduan pesantren tradisional, universitas lokal, dan pendidikan doktoral di Amerika Serikat—serta peran aktifnya dalam merespons dinamika sosial dan politik yang kompleks di Indonesia pasca-Orde Baru.
Peran Buya Syafi'i dalam dinamika kebangsaan tidak dapat dipisahkan dari tiga poros utama: Tajdid (Pembaruan) di Muhammadiyah, Pluralisme Agama dan Kebangsaan, dan Kritik Moral terhadap Kekuasaan. Tiga poros ini membentuk landasan filosofis yang menjadikan pemikirannya relevan dari era kolonial hingga masa kontemporer, memastikan warisannya terus menjadi rujukan bagi generasi penerus yang ingin menyelaraskan keislaman yang ortodoks dengan tuntutan modernitas dan etika demokrasi. Ia merupakan jembatan penghubung antara tradisi keilmuan Islam klasik dan wacana global mengenai hak asasi manusia dan keadilan sosial.
Untuk memahami kedalaman pemikiran Ahmad Syafi'i Ma'arif, kita harus menengok kembali pada perjalanan pendidikannya yang luar biasa. Lahir di Sumpur Kudus, Sumatera Barat, Buya Syafi'i mengalami masa kecil yang sarat dengan nilai-nilai Minangkabau yang kuat, yang secara inheren memadukan adat dengan syariat Islam. Pendidikan awalnya di Surau memberikan landasan spiritual dan keagamaan yang kokoh. Namun, semangatnya untuk mencari ilmu membawanya keluar dari lingkungan tradisional, menuju sekolah-sekolah Muhammadiyah yang memperkenalkan gagasan modernisasi Islam yang diusung oleh K.H. Ahmad Dahlan.
Setelah menamatkan pendidikan di Yogyakarta, Buya Syafi'i melanjutkan studi ke Universitas Cokroaminoto, yang kemudian membawanya pada kesempatan emas untuk mengejar gelar master di Ohio University, Amerika Serikat. Perjalanan ini menandai pergeseran signifikan dari fokus studi keislaman yang bersifat tekstual normatif menuju pendekatan historis-sosiologis. Lingkungan akademik Barat yang kritis dan terbuka memberinya perangkat metodologi untuk menganalisis Islam sebagai sebuah fenomena sejarah dan budaya, bukan sekadar doktrin yang statis. Penguasaan metodologi ini menjadi kunci utama dalam membedah isu-isu sensitif terkait hubungan Islam dan negara di kemudian hari.
Puncak dari pencarian intelektualnya adalah studi doktoral di University of Chicago di bawah bimbingan tokoh-tokoh terkemuka. Di Chicago, Buya Syafi'i mendalami sejarah dan peradaban Islam. Disertasinya, yang berfokus pada dinamika Islam di Indonesia, terutama pada masa kontemporer, memberinya kerangka analisis yang tajam tentang konflik ideologis, identitas keagamaan, dan politik di nusantara. Lingkungan Chicago, yang dikenal dengan tradisi studi keagamaan komparatif dan kritis, mematangkan pandangannya tentang pluralisme. Ia menyerap gagasan bahwa fundamentalisme adalah respons historis terhadap modernitas yang terdistorsi, bukan esensi abadi dari Islam itu sendiri.
Pengalaman di Amerika bukan hanya soal gelar, tetapi tentang kemampuan untuk melihat Islam dari sudut pandang yang berbeda, yaitu sebagai peradaban yang berinteraksi dengan sejarah dan tantangan kontemporer. Ini memungkinkan saya melakukan *ijtihad* yang melampaui batas-batas doktrin sempit.
Perpaduan antara tradisi pesantren yang mengedepankan tasawuf dan moralitas, gerakan modernis Muhammadiyah yang menekankan rasionalitas dan amal sosial, serta metodologi Barat yang mengajarkan kritik sejarah, menghasilkan seorang intelektual yang memiliki basis keilmuan yang sangat multidimensi. Inilah yang membedakan Ahmad Syafi'i Ma'arif dari banyak intelektual Islam lainnya di masanya; ia mampu berbicara dengan bahasa tradisi dan modernitas sekaligus, menjadikannya penerjemah yang ulung antara dunia Islam dan konteks global.
Meskipun dikenal luas sebagai kritikus ulung dan tokoh nasional, sebagian besar basis ideologis Buya Syafi'i berakar kuat dalam organisasi Muhammadiyah. Ia menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah pada periode krusial, transisi dari Orde Baru menuju era Reformasi (1998–2005). Periode ini penuh dengan tantangan: konflik horizontal, krisis ekonomi, dan kebutuhan mendesak untuk menata ulang peran organisasi keagamaan dalam negara yang baru mencari bentuk demokrasinya.
Di bawah kepemimpinannya, Buya Syafi'i menegaskan kembali semangat Tajdid (pembaruan) Muhammadiyah, tetapi ia memperluas maknanya. Tajdid tidak hanya berfokus pada pemurnian akidah dari takhayul, bid'ah, dan khurafat (TBC), tetapi juga harus mencakup pembaruan cara berpikir dalam merespons masalah sosial dan politik. Ia mendorong Muhammadiyah untuk menjadi gerakan moral yang lebih berani dan kritis terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Ia menekankan bahwa kekuatan terbesar Muhammadiyah bukan terletak pada jumlah anggota atau aset materialnya, melainkan pada integritas moral para kadernya dan keberanian untuk menyuarakan keadilan (al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar) tanpa tedeng aling-aling. Kepemimpinannya menandai periode di mana Muhammadiyah secara tegas menolak afiliasi politik praktis, memilih untuk berperan sebagai kekuatan penyeimbang (civil society) yang independen. Langkah ini sangat penting untuk menjaga netralitas organisasi di tengah fragmentasi politik pasca-Reformasi.
Salah satu kontribusi terpenting Buya Syafi'i dalam Muhammadiyah adalah penanaman rasionalitas teologis. Ia secara konsisten melawan interpretasi agama yang kaku, literal, dan eksklusif. Baginya, Islam adalah agama yang memuliakan akal dan mendorong penalaran. Ia sering mengingatkan bahwa kekakuan dalam beragama sering kali disebabkan oleh kegagalan memahami konteks historis ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis.
Ia menempatkan pluralisme bukan hanya sebagai toleransi sosial, melainkan sebagai keharusan teologis, berargumen bahwa keragaman adalah kehendak Tuhan. Pandangan ini sangat penting dalam menghadapi gelombang konservatisme dan fundamentalisme yang mulai menguat di Indonesia. Buya Syafi'i selalu menentang upaya untuk mengklaim kebenaran tunggal dan menolak segala bentuk kekerasan atas nama agama. Visi ini diwujudkan dalam program-program Muhammadiyah yang semakin terbuka terhadap dialog antaragama dan kemanusiaan universal.
Dalam diskursus kebangsaan, Ahmad Syafi'i Ma'arif diakui sebagai salah satu arsitek utama konsep Islam Moderat di Indonesia. Moderasi yang ia tawarkan bukan berarti kompromi buta terhadap nilai-nilai Islam, melainkan penempatan ajaran Islam dalam kerangka keadilan, kemanusiaan, dan konteks kebangsaan Indonesia yang majemuk. Ia adalah pembela gigih Pancasila sebagai dasar negara yang final.
Buya Syafi'i berpendapat bahwa tidak ada konflik inheren antara Islam dan Pancasila. Sebaliknya, Pancasila adalah arena yang adil di mana nilai-nilai universal Islam dapat diimplementasikan. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan ruang yang luas bagi seluruh umat beragama untuk menjalankan keyakinannya, sementara sila-sila berikutnya memastikan bahwa praktik keberagamaan diwujudkan dalam keadilan sosial, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, dan demokrasi.
Karya-karyanya, terutama yang membahas sejarah Islam dan politik di Indonesia, menunjukkan bagaimana upaya memaksakan negara Islam telah berulang kali gagal karena tidak sesuai dengan realitas sosiologis dan historis bangsa. Ia menyimpulkan bahwa energi umat Islam seharusnya diarahkan pada pengisian kemerdekaan dengan pembangunan moral, pendidikan, dan pemberantasan kemiskinan, bukan pada debat formal mengenai bentuk negara.
Pandangan Buya Syafi'i mengenai pluralisme bersifat teologis dan sosiologis. Secara teologis, ia melihat keragaman agama dan keyakinan sebagai sunnatullah, ketetapan alamiah dari Tuhan. Konsep ini menantang pemikiran eksklusif yang menganggap hanya satu jalan menuju keselamatan. Ia sering merujuk pada ayat-ayat Al-Qur'an yang menekankan persaingan dalam kebajikan (fastabiqul khairat) dan bukan persaingan dalam klaim kebenaran sepihak.
Secara sosiologis, ia melihat pluralisme sebagai prasyarat bagi stabilitas Indonesia. Dalam masyarakat yang sangat heterogen, upaya memaksakan keseragaman akan selalu memicu konflik dan perpecahan. Oleh karena itu, dialog antariman dan saling pengertian adalah kewajiban agama sekaligus kewajiban kebangsaan. Ia tak pernah lelah mendorong umat Islam untuk berinteraksi secara aktif dengan umat Kristen, Hindu, Buddha, dan penganut kepercayaan lokal, melihat mereka bukan sebagai saingan, melainkan sebagai sesama warga bangsa yang berbagi takdir sejarah yang sama.
Setelah mengakhiri masa jabatannya di Muhammadiyah, peran Ahmad Syafi'i Ma'arif bertransformasi menjadi intelektual publik yang berfungsi sebagai penegak moral (moral gatekeeper). Ia mendirikan Maarif Institute, sebuah lembaga yang fokus pada pengembangan wacana Islam inklusif, demokrasi, dan hak asasi manusia. Dari panggung Maarif Institute, ia tanpa henti melontarkan kritik pedas terhadap praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan kemerosotan etika publik.
Buya Syafi'i dikenal sebagai musuh bebuyutan korupsi. Baginya, korupsi bukan sekadar kejahatan ekonomi, melainkan kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip dasar Islam tentang keadilan. Ia memandang korupsi sebagai penyakit struktural yang mengancam fondasi republik. Ia adalah salah satu pendukung paling vokal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sering kali tampil membela KPK ketika lembaga tersebut di bawah tekanan politik. Keberaniannya ini menjadikannya figur yang dihormati di kalangan aktivis dan masyarakat sipil, sekaligus ditakuti oleh elit politik yang korup.
Kritiknya selalu berdasarkan pada prinsip keberpihakan kepada kaum tertindas (mustadh'afin). Ia percaya bahwa keadilan sosial adalah tujuan utama syariat. Ketika kekuasaan hanya melayani kepentingan segelintir elit (oligarki), maka tugas intelektual adalah berdiri bersama rakyat kecil dan menyuarakan protes. Sikap independen ini sangat dihargai karena jarang ada tokoh keagamaan senior yang berani mempertahankan jarak kritis terhadap semua rezim politik yang berkuasa.
Dalam pandangannya tentang kepemimpinan, Buya Syafi'i selalu mengedepankan integritas, kesederhanaan, dan kejujuran. Ia sering menggunakan istilah "negarawan sejati," yaitu pemimpin yang mampu menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Etika publik yang ia impikan adalah etika yang berakar pada nilai-nilai spiritualitas (keimanan) dan diwujudkan dalam pelayanan tanpa pamrih.
Salah satu kontribusi utamanya adalah rekontekstualisasi ajaran Islam tentang zuhud (asketisme) dalam konteks politik modern. Baginya, zuhud politisi bukanlah meninggalkan dunia, melainkan menjauhi godaan kekayaan dan kekuasaan yang diperoleh secara haram. Seorang pemimpin Muslim yang ideal harus mencontoh kesederhanaan dan ketegasan moral Nabi Muhammad dalam menghadapi ketidakadilan.
Membedah karya-karya monumental Ahmad Syafi'i Ma'arif mengungkapkan metodologi berpikirnya yang khas: pendekatan historis-kritis. Ia tidak menerima narasi keagamaan atau sejarah secara mentah-mentah. Semua teks dan peristiwa harus ditempatkan dalam konteks waktu, sosial, dan politiknya.
Buya Syafi'i adalah seorang sejarawan yang sangat teliti. Ia menggunakan metodologi sejarah untuk membongkar mitos-mitos yang digunakan untuk membenarkan fundamentalisme. Misalnya, dalam membahas periode awal Islam, ia menekankan bahwa banyak praktik politik yang diklaim sebagai 'Islam murni' sebenarnya adalah hasil dari interpretasi manusia yang dipengaruhi oleh konflik kekuasaan pasca-Nabi. Pendekatan ini memungkinkan dia untuk membedakan antara ajaran Islam yang esensial (teologis) dan ajaran yang bersifat aksidental (historis).
Karya-karyanya seperti Peta Bumi Intelektual Islam di Indonesia dan analisisnya tentang kekhalifahan Utsmani menunjukkan kapasitasnya untuk membaca sejarah secara makro dan mikro, menghubungkan tren global dengan respons lokal di Indonesia. Ia menunjukkan bahwa sejarah Islam tidak monolitik; ia penuh dengan pertentangan dan perkembangan yang dinamis. Pemahaman ini penting untuk menolak klaim kemurnian masa lalu yang sering digunakan oleh kelompok konservatif untuk mengkritik modernitas.
Buya Syafi'i adalah pendukung kuat ijtihad (penalaran independen) yang harus dilakukan secara terus-menerus. Ia berargumen bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup, dan kegagalan umat Islam saat ini sering kali disebabkan oleh keengganan untuk berijtihad dalam menghadapi masalah-masalah baru yang tidak pernah ada pada masa klasik, seperti teknologi, hak asasi manusia modern, dan sistem demokrasi. Ia mendorong ijtihad bi al-manhaj (ijtihad berbasis metodologi), yaitu upaya penalaran yang didukung oleh ilmu pengetahuan modern, sosiologi, dan filsafat.
Penerapan ijtihad ini terlihat jelas dalam sikapnya terhadap perempuan. Ia adalah salah satu ulama yang paling vokal mendukung kesetaraan gender, menolak interpretasi patriarkal yang membatasi peran perempuan dalam ruang publik. Baginya, penafsiran yang adil harus selalu menghasilkan keadilan sosial bagi semua pihak, tanpa memandang jenis kelamin, status sosial, atau latar belakang agama.
Warisan Ahmad Syafi'i Ma'arif jauh melampaui masa kepemimpinannya di Muhammadiyah. Ia meninggalkan jejak pemikiran yang mendalam, terutama dalam membentuk identitas Islam Indonesia yang majemuk dan damai. Pengaruhnya terasa di berbagai sektor: pendidikan, politik, media, dan dialog antaragama.
Buya Syafi'i telah membantu mendefinisikan apa artinya menjadi Muslim Indonesia. Baginya, keislaman Indonesia harus ditandai oleh kesalehan yang transformatif, yaitu kesalehan yang tidak hanya berorientasi pada ritual pribadi, tetapi juga pada transformasi masyarakat menuju keadilan dan kemakmuran bersama. Ia menolak Islam yang hanya berfokus pada penampilan luar atau simbol-simbol, dan menekankan pentingnya substansi moral dan etika.
Melalui tulisan dan ceramahnya, ia berhasil memopulerkan gagasan bahwa Islam yang ideal adalah Islam yang bersemangat kebangsaan, yang menjunjung tinggi toleransi dan menghormati konstitusi. Inilah yang menjadi basis filosofis bagi penguatan moderasi beragama yang kini menjadi kebijakan nasional.
Yang luar biasa dari Buya Syafi'i adalah kemampuannya diterima oleh berbagai kelompok, termasuk mereka yang berada di luar orbit Muhammadiyah. Ia dihormati oleh politisi, aktivis hak asasi manusia, ulama tradisionalis (NU), dan bahkan kaum nasionalis sekuler. Penghormatan ini muncul karena dua alasan: konsistensi moral dan kejelasan intelektual.
Ia tidak pernah goyah dalam prinsip-prinsipnya, dan pemikirannya selalu disajikan dengan argumentasi yang jernih dan didukung oleh data sejarah yang kuat. Bagi generasi muda Muslim intelektual, Buya Syafi'i menjadi model bagaimana menjadi Muslim yang taat sekaligus warga dunia yang kritis, mampu menyerap modernitas tanpa kehilangan identitas keislaman.
Sebagai penutup dari eksplorasi mendalam ini, adalah penting untuk menggarisbawahi bahwa hidup dan pemikiran Ahmad Syafi'i Ma'arif adalah monumen bagi perpaduan antara spiritualitas yang mendalam dan aktivisme sosial yang radikal. Ia mewakili tradisi pencerahan Islam yang percaya pada potensi akal manusia untuk mencapai kebenaran dan keadilan. Dalam lanskap politik dan sosial yang makin terpolarisasi, suara beliau tetap menggema, menuntut setiap warga negara untuk kembali pada etika dasar kemanusiaan dan keberpihakan pada kebenaran, menjadikannya warisan intelektual yang tak lekang oleh zaman dan selalu relevan bagi masa depan Indonesia yang lebih adil dan beradab.
Untuk mencapai kedalaman yang diharapkan dari pembahasan sosok sekompleks Ahmad Syafi'i Ma'arif, kita perlu membedah lebih rinci aspek teologi sosio-historis yang menjadi inti dari seluruh pemikirannya. Metodologi ini bukan sekadar alat akademik; ia adalah filter moral yang ia gunakan untuk menilai teks suci dan praktik sosial. Syafi'i Ma'arif bersikeras bahwa kegagalan umat Islam dalam menjawab tantangan modernitas adalah karena mereka gagal membedakan mana yang merupakan substansi ajaran (nilai-nilai etis universal) dan mana yang merupakan cangkang historis (respons budaya masyarakat Arab abad ke-7).
Dalam teologi Buya Syafi'i, konsep dasar *Tawhid* (Keesaan Tuhan) diterjemahkan secara radikal ke dalam dimensi sosial. *Tawhid* tidak hanya menuntut penolakan terhadap penyembahan berhala (syirik) dalam bentuk patung atau dewa, tetapi juga menuntut penolakan terhadap syirik modern, yaitu penyembahan terhadap kekuasaan, kekayaan, atau ideologi yang mengklaim otoritas absolut. Ketika sebuah rezim korup menindas rakyat, rezim itu telah melakukan syirik karena menempatkan otoritasnya setara atau di atas kehendak Tuhan untuk keadilan.
Oleh karena itu, aktivisme politik Buya Syafi'i adalah perwujudan dari *Tawhid* sosial. Ia melihat perjuangan melawan ketidakadilan, kemiskinan, dan korupsi sebagai bentuk ibadah tertinggi (jihad akbar). Hal ini berbeda dengan kelompok puritan yang cenderung membatasi *Tawhid* hanya pada ritual dan dogma. Bagi Ma’arif, jika iman tidak menghasilkan keadilan sosial, maka iman tersebut patut dipertanyakan validitasnya.
Metodologi Ma'arif sangat dipengaruhi oleh prinsip dialektika antara teks (nass) dan realitas kontemporer (waqi’). Ia menolak pendekatan literalis yang mengambil teks suci secara harfiah tanpa mempertimbangkan konteks historis diturunkannya. Ia berargumen bahwa banyak aturan yang bersifat partikular (juz’iyyat) dimaksudkan untuk memecahkan masalah spesifik di masa lalu, dan mengaplikasikannya secara membabi buta di masa kini justru akan melanggar tujuan syariah yang lebih tinggi (maqasid syari'ah), yaitu keadilan, kemaslahatan, dan perlindungan terhadap jiwa.
Contoh nyata dari penerapan metodologi ini adalah pandangannya mengenai hukum pidana Islam. Sementara ia menghormati sumber-sumber hukum Islam, ia berpendapat bahwa penerapan sanksi fisik yang kaku (seperti hukuman potong tangan atau rajam) dalam masyarakat modern yang sistem peradilan dan ekonomi sosio-politiknya masih jauh dari ideal adalah tindakan yang tidak adil. Keadilan Islam hanya dapat terwujud jika sistem secara keseluruhan—mulai dari ekonomi, pendidikan, hingga penegakan hukum—telah mencapai tingkat kesempurnaan tertentu. Dalam konteks Indonesia, fokus harus diletakkan pada reformasi moral dan struktural, bukan pada formalisasi hukum agama yang terlepas dari konteks sosiologisnya.
Periode kepemimpinan Ma’arif di Muhammadiyah (1998-2005) bertepatan dengan masa paling volatil dalam sejarah politik modern Indonesia. Kepiawaiannya menavigasi organisasi besar di tengah turbulensi politik menunjukkan keahliannya sebagai seorang negarawan dan pemimpin spiritual.
Pasca-Soeharto, terjadi ledakan partai politik, termasuk partai-partai Islam. Banyak tokoh organisasi keagamaan terjun ke politik praktis. Buya Syafi'i, dengan visi jangka panjangnya, bersikeras bahwa Muhammadiyah harus tetap berada di luar gelanggang politik partisan. Keputusan ini sangat strategis. Dengan mempertahankan independensi, Muhammadiyah dapat berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang yang kredibel, mampu memberikan kritik konstruktif kepada siapa pun yang berkuasa, tanpa harus terbebani oleh kepentingan koalisi.
Keputusan ini memperkuat posisi Muhammadiyah sebagai salah satu pilar utama masyarakat sipil (civil society) Indonesia. Buya Syafi’i secara eksplisit menyatakan bahwa peran organisasi keagamaan adalah sebagai lembaga pendidikan, amal sosial, dan pengawas moral, bukan sebagai mesin politik untuk merebut kekuasaan. Filosofi ini membedakannya dari banyak tokoh sezamannya yang tergoda untuk menggunakan basis massa organisasi untuk ambisi politik pribadi.
Pada awal era Reformasi, Indonesia diguncang oleh berbagai konflik horizontal berbau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan), seperti di Ambon, Poso, dan Kalimantan. Buya Syafi'i memainkan peran kunci dalam meredam konflik tersebut. Ia menggunakan otoritas moralnya untuk menyerukan persatuan dan menentang penggunaan agama sebagai alat provokasi kekerasan. Ia secara terbuka mengutuk kelompok-kelompok yang menggunakan dalih jihad untuk memicu konflik sektarian.
Dalam ceramahnya yang ditujukan kepada para kader muda, ia berulang kali mengingatkan bahwa semangat jihad dalam Islam modern harus diarahkan pada pembangunan infrastruktur moral bangsa, pemberantasan kebodohan, dan pengentasan kemiskinan, bukan pada peperangan melawan sesama warga negara yang berbeda keyakinan. Pengaruhnya dalam mereduksi ketegangan konflik SARA pada periode 2000-an sangat signifikan, memperkuat citra Islam Indonesia sebagai wajah Islam yang damai dan toleran di mata dunia internasional.
Pemikiran Buya Syafi'i tidak terbatas pada lingkup domestik Indonesia. Berkat latar belakang pendidikannya di Amerika Serikat dan penguasaannya terhadap wacana filsafat Barat, ia mampu menempatkan pengalaman Islam Indonesia dalam dialog global yang lebih luas, terutama terkait isu terorisme, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Pasca peristiwa global yang melibatkan kelompok ekstremis, dunia menoleh ke Indonesia, negara Muslim terbesar, untuk mencari model Islam yang moderat. Buya Syafi'i menjadi salah satu suara utama yang menolak keras klaim kelompok teroris bahwa tindakan mereka didasarkan pada ajaran Islam yang benar. Ia tegas menyatakan bahwa terorisme adalah penyimpangan teologis dan tindak kriminal, yang sama sekali tidak memiliki legitimasi dalam tradisi keilmuan Islam yang autentik.
Ia menekankan bahwa interpretasi yang dangkal dan literal terhadap konsep jihad telah disalahgunakan untuk tujuan politik kekerasan. Buya Syafi'i mendorong studi Islam yang lebih mendalam, yang mampu membedah secara historis dan kritis asal-usul kekerasan dalam sejarah Islam, sehingga umat dapat membersihkan citra agamanya dari noda ekstremisme. Pandangan ini menjadikannya salah satu tokoh yang paling dihormati oleh komunitas akademis dan pembuat kebijakan di Barat sebagai representasi Islam yang humanis.
Melalui Maarif Institute, ia secara aktif mempromosikan dialog antarperadaban. Buya Syafi'i percaya bahwa Islam adalah bagian integral dari warisan kemanusiaan universal. Humanisme Islam yang ia usung berakar pada prinsip bahwa setiap manusia, terlepas dari keyakinannya, memiliki martabat yang harus dihormati. Konsep *rahmatan lil alamin* (rahmat bagi seluruh alam) harus diwujudkan bukan hanya di kalangan Muslim, tetapi juga dalam hubungan dengan non-Muslim, bahkan dengan lingkungan alam.
Ia menunjukkan bahwa konsep demokrasi modern, yang menjamin hak-hak individu dan kebebasan berpendapat, pada dasarnya sejalan dengan semangat dasar Islam untuk musyawarah dan keadilan. Baginya, demokrasi bukan impor Barat yang harus ditolak, melainkan mekanisme terbaik yang tersedia saat ini untuk mewujudkan *syura* (musyawarah) dan *adl* (keadilan) dalam skala negara bangsa.
Kedalaman pemikiran Ahmad Syafi'i Ma'arif terabadikan dalam puluhan buku, esai, dan kolom yang ia tulis. Karya-karyanya adalah sumber utama untuk memahami evolusi pemikiran Islam di Indonesia kontemporer. Di antara yang paling berpengaruh adalah analisis sejarahnya mengenai tokoh-tokoh pembaharu dan kritik politiknya yang berkelanjutan.
Dalam bukunya mengenai Islam dan politik, Ma'arif sering mengangkat studi kasus tentang tokoh-tokoh pembaharu, baik di Timur Tengah maupun Indonesia. Ia mengagumi tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani karena keberanian mereka melakukan terobosan intelektual di tengah stagnasi. Namun, ia juga sangat kritis terhadap kelemahan mereka, terutama kegagalan mereka untuk membangun institusi yang kuat dan berkelanjutan.
Kajiannya terhadap tokoh-tokoh ini tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga analitis, mencari pelajaran yang relevan bagi kondisi Indonesia. Ia selalu menekankan pentingnya organisasi massa seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai kendaraan untuk mewujudkan pembaharuan, sebuah keunggulan yang tidak dimiliki oleh gerakan pembaharuan di Timur Tengah yang lebih bersifat individualistik.
Karya-karya tulisnya juga berfungsi sebagai dokumentasi kritis terhadap perjalanan negara Indonesia. Pada masa Orde Baru, Buya Syafi'i termasuk salah satu intelektual yang berani menyuarakan perlunya kebebasan berekspresi dan menentang militerisme. Kritik-kritiknya sering kali disajikan dalam bahasa yang halus namun tajam, menggunakan perumpamaan moral dan kutipan agama untuk menghindari sensor politik, namun pesannya tetap jelas: kekuasaan absolut akan selalu berujung pada kerusakan moral dan kezaliman.
Di era Reformasi, fokus kritik Buya Syafi'i beralih ke kegagalan partai politik untuk menjalankan mandat rakyat dan masalah kronis nepotisme, kolusi, dan korupsi (KKN). Tulisan-tulisannya pada periode ini seringkali berfungsi sebagai alarm bagi publik, mengingatkan bahwa demokrasi adalah proses yang rentan dan harus dijaga setiap saat melalui pengawasan yang ketat dan partisipasi aktif masyarakat sipil.
Meskipun dikenal sebagai pemikir rasional dan kritikus politik yang keras, kehidupan Ahmad Syafi'i Ma'arif diwarnai oleh dimensi spiritual yang mendalam, yang membedakannya dari intelektual sekuler. Ia menolak dikotomi antara rasionalitas dan spiritualitas; keduanya harus berjalan seiring. Spiritualitasku, katanya, harus memperkuat keberanianku untuk melawan kebatilan.
Salah satu aspek paling menonjol dari karakter Buya Syafi'i adalah kesederhanaannya yang luar biasa. Meski memiliki jabatan tinggi dan pengaruh nasional, ia hidup bersahaja. Gaya hidup yang sederhana ini bukan hanya pilihan pribadi, tetapi juga manifestasi dari keyakinannya bahwa seorang pemimpin spiritual harus bebas dari keterikatan material yang bisa membelokkan integritasnya. Kesederhanaannya menjadi kritik diam-diam terhadap gaya hidup mewah para pejabat dan elit politik yang ia kritik.
Keteladanan ini memberikan bobot moral yang tak tertandingi pada setiap kata yang ia ucapkan. Ketika ia mengkritik korupsi, tidak ada yang bisa menuduhnya munafik atau berbicara dari menara gading. Ia mempraktikkan apa yang ia dakwahkan, dan ini adalah sumber utama otoritas moralnya di mata masyarakat luas, melintasi batas agama dan suku.
Dalam pandangan Buya Syafi'i, semua masalah bangsa, mulai dari korupsi hingga intoleransi, pada dasarnya berakar pada krisis akhlak (moralitas). Oleh karena itu, ia menekankan bahwa pendidikan Islam harus berfokus pada penanaman akhlak mulia sebelum menekankan ritual atau dogma. Pendidikan harus menghasilkan individu yang jujur, bertanggung jawab, dan memiliki empati terhadap penderitaan orang lain. Lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah, di bawah arahannya, didorong untuk tidak hanya unggul dalam ilmu pengetahuan umum dan agama, tetapi juga dalam pembentukan karakter kebangsaan dan kemanusiaan.
Ia menganggap bahwa kegagalan sistem pendidikan kita adalah ketika ia mampu mencetak sarjana yang cerdas tetapi tidak memiliki nurani. Menurut Buya Syafi'i, seorang yang berilmu namun tak berakhlak adalah ancaman terbesar bagi negara. Oleh karena itu, ia melihat perjuangan melawan korupsi dan ketidakadilan sebagai pertempuran pendidikan moral yang tak pernah usai.
Analisis yang mendalam ini menegaskan posisi Ahmad Syafi'i Ma'arif bukan hanya sebagai tokoh sejarah Islam Indonesia, tetapi sebagai pemikir trans-historis yang gagasan-gagasannya tetap menjadi mercusuar bagi masa depan. Ia berhasil memadukan tiga kutub yang sering dianggap bertentangan: tradisi Islam yang otentik, semangat modernisasi yang rasional, dan komitmen yang teguh terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Perjalanan intelektualnya dari seorang santri di pedalaman Minangkabau hingga menjadi doktor di salah satu universitas paling prestisius di dunia, dan akhirnya menjadi suara moral bangsa, adalah sebuah kisah tentang dedikasi tanpa henti pada ilmu dan kebenaran. Ia mewariskan kepada Indonesia sebuah model Islam yang percaya pada kekayaan pluralisme, menolak kekerasan atas nama agama, dan menjadikan keadilan sosial sebagai barometer utama kesalehan.
Warisan utamanya terletak pada keberhasilannya menempatkan Islam Indonesia pada peta peradaban dunia sebagai contoh nyata harmoni antara iman dan modernitas. Dalam setiap krisis moral, sosial, atau politik yang melanda negara ini, pemikiran dan keteladanan Buya Syafi'i Ma'arif akan selalu menjadi sumber inspirasi, menegaskan kembali bahwa integritas moral adalah mata uang yang paling berharga dalam kepemimpinan publik, dan bahwa keberanian untuk berbicara kebenaran adalah bentuk jihad terbesar di era kontemporer.
Ia mengajarkan bahwa keberagamaan yang sejati harus membuat kita semakin manusiawi, semakin mencintai keadilan, dan semakin berempati terhadap sesama, tanpa memandang latar belakang mereka. Inilah esensi dari pencerahan yang diusung oleh Ahmad Syafi'i Ma'arif, seorang intelektual yang pemikirannya adalah harta karun tak ternilai bagi bangsa Indonesia yang mendambakan keadilan dan kedamaian abadi.
***
Meskipun akar institusionalnya sangat kuat di Muhammadiyah, Ahmad Syafi'i Ma'arif secara efektif melampaui batasan organisasi. Ia bukan hanya milik satu ormas; ia adalah milik umat. Sifat ekumenis ini memungkinkan ia berinteraksi intensif dengan Nahdlatul Ulama (NU), tokoh-tokoh Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, hingga kalangan nasionalis sekuler. Kualitas inilah yang membuat setiap pendapatnya didengar dan dipertimbangkan secara serius oleh spektrum politik dan sosial yang sangat luas.
Hubungan Buya Syafi'i dengan tokoh-tokoh NU, terutama Abdurrahman Wahid (Gus Dur), adalah contoh klasik dari kolaborasi dua raksasa intelektual yang berbeda basis tradisi, namun bersatu dalam visi kebangsaan dan pluralisme. Gus Dur mewakili tradisi pesantren yang kental dengan tasawuf dan kearifan lokal, sementara Buya Syafi'i mewakili gerakan purifikasi dan rasionalisasi modernis. Meskipun demikian, mereka sering sejalan dalam isu-isu krusial seperti perlindungan minoritas, penolakan formalisasi syariat, dan kritik terhadap otoritarianisme negara. Kedekatan mereka mengirimkan pesan kuat kepada basis massa masing-masing bahwa perbedaan khittah (garis perjuangan) tidak boleh menghalangi persatuan dalam membela kepentingan bangsa.
Buya Syafi’i secara terbuka memuji kontribusi NU dalam menjaga keberagaman dan tradisi. Pengakuan timbal balik ini menciptakan fondasi bagi kerjasama antar-ormas Islam terbesar yang sangat vital bagi stabilitas sosial dan politik Indonesia. Ia melihat NU dan Muhammadiyah sebagai dua sayap dari burung garuda keislaman Indonesia, yang harus terbang bersama untuk mencapai tujuan yang sama: masyarakat adil dan makmur.
Dalam isu perlindungan agama minoritas dan kelompok rentan, Buya Syafi'i menunjukkan keberanian yang luar biasa. Ia adalah salah satu ulama yang paling vokal membela hak-hak kelompok minoritas yang seringkali menjadi sasaran diskriminasi atau kekerasan, seperti Ahmadiyah dan Syiah. Ia berpendapat bahwa negara memiliki kewajiban mutlak untuk melindungi setiap warga negara, tanpa memandang keyakinan mereka. Dalam pandangan teologisnya, urusan akidah adalah wilayah privat antara hamba dan Tuhannya, dan tidak ada lembaga atau kelompok manapun yang berhak memaksakan kehendak atau menghakimi keyakinan orang lain.
Kritik pedasnya terhadap kekerasan yang dilakukan atas nama agama adalah konsisten. Ia sering merujuk pada Piagam Madinah sebagai model perjanjian sosial yang menjamin hak-hak semua komunitas, bahkan di masa awal Islam. Dengan demikian, ia membawa kembali ajaran Islam yang mengedepankan perdamaian dan keadilan universal, menyingkirkan tafsir sempit yang eksklusif dan konfliktual.
Fenomena politik identitas yang menguat belakangan ini menjadi fokus kritik utama Buya Syafi'i. Ia melihat politik identitas, terutama yang berbasis agama secara eksklusif, sebagai ancaman serius terhadap demokrasi dan persatuan nasional. Baginya, penggunaan agama untuk tujuan politik praktis adalah tindakan yang merendahkan martabat agama itu sendiri.
Buya Syafi'i selalu memperingatkan bahaya instrumentalisasi agama—yaitu menjadikan agama sebagai alat untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan semata. Ia berpendapat bahwa ketika agama dijadikan komoditas politik, maka nilai-nilai moral agama akan terdegradasi dan dipelintir untuk membenarkan kepentingan kelompok tertentu, bahkan jika kepentingan itu bertentangan dengan keadilan dan etika publik. Ia melihat hal ini sebagai penghinaan terhadap ajaran Islam itu sendiri.
Politik harus didasarkan pada kompetensi, integritas, dan program kerja yang nyata, bukan pada klaim identitas keagamaan yang semu. Ia menyarankan agar umat Islam memilih pemimpin yang paling jujur dan kompeten, terlepas dari label keagamaannya, karena kepemimpinan yang adil dan bersih adalah implementasi terbaik dari ajaran Islam.
Dalam analisisnya, Buya Syafi'i membedakan antara "politik Islam" dan "Islam politik". Politik Islam baginya adalah bagaimana umat Islam berpartisipasi dalam politik dengan membawa nilai-nilai moral Islam (seperti keadilan, kejujuran, dan amanah) ke dalam proses demokrasi. Sementara itu, Islam Politik adalah upaya formalisasi dan pelembagaan Islam secara kaku ke dalam struktur negara, yang sering kali bersifat eksklusif dan represif terhadap minoritas.
Buya Syafi'i secara konsisten mendukung Politik Islam (berbasis nilai) dan menolak Islam Politik (berbasis formalisasi ideologis). Visi ini merupakan landasan bagi gerakan Islam moderat di Indonesia yang ingin menjadi kekuatan moral tanpa harus mendirikan negara teokrasi.
Bidang pendidikan selalu menjadi perhatian utama Ahmad Syafi'i Ma'arif. Ia melihat pendidikan sebagai satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan, kebodohan, dan ekstremisme. Visi pendidikannya menekankan integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum, serta penekanan pada pengembangan nalar kritis dan etika global.
Berangkat dari pengalaman pribadinya di berbagai institusi pendidikan, Ma'arif sangat kritis terhadap dikotomi ilmu pengetahuan yang memisahkan ilmu agama dari ilmu umum. Ia berpendapat bahwa semua ilmu berasal dari Tuhan dan harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu agama tanpa ilmu umum menjadi dogmatis dan tidak relevan dengan tantangan zaman, sedangkan ilmu umum tanpa landasan moral agama dapat menjadi liar dan destruktif.
Ia mendorong lembaga pendidikan Muhammadiyah untuk menjadi pelopor dalam integrasi ilmu, menghasilkan lulusan yang tidak hanya hafal Al-Qur’an dan hadis, tetapi juga menguasai sains, teknologi, filsafat, dan metodologi penelitian kritis. Hal ini sejalan dengan tradisi rasionalis dalam Islam klasik yang menghargai akal (‘aql) sebagai karunia terbesar Tuhan.
Pendidikan, dalam pandangan Ma'arif, harus menjadi wadah pembentukan warga negara yang demokratis dan toleran. Ini berarti sekolah harus mengajarkan tidak hanya sejarah dan kewarganegaraan, tetapi juga keterampilan dialog, kemampuan menerima perbedaan pendapat, dan penolakan terhadap narasi tunggal. Ia menekankan bahwa toleransi bukan sekadar menahan diri dari konflik, tetapi sebuah pengakuan aktif terhadap hak keberadaan orang lain.
Ia sering mengatakan bahwa jika pendidikan gagal menanamkan nilai-nilai ini, maka institusi pendidikan hanya akan menjadi pabrik penghasil ekstremis atau robot yang tidak kritis. Oleh karena itu, kurikulum harus secara eksplisit memuat pendidikan antikorupsi, antiintoleransi, dan pendidikan yang berperspektif keadilan gender dan sosial.
Salah satu kontribusi filosofis Ahmad Syafi'i Ma'arif yang paling berharga adalah pembelaannya yang gigih terhadap kebebasan intelektual dalam tradisi Islam. Ia percaya bahwa stagnasi peradaban Islam sebagian besar disebabkan oleh hilangnya semangat kebebasan berpikir (hurriyatul fikr) dan penutupan pintu ijtihad.
Seperti para pendiri Muhammadiyah, Buya Syafi'i mengkritik tradisi taklid buta—mengikuti pandangan ulama terdahulu tanpa mempertanyakan atau menganalisisnya. Ia berpendapat bahwa taklid adalah musuh terbesar kemajuan dan rasionalitas. Umat Islam harus kembali kepada sumber utama (Al-Qur’an dan Sunnah) dengan perangkat metodologi yang tepat dan semangat kritis, bukan hanya bergantung pada interpretasi yang sudah usang.
Kebebasan intelektual ini membutuhkan keberanian untuk menanggung risiko dikritik dan dianggap menyimpang oleh kelompok konservatif. Ma’arif adalah teladan dalam keberanian ini; ia berulang kali menghadapi kritik keras karena pandangannya yang liberal dan pluralis, namun ia tidak pernah mundur karena keyakinannya pada kekuatan akal dan kebenaran universal.
Berbeda dengan beberapa kelompok Islam yang skeptis terhadap filsafat, Ma'arif melihat filsafat sebagai instrumen penting dalam *tajdid*. Studi filsafat, terutama filsafat sosial dan politik, memberikan kerangka konseptual untuk menganalisis masalah-masalah kontemporer yang sangat kompleks—sesuatu yang tidak dapat disediakan hanya oleh ilmu fikih tradisional. Ia menggunakan filsafat Barat dan Islam klasik (seperti Al-Farabi dan Ibnu Rusyd) untuk memperluas horizon pemikirannya, menunjukkan bahwa tradisi keilmuan Islam sangat terbuka terhadap nalar dan kritik.
Dengan demikian, Buya Syafi'i mengukuhkan kembali tradisi intelektual Islam yang pernah jaya di era Abbasiyah, di mana ilmuwan dan filsuf berani bertanya dan menantang dogma demi mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang Tuhan dan alam semesta.
Menjadi "nurani bangsa" bukanlah gelar kehormatan tanpa harga. Ahmad Syafi'i Ma'arif membayar harga mahal atas integritas dan konsistensinya dalam menyuarakan kebenaran. Harga tersebut berupa isolasi politik dan kritik yang tak henti-hentinya dari kelompok-kelompok yang merasa terganggu oleh kritik moralnya.
Selama era Reformasi, Buya Syafi'i sering berkonfrontasi dengan berbagai kekuatan politik, termasuk presiden, ketua partai, dan oligarki bisnis. Kritik-kritiknya terhadap kasus korupsi, penyalahgunaan anggaran negara, dan pelemahan lembaga antikorupsi seringkali memicu reaksi keras. Namun, konsistensinya justru memperkuat posisinya sebagai tokoh yang tak tersentuh oleh kepentingan pragmatis. Publik melihatnya sebagai benteng terakhir dari idealisme kebangsaan.
Ia menolak semua tawaran posisi politik strategis, termasuk tawaran menjadi menteri atau anggota dewan, karena ia percaya bahwa efektivitas kritik moralnya akan hilang jika ia terikat pada kekuasaan. Keputusan ini menunjukkan pemahaman strategis yang mendalam tentang peran intelektual dalam masyarakat demokratis; peran utamanya adalah menantang kekuasaan, bukan menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri.
Selain tantangan politik, Buya Syafi'i juga menghadapi tekanan besar dari arus konservatisme agama yang menuduhnya terlalu liberal, pro-Barat, atau bahkan menyimpang dari ajaran Islam yang "murni". Tuduhan ini terutama muncul karena pandangannya yang terbuka tentang pluralisme, hubungan antaragama, dan hak-hak perempuan. Namun, Buya Syafi'i selalu menanggapi kritik ini dengan argumentasi teologis dan historis yang kuat.
Ia menunjukkan bahwa kelompok yang mengklaim kemurnian seringkali adalah mereka yang gagal memahami semangat inklusif dan keadilan universal dalam Al-Qur'an. Baginya, toleransi bukanlah pilihan, melainkan sebuah manifestasi dari keimanan yang matang. Perjuangan melawan konservatisme ini merupakan salah satu warisan terpenting Ma’arif bagi generasi muda Indonesia, menunjukkan bahwa menjadi seorang Muslim yang taat tidak berarti harus menjadi seorang yang kaku dan eksklusif.
***
Dengan demikian, sosok Ahmad Syafi'i Ma'arif tetap menjadi studi kasus yang kaya dan tak terhingga. Analisis atas karyanya harus selalu kembali pada tiga sumbu yang ia ajarkan: kejujuran intelektual, keberanian moral, dan kepatuhan pada nilai-nilai kemanusiaan universal yang diilhami oleh ajaran Islam. Ia adalah suara yang terus mengingatkan Indonesia akan janji kemerdekaannya: janji akan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, yang hanya dapat diwujudkan melalui perpaduan antara iman yang mencerahkan dan akal yang bebas.
Dalam lanskap intelektual Indonesia, banyak tokoh yang bersinar terang pada masanya namun redup seiring perubahan rezim atau isu. Namun, pemikiran Ahmad Syafi'i Ma'arif menunjukkan stabilitas dan relevansi yang abadi. Hal ini disebabkan karena ia tidak pernah terikat pada isu musiman, melainkan fokus pada fondasi filosofis dan etis.
Ma'arif selalu memulai diskusinya dari fondasi etis, bukan dari kepentingan praktis sesaat. Ketika ia membahas politik, ia berbicara tentang etika kekuasaan; ketika ia membahas ekonomi, ia berbicara tentang etika distribusi kekayaan; dan ketika ia membahas agama, ia berbicara tentang etika interpretasi. Pendekatan berbasis etika ini memastikan bahwa pemikirannya tetap relevan meskipun konteks politik telah berubah berkali-kali.
Misalnya, pandangannya tentang KKN dan oligarki, yang ia suarakan sejak Reformasi, kini semakin terbukti kebenarannya seiring menguatnya kekuatan modal dalam politik. Analisisnya tentang bagaimana kekuasaan dapat merusak moralitas dan integritas pribadi adalah peringatan yang bersifat universal dan timeless, melampaui masa jabatan presiden mana pun.
Di era *post-truth*, di mana fakta sering dikalahkan oleh emosi dan hoaks, metodologi historis-kritis yang dianut Ma'arif menjadi sangat penting. Ia selalu mendasarkan argumennya pada data sejarah yang terverifikasi dan analisis yang logis. Ia menolak retorika kosong dan manipulasi sentimen keagamaan. Sikap inilah yang membuat wacana yang ia bangun memiliki daya tahan terhadap kepalsuan dan fanatisme.
Ia mengajarkan bahwa integritas intelektual menuntut kita untuk selalu skeptis terhadap klaim kebenaran absolut yang tidak didukung oleh nalar dan bukti. Dalam menghadapi gempuran narasi ekstremis atau politisi yang tidak jujur, Buya Syafi'i adalah penjamin bahwa masih ada ruang bagi pemikiran yang jernih, rasional, dan bertanggung jawab.
Warisan utamanya adalah warisan tentang kesalehan yang mencerahkan, yang tidak takut terhadap ilmu pengetahuan, tidak gentar terhadap perbedaan, dan tidak pernah lelah berjuang demi tegaknya keadilan di bumi pertiwi. Inilah esensi dari peran Ahmad Syafi'i Ma'arif sebagai intelektual pencerah dan suara nurani bangsa yang tak terpadamkan.
***