Surat Ali Imran merupakan salah satu surat Madaniyah yang kaya akan ajaran Islam. Di dalamnya, terdapat berbagai diskusi mengenai akidah, hukum, dan adab. Ayat ke-20 dari surat ini memegang peranan penting dalam menjelaskan sikap seorang Muslim ketika berinteraksi dengan pihak-pihak yang memiliki keyakinan berbeda, terutama Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) serta kaum ummi (yang tidak memiliki kitab suci). Pesan utama dari ayat ini adalah penegasan mengenai tauhid (keesaan Allah) dan pentingnya penyerahan diri sepenuhnya kepada-Nya sebagai fondasi keimanan yang kokoh.
Ayat ini turun sebagai respons terhadap perdebatan yang mungkin terjadi antara Rasulullah Muhammad SAW dengan delegasi dari kalangan Yahudi dan Nasrani, atau bahkan dengan masyarakat Mekah yang belum mendapatkan wahyu. Dalam konteks perdebatan, seringkali muncul upaya untuk membantah atau menyanggah ajaran yang dibawa oleh Islam. Allah SWT mengajarkan sebuah sikap yang tegas namun bijaksana: menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah.
Frasa "Aku menyerahkan diriku kepada Allah" bukan sekadar ucapan lisan semata. Ini adalah pernyataan sikap batin yang mendalam, sebuah komitmen total untuk tunduk dan patuh pada segala perintah dan larangan Allah SWT. Dalam terminologi Islam, sikap ini dikenal sebagai Islam itu sendiri, yang berarti tunduk atau berserah diri. Ayat ini menggarisbawahi bahwa siapa pun yang mengaku beriman, maka penyerahan diri kepada Allah adalah konsekuensi logis dan esensial dari keimanannya.
Bagi Rasulullah SAW, penyerahan diri ini adalah sumber kekuatan dan ketenangan dalam menghadapi segala bentuk tantangan, termasuk penolakan dan perdebatan. Ia tidak bersandar pada kekuatan pribadinya, melainkan pada pertolongan dan kekuasaan Allah. Begitu pula bagi pengikutnya, sikap ini menjadi panutan. Jika ada yang membantah atau menyanggah kebenaran Islam, respons pertama adalah kembali kepada Allah, memperteguh keyakinan pada-Nya, dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya.
Selanjutnya, ayat ini memerintahkan Rasulullah SAW untuk menyampaikan pesan yang sama kepada dua kelompok besar: Ahli Kitab dan kaum ummi. Kepada Ahli Kitab, yang telah memiliki kitab-kitab samawi sebelumnya (Taurat, Injil), dipertanyakan apakah mereka juga telah menyerahkan diri kepada Allah. Ini adalah ajakan untuk kembali kepada esensi ajaran para nabi terdahulu yang pada hakikatnya adalah tauhid.
Bagi kaum ummi, yang tidak memiliki kitab suci dan mungkin belum sepenuhnya memahami ajaran ilahi, pertanyaan yang sama diajukan. Tujuannya adalah untuk mengajak mereka merenungkan dan menerima kebenaran tauhid. Ayat ini menunjukkan sifat universal dakwah Islam, yang terbuka untuk semua kalangan, tanpa memandang latar belakang mereka.
Penting untuk dicatat bahwa pertanyaan yang diajukan bukanlah pertanyaan interogatif yang bersifat menekan, melainkan sebuah undangan untuk memahami dan menerima kebenaran. Hasil dari penerimaan ajaran ini digambarkan dengan jelas: "Jika mereka menyerahkan diri, maka sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk." Ini menegaskan bahwa petunjuk ilahi hanya akan diperoleh oleh orang-orang yang mau tunduk dan berserah diri kepada Allah.
Namun, Allah SWT juga memberikan batasan yang jelas mengenai tanggung jawab seorang pendakwah atau Muslim dalam menyampaikan ajaran-Nya. Jika setelah disampaikan ajaran tersebut tetap ditolak atau diingkari, maka kewajiban telah selesai. Sebagaimana firman-Nya: "dan jika mereka berpaling, maka kewajibanmu hanyalah menyampaikan (peringatan)."
Ini adalah prinsip penting dalam dakwah. Seorang Muslim diperintahkan untuk berdakwah dengan hikmah dan tutur kata yang baik, menyampaikan kebenaran, dan memberikan penjelasan yang memadai. Namun, hasil akhir dan hidayah sepenuhnya berada di tangan Allah. Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk beriman. Tugas kita adalah menyampaikan risalah dengan sebaik-baiknya, sementara Allah yang akan memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Penegasan di akhir ayat, "Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya," menjadi penutup yang menenangkan. Ini berarti segala usaha, ketulusan, dan kesabaran dalam berdakwah akan senantiasa diketahui dan dilihat oleh Allah. Tidak ada satu pun amal baik yang akan terlewatkan oleh pandangan-Nya. Ini memberikan motivasi tambahan bagi umat Muslim untuk terus berupaya dalam kebaikan, terlepas dari hasil yang tampak di hadapan manusia.
Makna dari Al Imran 20 memiliki relevansi yang sangat besar dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menghadapi berbagai masalah, baik pribadi maupun sosial, sikap pertama yang harus diambil adalah kembali kepada Allah dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya. Dalam berinteraksi dengan orang lain, terutama yang memiliki perbedaan pandangan, kita dituntut untuk bersikap bijaksana, menyampaikan kebenaran dengan santun, namun juga harus siap menerima bahwa tidak semua orang akan sepakat.
Pesan toleransi dalam ayat ini juga penting. Menghargai perbedaan keyakinan adalah bagian dari ajaran Islam, selama tidak melanggar prinsip-prinsip dasar akidah. Islam mengajarkan untuk mengajak kepada kebaikan dengan cara yang damai dan penuh kasih. Ayat ini menjadi pengingat bahwa inti dari segala ibadah dan muamalah adalah ketundukan total kepada Allah, dan dari ketundukan itulah lahir kedamaian serta petunjuk.