Visualisasi konsep kekuasaan dan kehendak ilahi serta pilihan manusia.
Surah Al-Imran, ayat ke-49, merupakan salah satu ayat yang memiliki kedalaman makna luar biasa dalam Al-Qur'an. Ayat ini tidak hanya menegaskan kekuasaan mutlak Allah SWT atas segala sesuatu, tetapi juga secara implisit menyoroti tanggung jawab besar yang diemban oleh manusia dalam mengambil keputusan. Memahami ayat ini secara mendalam dapat memberikan perspektif baru mengenai hubungan antara takdir ilahi dan kehendak bebas manusia.
"Dan ketika Allah berfirman, 'Hai Isa putra Maryam, engkankah engkau mengatakan kepada manusia: 'Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah'?' Isa menjawab, 'Mahasuci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya, maka Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui segala yang gaib.'"
Ayat ini diawali dengan dialog yang menunjukkan bagaimana Allah SWT menegaskan keilahian-Nya secara absolut. Dialog ini terjadi pada Hari Kiamat, di mana Allah bertanya kepada Nabi Isa AS mengenai perkataannya kepada manusia. Pertanyaan Allah ini bersifat retoris, yang bertujuan untuk membersihkan kesucian tauhid dan membantah segala bentuk syirik atau penyekutuan terhadap-Nya. Pernyataan "Mahasuci Engkau" (سُبْحَـٰنَكَ) yang diucapkan oleh Nabi Isa AS adalah bentuk pengakuan tertinggi atas kemurnian dan keagungan Allah.
Nabi Isa AS dengan tegas menolak tuduhan bahwa ia pernah mengatakan kepada manusia untuk menjadikannya dan ibunya sebagai tuhan selain Allah. Penolakan ini bukan hanya sekadar membela diri, tetapi merupakan penegasan prinsip tauhid yang fundamental. Beliau menyadari posisinya sebagai hamba Allah dan tidak memiliki hak sedikit pun untuk menyamakan dirinya dengan Pencipta. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pengakuan keesaan Allah dalam ajaran agama samawi, termasuk Islam dan ajaran Nabi Isa AS itu sendiri.
Meskipun ayat ini secara spesifik membahas kisah Nabi Isa AS, esensinya memiliki relevansi universal bagi setiap individu. Pernyataan Nabi Isa AS, "Jika aku pernah mengatakannya, maka Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui segala yang gaib," mengandung makna mendalam mengenai tanggung jawab. Nabi Isa AS mengakui bahwa semua yang ia lakukan dan katakan diketahui oleh Allah. Ini mengajarkan bahwa setiap perkataan dan perbuatan kita akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya.
Keberadaan Allah Yang Maha Mengetahui (عَلَّـٰمُ ٱلْغُيُوبِ) berarti bahwa tidak ada satu pun yang tersembunyi dari pandangan-Nya. Pengetahuan Allah mencakup hal-hal yang tampak maupun yang gaib, termasuk niat hati manusia. Oleh karena itu, sebagai manusia, kita memiliki kebebasan untuk memilih keyakinan dan jalan hidup kita, namun kebebasan tersebut disertai dengan tanggung jawab moral dan spiritual. Allah tidak memaksa hamba-Nya untuk beriman, tetapi memberikan pilihan dan akan mengadili setiap pilihan tersebut.
Dalam konteks kekinian, ayat Al-Imran 49 ini mengingatkan kita untuk selalu berhati-hati dalam memegang teguh akidah tauhid. Umat Islam diperintahkan untuk hanya menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun. Peringatan terhadap segala bentuk syirik, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi, menjadi sangat penting. Syirik bisa saja muncul dalam bentuk penyembahan kepada berhala, alam, atau bahkan kepada diri sendiri dan ambisi yang berlebihan.
Ayat ini juga mendorong kita untuk menggunakan akal sehat dan hati nurani dalam memahami kebenaran ilahi. Kisah Nabi Isa AS ini seharusnya menjadi pelajaran bahwa para nabi yang mulia pun tidak pernah mengklaim dirinya sebagai tuhan. Mereka adalah utusan Allah yang bertugas menyampaikan ajaran-Nya. Mengakui Nabi Isa AS sebagai nabi dan rasul Allah adalah bagian dari keimanan, namun menjadikannya sebagai objek ibadah adalah bentuk penyimpangan yang dibantah secara tegas oleh ayat ini.
Kekuasaan Allah yang absolut tercermin dari kemampuan-Nya untuk mengetahui segalanya, termasuk apa yang ada dalam diri seseorang dan apa yang akan terjadi di masa depan. Sementara itu, manusia diberi akal untuk berpikir dan memilih. Pilihan untuk mengikuti jalan kebenaran yang ditunjukkan oleh para nabi dan rasul adalah wujud pertanggungjawaban kita sebagai hamba Allah. Dengan keyakinan yang murni dan amal perbuatan yang saleh, kita dapat meraih keridhaan-Nya.
Surah Al-Imran ayat 49 adalah pengingat abadi tentang keagungan Allah SWT dan keharusan untuk memurnikan ibadah hanya kepada-Nya. Ayat ini mengajarkan bahwa meskipun manusia memiliki kehendak bebas untuk memilih, setiap pilihan tersebut akan berimplikasi pada pertanggungjawaban di akhirat. Pemahaman yang benar tentang ayat ini akan mengarahkan kita untuk senantiasa tunduk pada kehendak Allah, menjauhi segala bentuk kesyirikan, dan menggunakan karunia akal serta hati nurani untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan merenungkan ayat ini, kita semakin menyadari betapa pentingnya menjaga kemurnian iman dan konsisten dalam menjalankan perintah-Nya.