Dalam lautan hikmah yang terbentang luas dalam Al-Qur'an, setiap ayat memiliki kedalaman dan relevansinya tersendiri. Salah satu ayat yang sering menjadi bahan renungan dan pembelajaran adalah Surah Ali-Imran ayat 88. Ayat ini mengandung peringatan sekaligus ajaran penting bagi umat manusia, khususnya bagi mereka yang beriman. Memahami pesan di baliknya bukan hanya sekadar membaca terjemahannya, melainkan menyelami konteks, makna, dan implikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
"Mereka berkata: "Kita sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali hanya beberapa hari yang dihitung." Katakanlah: "Apakah kamu menerima janji dari Allah, atau kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?"
Surah Ali-Imran ayat 88 ini turun sebagai respons terhadap perkataan sebagian ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang memiliki keyakinan keliru mengenai azab neraka. Mereka beranggapan bahwa diri mereka adalah umat pilihan Tuhan sehingga tidak akan mendapatkan siksaan yang abadi. Sebaliknya, mereka meyakini bahwa jika pun mereka akan mendapatkan siksaan, itu hanya bersifat sementara, yaitu hanya beberapa hari saja, merujuk pada hari-hari perhitungan mereka atau hari-hari penyiksaan tertentu yang diyakini.
Keyakinan semacam ini mencerminkan kesombongan intelektual dan agama, serta ketidakpahaman mereka terhadap keadilan dan kemahakuasaan Allah. Mereka merasa aman dari murka Ilahi hanya berdasarkan klaim status atau keturunan, tanpa menyadari bahwa keselamatan sejati hanya diraih melalui keimanan yang tulus, ketakwaan, dan kepatuhan terhadap ajaran-Nya.
Ayat ini memberikan beberapa pelajaran krusial yang relevan bagi seluruh umat Islam:
Pesan utama dari ayat ini adalah peringatan keras agar tidak ada seorang pun yang merasa aman, apalagi menyombongkan diri, dari siksa Allah. Menganggap remeh dosa atau meyakini bahwa diri pasti masuk surga tanpa perhitungan yang benar adalah bentuk kesombongan dan kebodohan. Keselamatan adalah anugerah Allah yang harus diraih dengan usaha sungguh-sungguh dalam beribadah dan menjauhi larangan-Nya.
Ayat ini dengan tegas menolak argumen yang didasarkan pada perkiraan atau keyakinan tanpa dasar dari Allah. "Apakah kamu menerima janji dari Allah, atau kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?" Pertanyaan retoris ini menantang mereka untuk menunjukkan bukti otentik dari Allah mengenai klaim mereka. Ini mengajarkan kita bahwa dalam urusan agama dan akhirat, segala sesuatu harus didasarkan pada wahyu dan ajaran yang jelas dari Al-Qur'an dan Sunnah, bukan pada asumsi, tradisi nenek moyang yang keliru, atau hawa nafsu.
Penting untuk dipahami bahwa Allah Maha Adil. Setiap perbuatan akan mendapatkan balasan yang setimpal. Menganggap remeh azab-Nya berarti meremehkan keadilan-Nya. Di sisi lain, kemahakuasaan Allah tidak terbatas. Tidak ada yang bisa mengintervensi keputusan-Nya atau menjamin keselamatan seseorang tanpa izin dan rahmat-Nya.
Sikap merasa aman dan sombong adalah lawan dari tawadhu'. Ayat ini secara implisit mengajarkan pentingnya kerendahan hati di hadapan Allah. Seorang mukmin sejati akan selalu merasa butuh kepada rahmat Allah dan senantiasa berusaha memperbaiki diri, bukan malah merasa sudah terjamin masuk surga.
Meskipun ayat ini turun dalam konteks spesifik, pesannya tetap relevan hingga kini. Banyak orang modern yang mungkin tanpa sadar mengadopsi pola pikir serupa: merasa aman karena status sosial, kekayaan, atau afiliasi kelompok tertentu, tanpa benar-benar mengukur diri dengan timbangan syariat Allah.
Misalnya, seseorang mungkin berpikir, "Saya kan sudah sering bersedekah," atau "Saya adalah bagian dari keluarga terhormat," atau "Agama saya pasti akan mengampuni saya." Pernyataan-pernyataan ini, jika tidak disertai dengan keimanan yang lurus, ketakwaan yang mendalam, dan pengharapan yang tulus kepada rahmat Allah, bisa menjadi jebakan yang berbahaya.
Alih-alih merasa aman, kita justru harus terus introspeksi diri. Evaluasi ibadah kita, perbaiki akhlak kita, dan teruslah memohon ampun serta rahmat Allah. Jangan pernah bermain-main dengan ayat-ayat Allah atau membuat perkiraan tentang nasib akhirat tanpa dasar yang kokoh dari Al-Qur'an dan Sunnah.
Mari jadikan Surah Ali-Imran ayat 88 sebagai pengingat yang kuat untuk senantiasa menjaga keikhlasan dalam beribadah, ketulusan dalam beriman, dan kerendahan hati di hadapan Sang Pencipta. Hanya Allah yang berhak menentukan nasib hamba-Nya, dan hanya rahmat-Nya yang dapat membawa kita menuju keselamatan abadi.