Sebuah visualisasi abstrak yang menggambarkan perjalanan spiritual dan refleksi.
Dalam lembaran sejarah Islam, terdapat kisah-kisah yang kaya akan makna dan pelajaran. Salah satunya adalah refleksi mendalam mengenai firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat 180. Ayat ini, meskipun singkat, sarat akan petunjuk dan peringatan bagi umat manusia, terutama dalam menghadapi realitas kehidupan yang penuh ujian dan godaan, khususnya di akhir zaman.
Surat Ali Imran ayat 180 berbunyi, "Dan janganlah sekali-kali orang yang kikir terhadap apa yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa (kikiran) itu baik bagi mereka. Sebenarnya kekikiran itu adalah buruk bagi mereka. Kelak akan dikalungkan kepada mereka apa yang mereka kikirkan itu di hari kiamat. Dan hanya Allah jualah yang mewarisi langit dan bumi. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Ayat ini secara tegas menyerukan agar umat Islam menjauhi sifat kikir atau pelit terhadap harta yang telah dikaruniakan Allah SWT. Konsep harta dalam Islam bukanlah sekadar materi semata, melainkan amanah dari Sang Pencipta. Mengingat bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya, menjadikan tindakan menimbun harta tanpa menyalurkannya di jalan kebaikan adalah sebuah kekeliruan fundamental.
Peringatan dalam ayat ini bersifat sangat keras. Allah tidak hanya melarang sifat kikir, tetapi juga menyatakan bahwa kekikiran itu sendiri adalah buruk bagi pelakunya. Ini bukan sekadar pandangan moral, melainkan sebuah hukum ilahi yang memiliki konsekuensi di dunia dan akhirat. Di dunia, kekikiran dapat menghalangi rezeki yang berkah, merusak hubungan sosial, dan menimbulkan kecemasan yang tak berujung.
Lebih mengerikan lagi adalah konsekuensi di akhirat. Ayat tersebut menyebutkan bahwa apa yang dikikirkan oleh seseorang akan menjadi kalung yang melingkar di lehernya pada hari kiamat. Gambaran ini sungguh menggetarkan jiwa. Harta yang seharusnya menjadi sarana kebaikan dan bekal akhirat, justru berubah menjadi beban berat yang menjerat dan menyiksa di hadapan Allah SWT. Harta yang ditimbun, yang enggan disedekahkan, yang enggan dibelanjakan untuk kemaslahatan umat, akan menjadi bukti nyata penolakan terhadap perintah Allah.
Mengaitkan ayat ini dengan konteks akhir zaman semakin mempertegas urgensinya. Di masa-masa yang diprediksi penuh dengan fitnah, ujian materi, dan godaan duniawi, sifat kikir akan semakin menguasai hati sebagian orang. Kebutuhan akan solidaritas, kepedulian, dan saling tolong-menolong di antara sesama mukmin menjadi semakin krusial. Ketika banyak pihak memilih untuk menarik diri dan berfokus pada akumulasi harta pribadi, ayat Ali Imran 180 ini menjadi pengingat yang sangat penting.
Menafsirkan Ali Imran 180 dalam konteks kontemporer juga mencakup kewajiban untuk memberdayakan ekonomi umat, membantu mereka yang membutuhkan, dan berkontribusi pada pembangunan masyarakat yang adil dan sejahtera. Islam mengajarkan bahwa harta adalah sarana untuk meraih ridha Allah, bukan tujuan akhir. Oleh karena itu, kaum muslimin dituntut untuk menjadi pribadi yang dermawan, gemar bersedekah, dan menggunakan harta mereka untuk kebaikan yang berkelanjutan.
Ayat ini juga mengingatkan kita akan sifat ke-Maha-Mewarisi Allah. Langit dan bumi beserta segala isinya adalah milik Allah. Manusia hanya dititipi kekayaan untuk sementara waktu. Kesadaran ini seharusnya menumbuhkan kerendahan hati dan kepatuhan. Ketika kita sadar bahwa semua yang kita miliki adalah titipan, maka kita akan lebih mudah untuk membelanjakannya di jalan Allah dan tidak merasa memiliki keterikatan yang berlebihan terhadap dunia.
Oleh karena itu, merenungkan Ali Imran 180 adalah sebuah panggilan untuk introspeksi diri. Mari kita periksa kembali bagaimana kita memperlakukan karunia Allah berupa harta. Apakah kita termasuk orang-orang yang kikir, yang takut kehilangan harta sehingga enggan berbagi? Atau kita termasuk orang-orang yang menyadari hakikat harta sebagai amanah dan senantiasa berusaha menggunakannya di jalan Allah?.
Tindakan nyata yang bisa dilakukan antara lain: memperbanyak sedekah, zakat, infak, wakaf, serta membantu keluarga, tetangga, dan masyarakat yang membutuhkan. Membantu dalam bentuk ilmu, tenaga, atau waktu juga termasuk bagian dari kedermawanan. Semua amal kebaikan yang dilakukan dengan niat ikhlas karena Allah akan menjadi bekal yang sangat berharga di akhirat kelak. Mari jadikan setiap harta yang kita miliki sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan justru menjadi sebab kehancuran diri.