Kebenaran yang Mengayomi
Dalam Al-Qur'an, terdapat banyak ayat yang memberikan petunjuk dan peringatan bagi umat manusia. Salah satu ayat yang sarat makna dan memiliki implikasi mendalam, khususnya bagi para pemimpin dan penguasa, adalah Surah Ali Imran ayat 80. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang hukum ilahi, tetapi juga tentang tanggung jawab moral dan etika yang harus diemban oleh mereka yang memegang amanah kekuasaan. Memahami pesan fundamental dari Ali Imran 80 adalah kunci untuk menavigasi kompleksitas kepemimpinan yang adil dan bertanggung jawab di dunia ini.
Ayat Ali Imran 80 berbunyi, "Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, 'Sungguh, apa pun Kitab yang Aku berikan kepadamu dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, maka sungguh kamu akan beriman kepadanya dan sungguh kamu akan menolongnya.' Allah berfirman, 'Apakah kamu mengakui dan memikul perjanjian-Ku atas (perkara) yang demikian itu?' Mereka menjawab, 'Kami mengakui.' Allah berfirman, 'Kalau begitu, bersaksilah kamu dan Aku pun termasuk orang-orang yang bersaksi.'"
Inti dari ayat ini adalah perjanjian yang diambil oleh Allah SWT dari para nabi. Perjanjian ini mencakup pengakuan dan ketaatan terhadap kitab suci dan hikmah yang akan diturunkan, serta kewajiban untuk beriman dan menolong rasul-rasul yang datang kemudian, yang membawa kebenaran yang sama. Ini adalah ikrar fundamental yang mengikat seluruh para nabi, tanpa terkecuali.
Mengapa ayat ini sangat relevan bagi para penguasa di masa kini? Para penguasa, dalam banyak hal, adalah pewaris amanah para nabi dalam hal menegakkan keadilan dan membimbing umat. Mereka memegang kendali atas kebijakan publik, sumber daya negara, dan kesejahteraan rakyat. Ayat Ali Imran 80 mengingatkan bahwa kekuasaan yang mereka miliki bukanlah sesuatu yang datang begitu saja, melainkan sebuah amanah yang disertai tanggung jawab besar.
Pertama, ayat ini menekankan pentingnya kepatuhan terhadap ajaran ilahi. Para penguasa seharusnya menjadikan firman Tuhan sebagai panduan utama dalam setiap keputusan mereka. Ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi untuk beriman pada kitab dan hikmah, ini mengindikasikan bahwa kebenaran mutlak berasal dari Sang Pencipta. Penguasa yang mengabaikan prinsip-prinsip moral dan keadilan yang diajarkan oleh agama akan cenderung tergelincir pada kesewenang-wenangan dan ketidakadilan. Mereka harus menjadikan kejujuran, integritas, dan keadilan sebagai fondasi utama pemerintahan mereka.
Kedua, ayat ini berbicara tentang persatuan dan kolaborasi demi kebaikan umat. Perjanjian para nabi mencakup kewajiban untuk saling menolong. Dalam konteks kepemimpinan modern, ini berarti para penguasa harus bekerja sama, bukan hanya dengan sesama penguasa, tetapi juga dengan seluruh elemen masyarakat, untuk mencapai tujuan bersama: kemajuan, kedamaian, dan kesejahteraan. Kolaborasi yang tulus dan tanpa pamrih adalah kunci untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi bangsa dan negara. Perselisihan internal dan perebutan kekuasaan yang merusak hanya akan melemahkan tatanan sosial dan menghambat kemajuan.
Ketiga, ayat Ali Imran 80 adalah pengingat akan pertanggungjawaban. Para nabi bersumpah untuk memikul perjanjian Allah. Demikian pula, para penguasa akan dimintai pertanggungjawaban atas amanah yang telah mereka pikul. Pertanggungjawaban ini tidak hanya kepada Allah SWT, tetapi juga kepada rakyat yang mereka pimpin. Pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi rakyat adalah manifestasi dari kesadaran akan pertanggungjawaban ini. Penguasa yang korup, lalai, atau menindas rakyat sejatinya telah mengkhianati perjanjian suci ini.
Pesan Ali Imran 80 juga dapat ditafsirkan sebagai seruan untuk terus memperbarui komitmen terhadap kebenaran. Di tengah derasnya arus perubahan dan godaan dunia, para penguasa perlu terus menerus merenungkan dan memperkuat kembali janji mereka untuk menegakkan nilai-nilai luhur. Pengakuan bahwa "mereka mengakui" dan kesediaan untuk bersaksi adalah sikap kerendahan hati dan kesadaran diri yang penting. Ini berarti mengakui keterbatasan diri dan selalu bersedia belajar serta memperbaiki diri.
Sebagai penutup, ayat Ali Imran 80 mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati bukanlah tentang kekuasaan semata, melainkan tentang pelayanan yang didasari oleh prinsip-prinsip ilahi dan tanggung jawab moral. Penguasa yang menjadikan ayat ini sebagai kompas akan senantiasa berusaha untuk bertindak adil, menolong sesama, dan menjaga amanah rakyat dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, mereka tidak hanya membangun tatanan dunia yang lebih baik, tetapi juga meraih ridha dari Sang Pencipta.