Cinta melintasi batas, termasuk perbedaan keyakinan. Bagaimana Alkitab memandang hubungan antar individu yang memeluk agama berbeda? Mari kita telusuri.
Ketika membahas Alkitab mengenai hubungan yang melibatkan perbedaan agama, penting untuk menggali prinsip-prinsip yang tertanam dalam Kitab Suci, bukan sekadar mencari larangan eksplisit terhadap pernikahan beda agama secara langsung seperti yang mungkin diharapkan sebagian orang. Alkitab lebih menekankan pada karakter, kesetiaan, dan pertumbuhan rohani seseorang.
Surat Paulus kepada jemaat Korintus, khususnya pasal 7, sering menjadi rujukan utama dalam diskusi ini. Dalam 1 Korintus 7:12-16, Rasul Paulus memberikan panduan ketika salah satu pasangan belum percaya saat pasangan lainnya sudah menjadi percaya. Ia tidak menganjurkan perceraian, melainkan mendorong untuk tetap hidup bersama jika pasangan yang belum percaya bersedia.
Ayat-ayat ini mengindikasikan bahwa kesatuan pernikahan yang sudah ada tidak serta-merta dibatalkan hanya karena perbedaan keyakinan. Paulus justru melihat adanya potensi pengudusan yang datang melalui pasangan yang beriman, dan yang lebih penting, anak-anak mereka dianggap kudus, menunjukkan adanya pengakuan terhadap keluarga semacam itu dalam perspektif Kristiani.
Meskipun Alkitab tidak melarang hubungan beda agama, ada prinsip-prinsip lain yang perlu dipertimbangkan. Di Perjanjian Lama, umat Israel diperingatkan untuk tidak mengambil istri dari bangsa-bangsa lain yang menyembah berhala, dengan tujuan agar mereka tidak tersesat dari Tuhan (Ulangan 7:3-4). Peringatan ini lebih berfokus pada penjagaan kemurnian iman dan penyembahan kepada Allah yang benar.
Dalam konteks Kristiani, nasihat Paulus dalam 2 Korintus 6:14 juga sering dikaitkan: "Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya. Sebab persamaan apakah dapat terjadi antara kebenaran dan kelaliman? Atau bagaimanakah terang dapat berpadanan dengan kegelapan?"
Ayat ini sering ditafsirkan sebagai larangan untuk menikah dengan orang yang tidak percaya. Namun, perlu dicatat bahwa konteks langsungnya adalah tentang persekutuan gereja dengan dunia, bukan spesifik pada pernikahan. Dalam terang 1 Korintus 7, Paulus lebih memberikan panduan pragmatis untuk situasi yang sudah ada, menunjukkan bahwa kesetiaan dan kesediaan untuk hidup berpadanan adalah faktor penting.
Menjalani hubungan cinta dengan seseorang dari agama yang berbeda menghadirkan tantangan unik. Alkitab mendorong umatnya untuk menjadi terang dan garam di dunia, yang berarti berinteraksi dan membawa pengaruh positif. Namun, juga ada kebutuhan untuk menjaga kesetiaan pada iman pribadi dan prinsip-prinsip yang diyakini.
Kunci utama dalam hubungan apa pun, terlebih yang beda agama, adalah komunikasi yang terbuka dan kejujuran. Pasangan perlu mendiskusikan keyakinan masing-masing, nilai-nilai yang dipegang, serta bagaimana mereka akan menghadapi perbedaan dalam hal ibadah, pengasuhan anak, dan perayaan hari raya keagamaan. Kemampuan untuk berkompromi tanpa mengorbankan prinsip dasar iman masing-masing sangat krusial.
Alkitab menekankan pentingnya pertumbuhan rohani. Dalam hubungan beda agama, kedua belah pihak perlu memastikan bahwa perjalanan iman masing-masing tetap dihargai dan didukung. Pertanyaan-pertanyaan seperti: "Bagaimana kita akan mendidik anak-anak kita?", "Bagaimana kita akan beribadah dan merayakan hari-hari besar keagamaan?", dan "Bagaimana kita akan saling mendukung dalam iman masing-masing?" harus dijawab dengan bijak.
Bagi orang yang beriman Kristen, kesetiaan pada Kristus adalah inti. Alkitab memang memelihara keluarga yang sudah terbentuk meskipun ada perbedaan keyakinan, namun ada tanggung jawab untuk tidak tersesat dari kebenaran. Hubungan haruslah menjadi sarana untuk saling menguatkan dalam kebaikan dan ketaatan kepada Tuhan, bukan menjadi sumber keraguan atau penyimpangan dari ajaran iman.
Alkitab memberikan pandangan yang bernuansa mengenai cinta beda agama. Meskipun tidak secara eksplisit melarangnya dalam segala bentuk, kitab suci ini mendorong pentingnya kesetiaan, komunikasi, dan menjaga kemurnian iman. Nasihat Paulus dalam 1 Korintus 7 memberikan landasan bagi pasangan beda agama untuk tetap bersama jika ada niat baik dan kesepakatan. Namun, prinsip-prinsip seperti yang tertulis dalam 2 Korintus 6:14 dan peringatan di Perjanjian Lama mengingatkan akan pentingnya kesamaan dalam hal-hal fundamental terkait iman kepada Tuhan. Pada akhirnya, setiap pasangan perlu berdoa memohon hikmat dan bimbingan Tuhan dalam menavigasi kompleksitas hubungan mereka, serta berkomitmen untuk saling menghormati, mengasihi, dan mendukung pertumbuhan iman masing-masing.