Kisah Kancil dan Buaya adalah salah satu cerita rakyat Indonesia yang paling populer, terutama dikenal sebagai dongeng pengantar tidur atau bahan ajar moral bagi anak-anak. Cerita ini menonjolkan kecerdasan, kelicikan, dan kemampuan Kancil dalam memecahkan masalah yang tampaknya mustahil hanya dengan mengandalkan akalnya. Inti dari cerita ini terletak pada alur logis yang dibangun Kancil untuk mengakali sekelompok buaya yang lapar.
Alur cerita biasanya dimulai ketika Kancil, yang terkenal cerdik namun bertubuh kecil, merasa sangat lapar. Ia tiba di tepi sungai yang arusnya cukup deras. Di seberang sungai, Kancil melihat padang rumput yang subur dan pepohonan buah yang lebatāsebuah surga bagi perutnya yang keroncongan. Namun, masalah utamanya adalah bagaimana cara menyeberangi sungai yang dihuni oleh banyak buaya ganas.
Kancil tahu bahwa jika ia berenang, ia pasti akan menjadi santapan empuk para buaya. Dalam keadaan terdesak, Kancil tidak panik. Justru di sinilah kecerdasannya mulai bekerja. Ia membutuhkan sebuah strategi yang mampu menipu insting predator buaya tersebut.
Kancil kemudian memanggil Raja Buaya. Ia berteriak dengan suara lantang seolah-olah sedang berbicara dengan pesan penting yang ditujukan kepada para penghuni sungai. Dengan nada meyakinkan, Kancil menyampaikan bahwa ia telah mendapat perintah dari Raja Hutan (atau kadang disebut dari Raja yang lebih tinggi) untuk membagikan daging dalam jumlah banyak kepada semua buaya yang ada di sungai tersebut.
Tentu saja, para buaya yang didominasi oleh keserakahan dan rasa lapar langsung tertarik. Kancil menjelaskan bahwa untuk membagi daging secara adil, mereka semua harus berbaris rapi dari satu sisi sungai ke sisi lainnya, membentuk jembatan hidup. Syaratnya, semua buaya harus diam dan tidak memangsa Kancil selama proses penghitungan.
Raja Buaya, yang sangat ingin mendapatkan jatah daging, menyanggupi permintaan Kancil. Ia kemudian memerintahkan seluruh anak buahnya untuk segera melaksanakan rencana tersebut. Satu per satu, puluhan buaya membentuk barisan rapat, moncong mereka saling berdekatan, menciptakan jalur darurat yang membentang melintasi permukaan air.
Saat barisan buaya telah sempurna, Kancil dengan langkah ringan dan penuh percaya diri mulai melompat dari punggung satu buaya ke buaya lainnya. Ia terus menghitung dengan keras, "Satu... dua... tiga... sepuluh... dua puluh..." Proses ini membutuhkan fokus total dari Kancil agar tidak salah langkah, sekaligus menguji kesabaran para buaya yang menahan diri untuk tidak menerkam.
Ketika Kancil berhasil mencapai daratan seberang dengan selamat, ia segera berlari menjauh. Begitu kakinya menyentuh tanah yang kering, Kancil tertawa terbahak-bahak sambil berteriak kepada gerombolan buaya yang kebingungan.
Kancil menjelaskan bahwa tidak ada daging yang dibagikan, dan bahwa janji itu hanyalah tipu muslihat untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Para buaya, yang menyadari bahwa mereka telah diperdaya oleh seekor hewan yang jauh lebih kecil, merasa sangat marah dan malu. Meskipun menggeram dan mengancam, mereka tidak bisa mengejar Kancil yang sudah jauh berlari ke dalam hutan.
Alur cerita ini ditutup dengan Kancil yang berhasil menikmati padang rumput dan buah-buahan di seberang sungai, sambil merenungkan keberhasilannya dalam menggunakan kecerdasan di atas kekuatan fisik. Pesan moralnya jelas: akal yang tajam seringkali lebih berguna daripada kekuatan brutal.
Kisah Kancil dan Buaya mengajarkan bahwa dalam menghadapi kesulitan besar, kepanikan hanya akan memperburuk keadaan. Kancil menunjukkan pentingnya berpikir logis, merencanakan strategi dengan matang, dan menggunakan kata-kata sebagai senjata paling ampuh. Ia berhasil mengubah musuh yang paling berbahaya (para buaya) menjadi alat bantu (jembatan) untuk mencapai tujuannya. Ini adalah pelajaran klasik tentang bagaimana kecerdikan selalu dapat mengalahkan kebodohan yang didasari oleh keserakahan.