Si Kancil, dalam khazanah cerita rakyat Nusantara, adalah tokoh protagonis yang selalu berhasil lolos dari jerat bahaya berkat kecerdikan dan akal bulusnya. Karakteristik utamanya bukanlah kekuatan fisik—ia memang bertubuh kecil—melainkan kecepatan berpikirnya yang luar biasa. Kisah-kisahnya sering kali berlatar di hutan belantara, tempat ia berinteraksi dengan binatang-binatang besar dan buas yang sering kali menjadi korban tipu muslihatnya.
Alur cerita Si Kancil umumnya dimulai dengan pengenalan lingkungan dan karakter utama. Si Kancil digambarkan sebagai makhluk yang cerdas, namun terkadang nakal. Konflik utama dalam hampir setiap dongengnya muncul ketika ia berhadapan dengan ancaman yang jauh lebih besar secara fisik, seperti harimau yang lapar, buaya yang haus darah, atau gajah yang sombong. Tanpa kecerdasan, mustahil bagi Si Kancil untuk bertahan hidup dalam hierarki hutan yang kejam.
Inti dari setiap cerita Kancil adalah momen puncak ketika ia harus menjalankan tipu dayanya. Strategi Kancil hampir selalu melibatkan manipulasi psikologis atau memanfaatkan keserakahan, kebodohan, atau kesombongan lawannya. Misalnya, dalam kisah terkenal tentang menyeberangi sungai, Kancil akan meyakinkan buaya bahwa ada pesta besar di seberang dan ia perlu menghitung jumlah buaya untuk membagi makanan secara adil. Ia meminta para buaya berbaris membentuk jembatan. Saat Kancil telah berada di seberang, ia akan tertawa dan meninggalkan para buaya yang kebingungan karena sadar telah dipermainkan.
Kecerdasan ini tidak selalu bersifat jahat; seringkali, ia digunakan sebagai alat pertahanan diri. Ketika berhadapan dengan pemburu atau raja hutan yang kejam, Si Kancil menggunakan imajinasi liar untuk menciptakan narasi palsu yang membuat para predator membuang waktu mereka untuk mengejar halusinasi, sementara ia sendiri bergerak aman menuju tempat perlindungan.
Setelah berhasil melewati bahaya, cerita diakhiri dengan Si Kancil yang kembali ke habitatnya dengan selamat. Resolusi ini selalu menunjukkan kemenangan akal atas kekuatan kasar. Pesan moral yang terkandung dalam alur cerita Si Kancil sangat beragam, namun yang paling dominan adalah pentingnya kecerdasan praktis dan kemampuan berpikir kritis. Cerita ini mengajarkan bahwa ukuran fisik bukanlah penentu utama keberhasilan atau kegagalan hidup.
Selain itu, cerita Kancil juga berfungsi sebagai kritik sosial halus. Si Kancil yang licik seringkali menjadi cerminan bagi orang-orang yang pandai memutarbalikkan kata untuk kepentingan pribadi, namun dalam konteks dongeng, tindakannya seringkali dibenarkan karena ditujukan kepada pihak yang jauh lebih kuat dan sewenang-wenang. Ini memberikan rasa kepuasan bagi pembaca yang mungkin merasa tertindas.
Daya tarik abadi dari alur cerita Si Kancil terletak pada strukturnya yang mudah diikuti namun selalu menawarkan kejutan baru dalam detail tipu muslihatnya. Pola dasarnya meliputi: 1) Ancaman muncul; 2) Si Kancil terpojok; 3) Kancil berpikir cepat dan menciptakan skema; 4) Pelaksanaan skema yang jenius; 5) Keberhasilan dan pelarian. Meskipun polanya repetitif, variasi dalam skenario dan lawan bicara membuat setiap dongeng terasa segar. Si Kancil mengajarkan bahwa dalam menghadapi kesulitan, senjata terbaik yang dimiliki manusia—atau hewan kecil—adalah otaknya.