Film "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck," yang diadaptasi dari novel legendaris karya Hamka, bukan sekadar kisah cinta tragis antara Zainuddin dan Hayati. Di balik kemegahan visual dan konflik sosial yang disajikan, tersimpan serangkaian amanat moral dan sosial yang sangat relevan bahkan hingga saat ini. Memahami pesan-pesan ini adalah kunci untuk mengapresiasi kedalaman karya tersebut.
Ilustrasi: Simbolisasi gelombang dan patah hati.
Amanat paling kentara dalam cerita ini adalah penolakan tegas terhadap sistem kasta dan diskriminasi berdasarkan latar belakang sosial. Zainuddin, seorang terpelajar namun keturunan yang dianggap "rendah" oleh keluarga terpandang di Minangkabau, dihantam oleh prasangka murni berbasis silsilah. Keluarga Hayati, yang dipengaruhi oleh adat dan status sosial yang kaku, memandang rendah Zainuddin. Amanatnya jelas: penilaian terhadap seseorang tidak boleh didasarkan pada garis keturunan atau kekayaan, melainkan pada karakter, kecerdasan, dan moralitas. Cinta sejati harus melampaui sekat-sekat kasta yang diciptakan manusia.
Perjalanan cinta Zainuddin dan Hayati mengajarkan tentang arti kesetiaan yang diuji oleh badai kehidupan. Ketika Hayati terpaksa menikahi Aziz karena tekanan keluarga dan keadaan, ia tetap menyimpan cinta dan penghormatan mendalam bagi Zainuddin. Ketulusan Zainuddin, yang terus berjuang dan berkorban tanpa pamrih, menjadi kontras tajam dengan kepuasan materi yang dikejar oleh Aziz. Film ini menekankan bahwa kekayaan materi dan status tidak dapat menggantikan kejujuran emosional dan kesetiaan nurani.
Berbeda dengan Hayati yang terkurung dalam tradisi, Zainuddin meraih kesuksesan melalui pendidikan tinggi di negeri Belanda. Ia membuktikan bahwa dengan ilmu pengetahuan, seseorang dapat mengangkat derajat dirinya terlepas dari stigma awal. Amanat ini menyoroti pentingnya pendidikan sebagai kunci kemandirian dan pembebasan dari belenggu adat yang membatasi potensi individu. Zainuddin sukses bukan karena warisan, melainkan karena usaha kerasnya sendiri.
Karakter Aziz berfungsi sebagai representasi dari bahaya kesombongan dan narsisme yang didukung oleh kekayaan. Aziz menggunakan status sosial dan uangnya untuk memaksakan kehendak, termasuk mengambil Hayati dari Zainuddin. Namun, pada akhirnya, nasib kapal yang ditumpanginya menjadi metafora atas kehancuran yang disebabkan oleh keserakahan dan keangkuhan. Kapal Van Der Wijck tenggelam bukan hanya karena badai fisik, tetapi juga karena keangkuhan manusia di dalamnya yang gagal menghargai nilai kehidupan dan moralitas.
Meskipun keduanya menghadapi tragedi berulang kali, baik Zainuddin maupun Hayati memilih untuk menghadapi akhir mereka dengan martabat. Zainuddin tidak tenggelam dalam kepahitan permanen; ia memilih pengorbanan diri saat kapal itu mulai tenggelam, memastikan Hayati selamatāsebuah tindakan cinta terakhir yang tanpa pamrih. Ini mengajarkan bahwa meskipun kita tidak bisa mengontrol nasib atau keputusan orang lain, kita selalu bisa mengontrol bagaimana kita merespons cobaan tersebut, yaitu dengan menjaga kehormatan dan kebaikan hati hingga akhir.
Secara keseluruhan, amanat film "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" jauh melampaui melodrama romantis. Ia adalah sebuah kritik sosial yang tajam terhadap feodalisme dan prasangka, sekaligus ode untuk kekuatan karakter, pendidikan, dan cinta sejati yang mampu bertahan melewati badai sosial terkeras sekalipun.