Memahami Pesan Ilahi: An Nahl 43 dan 44

Pentingnya Bertanya kepada Ahli Ilmu

Al-Qur'an adalah petunjuk hidup bagi umat manusia. Di dalamnya terkandung hikmah, hukum, dan kisah-kisah yang mengandung pelajaran berharga. Salah satu prinsip fundamental yang ditekankan Allah SWT adalah pentingnya mencari ilmu dan bertanya kepada orang yang mengetahuinya ketika kita mengalami kebuntuan atau ketidaktahuan. Hal ini secara eksplisit diungkapkan dalam firman-Nya pada Surah An Nahl ayat 43 dan 44.

QS. An Nahl (16): 43

"Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui."

Ayat ini merupakan perintah langsung dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, dan secara universal berlaku bagi seluruh umat Islam. Ketika dihadapkan pada suatu permasalahan, wahyu, atau hal-hal yang belum dipahami secara mendalam, jalan keluarnya adalah merujuk kepada mereka yang dianugerahi ilmu pengetahuan yang sahih. Dalam konteks pewahyuan, 'orang-orang yang mempunyai pengetahuan' merujuk kepada para Nabi terdahulu atau ulama yang memahami syariat dengan benar.

Prinsip ini menyoroti bahwa Islam menghargai proses belajar dan otoritas keilmuan. Ini bukan berarti kita harus selalu bertanya kepada orang awam, melainkan kepada mereka yang memiliki otoritas keilmuan yang teruji (ahlul zikir atau ulama). Sikap merendah dan mengakui ketidaktahuan adalah langkah pertama menuju pencerahan sejati. Tanpa kerendahan hati untuk bertanya, seseorang akan terperosok dalam kesesatan karena mengandalkan asumsi pribadi.

Tujuan Penurunan Al-Qur'an: Penjelasan yang Jelas

Ayat berikutnya, An Nahl ayat 44, memberikan alasan mendasar mengapa perintah bertanya itu penting, sekaligus menegaskan peran kenabian dan fungsi Al-Qur'an itu sendiri:

QS. An Nahl (16): 44

"dan Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad) Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka, dan agar mereka memikirkan."

Ayat ini menggarisbawahi dua fungsi utama pewahyuan Al-Qur'an. Pertama, sebagai alat untuk menjelaskan (bayan) kepada umat manusia. Nabi Muhammad SAW, sebagai pembawa risalah, bertugas menjadi juru bicara dan penjelas atas ayat-ayat yang diterima dari Allah. Penjelasan ini mencakup makna literal, konteks pewahyuan (asbabun nuzul), hingga implementasi praktis dalam kehidupan sehari-hari.

Kedua, Al-Qur'an diturunkan agar manusia mau berfikir (yatafakkarun). Ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mendorong penggunaan akal sehat dan penalaran. Ayat-ayat tidak sekadar untuk dihafal, tetapi untuk direnungkan, dianalisis, dan ditarik pelajaran darinya. Pemikiran yang mendalam inilah yang akan membawa seseorang menuju keimanan yang kokoh dan keyakinan yang tidak mudah tergoyahkan oleh keraguan.

Kombinasi antara An Nahl 43 dan 44 menciptakan siklus keilmuan yang sempurna: ketika wahyu datang (ayat 44), diperlukan penjelasan dari Rasul atau ahlinya (ayat 43). Jika seorang Muslim tidak mendapatkan penjelasan langsung dari Rasul, ia harus merujuk kepada para pewaris ilmu tersebut. Ini adalah jaminan bahwa kebenaran wahyu akan tetap tersampaikan secara otentik dari generasi ke generasi.

Bertanya (Ilmu) Memikirkan (Hikmah)

Ilustrasi Konsep Bertanya dan Berpikir

Implikasi Praktis dalam Kehidupan Modern

Pesan dari An Nahl 43 dan 44 sangat relevan di era informasi saat ini. Ketika informasi membanjiri kita dari berbagai arah, kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang palsu menjadi krusial. Internet menyediakan akses tak terbatas, namun tanpa bimbingan keilmuan yang mapan, hal itu bisa menyesatkan.

Oleh karena itu, seorang Muslim didorong untuk selalu bersikap kritis dan bertanggung jawab dalam menerima informasi. Ketika menghadapi isu-isu agama yang kompleks—seperti hukum fikih kontemporer, permasalahan akidah, atau tafsir ayat-ayat mutasyabihat—langkah terbaik adalah merujuk kepada ulama yang kredibel dan memiliki sanad keilmuan yang jelas. Mereka adalah perwujudan dari "orang-orang yang mempunyai pengetahuan" yang dimaksud dalam ayat tersebut.

Selain itu, perintah untuk "memikirkan" (ayat 44) mengingatkan kita bahwa iman yang sejati bukanlah iman buta. Iman harus didasari oleh pemahaman mendalam (tafakur) terhadap ayat-ayat Allah, baik yang tersurat dalam Al-Qur'an maupun yang terhampar di alam semesta (ayat-ayat kauniyah). Pemikiran ini harus diarahkan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan meningkatkan kualitas ibadah.

Kesimpulan

Ayat 43 dan 44 Surah An Nahl adalah fondasi etika keilmuan dalam Islam. Keduanya mengajarkan bahwa pemahaman agama dan kehidupan harus dicapai melalui dua jalan utama: bertanya kepada ahli yang berilmu (taqlid yang terarah) dan menggunakan akal untuk merenungkan kebenaran yang telah dijelaskan (tafakur). Dengan meneladani prinsip ini, umat Islam dapat menjaga kemurnian ajarannya sambil tetap relevan dan mampu memberikan kontribusi positif bagi peradaban.

🏠 Homepage