Strategi Optimal Antibiotik Setelah Operasi: Panduan Mendalam Pencegahan Infeksi Situs Bedah

Perlindungan Antibiotik

Pencegahan adalah kunci dalam pemulihan pasca bedah.

Intervensi bedah, meskipun bertujuan untuk perbaikan kesehatan, selalu membawa risiko inheren terhadap infeksi. Infeksi Situs Bedah (SSI - Surgical Site Infection) adalah salah satu komplikasi nosokomial paling umum dan dapat memperpanjang masa rawat inap, meningkatkan biaya perawatan, bahkan mengancam jiwa pasien. Penggunaan antibiotik, baik sebagai profilaksis sebelum insisi maupun sebagai terapi setelah prosedur selesai, merupakan pilar utama dalam mitigasi risiko ini.

Namun, keputusan kapan dan seberapa lama antibiotik harus dilanjutkan setelah operasi adalah topik yang memerlukan pertimbangan klinis mendalam. Protokol modern semakin menekankan pentingnya durasi yang singkat dan terfokus untuk menghindari resistensi antimikroba dan komplikasi lainnya. Artikel komprehensif ini akan mengupas tuntas semua aspek terkait penggunaan antibiotik setelah prosedur pembedahan, mulai dari dasar-dasar profilaksis hingga manajemen regimen spesifik dan tantangan resistensi.

Fokus Utama: Dalam konteks modern, profilaksis antibiotik perioperatif (diberikan sebelum dan saat operasi) biasanya sudah memadai. Keputusan untuk melanjutkan antibiotik *setelah* operasi hanya diambil pada kondisi tertentu, seperti kontaminasi berat, operasi yang melibatkan pemasangan implan asing, atau pasien dengan risiko imunokompromais tinggi. Pemahaman perbedaan antara profilaksis (pencegahan) dan terapi (pengobatan) sangat krusial.

1. Memahami Profilaksis vs. Terapi Pasca Operasi

Untuk memahami peran antibiotik setelah operasi, kita harus terlebih dahulu membedakan dua skenario utama penggunaannya dalam bedah: profilaksis (pencegahan) dan terapi (pengobatan). Kesalahan dalam membedakan kedua konsep ini adalah penyebab utama penggunaan antibiotik yang tidak perlu dan berlebihan di lingkungan rumah sakit.

1.1. Profilaksis Antibiotik Perioperatif (Pencegahan)

Profilaksis bertujuan untuk memastikan konsentrasi antibiotik yang memadai di jaringan luka pada saat terjadi kontaminasi bakteri, yaitu saat insisi dibuat hingga penutupan. Kontaminasi bakteri adalah hal yang tak terhindarkan dalam setiap operasi, tetapi SSI hanya terjadi jika inokulum bakteri melebihi ambang batas yang dapat diatasi oleh sistem imun pasien. Idealnya, antibiotik profilaksis diberikan dalam waktu 60 menit sebelum sayatan bedah.

1.1.1. Durasi Kritis Profilaksis

Konsensus global, didukung oleh pedoman seperti WHO dan CDC, menyatakan bahwa untuk sebagian besar prosedur bedah bersih atau bersih-terkontaminasi, antibiotik profilaksis tidak perlu dilanjutkan lebih dari 24 jam setelah operasi, dan seringkali hanya satu dosis sudah cukup. Tujuan utama profilaksis selesai saat penutupan luka. Melanjutkan dosis setelah 24 jam tidak memberikan manfaat pencegahan SSI tambahan, tetapi secara signifikan meningkatkan risiko efek samping dan resistensi.

Pengecualian utama di mana dosis kedua mungkin diberikan di ruang operasi adalah jika prosedur berlangsung sangat lama (biasanya melebihi dua kali waktu paruh antibiotik yang digunakan, misalnya, Cefazolin yang membutuhkan dosis ulang setelah 3-4 jam) atau terjadi kehilangan darah yang signifikan.

1.2. Peran Antibiotik Sebagai Terapi Setelah Operasi

Antibiotik harus dilanjutkan sebagai 'terapi' setelah operasi hanya jika ada indikasi yang jelas bahwa infeksi telah terjadi, atau terdapat risiko kontaminasi yang sangat tinggi dan tidak dapat diatasi hanya dengan profilaksis satu dosis. Indikasi ini diklasifikasikan berdasarkan tingkat kontaminasi luka yang ditemukan selama operasi.

1.2.1. Klasifikasi Luka Bedah dan Dampaknya pada Regimen Pasca-Op

Pentingnya Waktu

Waktu administrasi yang tepat adalah kunci efektivitas.

2. Indikasi Klinis untuk Perpanjangan Antibiotik Pasca Operasi

Setelah prosedur bedah selesai, ahli bedah dan tim infeksi harus mengevaluasi apakah pasien jatuh dalam kategori yang memerlukan kelanjutan antibiotik. Keputusan ini harus didasarkan pada bukti, bukan kebiasaan atau kekhawatiran yang tidak berdasar. Perpanjangan yang tidak perlu meningkatkan tekanan seleksi terhadap bakteri, memicu resistensi, dan membahayakan mikrobioma normal pasien.

2.1. Adanya Bukti Kontaminasi Intraoperatif Berat

Jika kontaminasi yang terjadi saat operasi dinilai sangat tinggi (misalnya, tumpahan feses yang meluas dalam bedah kolorektal darurat), dokter sering kali beralih dari profilaksis singkat ke regimen terapi pendek. Durasi standar dalam skenario ini seringkali berkisar antara 24 hingga 72 jam.

2.2. Operasi dengan Pemasangan Material Asing (Implan)

Pemasangan benda asing, seperti prostesis sendi (hip/knee replacement), perangkat jantung (pacemaker), atau mesh hernia, menciptakan permukaan di mana bakteri dapat bersembunyi dan membentuk biofilm. Infeksi implan sangat sulit diberantas tanpa pengangkatan perangkat. Oleh karena itu, protokol untuk implan sering kali sedikit lebih konservatif, meskipun pedoman modern tetap berusaha membatasi durasi.

2.3. Status Imun Pasien yang Terkompromi

Pasien yang tidak memiliki kemampuan imun yang memadai untuk melawan inokulum bakteri kecil sekalipun mungkin memerlukan dukungan antibiotik pasca-operasi yang lebih lama. Kelompok ini meliputi:

Pada kasus ini, durasi profilaksis pasca-op dapat diperpanjang hingga 48 jam, tetapi perpanjangan di luar batas ini harus dipertimbangkan sebagai terapi empiris dan dievaluasi setiap hari.

2.4. Bukti Klinis Infeksi yang Sudah Muncul

Jika, dalam 24-48 jam pertama pasca-operasi, pasien menunjukkan tanda-tanda infeksi sistemik atau lokal (demam persisten, takikardia, hipotensi, peningkatan tajam leukosit, atau bukti radiologis akumulasi cairan/abses), maka antibiotik beralih sepenuhnya dari profilaksis menjadi terapi. Dalam skenario ini, durasinya ditentukan oleh respon klinis, biasanya 7 hingga 14 hari, dan idealnya setelah kultur darah atau cairan luka diperoleh untuk panduan definitif.

3. Pemilihan dan Protokol Dosis untuk Berbagai Tipe Bedah

Pemilihan agen antibiotik pasca-operasi harus mencerminkan profil patogen yang paling mungkin menyebabkan infeksi pada situs bedah tersebut. Ini adalah prinsip 'profilaksis yang ditargetkan'. Jika perpanjangan menjadi terapi diperlukan, regimen harus mencakup spektrum yang luas dan kemudian dipersempit (de-eskalasi) segera setelah hasil kultur tersedia.

3.1. Bedah Gastrointestinal (Kolon dan Rektum)

Operasi kolorektal melibatkan kontaminasi dari flora bakteri yang sangat padat (Gram-negatif seperti E. coli dan anaerob seperti Bacteroides fragilis). Manajemen antibiotik di sini adalah salah satu yang paling kompleks, melibatkan persiapan usus dan antibiotik perioperatif.

3.1.1. Peran Metronidazole dalam Bedah GI

Metronidazole sangat penting karena efektivitasnya melawan bakteri anaerob. Jika terjadi perpanjangan terapi pasca-op, Metronidazole harus dipertahankan. Dosis yang tepat dan interval harus dipastikan, terutama pada pasien dengan fungsi ginjal atau hati yang berubah. Kegagalan mencapai konsentrasi Metronidazole yang adekuat adalah penyebab umum SSI dalam bedah GI yang terkontaminasi.

3.2. Bedah Ortopedi dan Trauma

Infeksi pada operasi ortopedi, terutama pada pemasangan implan (seperti sendi buatan), hampir selalu disebabkan oleh bakteri Gram-positif dari kulit, terutama Staphylococcus aureus (termasuk MRSA).

3.2.1. Manajemen Trauma Terbuka Berat

Luka trauma terbuka yang terkontaminasi tanah atau air membutuhkan spektrum antibiotik yang lebih luas, seringkali kombinasi untuk menargetkan Gram-negatif lingkungan dan anaerob, dilanjutkan sebagai terapi hingga debridemen definitif selesai dan luka dianggap bersih, biasanya 48-72 jam pasca trauma awal.

3.3. Bedah Jantung dan Bedah Saraf

Infeksi pada situs-situs ini memiliki morbiditas yang sangat tinggi.

4. Penyesuaian Dosis dan Pertimbangan Farmakokinetik Pasca Operasi

Bahkan ketika antibiotik harus dilanjutkan sebagai terapi, dosisnya harus dioptimalkan. Farmakokinetik (bagaimana tubuh memproses obat) dan farmakodinamik (bagaimana obat memengaruhi bakteri) dapat sangat dipengaruhi oleh perubahan fisiologis pasca-operasi.

4.1. Penyesuaian Dosis untuk Obesitas

Pasien obesitas (BMI > 30 kg/m²) memiliki volume distribusi yang lebih besar. Banyak antibiotik, terutama Beta-Laktam, bersifat hidrofilik dan mungkin memerlukan dosis awal (dosis muatan) yang lebih tinggi dan dosis pemeliharaan yang disesuaikan untuk memastikan konsentrasi jaringan yang memadai.

4.2. Perubahan Fungsi Ginjal dan Hati Pasca Operasi

Operasi besar dapat menyebabkan perubahan sementara pada fungsi ginjal (AKI - Acute Kidney Injury) karena hipotensi intraoperatif atau penggunaan obat nefrotoksik. Karena sebagian besar antibiotik diekskresikan melalui ginjal (seperti Aminoglikosida, Beta-Laktam, Vancomycin), penurunan fungsi ginjal memerlukan penyesuaian interval dosis (misalnya, pemberian setiap 12-24 jam daripada 8 jam) untuk menghindari akumulasi toksik.

Demikian pula, jika pasien menderita penyakit hati kronis, obat yang dimetabolisme di hati (misalnya, Metronidazole) mungkin memerlukan pengurangan dosis.

Pentingnya Monitoring TDM: Therapeutic Drug Monitoring (TDM) sangat penting untuk obat-obatan dengan indeks terapeutik sempit seperti Vancomycin dan Aminoglikosida. TDM membantu memastikan dosis tetap efektif namun tidak menyebabkan toksisitas, terutama pada pasien kritis di ICU pasca-operasi.

5. Risiko Utama Penggunaan Antibiotik Jangka Panjang Pasca Operasi

Godaan untuk melanjutkan antibiotik "hanya untuk berjaga-jaga" harus dilawan dengan kesadaran akan risiko nyata yang ditimbulkan oleh praktik ini. Dampak negatif dari penggunaan antibiotik yang tidak perlu dapat jauh melebihi manfaat pencegahan yang minimal setelah 24 jam pertama.

5.1. Peningkatan Risiko Resistensi Antimikroba (AMR)

Setiap dosis antibiotik yang diberikan menciptakan tekanan seleksi. Bakteri yang sensitif mati, meninggalkan bakteri yang lebih kuat dan resisten untuk berkembang biak. Penggunaan antibiotik spektrum luas dalam durasi lama pasca-operasi adalah pendorong utama munculnya patogen multidrug-resistant (MDR) seperti MRSA, VRE (Vancomycin-Resistant Enterococci), dan CPE (Carbapenemase-Producing Enterobacteriaceae).

5.1.1. Stewardship Antibiotik

Program pengelolaan antibiotik (Antimicrobial Stewardship) sangat penting di rumah sakit. Salah satu pilar utama program ini adalah audit rutin penggunaan antibiotik pasca-operasi dan intervensi untuk menghentikan regimen yang tidak berdasar secara klinis dalam 24-48 jam. Ini adalah upaya kolektif untuk melindungi efektivitas obat-obatan vital di masa depan.

5.2. Infeksi Clostridioides difficile (CDI)

Antibiotik spektrum luas menghancurkan flora usus normal (mikrobioma) yang secara alami menekan pertumbuhan C. difficile. Ketika keseimbangan ini terganggu, C. difficile dapat berkembang biak dan melepaskan toksin, menyebabkan kolitis terkait antibiotik, yang dapat berkisar dari diare ringan hingga megakolon toksik yang mengancam jiwa.

5.3. Efek Samping Spesifik Obat dan Toksisitas

Antibiotik tertentu, ketika digunakan untuk durasi yang tidak perlu, membawa risiko toksisitas organ:

6. Kriteria Penghentian dan De-eskalasi

Setelah antibiotik pasca-operasi dimulai sebagai terapi (untuk luka Kelas III atau IV), tim medis harus memiliki kriteria yang jelas untuk menghentikan atau mempersempit spektrumnya (de-eskalasi). Pengobatan tidak boleh dilanjutkan hingga tanggal yang ditetapkan tanpa evaluasi harian.

6.1. De-eskalasi Berdasarkan Kultur

Prinsip de-eskalasi adalah beralih dari regimen spektrum luas (empiris) ke regimen spektrum sempit (definitif) segera setelah identifikasi patogen dan sensitivitasnya tersedia (biasanya dalam 48-72 jam). Misalnya, jika pasien menerima Meropenem dan Vancomycin karena sepsis pasca-operasi, dan kultur menunjukkan hanya ada E. coli yang sensitif terhadap Ciprofloxacin, regimen harus diubah menjadi Ciprofloxacin saja.

6.2. Kriteria Klinis untuk Menghentikan Terapi

Kriteria utama untuk menghentikan terapi antibiotik yang telah diperpanjang adalah resolusi infeksi. Ini biasanya mencakup:

Secara umum, terapi yang diperpanjang (di luar 24 jam) harus memiliki durasi spesifik: 5–7 hari untuk sebagian besar infeksi intra-abdomen yang dikontrol dengan baik, dan mungkin lebih lama (10–14 hari) untuk infeksi yang lebih kompleks atau endokarditis.

Infeksi Terkendali

Tujuan adalah eliminasi infeksi dengan durasi terapi terpendek.

7. Kasus Kompleks dan Manajemen Infeksi Sekunder

Penggunaan antibiotik pasca-operasi sering kali diperumit oleh kehadiran kondisi komorbid yang mendasarinya dan potensi timbulnya infeksi sekunder yang tidak berhubungan langsung dengan situs bedah.

7.1. Infeksi Saluran Kemih (ISK) Pasca Operasi

Pasien yang menjalani operasi sering memerlukan kateter urin sementara (Foley catheter). Kateter adalah jalur utama infeksi. Jika antibiotik profilaksis sudah diberikan, tetapi pasien demam 48 jam pasca-op dan memiliki gejala ISK, antibiotik yang diberikan untuk pencegahan SSI biasanya tidak memadai untuk ISK. Diagnosis harus dikonfirmasi dengan kultur urin, dan terapi harus dialihkan sesuai sensitivitas yang ditemukan. Pencegahan ISK (pengangkatan kateter secepatnya) jauh lebih efektif daripada terapi antibiotik empiris.

7.2. Pneumonia Nosokomial Pasca Operasi

Operasi, terutama bedah toraks dan abdomen atas, meningkatkan risiko pneumonia (VAP atau HAP). Jika pasien demam dan memiliki infiltrat baru pada rontgen dada, antibiotik yang digunakan untuk pencegahan SSI harus dihentikan, dan terapi spektrum luas yang ditujukan untuk pneumonia nosokomial harus dimulai, menargetkan patogen umum seperti Pseudomonas aeruginosa, S. aureus, dan Enterobacteriaceae.

7.2.1. Membedakan Demam Operasi dari Infeksi

Demam pada 48 jam pertama pasca-operasi seringkali non-infeksius (Atelectasis, reaksi obat, respon inflamasi bedah). Keputusan untuk melanjutkan atau memulai antibiotik terapi HANYA boleh diambil jika demam disertai tanda-tanda sistemik (syok, peningkatan leukosit signifikan) atau bukti infeksi lokal. Pemberian antibiotik untuk demam yang murni disebabkan oleh atelectasis adalah praktik yang buruk dan mendorong resistensi.

7.3. Peran Dosis Berat dan Perawatan ICU

Pasien yang dirawat di ICU pasca-operasi mayor sering mengalami perubahan signifikan dalam fisiologi, termasuk peningkatan klirens ginjal (Augmented Renal Clearance – ARC). ARC dapat menyebabkan antibiotik dosis standar dikeluarkan terlalu cepat dari tubuh, menghasilkan konsentrasi sub-terapeutik. Dalam konteks ICU, antibiotik (terutama Beta-Laktam) mungkin memerlukan dosis yang lebih tinggi atau infus kontinu/diperpanjang untuk memastikan konsentrasi tetap di atas MIC (Minimum Inhibitory Concentration) patogen selama durasi terapi.

8. Mengatasi Kesalahpahaman dan Praktik yang Harus Dihindari

Banyak praktik klinis yang melanggengkan penggunaan antibiotik pasca-operasi yang tidak perlu didasarkan pada mitos atau praktik lama yang belum diperbarui. Mengidentifikasi dan menghilangkan praktik-praktik ini sangat penting untuk keberhasilan stewardship.

8.1. Mitos "Antibiotik untuk Drainase/Kateter"

Beberapa klinisi secara rutin melanjutkan antibiotik selama drainase bedah (misalnya, drainase Jackson-Pratt atau drainase pleural) masih terpasang. Ini adalah praktik yang keliru. Drainase adalah sumber infeksi yang potensial, tetapi antibiotik tidak dapat mensterilkan permukaan drainase. Antibiotik harus dihentikan terlepas dari keberadaan drainase, kecuali ada bukti infeksi aktif yang sedang diobati.

8.2. Menggunakan Antibiotik untuk Profilaksis Sisa Implan

Kesalahpahaman lain adalah bahwa implan (seperti mesh hernia atau prostesis) memerlukan antibiotik pasca-op yang lebih lama. Penelitian tegas menunjukkan bahwa profilaksis 24 jam sudah memberikan perlindungan maksimal. Melanjutkan antibiotik lebih dari itu tidak mencegah biofilm di sekitar implan tetapi meningkatkan risiko infeksi resisten yang jauh lebih sulit diobati jika memang terjadi.

8.3. Praktik "Membawa Pulang" Antibiotik

Kecuali pasien dipulangkan dengan infeksi aktif yang sedang dalam proses pengobatan (misalnya, osteomielitis yang membutuhkan 6 minggu terapi IV atau infeksi kulit yang memerlukan 7 hari terapi oral), pasien bedah elektif yang dipulangkan tidak memerlukan antibiotik resep oral. Pemulangan dengan antibiotik oral yang tidak perlu hanya meningkatkan biaya dan risiko efek samping tanpa manfaat klinis.

8.4. Kegagalan Mempertimbangkan Mikrobioma Pasien

Setiap pasien memiliki profil risiko resistensi unik. Pasien yang baru saja terpapar antibiotik spektrum luas dalam 90 hari terakhir, atau yang memiliki riwayat kolonisasi MDR sebelumnya, harus ditangani dengan hati-hati. Jika mereka memerlukan terapi pasca-operasi, pilihan agen harus dipersempit secepat mungkin, dan durasinya harus sangat ketat.

9. Detail Farmakologi Mendalam untuk Penyesuaian Dosis Kritis

Untuk memastikan efikasi dan keamanan, penyesuaian dosis antibiotik pasca-operasi harus didasarkan pada parameter fisiologis yang akurat, terutama pada pasien dengan komorbiditas yang signifikan.

9.1. Evaluasi Klirens Kreatinin (CrCl)

Klirens Kreatinin (CrCl) adalah estimasi laju filtrasi glomerulus dan merupakan penentu utama dosis untuk antibiotik yang diekskresikan ginjal (seperti Beta-Laktam, Fluoroquinolon, dan Aminoglikosida). Rumus Cockcroft-Gault sering digunakan:

CrCl (mL/min) = [(140 – usia) x berat (kg) / Serum Kreatinin (mg/dL) x 72] x (0.85 jika wanita)

Penyesuaian regimen umum:

9.2. Pertimbangan Khusus untuk Beta-Laktam

Beta-Laktam (seperti Cefazolin, Piperacillin/Tazobactam) menunjukkan killing bakteri yang tergantung pada waktu (Time-Dependent Killing). Artinya, efikasi maksimal dicapai ketika konsentrasi obat dalam serum dipertahankan di atas MIC selama mungkin, bukan dengan mencapai puncak konsentrasi yang sangat tinggi.

Oleh karena itu, pada infeksi pasca-operasi yang serius, penggunaan infus berkelanjutan (Continuous Infusion) atau infus berkepanjangan (Extended Infusion) Piperacillin/Tazobactam dapat direkomendasikan untuk memaksimalkan T>MIC, terutama pada pasien di ICU dengan fungsi ginjal yang meningkat (ARC).

9.3. Pemilihan Rute dan Formulasi

Ketika pasien beralih dari regimen IV di rumah sakit ke terapi oral (jika terapi penuh diperlukan, misalnya, untuk selulitis berat yang diderita pasca-operasi), ketersediaan hayati (bioavailability) agen oral harus dipastikan. Beberapa obat (seperti Fluoroquinolones dan Metronidazole) memiliki bioavailability oral yang sangat baik, memungkinkan perpindahan yang mulus. Obat lain (seperti Vancomycin IV) harus digantikan dengan agen yang berbeda karena absorpsi oral yang buruk, kecuali digunakan untuk CDI.

10. Respons Antibiotik dalam Konteks Sepsis Pasca Operasi

Jika pasien mengalami sepsis (respons disfungsi organ terhadap infeksi) segera setelah operasi, pemberian antibiotik pasca-operasi berubah dari masalah durasi menjadi masalah kecepatan dan kecukupan dosis awal. Sepsis adalah keadaan darurat medis yang memerlukan antibiotik spektrum luas yang adekuat dalam waktu satu jam setelah pengakuan.

10.1. Dosis Muatan (Loading Dose) dalam Syok Septik

Pada syok septik, terjadi perubahan volume distribusi yang masif (seperti edema dan resusitasi cairan agresif). Antibiotik hidrofilik, seperti Beta-Laktam, harus diberikan dalam dosis muatan yang lebih tinggi daripada dosis standar, untuk memastikan konsentrasi cepat mencapai situs infeksi.

10.2. Pengaruh Vasopressor pada Perfusi Jaringan

Pasien syok yang memerlukan Vasopressor (seperti Norepinefrin) sering memiliki perfusi jaringan yang buruk. Hal ini dapat menghambat pengiriman antibiotik ke situs infeksi (misalnya, ke abses intra-abdomen). Tim harus memastikan dosis antibiotik yang adekuat dikombinasikan dengan upaya resusitasi yang optimal untuk mengembalikan perfusi jaringan, memaksimalkan penetrasi obat.

10.3. Penetapan Durasi Tepat untuk Sepsis yang Teratasi

Bahkan dalam kasus sepsis, durasi terapi antibiotik seringkali dapat dibatasi. Studi menunjukkan bahwa 7 hari terapi efektif dan cukup untuk sebagian besar kasus sepsis yang sumbernya telah dikendalikan (misalnya, abses telah didrainase). Perpanjangan di luar 7 hari tidak memberikan manfaat pada pasien yang telah menunjukkan perbaikan klinis dan normalisasi penanda infeksi.

11. Masa Depan dan Alternatif Pencegahan Infeksi

Seiring meningkatnya krisis resistensi antimikroba, fokus beralih dari hanya mengelola antibiotik pasca-operasi menjadi investasi yang lebih besar dalam langkah-langkah pencegahan non-antibiotik.

11.1. Peran Pengawasan Infeksi (Surveillance)

Sistem pengawasan infeksi yang kuat, yang melacak tingkat SSI berdasarkan jenis operasi, memungkinkan rumah sakit untuk mengidentifikasi masalah spesifik (misalnya, peningkatan infeksi S. aureus pasca bedah jantung) dan memfokuskan intervensi, yang seringkali lebih efektif daripada hanya meningkatkan durasi antibiotik.

11.2. De-kolonisasi Pre-operatif

Protokol de-kolonisasi pre-operatif, terutama untuk Staphylococcus aureus (MSSA dan MRSA) di hidung dan kulit menggunakan Mupirocin intranasal dan mandi Chlorhexidine, telah terbukti mengurangi tingkat SSI pada bedah tertentu (ortopedi, jantung) dan mengurangi ketergantungan pada antibiotik pasca-operasi yang panjang.

11.3. Optimasi Oksigenasi dan Suhu

Intervensi non-farmakologis, seperti menjaga normotermia intraoperatif dan pasca-operatif (suhu tubuh normal) serta memastikan oksigenasi jaringan yang adekuat selama dan segera setelah operasi, adalah cara yang sangat efektif untuk meningkatkan respons imun alami pasien terhadap kontaminasi bakteri, mengurangi kebutuhan akan dukungan antibiotik jangka panjang.

Kesimpulan: Durasi Singkat adalah Standar Emas

Penggunaan antibiotik setelah operasi harus dipandang sebagai pengecualian, bukan aturan. Untuk prosedur bedah bersih atau bersih-terkontaminasi yang standar, profilaksis yang dihentikan dalam 24 jam adalah praktik terbaik. Melanjutkan antibiotik lebih dari itu, tanpa bukti klinis infeksi yang jelas atau tingkat kontaminasi intraoperatif yang tinggi (luka Kelas III/IV), hanya akan meningkatkan risiko resistensi, CDI, dan toksisitas obat.

Pengambilan keputusan pasca-operasi harus didasarkan pada klasifikasi luka, status imun pasien, dan bukti objektif yang ketat. Kapan pun terapi diperlukan, tim klinis harus berkomitmen pada de-eskalasi dan penghentian berbasis respons klinis dalam kerangka waktu yang ketat, seringkali tidak lebih dari 5-7 hari, untuk menjaga keseimbangan antara pencegahan infeksi dan pengelolaan resistensi antimikroba global.

🏠 Homepage