Diagram skematis yang menunjukkan bakteri Bordetella pertussis dan mekanisme aksi antibiotik makrolida dalam mengeliminasi patogen.
Batuk rejan, atau pertussis, merupakan infeksi saluran pernapasan yang sangat menular dan disebabkan oleh bakteri gram-negatif Bordetella pertussis. Meskipun tingkat vaksinasi yang tinggi telah mengurangi insidens penyakit ini secara dramatis di banyak negara, pertussis tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius, terutama karena siklus penyakitnya yang panjang dan parah, serta peningkatan kasus pada populasi remaja dan dewasa yang kekebalan tubuhnya telah menurun (waning immunity).
Penyakit ini sangat berbahaya bagi bayi, khususnya yang berusia di bawah enam bulan, di mana infeksi dapat menyebabkan komplikasi berat seperti pneumonia, ensefalopati, kejang, dan bahkan kematian. Dalam konteks penanganan, peran antibiotik bersifat krusial, tetapi perlu dipahami bahwa efektivitasnya sangat bergantung pada waktu pemberian. Antibiotik tidak bertujuan utama untuk meredakan batuk parah yang sudah terjadi (fase paroksismal), melainkan untuk membasmi bakteri dari saluran pernapasan, sehingga menghentikan penularan ke individu lain yang rentan.
Pemberian antibiotik diindikasikan pada dua skenario utama: pengobatan pasien terdiagnosis untuk mengurangi durasi penularan, dan profilaksis pasca-pajanan (PEP) bagi kontak dekat pasien, khususnya mereka yang berisiko tinggi atau bekerja di lingkungan rentan seperti rumah sakit dan pusat perawatan anak. Pemilihan jenis antibiotik, dosis, dan durasi pengobatan harus didasarkan pada pedoman klinis terkini, mempertimbangkan usia pasien, status kehamilan, dan potensi interaksi obat.
Untuk memahami mengapa waktu pemberian antibiotik sangat penting, kita harus meninjau bagaimana B. pertussis bekerja. Bakteri ini menginfeksi dan melekat pada epitel bersilia di saluran pernapasan, menghasilkan serangkaian faktor virulensi, terutama toksin. Toksin pertussis (PT) adalah faktor kunci yang menyebabkan efek sistemik dan lokal yang parah. Toksin ini mengganggu fungsi sel inang, termasuk sel kekebalan, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan lendir, limfositosis, dan peradangan yang tidak terkontrol.
Penyakit ini berkembang melalui tiga fase yang jelas:
Fase awal ini menyerupai flu biasa atau pilek, dengan gejala ringan seperti hidung berair, bersin, demam ringan, dan batuk ringan yang semakin parah. Pada fase ini, bakteri aktif bereplikasi dan virulensi toksinnya mulai meningkat. Inilah periode di mana jumlah bakteri di saluran napas mencapai puncaknya. Karena gejalanya yang tidak spesifik, diagnosis sering terlewatkan. Namun, secara klinis, fase kataral adalah jendela emas untuk pengobatan antibiotik. Jika diberikan pada fase ini, antibiotik dapat secara signifikan mengurangi keparahan dan durasi penyakit, serta menghilangkan bakteri sebelum batuk paroksismal dimulai.
Setelah dua minggu, toksin telah menyebabkan kerusakan yang signifikan pada mukosa pernapasan dan mekanisme pembersihan silia. Fase ini ditandai dengan serangan batuk parah dan cepat (batuk paroksismal) yang sering diakhiri dengan suara "rejan" (whoop) khas saat penderita menarik napas. Muntah dan kelelahan sering menyertai serangan batuk. Pada fase paroksismal, sebagian besar gejala klinis disebabkan oleh kerusakan jaringan dan efek toksin yang telah dilepaskan, bukan lagi oleh replikasi bakteri yang masif. Pemberian antibiotik pada fase ini umumnya tidak akan mengubah perjalanan penyakit atau mengurangi intensitas batuk, tetapi masih dianjurkan selama 21 hari pertama sejak gejala timbul untuk membasmi sisa bakteri dan menghentikan penularan.
Fase pemulihan di mana frekuensi dan intensitas batuk paroksismal berangsur-angsur menurun. Meskipun bakteri biasanya sudah tidak ada lagi, batuk residual yang dipicu oleh iritasi saluran napas dapat berlangsung selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Antibiotik tidak memiliki peran terapeutik pada fase ini kecuali jika terjadi komplikasi sekunder, seperti infeksi bakteri lain.
Tujuan utama terapi antimikroba pada pertussis adalah eliminasi B. pertussis dari nasofaring. Eliminasi ini secara efektif menghentikan pasien menjadi sumber penularan infeksi. Durasi penularan umumnya berlangsung dari awal fase kataral hingga sekitar tiga minggu setelah timbulnya batuk paroksismal, atau hingga lima hari penuh setelah memulai terapi antibiotik yang efektif. Prinsip-prinsip kunci meliputi:
Kelas antibiotik yang direkomendasikan sebagai lini pertama untuk pengobatan dan profilaksis pertussis adalah makrolida. Makrolida bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri melalui ikatan dengan subunit ribosom 50S. Efektivitasnya yang tinggi terhadap B. pertussis, kombinasi dengan profil keamanan yang dapat diterima (terutama pada remaja dan dewasa), menjadikannya pilihan utama.
Azitromisin saat ini merupakan pilihan makrolida yang paling disukai, baik untuk pengobatan maupun profilaksis, terutama karena dua keunggulan farmakokinetik yang signifikan. Pertama, ia memiliki durasi paruh yang sangat panjang, memungkinkan rejimen dosis yang lebih singkat (umumnya 5 hari) dibandingkan makrolida lainnya. Kedua, Azitromisin mencapai konsentrasi jaringan dan intraseluler yang sangat tinggi, yang penting karena B. pertussis dapat bersembunyi di dalam sel epitel.
Pertimbangan khusus terkait Azitromisin meliputi risiko kecil, namun penting, terhadap stenosis pilorus hipertrofi infantil (IHPS) jika diberikan kepada bayi di bawah usia 1 bulan. Meskipun risiko ini ada, manfaat pengobatan pada bayi yang terinfeksi sering kali melebihi risikonya, namun pemantauan ketat diperlukan.
Klaritromisin adalah makrolida alternatif yang sangat efektif terhadap B. pertussis. Rejimen pengobatannya biasanya berlangsung selama 7 hari. Meskipun efektif, Klaritromisin sering dikaitkan dengan efek samping gastrointestinal (GI) yang sedikit lebih sering daripada Azitromisin, seperti diare dan rasa logam di mulut. Namun, Klaritromisin tetap menjadi pilihan yang solid, terutama jika ketersediaan Azitromisin terbatas atau ada preferensi klinis tertentu.
Eritromisin adalah makrolida yang secara historis digunakan sebagai standar emas untuk pengobatan pertussis. Rejimen ini memerlukan durasi yang lebih lama, biasanya 14 hari, dan terkait dengan tingkat efek samping GI yang jauh lebih tinggi (mual, muntah, kram perut) dibandingkan Azitromisin dan Klaritromisin. Tingginya angka intoleransi pasien sering menyebabkan ketidakpatuhan, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kegagalan pengobatan atau penularan yang berkepanjangan. Oleh karena itu, Eritromisin kini umumnya dianggap sebagai pilihan ketiga, hanya digunakan jika makrolida yang lebih baru tidak tersedia atau tidak dapat ditoleransi.
Penggunaan Eritromisin pada bayi kurang dari 1 bulan dikaitkan dengan risiko IHPS yang jauh lebih tinggi daripada Azitromisin, sehingga penggunaannya pada populasi ini harus dihindari sebisa mungkin dan hanya dipertimbangkan dalam situasi di mana tidak ada alternatif lain yang tersedia. Data farmakovigilans telah secara konsisten mendukung rekomendasi ini.
Ilustrasi paru-paru yang menunjukkan peradangan (merah) dan gelombang batuk paroksismal (biru), menekankan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh toksin Pertussis.
Meskipun makrolida adalah standar perawatan, ada situasi di mana penggunaannya mungkin tidak memungkinkan, seperti pada kasus alergi makrolida yang terkonfirmasi atau pada bayi yang sangat muda di mana risiko efek samping GI sangat mengkhawatirkan. Dalam kasus ini, pertimbangan beralih ke agen antimikroba dari kelas yang berbeda menjadi penting.
TMP-SMX (juga dikenal sebagai Kotrimoksazol) adalah antibiotik lini kedua yang efektif, bekerja dengan menghambat jalur sintesis asam folat bakteri. TMP-SMX direkomendasikan untuk individu (termasuk kontak profilaksis) yang alergi terhadap makrolida. Namun, ada pengecualian penting: TMP-SMX umumnya dihindari pada bayi di bawah usia 2 bulan karena potensi risiko terkait bilirubin (kernikterus) dan risiko sindrom Stevens-Johnson (SJS) pada individu tertentu.
Jika seorang bayi < 1 bulan terdiagnosis pertussis dan tidak dapat mentoleransi Azitromisin, atau jika ada kekhawatiran IHPS yang sangat tinggi, risiko penggunaan TMP-SMX harus dipertimbangkan dengan cermat terhadap risiko pertussis yang tidak diobati, yang jauh lebih tinggi. Dalam praktik klinis modern, TMP-SMX adalah opsi cadangan yang efektif untuk pasien berusia di atas 2 bulan dan dewasa dengan kontraindikasi makrolida.
Untungnya, resistensi B. pertussis terhadap makrolida saat ini relatif jarang terjadi secara global. Namun, beberapa laporan, khususnya dari Asia Timur, menunjukkan adanya galur yang resisten terhadap Eritromisin. Jika terjadi kegagalan klinis setelah rejimen makrolida penuh, pengujian kepekaan antibiotik (susceptibility testing) harus dilakukan. Kegagalan pengobatan lebih sering disebabkan oleh pemberian yang terlambat (fase paroksismal) atau ketidakpatuhan pasien, daripada resistensi bakteri.
Populasi tertentu memerlukan penyesuaian dosis atau pemilihan antibiotik yang lebih hati-hati karena risiko komplikasi unik.
Ini adalah populasi dengan risiko terbesar morbiditas dan mortalitas dari pertussis. Pilihan pengobatan harus memprioritaskan keamanan GI sekaligus efikasi maksimal. Azitromisin adalah lini pertama, tetapi harus diberikan dengan pemantauan ketat terhadap gejala IHPS (muntah proyektil, kesulitan makan). Jika Azitromisin dikontraindikasikan, TMP-SMX dapat dipertimbangkan, tetapi hanya setelah berkonsultasi dengan ahli neonatologi atau penyakit infeksi anak, mengingat risiko kernikterus.
Pertussis pada ibu hamil, terutama pada trimester ketiga, meningkatkan risiko penularan ke bayi baru lahir yang rentan. Pengobatan harus segera diberikan. Makrolida adalah pilihan aman. Azitromisin dan Eritromisin umumnya dianggap aman selama kehamilan (kategori B/C, tetapi manfaatnya jauh melebihi risiko). Klaritromisin harus dihindari pada trimester pertama karena data studi hewan menunjukkan potensi risiko teratogenik.
Semua makrolida memiliki potensi untuk memperpanjang interval QT, yang dapat menyebabkan aritmia jantung fatal (Torsades de Pointes). Pasien dengan riwayat sindrom QT panjang, hipokalemia, atau mereka yang mengonsumsi obat lain yang juga memperpanjang interval QT (misalnya, beberapa antiaritmia atau antidepresan tertentu) harus dipantau dengan ketat. Azitromisin, meskipun durasinya singkat, tetap memerlukan pertimbangan risiko ini.
Strategi paling efektif untuk mencegah penyebaran pertussis di komunitas, terutama untuk melindungi bayi yang belum selesai divaksinasi, adalah melalui Profilaksis Pasca-Pajanan (PEP) dengan antibiotik.
Antibiotik profilaksis direkomendasikan untuk kontak dekat, terlepas dari status vaksinasi mereka, jika paparan terjadi dalam 21 hari sejak onset batuk pasien sumber. Definisi "kontak dekat" mencakup:
Pilihan obat untuk PEP sama dengan pengobatan, dengan Azitromisin (rejimen 5 hari) sebagai pilihan utama karena kemudahan kepatuhan. Protokol PEP harus disetujui dan diawasi oleh otoritas kesehatan masyarakat atau dokter untuk memastikan cakupan maksimal dan membatasi penyalahgunaan antibiotik yang tidak perlu.
Penggunaan antibiotik untuk PEP harus dipertimbangkan secara hati-hati dalam skala besar. Pemberian yang berlebihan dapat meningkatkan tekanan seleksi untuk resistensi antibiotik dalam komunitas. Oleh karena itu, pedoman ketat menekankan fokus pada perlindungan kelompok yang paling rentan (bayi dan kontak rumah tangga bayi tersebut).
Memahami bagaimana makrolida berinteraksi di tingkat seluler adalah kunci. Makrolida bukan hanya agen bakteriostatik yang menghambat pertumbuhan; pada konsentrasi tinggi, mereka bisa bersifat bakterisida. Sifat lipofilik Azitromisin memungkinkannya menembus membran sel dan menumpuk di dalam fagosit dan jaringan pernapasan, termasuk paru-paru dan tonsil. Konsentrasi Azitromisin dalam makrofag dapat mencapai lebih dari seratus kali konsentrasi plasma. Fenomena ini menjelaskan mengapa rejimen 5 hari dapat seefektif rejimen Eritromisin 14 hari—obat tersebut terus dilepaskan dari jaringan yang terakumulasi bahkan setelah dosis terakhir diambil, memberikan efek terapeutik yang berkelanjutan.
Dosis pediatrik Azitromisin (10 mg/kg/hari) dirancang untuk mencapai ambang batas penghambatan minimum (MIC) terhadap B. pertussis di situs infeksi. Kehati-hatian harus diambil pada populasi anak karena variabilitas dalam metabolisme hati dan fungsi ginjal. Penggunaan sediaan suspensi oral membutuhkan pengukuran dosis yang sangat akurat untuk mencegah overdosis atau sub-dosis, yang mana keduanya dapat memiliki konsekuensi serius—baik toksisitas atau kegagalan eliminasi bakteri.
Makrolida (terutama Eritromisin dan, pada tingkat lebih rendah, Klaritromisin) adalah penghambat kuat sistem enzim hati P450 (CYP3A4). Ini dapat meningkatkan kadar obat lain dalam darah yang dimetabolisme oleh jalur ini, termasuk:
Keputusan untuk memulai antibiotik sering kali harus dibuat sebelum diagnosis laboratorium definitif dikonfirmasi. Hal ini disebabkan oleh urgensi pengobatan pada fase kataral yang sangat singkat dan kritis. Metode diagnostik utama meliputi:
Dalam praktik klinis, jika seorang anak atau kontak dekat bayi memiliki batuk yang dicurigai pertussis dan berada dalam fase kataral atau awal paroksismal, terapi antibiotik empiris harus dimulai tanpa menunggu konfirmasi laboratorium, terutama jika ada riwayat paparan atau risiko tinggi. Menunda pengobatan hingga hasil lab datang dapat menghilangkan kesempatan untuk mengurangi penularan secara efektif.
Pasien pertussis yang paling sakit, terutama bayi yang membutuhkan ventilasi mekanik atau mengalami komplikasi seperti hipertensi pulmonal atau ensefalopati, memerlukan perawatan intensif. Antibiotik pada pasien rawat inap ini memainkan peran yang sama, yaitu mengeliminasi bakteri. Namun, manajemen utama berfokus pada terapi suportif, seperti pemberian oksigen, hidrasi yang adekuat, dan, pada kasus ekstrim, transfusi tukar atau penggunaan nitrit oksida untuk hipertensi pulmonal.
Perlu dicatat bahwa terapi tambahan seperti kortikosteroid, bronkodilator beta-agonis, atau antitusif (obat batuk) secara luas telah dipelajari dan, dengan beberapa pengecualian yang jarang, tidak terbukti efektif dalam mengurangi durasi atau keparahan episode batuk rejan. Fokus tetap pada eliminasi bakteri menggunakan antibiotik yang tepat dan perawatan suportif yang intensif, terutama pada bayi.
Meskipun antibiotik efektif sebagai pengobatan dan profilaksis, pencegahan utama pertussis tetaplah vaksinasi (DTaP untuk anak dan Tdap untuk remaja/dewasa). Peningkatan kekebalan yang menurun (waning immunity) pada populasi dewasa adalah alasan utama lonjakan kasus pertussis di banyak negara maju. Antibiotik tidak dapat menggantikan peran vaksinasi.
Pengembangan antibiotik baru untuk pertussis terus dilakukan, tetapi sebagian besar penelitian saat ini berfokus pada peningkatan kepatuhan dosis (misalnya, rejimen dosis tunggal) atau agen yang memiliki mekanisme kerja baru yang dapat mengurangi toksisitas atau mengatasi resistensi yang muncul. Misalnya, ada eksplorasi terhadap fluorokuinolon, tetapi karena profil keamanan yang kurang menguntungkan pada anak-anak (risiko tendinopati), mereka tetap terbatas sebagai pilihan penyelamat terakhir.
Secara kolektif, penggunaan makrolida secara bijaksana, didorong oleh Azitromisin karena profil farmakologisnya yang superior, tetap menjadi strategi terapeutik dan profilaktik yang paling penting dalam upaya global untuk mengendalikan penyakit Batuk Rejan, sembari terus mendorong cakupan vaksinasi yang optimal di semua kelompok usia.
Secara ringkas, keberhasilan dalam memerangi Batuk Rejan dengan antibiotik terletak pada kecepatan respons klinis. Kunci keberhasilan bukan hanya pada pemilihan obat yang tepat (makrolida), tetapi pada implementasi intervensi sebelum toksin pertussis menyebabkan kerusakan ireversibel pada epitel pernapasan. Berikut adalah pedoman yang harus dipegang teguh oleh profesional kesehatan:
Strategi penanganan Batuk Rejan yang efektif menggabungkan kewaspadaan diagnostik yang tinggi, pemahaman mendalam tentang patogenesis penyakit, dan penerapan rejimen antibiotik yang didukung oleh bukti klinis kuat. Ini adalah kombinasi dari farmakologi yang ditargetkan dan kebijakan kesehatan masyarakat yang responsif.