Radang empedu, atau dikenal sebagai kolesistitis, merupakan kondisi klinis yang ditandai dengan inflamasi akut pada dinding kantung empedu. Dalam mayoritas kasus, kolesistitis dipicu oleh obstruksi leher kantung empedu oleh batu (kolelitiasis), yang menyebabkan penumpukan cairan empedu, peningkatan tekanan intraluminal, dan iskemia pada dinding organ.
Meskipun proses awal kolesistitis seringkali bersifat kimiawi dan mekanis, stasis yang terjadi pada kantung empedu dengan cepat memicu proliferasi bakteri yang secara alami berada di saluran pencernaan. Infeksi sekunder inilah yang menjadikan antibiotik sebagai pilar utama, bahkan krusial, dalam manajemen tatalaksana kolesistitis akut.
Pemilihan antibiotik yang tepat tidak hanya bergantung pada spektrum bakteri yang dicurigai—yang umumnya merupakan flora usus Gram-negatif seperti Escherichia coli dan Klebsiella spp.—tetapi juga harus mempertimbangkan kemampuan obat untuk mencapai konsentrasi terapeutik yang memadai dalam jaringan kantung empedu dan saluran empedu (biliaris). Kegagalan memilih agen yang tepat dapat meningkatkan risiko komplikasi serius, seperti perforasi, abses, atau sepsis biliaris.
Untuk merancang regimen antibiotik yang efektif, pemahaman mendalam mengenai mekanisme infeksi sangat diperlukan. Kantung empedu berfungsi sebagai tempat penyimpanan dan pemekatan empedu sebelum dilepaskan ke usus halus. Ketika batu empedu menghalangi duktus sistikus, mekanisme pertahanan alami terganggu.
Obstruksi menyebabkan empedu yang steril menjadi terinfeksi. Tekanan tinggi akibat sumbatan membuat permeabilitas mukosa kantung empedu meningkat, memungkinkan translokasi bakteri dari sistem portal atau lumen usus ke dalam dinding kantung empedu. Proses inflamasi ini menciptakan lingkungan ideal bagi pertumbuhan patogen, terutama yang berasal dari flora enterik.
Data epidemiologi menunjukkan konsistensi tinggi dalam identifikasi mikroorganisme penyebab kolesistitis dan infeksi biliaris. Spektrum patogen yang paling umum meliputi:
Strategi terapi antibiotik awal (empiris) harus selalu mencakup cakupan yang memadai terhadap spektrum patogen yang dominan ini, terutama E. coli dan Klebsiella, sebelum hasil kultur tersedia.
Pengambilan keputusan mengenai regimen antibiotik sangat dipengaruhi oleh tingkat keparahan kolesistitis, yang seringkali diklasifikasikan menggunakan panduan baku internasional, seperti Tokyo Guidelines (TG18). Klasifikasi ini membagi kolesistitis akut menjadi tiga tingkatan (Grade I, II, dan III), yang secara langsung menentukan intensitas dan jenis intervensi farmakologis yang diperlukan.
Kolesistitis Akut Grade I (Ringan):
Kolesistitis Akut Grade II (Sedang):
Kolesistitis Akut Grade III (Berat):
Terapi antibiotik pada kolesistitis dimulai secara empiris—sebelum hasil kultur tersedia—berdasarkan pola resistensi lokal dan tingkat keparahan pasien. Terdapat beberapa kriteria penting yang harus dipenuhi oleh antibiotik yang dipilih untuk infeksi biliaris:
Efektivitas obat sangat bergantung pada kemampuannya untuk diekskresikan dalam konsentrasi tinggi melalui empedu. Beberapa antibiotik memiliki ekskresi biliaris yang sangat baik, seperti sefalosporin generasi ketiga (contohnya, ceftriaxone) dan piperasilin/tazobaktam. Konsentrasi tinggi ini menjamin eradikasi bakteri di lokasi infeksi, yaitu pada lumen dan dinding kantung empedu.
Karena E. coli adalah patogen utama, cakupan Gram-negatif aerob harus menjadi prioritas. Selain itu, pada kasus yang lebih parah atau pada pasien yang menjalani prosedur invasif, cakupan terhadap bakteri anaerob (terutama B. fragilis) harus dipertimbangkan. Metronidazole sering ditambahkan untuk menargetkan anaerob secara efektif.
Pola resistensi E. coli dan Klebsiella terhadap ampisilin dan sefalosporin generasi pertama (seperti cefazolin) meningkat tajam di banyak wilayah. Oleh karena itu, penggunaan sefalosporin generasi kedua atau ketiga, atau agen kombinasi inhibitor beta-laktamase, menjadi standar perawatan. Penggunaan karbapenem harus dicadangkan untuk kasus Grade III atau infeksi yang disebabkan oleh bakteri penghasil ESBL.
Pada kolesistitis akut, pemberian awal selalu dilakukan secara intravena (IV) untuk memastikan bioavailabilitas cepat dan konsentrasi plasma yang memadai. Transisi ke antibiotik oral dapat dilakukan setelah perbaikan klinis (defervesensi, penurunan nyeri, penurunan leukosit), biasanya setelah 48–72 jam. Durasi total terapi biasanya 4–7 hari, kecuali jika ada komplikasi seperti empiema atau perforasi, yang mungkin memerlukan durasi lebih lama.
Mencapai pemahaman yang komprehensif membutuhkan peninjauan terperinci terhadap mekanisme kerja, spektrum, dan peran masing-masing golongan obat dalam tatalaksana infeksi biliaris.
Sefalosporin adalah pilihan utama untuk terapi empiris infeksi biliaris karena profil keamanan yang baik dan ekskresi yang efektif ke dalam empedu.
Cefoxitin: Agen ini sering digunakan karena memiliki aktivitas yang baik terhadap banyak bakteri Gram-negatif, dan yang terpenting, ia juga menawarkan cakupan anaerob yang signifikan—suatu keuntungan dibandingkan sefalosporin generasi ketiga pada beberapa kasus. Cefoxitin bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri melalui ikatan dengan protein pengikat penisilin (PBP). Namun, tingkat resistensi E. coli terhadap Cefoxitin harus selalu dipantau di fasilitas kesehatan setempat.
Ceftriaxone: Ini adalah salah satu antibiotik yang paling sering dipilih. Mekanisme kerjanya adalah bakterisida, menghambat transpeptidasi dalam sintesis peptidoglikan. Keunggulannya meliputi waktu paruh yang panjang (memungkinkan pemberian dosis tunggal harian) dan penetrasi jaringan serta ekskresi biliaris yang sangat baik. Ceftriaxone memberikan cakupan yang kuat terhadap E. coli dan Klebsiella, menjadikannya pilihan ideal untuk kolesistitis Grade I dan II. Penting untuk dicatat bahwa Ceftriaxone umumnya tidak mencakup anaerob, sehingga jika kecurigaan infeksi anaerob tinggi, harus dikombinasikan dengan Metronidazole.
Analisis farmakokinetik Ceftriaxone menunjukkan bahwa lebih dari 35% obat diekskresikan melalui empedu, memastikan konsentrasi lokal yang tinggi, meskipun terjadi obstruksi sebagian. Ini adalah fitur farmakologis yang membedakannya dari beberapa antibiotik lain yang terutama diekskresikan melalui ginjal.
Cefepime: Digunakan untuk kasus kolesistitis yang sangat parah (Grade III) atau pada pasien dengan risiko tinggi infeksi Pseudomonas aeruginosa, meskipun Pseudomonas jarang menjadi patogen utama kolesistitis yang tidak rumit. Cefepime memberikan spektrum yang sangat luas, mencakup banyak patogen Gram-negatif yang resisten terhadap generasi ketiga. Penggunaannya biasanya dicadangkan untuk lingkungan ICU atau sebagai de-eskalasi setelah kultur menunjukkan sensitivitas yang sesuai.
Golongan ini menjadi pilihan yang semakin populer karena kemampuan inhibitor beta-laktamase untuk mengatasi resistensi yang disebabkan oleh enzim beta-laktamase yang diproduksi oleh bakteri enterik Gram-negatif.
Kombinasi ini memberikan cakupan yang baik terhadap bakteri Gram-positif (termasuk Enterokokus) dan Gram-negatif yang sensitif, serta anaerob karena efek Sulbaktam sebagai penghambat beta-laktamase. Sulbaktam sendiri memiliki aktivitas intrinsik terhadap Acinetobacter, meskipun ini jarang relevan dalam kolesistitis yang belum pernah dirawat.
Ini adalah agen tunggal yang sangat kuat dan sering dianggap sebagai monoterapi spektrum luas yang ideal untuk kolesistitis akut sedang hingga berat (Grade II dan III). Tazobaktam secara efektif menghambat banyak beta-laktamase, sementara Piperasilin menyediakan cakupan Gram-negatif (termasuk Pseudomonas) dan Gram-positif yang luas. Keunggulan utamanya adalah cakupan anaerob yang unggul tanpa perlu penambahan Metronidazole. Ekskresi biliaris Piperasilin cukup baik, mendukung penggunaannya dalam infeksi biliaris yang kompleks.
Mekanisme kerjanya melibatkan sinergi: Piperasilin mengganggu sintesis dinding sel, dan Tazobaktam melindungi Piperasilin dari degradasi enzim. Dosis dan interval pemberian harus disesuaikan pada pasien dengan disfungsi ginjal, yang sering terjadi pada kasus kolesistitis berat yang berkembang menjadi sepsis.
Kuinolon generasi terbaru, seperti Ciprofloxacin dan Levofloxacin, memiliki bioavailabilitas oral yang sangat baik, menjadikannya pilihan yang ideal untuk transisi dari terapi IV ke oral. Namun, kekhawatiran mengenai peningkatan resistensi telah membatasi penggunaannya sebagai terapi empiris lini pertama di banyak pusat kesehatan.
Obat-obatan ini bekerja dengan menghambat DNA girase dan topoisomerase IV bakteri, yang sangat penting untuk replikasi DNA. Ciprofloxacin dikenal memiliki aktivitas superior terhadap Gram-negatif, termasuk Pseudomonas. Levofloxacin (sebagai kuinolon pernapasan) juga memiliki aktivitas Gram-negatif yang baik, ditambah cakupan Gram-positif yang sedikit lebih luas.
Peran utama kuinolon saat ini adalah: (1) Terapi de-eskalasi oral setelah pasien stabil, atau (2) Terapi empiris di lingkungan komunitas dengan tingkat resistensi ESBL yang rendah. Namun, penggunaan kuinolon saja tidak cukup untuk mencakup anaerob, sehingga sering dikombinasikan dengan Metronidazole untuk terapi infeksi biliaris yang rumit.
Kehati-hatian harus dilakukan terkait potensi efek samping seperti tendinitis/ruptur tendon, terutama pada pasien lansia atau yang menggunakan kortikosteroid, serta risiko neuropati perifer dan efek pada interval QT.
Karbapenem (Meropenem, Imipenem/Cilastatin, Ertapenem) adalah antibiotik spektrum terluas yang tersedia, sering dicadangkan untuk situasi yang paling kritis.
Digunakan secara eksklusif untuk kolesistitis Grade III (syok, disfungsi organ) atau infeksi yang diketahui disebabkan oleh patogen multi-resisten (MDR), termasuk bakteri penghasil ESBL atau KPC (Klebsiella pneumoniae Carbapenemase) yang resisten terhadap sefalosporin generasi ketiga. Karbapenem memberikan cakupan yang sangat kuat terhadap Gram-negatif, Gram-positif, dan anaerob, seringkali menjadikannya monoterapi yang paling efektif dalam situasi kegawatdaruratan infeksi biliaris.
Ertapenem memiliki waktu paruh yang panjang dan dapat diberikan sekali sehari. Meskipun efektif melawan ESBL, Ertapenem tidak memiliki cakupan terhadap Pseudomonas aeruginosa dan Enterococcus, yang harus dipertimbangkan ketika memilih agen yang tepat untuk pasien sakit kritis.
Metronidazole: Metronidazole adalah obat pilihan untuk menargetkan bakteri anaerob, termasuk Bacteroides spp. Ia bekerja dengan merusak DNA bakteri anaerob. Meskipun kurang efektif melawan aerob, hampir selalu ditambahkan ke rejimen Ceftriaxone, Ciprofloxacin, atau Cefazolin ketika ada kecurigaan tinggi terhadap infeksi anaerob (misalnya, empiema, perforasi, atau infeksi biliaris kronis/berulang).
Kombinasi umum yang sering digunakan adalah: Ceftriaxone + Metronidazole.
Vancomycin (Vankomisin) jarang digunakan untuk infeksi biliaris yang tidak rumit, karena target utamanya adalah bakteri Gram-positif multi-resisten seperti MRSA. Namun, jika kolesistitis terjadi di lingkungan rumah sakit (nosokomial) atau pada pasien yang baru saja dirawat intensif, cakupan MRSA mungkin diperlukan, dan Vancomycin akan ditambahkan ke rejimen Gram-negatif yang kuat (misalnya, Karbapenem).
Pendekatan terapi harus disesuaikan dengan keparahan penyakit dan risiko kegagalan pengobatan. Berikut adalah panduan umum terapi empiris:
Tujuan: Kontrol infeksi, pencegahan komplikasi. Pilihan biasanya agen tunggal yang menargetkan flora enterik.
Tujuan: Eradikasi infeksi, pencegahan sepsis. Memerlukan cakupan anaerob yang lebih serius.
Tujuan: Stabilisasi pasien, resusitasi syok, cakupan spektrum terluas untuk patogen multi-resisten.
De-eskalasi: Setelah 48-72 jam perbaikan klinis, regimen IV harus diubah menjadi oral (de-eskalasi) berdasarkan hasil sensitivitas. Misalnya, dari Piperasilin/Tazobaktam IV menjadi Amoxicillin/Klavulanat oral, atau Ciprofloxacin oral plus Metronidazole oral.
Durasi antibiotik biasanya singkat. Jika kolesistektomi berhasil dilakukan dalam waktu 7 hari sejak onset gejala, dan tidak ada komplikasi seperti abses atau perforasi, total durasi antibiotik yang direkomendasikan adalah 4 hingga 7 hari pasca-operasi. Jika terdapat komplikasi signifikan atau jika kolesistektomi ditunda, terapi mungkin diperpanjang hingga 10–14 hari.
Keberhasilan pengobatan infeksi biliaris tidak hanya terletak pada spektrum antimikroba, tetapi juga pada bagaimana obat berinteraksi dengan sistem hepatobiliaris dan bagaimana ia mencapai situs infeksi.
Obat yang ideal untuk kolesistitis harus memiliki kemampuan sekresi biliaris yang tinggi. Obat-obatan yang mengalami metabolisme hati dan diekskresikan melalui empedu (seperti Ceftriaxone, Nafcillin, atau Metronidazole) cenderung mencapai konsentrasi yang jauh lebih tinggi dalam empedu dibandingkan obat yang diekskresikan murni melalui ginjal. Konsentrasi ini dapat mencapai 10 hingga 100 kali lipat Minimum Inhibitory Concentration (MIC) bakteri.
Meskipun demikian, perlu dipahami bahwa dalam kasus obstruksi total duktus sistikus, konsentrasi antibiotik dalam kantung empedu yang terperangkap mungkin tetap suboptimal. Inilah alasan mengapa drainase dan penghilangan sumber infeksi (kolesistektomi) tetap merupakan terapi definitif, dan antibiotik hanyalah terapi ajuvan untuk mengontrol infeksi sistemik dan lokal.
Tujuan antibiotik sebenarnya adalah mencapai konsentrasi terapeutik tinggi di dinding kantung empedu (di mana bakteri menginvasi), bukan hanya di lumen empedu. Agen seperti sefalosporin (terutama generasi ketiga) dan karbapenem menunjukkan penetrasi yang sangat baik ke dalam jaringan inflamasi, memastikan bahwa infeksi intramural dapat diatasi secara efektif.
Enzim beta-laktamase adalah mekanisme resistensi paling umum pada E. coli dan Klebsiella. Antibiotik seperti Ampisilin dan Cefazolin rentan terhadap degradasi ini. Inilah alasan mengapa inhibitor beta-laktamase (Sulbaktam, Tazobaktam, Klavulanat) harus dimasukkan dalam rejimen empiris di daerah dengan tingkat resistensi tinggi terhadap aminopenisilin.
Resistensi terhadap kuinolon (seperti Ciprofloxacin) sering terjadi melalui mutasi pada gen target (Gyrase A dan Par C). Jika kultur awal pasien menunjukkan sensitivitas yang meragukan terhadap Ciprofloxacin, obat tersebut harus segera diganti untuk menghindari kegagalan pengobatan dan perkembangan sepsis.
Ini adalah bentuk radang empedu akut yang terjadi tanpa adanya batu empedu. Ini sering dikaitkan dengan pasien yang sakit kritis, trauma berat, luka bakar, puasa berkepanjangan, atau imunosupresi. Kondisi ini cenderung memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dan lebih mungkin disebabkan oleh infeksi oportunistik atau bakteri yang tidak biasa (termasuk Candida spp. meskipun jarang). Terapi antibiotik harus lebih agresif dan spektrumnya lebih luas, seringkali dimulai dengan Karbapenem atau Piperasilin/Tazobaktam, hingga kultur teridentifikasi.
Pasien lansia sering menunjukkan gejala yang tidak jelas, menunda diagnosis, dan memiliki risiko lebih tinggi terhadap komplikasi seperti syok dan disfungsi organ. Selain itu, mereka mungkin memiliki penurunan fungsi ginjal, yang memerlukan penyesuaian dosis antibiotik yang diekskresikan melalui ginjal (misalnya, Karbapenem, Quinolone, Vancomycin). Dosis yang tidak disesuaikan dapat menyebabkan toksisitas, sementara dosis yang terlalu rendah dapat menyebabkan kegagalan terapi.
Tatalaksana kolesistitis akut pada ibu hamil sangat menantang. Antibiotik yang harus dihindari meliputi Quinolone (risiko artropati) dan Tetrasiklin. Sefalosporin (seperti Ceftriaxone) dan penisilin terinhibisi (seperti Ampisilin/Sulbaktam) umumnya dianggap aman dan merupakan pilihan lini pertama yang direkomendasikan. Metronidazole juga dapat digunakan secara hati-hati setelah trimester pertama.
Kultur darah dan cairan empedu (jika diperoleh saat drainase atau operasi) harus selalu diambil sebelum pemberian dosis antibiotik pertama, kecuali situasi syok yang memerlukan penundaan minimal. Hasil kultur memungkinkan klinisi melakukan de-eskalasi terapi. De-eskalasi adalah proses penting di mana antibiotik spektrum luas yang awalnya diberikan diganti dengan antibiotik spektrum sempit yang spesifik untuk patogen yang teridentifikasi. Ini mengurangi tekanan seleksi, meminimalkan efek samping, dan memerangi resistensi antimikroba di tingkat institusi.
Misalnya, jika pasien awalnya diberi Meropenem, dan kultur menunjukkan sensitivitas hanya terhadap Ceftriaxone dan Ampisilin, regimen harus diubah segera menjadi salah satu dari dua antibiotik yang lebih sempit tersebut, asalkan kondisi klinis pasien stabil.
Terapi kombinasi (misalnya, Ceftriaxone + Metronidazole) diindikasikan untuk: (1) Kolesistitis sedang hingga berat (Grade II/III) di mana cakupan anaerob penting. (2) Infeksi dengan potensi polymikroba. (3) Ketika ada risiko resistensi tinggi, di mana dua agen bekerja sinergis untuk meningkatkan eradikasi.
Namun, dalam banyak kasus kolesistitis, agen tunggal yang kuat seperti Piperasilin/Tazobaktam telah terbukti non-inferior terhadap terapi kombinasi, dan sering disukai karena kemudahan pemberian dan potensi mengurangi interaksi obat. Pilihan antara monoterapi Piperasilin/Tazobaktam dan kombinasi Ceftriaxone/Metronidazole sering kali bergantung pada preferensi institusional dan biaya.
Meskipun sebagian besar kolesistitis merespons dengan baik terhadap antibiotik dan kolesistektomi, beberapa komplikasi memerlukan perpanjangan atau perubahan drastis dalam regimen antimikroba.
Empiema kantung empedu (nanah di dalam kantung empedu) atau pembentukan abses hati sebagai ekstensi dari infeksi memerlukan drainase segera selain antibiotik sistemik. Dalam kasus ini, risiko bakteri anaerob dan organisme yang lebih resisten meningkat. Terapi antibiotik harus ditingkatkan menjadi Karbapenem atau kombinasi yang mencakup cakupan Gram-negatif, anaerob, dan kadang-kadang enterokokus (misalnya, penambahan Vancomycin atau Ampisilin jika isolat Enterococcus faecalis teridentifikasi).
Perforasi kantung empedu menyebabkan tumpahan isi empedu yang sangat terkontaminasi ke rongga peritoneum, yang mengakibatkan peritonitis biliaris. Ini adalah kegawatdaruratan bedah dengan mortalitas tinggi. Regimen antibiotik harus segera ditingkatkan untuk mencakup flora polymikroba yang luas, mirip dengan Grade III, dengan penekanan pada cakupan anaerob yang kuat. Durasi terapi pasca-operasi seringkali lebih panjang (10-14 hari) untuk memastikan kontrol infeksi intra-abdominal.
Bakteri Gram-negatif yang memproduksi ESBL (Extended-Spectrum Beta-Lactamase) tidak sensitif terhadap sefalosporin generasi ketiga atau kombinasi penisilin/inhibitor beta-laktamase standar (seperti Piperasilin/Tazobaktam). Identifikasi ESBL memerlukan penggunaan Karbapenem (Meropenem atau Ertapenem) sebagai agen lini pertama. Jika Karbapenem harus dihemat, opsi alternatif yang mungkin dipertimbangkan adalah Cefepime dosis tinggi, atau kombinasi Quinolone dengan terapi kombinasi lainnya, meskipun Karbapenem tetap menjadi standar emas untuk infeksi ESBL yang parah.
Pentingnya pemantauan pola resistensi lokal tidak dapat dilebih-lebihkan, karena prevalensi ESBL sangat bervariasi antar rumah sakit dan wilayah geografis. Protokol antibiotik empiris harus ditinjau ulang secara berkala berdasarkan data resistensi terbaru.
Meskipun Enterococcus bukan penyebab utama kolesistitis, keberadaannya pada kasus yang parah, berulang, atau pada pasien imunokompromis memerlukan perhatian. Enterococcus faecalis umumnya sensitif terhadap Ampisilin atau Piperasilin/Tazobaktam. Namun, Enterococcus faecium, terutama yang resisten terhadap Vancomycin (VRE), memerlukan agen seperti Linezolid atau Daptomycin, yang merupakan opsi penyelamat dalam situasi yang jarang dan sangat rumit.
Kolesistektomi, baik laparoskopi maupun terbuka, adalah terapi definitif untuk kolesistitis. Antibiotik memainkan peran ganda: terapi infeksi yang sudah ada dan profilaksis bedah untuk mencegah infeksi luka operasi dan infeksi intra-abdominal pasca-operasi.
Pada kolesistitis akut, tujuan utama antibiotik pre-operatif adalah untuk mengurangi tingkat bakteri di dinding kantung empedu dan mencegah bakteremia selama manipulasi bedah. Jika pasien telah menerima terapi empiris IV yang memadai (misalnya, Ceftriaxone/Metronidazole atau Piperasilin/Tazobaktam), dosis pra-operasi tambahan mungkin tidak diperlukan.
Namun, jika kolesistektomi dijadwalkan secara elektif untuk kolelitiasis tanpa radang akut, profilaksis standar (biasanya dosis tunggal Sefazolin) diberikan 30-60 menit sebelum sayatan kulit. Sefazolin memiliki cakupan yang baik terhadap flora kulit (Staphylococcus), yang merupakan penyebab utama infeksi luka operasi.
Penting untuk menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu dalam jangka waktu lama pasca-operasi pada kolesistitis non-komplikasi. Studi menunjukkan bahwa terapi antibiotik berkepanjangan pada kolesistitis ringan yang berhasil diangkat tidak memberikan manfaat tambahan, tetapi meningkatkan risiko efek samping (seperti diare terkait Clostridium difficile) dan resistensi.
Terapi antibiotik dianggap berhasil jika pasien menunjukkan respons klinis dan laboratorium yang jelas dalam 48–72 jam pertama pengobatan.
Jika pasien tidak menunjukkan perbaikan setelah 48–72 jam terapi empiris yang adekuat, klinisi harus segera mempertimbangkan beberapa kemungkinan, termasuk:
Pada kolesistitis yang disebabkan oleh batu empedu, kekambuhan hampir pasti terjadi jika batu tidak dihilangkan. Oleh karena itu, antibiotik hanyalah solusi sementara. Edukasi pasien mengenai pentingnya kolesistektomi elektif pasca-pemulihan dari episode akut (jika belum dilakukan) sangat vital untuk pencegahan kekambuhan. Pasien juga harus didorong untuk mengelola faktor risiko yang mendasari, seperti diabetes, yang dapat memperburuk infeksi biliaris.
Penggunaan rasional antibiotik dalam konteks infeksi biliaris merupakan praktik yang menuntut keseimbangan antara cakupan empiris yang kuat dan kebutuhan untuk membatasi penggunaan antibiotik spektrum luas, guna melestarikan efikasi agen vital seperti Karbapenem untuk infeksi multi-resisten di masa depan. Setiap keputusan terapeutik harus didasarkan pada klasifikasi keparahan (TG18), profil resistensi lokal, dan status fungsional organ pasien.
Penetrasi antibiotik ke dalam empedu adalah proses kompleks yang melibatkan beberapa jalur, termasuk filtrasi glomerulus diikuti sekresi tubular, serta sekresi aktif hepatik melalui transport membran. Antibiotik yang sangat larut dalam lemak (lipofilik) dan yang terikat lemah pada protein serum cenderung lebih mudah berdifusi ke dalam jaringan kantung empedu yang meradang, memastikan efikasi di situs infeksi intramural.
Ceftriaxone merupakan contoh utama obat dengan ekskresi biliaris yang signifikan. Ini karena sebagian besar diekskresikan tidak termetabolisme melalui sistem hepatobiliaris. Namun, tingkat ekskresi biliaris ini bisa menjadi pedang bermata dua. Pada kasus di mana Ceftriaxone digunakan dalam dosis sangat tinggi dan berkepanjangan, ia dapat mengendap di dalam empedu, membentuk "sludge" yang jarang tetapi dapat memicu pseudokolelitiasis (batu empedu semu). Meskipun demikian, manfaatnya dalam mengobati infeksi biliaris umumnya jauh melebihi risiko ini.
Sebaliknya, Vancomycin memiliki penetrasi biliaris yang sangat buruk. Meskipun Vancomycin sangat efektif melawan Gram-positif multi-resisten di lokasi lain, konsentrasinya yang rendah dalam empedu dan dinding kantung empedu menjadikannya pilihan suboptimal untuk infeksi biliaris kecuali jika patogen Gram-positif resisten teridentifikasi secara pasti di kultur darah.
Bakteri enterik yang menyebabkan kolesistitis sering membawa gen plasmid yang mengkodekan enzim beta-laktamase. Enzim ini menghidrolisis cincin beta-laktam, menonaktifkan antibiotik. Inhibitor seperti Tazobaktam secara kompetitif mengikat enzim beta-laktamase, mencegah degradasi Piperasilin. Penting untuk memahami bahwa efikasi kombinasi ini bergantung pada sensitivitas beta-laktamase terhadap inhibitor yang digunakan. Beberapa beta-laktamase yang lebih baru dan resisten (misalnya, metallo-beta-laktamase) mungkin tidak dihambat oleh Tazobaktam, yang memerlukan Karbapenem sebagai respons terapeutik.
Dalam konteks terapi empiris, penggunaan Piperasilin/Tazobaktam adalah jembatan yang kuat: ia mencakup Gram-negatif, anaerob, dan banyak bakteri yang memproduksi beta-laktamase yang lebih umum. Ini memungkinkan klinisi menunda penggunaan Karbapenem, suatu strategi penting dalam manajemen resistensi antimikroba secara global.
Resistensi antimikroba adalah ancaman yang terus berkembang, khususnya pada infeksi intra-abdominal yang didominasi oleh flora usus. Strategi mitigasi harus diterapkan secara ketat dalam setiap episode kolesistitis.
Setiap rumah sakit harus memiliki data antibiogram lokal yang diperbarui setiap tahun. Data ini menunjukkan pola sensitivitas E. coli dan Klebsiella terhadap antibiotik umum. Jika antibiogram menunjukkan tingkat resistensi terhadap Ceftriaxone melebihi 20%, Ceftriaxone tidak boleh lagi digunakan sebagai pilihan empiris tunggal untuk infeksi sedang (Grade II).
Program ASP memainkan peran penting dalam memastikan bahwa: (1) Antibiotik diberikan dalam dosis yang tepat untuk penetrasi biliaris yang optimal. (2) De-eskalasi dilakukan segera setelah hasil kultur tersedia. (3) Durasi terapi dibatasi sesuai rekomendasi (4–7 hari untuk kasus non-komplikasi) untuk meminimalkan risiko infeksi sekunder seperti CDI atau munculnya resistensi.
Meskipun Cefazolin (sefalosporin generasi pertama) tidak efektif dalam mengobati kolesistitis akut yang sudah terinfeksi, karena tingkat resistensi Gram-negatif yang tinggi, ia tetap menjadi pilihan utama untuk profilaksis bedah pada kolesistektomi elektif. Cefazolin efektif melawan flora kulit (Staphylococcus) dan harganya terjangkau. Namun, jika pasien memiliki alergi penisilin/sefalosporin, Vancomycin atau Clindamycin (ditambah agen Gram-negatif, jika perlu) harus dipertimbangkan untuk profilaksis bedah.
Terapi sekuensial adalah transisi dari IV ke oral. Kunci keberhasilan sekuensial terletak pada pemastian bahwa: (1) Pasien stabil secara klinis, (2) Obat oral memiliki bioavailabilitas tinggi (misalnya, Quinolone atau Metronidazole), dan (3) Spektrum oral mencakup patogen yang sama dengan regimen IV. Contoh sekuensial yang umum adalah dari Piperasilin/Tazobaktam IV menjadi Amoxicillin/Klavulanat oral, atau dari Ceftriaxone/Metronidazole IV menjadi Ciprofloxacin/Metronidazole oral.
Transisi yang gagal—misalnya, mengganti IV spektrum luas dengan oral yang spektrumnya terlalu sempit atau bioavailabilitasnya rendah—dapat menyebabkan kekambuhan infeksi dan potensi sepsis ulang. Oleh karena itu, pengawasan ketat terhadap pasien pasca-transisi adalah suatu keharusan.
Manajemen kolesistitis akut memerlukan integrasi yang cermat antara terapi suportif, intervensi bedah/drainase, dan terapi antibiotik yang ditargetkan. Antibiotik tidak hanya bertujuan untuk menghilangkan bakteri di dinding empedu yang meradang, tetapi juga untuk mencegah perkembangan infeksi lokal menjadi sepsis sistemik yang mengancam jiwa. Pemilihan regimen empiris harus selalu didasarkan pada klasifikasi keparahan (TG18), profil resistensi lokal, dan kemampuan obat untuk menembus saluran empedu.
Piperasilin/Tazobaktam atau kombinasi Ceftriaxone/Metronidazole tetap menjadi landasan bagi kolesistitis akut sedang. Pada kasus yang parah, Karbapenem merupakan pilihan yang tak terhindarkan. Yang paling penting, antibiotik harus berfungsi sebagai terapi ajuvan, dan bukan pengganti untuk terapi definitif yaitu kolesistektomi.