Jejak Emas dalam Peradaban Nusantara: Sejarah, Simbolisme, dan Kerajinan Abadi
Anting suweng, sebuah istilah yang akrab di telinga masyarakat Jawa dan Bali, merujuk pada perhiasan telinga yang memiliki kekayaan sejarah dan filosofis mendalam. Berbeda dengan anting-anting modern yang cenderung ringkas dan bergaya minimalis, suweng sering kali hadir dalam bentuk yang lebih padat, menempel erat pada daun telinga, atau menggantung dengan hiasan yang sarat makna. Ia bukan sekadar aksesori; suweng adalah penanda status sosial, perlambang kematangan, dan wujud nyata dari kearifan lokal dalam mengolah material alam menjadi karya seni abadi. Keberadaannya melintasi zaman, mulai dari temuan arkeologis di situs-situs purbakala hingga menjadi bagian tak terpisahkan dari busana adat keraton.
Definisi terminologis ‘suweng’ sering dihubungkan dengan perhiasan telinga yang dipasang melalui lubang telinga standar, namun seringkali ukurannya lebih signifikan dibandingkan anting biasa. Material utamanya, secara tradisional, adalah emas murni atau campuran logam mulia, dihiasi dengan intan, berlian, atau batu mulia lainnya. Studi terhadap suweng menawarkan jendela yang luas untuk memahami interaksi budaya, teknologi metalurgi kuno, dan sistem kepercayaan yang pernah berkembang di kepulauan ini. Dari Sabang hingga Merauke, meskipun nama dan bentuknya berbeda (seperti *giwang*, *subang*, atau *bobat*), fungsi simbolisnya sebagai cerminan kemakmuran dan kehormatan tetaplah universal.
Sejarah suweng di Nusantara bukanlah narasi yang singkat. Ia dimulai jauh sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan besar Hindu-Buddha. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa praktik mengenakan perhiasan telinga telah ada sejak masa Neolitikum. Pada periode ini, material yang digunakan masih sederhana, seperti kulit kerang yang diasah, tulang, atau batu-batuan semi-mulia. Perhiasan ini, meskipun bentuknya primitif, sudah berfungsi sebagai penanda perbedaan antar individu, terutama dalam konteks ritual atau kepemimpinan.
Ketika kebudayaan Dongson dari Vietnam Utara mulai menyebar ke kepulauan ini (sekitar 500 SM), terjadi pergeseran besar dalam teknologi pembuatan perhiasan. Periode ini ditandai dengan ditemukannya cetakan dan alat peleburan logam, terutama perunggu dan besi. Pada masa inilah suweng mulai mengambil bentuk geometris yang lebih terstruktur. Di situs-situs seperti Gilimanuk (Bali) dan Pasemah (Sumatra Selatan), ditemukan perhiasan telinga dari perunggu dengan desain yang rumit, menunjukkan adanya keterampilan metalurgi yang maju.
Inovasi terpenting pada masa awal ini adalah penggunaan metode pengecoran lilin hilang (cire perdue), yang memungkinkan pembuatan perhiasan berongga dan ringan, tetapi tetap besar dan mencolok. Jenis perhiasan ini sering kali memiliki motif spiral atau bentuk hewan abstrak, yang diyakini memiliki fungsi apotropaic, yakni sebagai penangkal roh jahat. Kekuatan simbolis dari logam mulia pada masa ini mulai mengakar kuat, menempatkan pemakainya dalam hierarki sosial yang lebih tinggi.
Perluasan jalur perdagangan maritim, terutama dengan India dan Tiongkok, membawa masuknya material baru, yang paling penting adalah emas. Emas menjadi material ideal karena kelangkaannya, sifatnya yang tidak terkorosi, dan kemudahannya untuk dibentuk. Emas yang digunakan di Jawa dan Sumatra berasal dari tambang lokal (seperti di Minangkabau dan Kalimantan) maupun impor. Kehadiran material impor ini menunjukkan bahwa suweng dan perhiasan telinga lainnya juga berperan sebagai komoditas perdagangan penting yang menghubungkan Nusantara dengan peradaban luar.
Anting-anting emas tertua yang ditemukan, seringkali berupa lingkaran sederhana atau bentuk bulan sabit kecil, diperkirakan berasal dari abad ke-4 Masehi. Penemuan-penemuan ini, yang sering dikaitkan dengan kuburan bangsawan atau tokoh penting, menggarisbawahi fungsi suweng sebagai harta benda yang menemani pemiliknya ke alam baka, menegaskan statusnya bahkan setelah kematian.
Puncak kejayaan suweng sebagai perhiasan seni dan simbol kekuasaan terjadi selama era kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Mataram Kuno, dan Majapahit. Di masa ini, suweng tidak lagi sekadar perhiasan; ia adalah media ekspresi seni rupa yang paling halus dan penanda ketat dari stratifikasi sosial kerajaan.
Di bawah kekuasaan Sriwijaya (abad ke-7 hingga ke-13 M), yang dikenal sebagai kerajaan maritim kaya raya, perhiasan emas mencapai tingkat kemahiran yang luar biasa. Suweng dari periode ini seringkali ditemukan dalam bentuk yang disebut *makara* atau dihiasi dengan pola geometris yang rumit, menggunakan teknik *granulasi*—menempelkan butiran emas super halus ke permukaan—dan *filigri*—membuat pola renda dari kawat emas tipis. Teknik ini menunjukkan pengaruh kuat dari seni perhiasan India Selatan, namun diadaptasi dengan ciri khas lokal.
Teks-teks dan prasasti-prasasti dari masa Sriwijaya sering menyebutkan tentang perhiasan yang mewah, yang dikenakan oleh para datu (pemimpin) dan bangsawan sebagai bagian dari pakaian kebesaran resmi. Suweng pada masa ini berukuran relatif besar, sering kali menyebabkan daun telinga meregang, sebuah praktik yang dianggap elegan dan menunjukkan kelas atas.
Di Jawa Tengah, pada masa Dinasti Syailendra dan Sanjaya, suweng digambarkan secara detail pada relief candi-candi megah seperti Borobudur dan Prambanan. Relief-relief ini memperlihatkan dewa-dewa, bidadari, dan bangsawan yang mengenakan berbagai macam perhiasan telinga. Suweng pada figur-figur dewa biasanya berbentuk bunga lotus (padma) atau cakra, melambangkan kemurnian, penciptaan, dan siklus kehidupan. Materialnya umumnya adalah emas dengan kemurnian tinggi, mencerminkan kekayaan sumber daya alam dan stabilitas politik kerajaan.
Pada periode ini, suweng sering dipasangkan dengan perhiasan rambut dan kalung, membentuk satu set lengkap yang disebut upacara busana. Keunikan suweng Mataram adalah kecenderungannya pada bentuk simetris, geometri sakral, dan ukiran padat. Suweng yang ditemukan dari situs-situs seperti Dieng atau Gedong Songo menunjukkan kemahiran dalam memadukan batu mulia berwarna dengan emas, menciptakan kontras yang mencolok dan indah.
Kerajaan Majapahit (abad ke-13 hingga ke-15 M) dianggap sebagai masa keemasan seni suweng. Berkat kekayaan yang melimpah dari perdagangan rempah dan kontrol wilayah yang luas, para perajin emas (disebut *pandai kencana*) memiliki akses tak terbatas pada material dan permintaan dari kalangan elite. Suweng Majapahit dikenal karena detailnya yang super halus, seringkali menampilkan motif-motif naratif atau flora dan fauna yang sangat naturalistik.
Ciri khas suweng Majapahit adalah penggunaan teknik *repoussé* (mengetuk dari belakang untuk menghasilkan relief) dan kombinasi emas dengan teknik enamel berwarna, meskipun teknik enamel ini lebih banyak digunakan pada perhiasan kontemporer berikutnya. Beberapa suweng yang ditemukan berbentuk seperti kancing besar atau bunga yang mekar penuh, melambangkan kesuburan dan kemakmuran Majapahit. Peninggalan suweng dari Trowulan (ibu kota Majapahit) menjadi acuan utama bagi desain perhiasan tradisional Jawa modern.
Makna suweng jauh melampaui estetika semata. Dalam masyarakat tradisional Nusantara, suweng adalah bahasa visual yang menyampaikan informasi penting tentang pemakainya, mulai dari status perkawinan hingga perlindungan spiritual.
Penggunaan suweng emas, terutama yang dihiasi dengan batu mulia langka, secara langsung mencerminkan kekayaan dan posisi hierarki pemakainya. Hanya bangsawan, keluarga kerajaan, atau saudagar kaya yang mampu memiliki suweng dari emas murni. Di banyak suku, berat dan ukuran suweng berbanding lurus dengan status. Sebagai contoh, di kalangan tertentu di Bali, suweng besar (kadang disebut *giwang*) adalah hadiah yang sangat berharga saat upacara perkawinan, menandakan kesiapan mempelai wanita memasuki strata sosial yang lebih tinggi.
Sebaliknya, rakyat jelata mungkin menggunakan suweng dari bahan non-mulia seperti kuningan, perak, atau bahkan tanduk hewan. Perbedaan material ini secara instan mengkategorikan individu dalam pertemuan sosial atau upacara adat. Dalam konteks kerajaan, suweng tertentu hanya boleh dikenakan oleh individu dengan gelar khusus, berfungsi sebagai lencana kehormatan yang tidak tertulis.
Suweng sering kali dikaitkan erat dengan ritual peralihan usia, khususnya inisiasi menuju kedewasaan. Di Jawa, penindikan telinga dan pemasangan suweng pertama pada anak perempuan adalah upacara penting, menandai kesiapan mereka untuk dididik sebagai wanita dewasa. Emas pada suweng dipercaya memberikan perlindungan, kekebalan, dan keberuntungan.
Di beberapa suku di Kalimantan dan Nusa Tenggara, proses penindikan telinga, yang seringkali diikuti dengan peregangan daun telinga untuk menampung suweng yang sangat berat (seperti *anting balaang* atau *tuntun*), adalah ritual inisiasi yang menyakitkan namun esensial. Daun telinga yang panjang dan dihiasi suweng berat melambangkan keindahan, kesabaran, dan identitas kesukuan yang kuat. Jika anting tersebut dilepas karena alasan tertentu, telinga yang menjuntai tetap menjadi bukti dari masa lalu yang terhormat.
Banyak desain suweng yang mengambil inspirasi dari alam semesta dan kepercayaan kosmologis. Bentuk lingkaran atau spiral melambangkan siklus abadi dan persatuan antara mikro-kosmos (manusia) dengan makro-kosmos (alam semesta). Motif flora seperti bunga padma (lotus) melambangkan kelahiran dan kemurnian, sementara motif fauna seperti burung atau naga melambangkan kekuatan spiritual atau penjaga.
Di Bali, suweng sering diukir dengan representasi dewa-dewi atau elemen alam yang sakral. Suweng diyakini membantu menyeimbangkan energi tubuh (prana), karena titik telinga dianggap terhubung dengan pusat-pusat energi penting. Oleh karena itu, suweng tidak hanya memperindah raga, tetapi juga berfungsi sebagai jimat spiritual.
Meskipun istilah ‘suweng’ umumnya merujuk pada perhiasan Jawa/Bali, konsep perhiasan telinga yang padat dan penting secara simbolis ini tersebar di seluruh Nusantara dengan variasi yang luar biasa. Perbedaan ini dipengaruhi oleh ketersediaan material lokal, interaksi budaya, dan sistem kepercayaan adat.
Suweng Jawa, terutama dari Yogyakarta dan Surakarta, dikenal karena desainnya yang elegan dan cenderung konservatif, mengikuti pakem keraton. Suweng klasik Jawa berbentuk seperti kancing (kancingan) atau bunga yang padat. Mereka sering menggunakan teknik tatahan (pemasangan permata) yang presisi, dengan fokus pada berlian (inten) dan emas kuning.
Suweng Jawa sangat memperhatikan harmoni dan keselarasan. Penggunaannya selalu diatur oleh etiket kerajaan, di mana bentuk dan material tertentu hanya diperbolehkan untuk dikenakan pada acara-acara spesifik, menegaskan kembali peran perhiasan sebagai cerminan tatanan sosial yang terstruktur.
Suweng Bali menunjukkan kedekatan yang kuat dengan ikonografi Hindu. Meskipun bentuk dasarnya mirip dengan Jawa (padat dan emas), detail ukirannya jauh lebih kaya dengan representasi mitologis.
Keunikan suweng Bali juga terletak pada adaptasinya terhadap tarian dan seni pertunjukan. Beberapa jenis suweng dibuat khusus agar dapat memantulkan cahaya panggung, menambah aura magis pada penari atau penampil ritual.
Di Sumatra, suweng mengambil wujud yang lebih berani dan besar, sejalan dengan kekayaan yang berasal dari perdagangan rempah. Emas Minangkabau, Palembang, dan Melayu Riau memiliki ciri khas desain yang dipengaruhi oleh budaya Islam, namun tetap mempertahankan elemen flora dan geometris dari masa pra-Islam.
Emas di Sumatra adalah simbol status dan kekerabatan, dan suweng sering menjadi harta pusaka (harto pusako) yang hanya boleh dikenakan oleh anggota keluarga tertentu, terutama pada saat upacara adat besar.
Salah satu varian suweng paling ikonik adalah perhiasan telinga suku Dayak di Kalimantan, yang dikenal sebagai praktik memanjangkan daun telinga (telingaan aruu).
Di sini, suweng dan telinga panjang memiliki makna mendalam: melambangkan kecantikan, kesabaran (karena proses peregangan memakan waktu bertahun-tahun), dan status kebangsawanan. Daun telinga yang panjang juga dipercaya menghubungkan pemakainya dengan roh leluhur yang tinggal di hutan. Proses ini merupakan representasi visual dari identitas Dayak yang memisahkan mereka dari suku-suku lain.
Di wilayah timur seperti Sumba dan Flores, suweng menampilkan keunikan material dan bentuk yang lebih organik. Meskipun emas dan perak dikenal, suweng sering dibuat dari kombinasi material alam, mencerminkan kekayaan lokal.
Suweng di NTT sangat terkait dengan sistem barter dan mas kawin (belis), seringkali menjadi bagian penting dari pertukaran seremonial antara keluarga yang menikah.
Keindahan anting suweng tidak lepas dari teknik pembuatan yang sangat rumit, diwariskan turun-temurun oleh para *pandai emas*. Teknik-teknik ini seringkali memerlukan presisi mikro dan pemahaman mendalam tentang sifat logam.
Filigri adalah teknik yang paling sering digunakan pada suweng, terutama di Jawa, Bali, dan Sumatra. Ini melibatkan penarikan emas atau perak menjadi kawat yang sangat tipis, yang kemudian ditekuk dan dipilin untuk membentuk pola seperti renda yang rumit. Suweng yang dibuat dengan filigri terlihat ringan, berongga, dan sangat detail. Teknik ini memungkinkan pembuatan perhiasan besar yang tidak terlalu berat, namun tetap menampilkan kemewahan material.
Dalam pembuatan filigri, keahlian pandai emas terletak pada kemampuan mereka menyambungkan kawat-kawat tanpa terlihat bekas lasan, menggunakan campuran boraks dan bahan pengikat alami lainnya sebagai fluks.
Granulasi adalah teknik kuno yang mencapai puncaknya pada masa Majapahit. Teknik ini melibatkan pembuatan ribuan butiran emas super kecil yang kemudian dilekatkan pada permukaan suweng. Hasilnya adalah tekstur yang kaya dan berkilauan yang menangkap cahaya dari berbagai sudut. Butiran ini sering digunakan untuk mengisi ruang di antara pola filigri atau untuk menonjolkan batas desain.
Butiran emas dibuat dengan memanaskan bubuk emas murni dan membiarkannya mendingin secara cepat sehingga membentuk bola-bola kecil sempurna. Proses menempelkannya ke perhiasan adalah proses yang sangat halus dan memerlukan ketelitian luar biasa, seringkali dilakukan di bawah pembesaran menggunakan alat bantu tradisional.
Untuk suweng yang berbentuk padat atau memiliki dimensi tiga dimensi yang kompleks (seperti suweng makara), teknik pengecoran lilin hilang adalah metode utama. Pertama, model suweng dibuat dari lilin lebah. Model lilin ini kemudian dilapisi oleh cetakan tanah liat yang tahan panas. Setelah dipanaskan, lilin akan meleleh dan keluar, meninggalkan rongga kosong di dalam cetakan. Emas cair kemudian dituangkan ke dalam rongga tersebut.
Teknik ini memungkinkan pembuatan suweng dengan detail ukiran yang sangat konsisten dan simetris, menjadikannya pilihan ideal untuk perhiasan yang memiliki bentuk simbolis yang kompleks.
Sejak abad ke-20, posisi suweng mulai bergeser, namun tidak hilang. Ia mengalami adaptasi, pergeseran fungsi, dan revitalisasi sebagai bagian penting dari warisan budaya yang harus dilestarikan. Era kolonial membawa masuknya desain perhiasan Eropa yang lebih ramping, tetapi suweng tradisional tetap dipertahankan oleh keluarga bangsawan dan masyarakat adat yang teguh memegang tradisi.
Selama pendudukan Belanda, terjadi akulturasi yang menarik dalam desain suweng. Bangsawan Jawa dan Peranakan Tionghoa mulai memesan suweng yang memadukan teknik filigri lokal dengan potongan berlian Eropa (disebut *Inten Jawa*). Suweng pada masa ini cenderung lebih berkilauan dan dipengaruhi oleh gaya Art Deco, namun tetap mempertahankan bentuk dasar kancingan tradisional.
Perajin lokal mulai menggunakan teknik pemotongan permata yang lebih modern, menghasilkan variasi suweng yang dikenal sebagai *Giwang Kerabu*, yang bentuknya lebih kecil dan berfokus pada kilauan berlian daripada ukiran emas yang berat.
Setelah kemerdekaan, ada dorongan kuat untuk menghidupkan kembali identitas budaya nasional. Suweng kembali diposisikan sebagai simbol kebanggaan dan kekayaan artistik Indonesia. Lembaga-lembaga budaya dan museum memainkan peran penting dalam mengkonservasi desain-desain kuno.
Pada dekade akhir abad ke-20, suweng tradisional mulai diproduksi kembali secara massal untuk pasar pariwisata dan kolektor, meskipun seringkali menggunakan campuran perak atau kuningan untuk menekan biaya. Hal ini memastikan bahwa seni membuat suweng tidak punah, dan teknik filigri serta granulasi terus dipelajari oleh generasi perajin baru.
Saat ini, suweng telah menemukan tempatnya di panggung fesyen global. Desainer perhiasan kontemporer sering mengambil inspirasi dari bentuk-bentuk suweng tradisional (seperti kancing padat atau spiral Dayak) dan mereinterpretasikannya dengan material modern (titanium, resin) atau menggabungkannya dengan batu permata non-tradisional.
Suweng modern seringkali lebih ringan, namun tetap mempertahankan elemen geometris yang kuat. Mereka menjadi pernyataan fesyen yang mencerminkan penghargaan terhadap warisan budaya Indonesia. Penggunaan suweng dalam film, acara televisi, dan pagelaran busana internasional telah membantu mengangkat statusnya dari sekadar artefak budaya menjadi simbol gaya yang tak lekang oleh waktu.
Mengingat nilai historis dan artistik anting suweng, upaya konservasi menjadi sangat penting. Tantangan terbesar saat ini adalah memastikan transfer pengetahuan dari generasi tua *pandai emas* ke generasi muda, serta menghadapi tekanan pasar yang menuntut produksi cepat.
Teknik filigri, granulasi, dan pengecoran logam mulia memerlukan magang yang panjang dan intensif. Banyak komunitas perajin, seperti di Kota Gede (Yogyakarta) atau Celuk (Bali), kini berjuang mempertahankan metode tradisional di tengah serbuan mesin produksi. Pemerintah daerah dan institusi seni telah mulai mendirikan program pelatihan khusus untuk melestarikan keterampilan ini, menekankan pentingnya kualitas material dan keaslian desain.
Inisiatif lain melibatkan dokumentasi digital dari semua pola dan teknik yang digunakan dalam pembuatan suweng kuno, menciptakan bank data warisan yang dapat diakses oleh sejarawan dan perajin masa depan.
Di masa lalu, sumber emas seringkali tidak terekam dengan baik. Kini, fokus konservasi juga mencakup etika pengadaan material. Penggunaan emas dan batu mulia yang bersumber secara bertanggung jawab (ethical sourcing) menjadi penting untuk memastikan bahwa produksi suweng modern tidak merusak lingkungan atau melibatkan praktik penambangan yang merugikan masyarakat lokal. Beberapa perajin bahkan beralih menggunakan emas daur ulang sebagai upaya keberlanjutan.
Bagi kolektor dan pemilik suweng pusaka, perawatan yang tepat sangat krusial. Emas, meskipun tahan karat, dapat menjadi kusam karena paparan keringat, kosmetik, atau polusi udara. Perawatan suweng tradisional melibatkan pembersihan secara hati-hati menggunakan air hangat, sabun lembut, dan sikat berbulu halus. Khusus untuk suweng yang dihiasi berlian atau batu mulia, pemeriksaan rutin oleh ahli perhiasan diperlukan untuk memastikan tatahan permata tetap kuat dan tidak longgar.
Suweng, terutama yang menggunakan teknik filigri, harus disimpan di tempat yang kering dan terhindar dari benturan, karena strukturnya yang berongga rentan terhadap kerusakan mekanis. Kelembaban tinggi, terutama di iklim tropis Indonesia, juga harus dihindari untuk mencegah oksidasi pada logam campuran (jika suweng tersebut bukan emas murni).
Untuk memahami sepenuhnya peran anting suweng, diperlukan analisis etnografi yang mempertimbangkan bagaimana perhiasan ini diposisikan dalam struktur kekerabatan dan praktik sosial spesifik.
Dalam masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal, perhiasan emas, termasuk subang (suweng), sering kali diwariskan dari ibu ke anak perempuan. Subang bukan hanya simbol kekayaan, tetapi juga representasi fisik dari jalur kekerabatan dan kontinuitas kaum (klan). Suweng yang dikenakan oleh seorang perempuan Minang saat upacara adat (seperti Batagak Gala) menunjukkan otoritasnya dalam garis keturunan. Beratnya emas dan kompleksitas desain subang mencerminkan status *rumah gadang* (rumah besar) tempat ia berasal. Ketiadaan emas pusaka, termasuk suweng, dapat diartikan sebagai berkurangnya kemakmuran dan kehormatan kaum tersebut.
Subang pada konteks Minangkabau seringkali berfungsi ganda: sebagai perhiasan dan sebagai aset cair yang dapat digadaikan atau dijual dalam situasi darurat, menjadikannya penjamin ekonomi bagi kaum perempuan.
Berbeda dengan Jawa dan Bali yang menekankan keanggunan, suweng pada suku Dayak di Kalimantan sering kali memiliki kaitan dengan keberanian dan sejarah perang. Pria Dayak tertentu juga menggunakan perhiasan telinga, dan beratnya anting (atau jumlah anting yang dikenakan pada telinga yang diregangkan) bisa menandakan berapa kali ia ikut serta dalam ekspedisi perang atau berburu. Bahan-bahan seperti taring binatang buas atau kuku macan juga sering disematkan, bukan sebagai perhiasan mewah, tetapi sebagai trofi keberanian.
Anting suweng yang dikenakan oleh para pemimpin adat atau *kepala suku* di Dayak Kenyah atau Dayak Iban sering kali memiliki ukiran yang mengacu pada roh penjaga hutan dan sungai, berfungsi sebagai perlindungan magis dalam menjalankan tugas kepemimpinan.
Dalam beberapa tradisi Bali kuno, suweng emas memainkan peran penting dalam upacara pemakaman (Ngaben). Perhiasan-perhiasan ini, yang sering kali merupakan milik pribadi almarhum, dapat disertakan dalam prosesi kremasi. Keyakinan ini didasarkan pada kosmologi bahwa perhiasan, terutama yang terbuat dari emas (yang dianggap sebagai logam suci dan abadi), akan memfasilitasi perjalanan roh ke alam baka dan memastikan status yang layak di kehidupan selanjutnya.
Beberapa suweng yang ditemukan dalam peti jenazah prasejarah di Bali menunjukkan bahwa praktik ini telah berlangsung lama. Hal ini menegaskan kembali bahwa suweng bukanlah ornamen yang dapat dibuang, melainkan benda sakral yang terikat pada takdir dan status spiritual pemiliknya.
Keragaman bentuk suweng di Nusantara sering menimbulkan kebingungan istilah. Penting untuk membedakan antara suweng, anting-anting, dan giwang berdasarkan karakteristik desain dan cara pemakaiannya.
Secara umum, ‘anting-anting’ adalah istilah payung untuk semua perhiasan yang digantungkan di telinga. Sementara itu, ‘suweng’ merujuk pada jenis anting yang lebih spesifik di Jawa dan Bali. Ciri khas suweng adalah:
Anting-anting, di sisi lain, lebih bebas dalam bentuk—bisa berbentuk lingkaran (hoop), menjuntai panjang (drop), atau cluster kecil.
‘Giwang’ sering digunakan secara bergantian dengan anting gantung yang berat. Di Jawa, giwang adalah kategori perhiasan yang memiliki bagian suweng padat di atas (dekat daun telinga) dan bagian hiasan yang menjuntai di bawah. Hiasan gantung ini bisa berupa rantai, mutiara, atau bentuk geometris lainnya. Giwang sering dikenakan pada upacara pernikahan atau resepsi besar karena sifatnya yang lebih mencolok dan meriah.
Di daerah Melayu, subang atau giwang merujuk pada perhiasan telinga yang sangat besar dan seringkali memiliki desain ukiran bunga cengkeh atau motif awan larat yang rumit, menunjukkan pengaruh seni ukir kayu Melayu.
Di era digital, pelestarian anting suweng menghadapi peluang dan tantangan baru. Globalisasi memberikan akses pasar yang lebih luas, tetapi juga ancaman terhadap keaslian desain.
Banyak perajin muda kini bereksperimen dengan suweng. Mereka mempertahankan bentuk dasar kancingan atau spiral, tetapi menggunakan teknologi 3D printing untuk membuat cetakan presisi yang sebelumnya hanya bisa dicapai melalui teknik lilin hilang yang sangat sulit. Inovasi ini memungkinkan replikasi desain purba untuk tujuan studi, sekaligus menciptakan produk baru yang relevan bagi konsumen milenial.
Penggunaan material yang tidak konvensional, seperti perak yang dioksidasi untuk memberikan tampilan kuno atau platinum untuk kontras modern, menunjukkan evolusi tanpa meninggalkan akar historisnya.
Dalam diplomasi budaya, anting suweng sering digunakan sebagai hadiah negara atau dipamerkan dalam ekshibisi internasional. Ia berfungsi sebagai duta kehalusan budaya Indonesia. Pameran-pameran museum di luar negeri yang menampilkan artefak Majapahit dan Sriwijaya, selalu menempatkan suweng emas pada posisi sentral, menyoroti kemajuan peradaban di masa lalu.
Kehadiran suweng di berbagai platform media sosial juga membantu edukasi global, di mana kisah di balik setiap ukiran, dari makna bunga teratai di Bali hingga makna timbangan keadilan di Palembang, dapat diakses oleh khalayak luas, memastikan bahwa kekayaan simbolisnya terus diapresiasi.
Kesimpulannya, anting suweng adalah lebih dari sekadar perhiasan; ia adalah fragmen abadi dari sejarah dan filosofi Nusantara. Dari lapisan emas Sriwijaya hingga ukiran halus keraton Jawa, setiap suweng menyimpan narasi tentang status, kepercayaan, dan keindahan tak tertandingi yang patut dijaga kelestariannya sebagai warisan bangsa yang tak ternilai harganya.