Gambar 1: Jaringan Kompleks Kota dan Fokus Etnografis
Kota bukanlah sekadar kumpulan beton, baja, dan infrastruktur fisik; kota adalah arena sosial, psikologis, dan politik tempat kemanusiaan terwujud dalam bentuknya yang paling padat dan kontradiktif. Antropologi perkotaan muncul sebagai disiplin ilmu yang khusus menyoroti dinamika kompleks ini, berupaya memahami bagaimana kehidupan, budaya, dan identitas dibentuk, dinegosiasikan, dan dipertahankan dalam lingkungan urban yang serba cepat dan seringkali impersonal. Studi ini melampaui batas-batas kota sebagai unit geografis semata, melainkan sebagai ekosistem interaksi sosial yang terstruktur oleh kekuasaan, ekonomi global, dan sejarah lokal yang saling bertaut.
Sejak perkembangannya di awal abad ke-20, terutamanya melalui perintisan Mazhab Chicago, antropologi telah beralih dari studi masyarakat 'primitif' atau terpencil menuju fokus pada realitas modern yang semakin mengglobal. Kota, dengan segala kompleksitasnya—kemiskinan struktural, migrasi masif, fragmentasi sosial, dan revolusi teknologi—menjadi laboratorium ideal untuk menguji teori-teori tentang adaptasi, konflik, dan organisasi sosial di era modernitas lanjut. Tugas antropolog perkotaan adalah mengungkap lapisan-lapisan makna di balik hiruk pikuk permukaan, mencari pola dalam kekacauan, dan memberikan suara kepada kelompok-kelompok yang termarginalisasi oleh narasi kota resmi.
Antropologi perkotaan tidak lahir dalam kevakuman, melainkan tumbuh dari persimpangan sosiologi, geografi, dan etnografi klasik. Transisi dari fokus pedesaan ke urban menandai sebuah perubahan paradigmatik yang signifikan dalam disiplin ilmu ini.
Akar terdalam dari studi urban-sosial seringkali dikaitkan dengan Mazhab Chicago (Chicago School of Sociology) pada dekade 1920-an dan 1930-an. Meskipun awalnya didominasi oleh sosiolog seperti Robert Park, Ernest Burgess, dan Louis Wirth, pekerjaan mereka meletakkan fondasi metodologis dan tematik. Park, dengan konsepnya tentang ‘ekologi manusia’, memandang kota sebagai organisme yang berjuang untuk keseimbangan dan didominasi oleh proses persaingan, invasi, dan suksesi. Mereka menerapkan etnografi mikro—studi tentang geng, gelandangan, dan komunitas imigran—yang sangat memengaruhi pendekatan antropologis.
Louis Wirth, dalam esainya yang berpengaruh, "Urbanism as a Way of Life," menggarisbawahi tiga variabel utama dalam mendefinisikan kehidupan urban: ukuran, kepadatan, dan heterogenitas. Wirth berpendapat bahwa kondisi-kondisi ini menghasilkan kepribadian urban yang spesifik—ditandai oleh anonimitas, segmentasi peran sosial, ketergantungan pada kontrol formal (hukum), dan pelemahan ikatan kekerabatan tradisional. Meskipun pandangan ini kemudian dikritik karena terlalu deterministik dan mengabaikan ketahanan sosial, ini adalah titik awal penting yang menantang antropolog untuk menemukan ikatan sosial yang bertahan di tengah fragmentasi perkotaan.
Kontribusi krusial bagi antropologi perkotaan datang dari Mazhab Manchester (Manchester School) yang dipimpin oleh Max Gluckman di Rhodes-Livingstone Institute di Afrika bagian selatan pasca-perang dunia. Berbeda dengan Chicago yang fokus pada asimilasi dan disorganisasi, Manchester, terutama melalui karya J. Clyde Mitchell, A.L. Epstein, dan Van Velsen, menekankan pentingnya studi tentang konflik, jaringan sosial, dan proses migrasi dari pedesaan ke perkotaan.
Konsep kunci mereka adalah analisis jaringan sosial (*social network analysis*) yang memungkinkan antropolog untuk melacak hubungan-hubungan informal yang melintasi batas-batas permukiman dan etnis formal di kota-kota kolonial dan pasca-kolonial. Mitchell secara khusus menunjukkan bahwa ikatan sosial di kota tidak hilang, melainkan berubah bentuk—dari hubungan berbasis komunitas yang padat (*dense*) menjadi jaringan yang lebih tersebar dan instrumental. Pendekatan ini sangat relevan untuk memahami bagaimana migran mempertahankan koneksi dengan kampung halaman (*hinterland*) sekaligus membangun kehidupan baru di pusat-pusat urban.
Pada paruh kedua abad ke-20, antropologi perkotaan bergerak melampaui fokus pada ekologi dan jaringan sosial untuk mengintegrasikan kritik struktural yang lebih luas, terutama yang berasal dari teori Marxisme dan Neo-Marxisme. Tokoh kunci dalam pergeseran ini adalah Henri Lefebvre, dengan karyanya "The Production of Space" dan konsep "The Right to the City" (*Hak atas Kota*).
Lefebvre berpendapat bahwa ruang bukanlah wadah pasif, tetapi produk sosial yang secara aktif dibentuk oleh kekuatan kapitalis dan negara. Kota modern dipandang sebagai arena konflik di mana modal berupaya memaksimalkan ekstraksi nilai, sementara warganya berjuang untuk mendapatkan hak untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan penggunaan ruang kota. Antropolog yang menganut pandangan ini mulai menganalisis bagaimana kebijakan publik, investasi infrastruktur, dan spekulasi lahan (*land speculation*) menciptakan ketidaksetaraan spasial yang mendalam, memperkuat pemisahan antara area kaya dan permukiman kumuh.
Metodologi klasik antropologi, yang berpusat pada studi mendalam di lokasi tunggal untuk periode waktu yang panjang (etnografi), menghadapi tantangan unik ketika diterapkan pada kota. Kota-kota adalah entitas yang terlalu besar, cair, dan terfragmentasi untuk ditangkap oleh satu titik pandang. Oleh karena itu, antropolog perkotaan telah mengembangkan teknik-teknik yang lebih fleksibel dan multi-situs.
Dipopulerkan oleh George Marcus, etnografi multi-situs mengakui bahwa fenomena sosial kontemporer (seperti migrasi, rantai pasokan global, atau gerakan sosial) tidak terbatas pada satu lokasi. Sebaliknya, mereka beroperasi melintasi batas geografis, menghubungkan kampung halaman, zona industri, dan pusat-pusat keuangan. Dalam konteks urban, metodologi ini memungkinkan peneliti untuk mengikuti jejak subjek mereka—misalnya, mengikuti aliran uang yang dikirimkan oleh pekerja migran, atau melacak lintasan perdagangan informal dari pelabuhan ke pasar di pusat kota.
Etnografi multi-situs sangat penting dalam memahami konsep glokalisasi, yaitu interaksi dinamis antara kekuatan global (seperti pasar saham atau kebijakan IMF) dan respons lokal (seperti munculnya gerakan lokal anti-penggusuran). Ia menuntut antropolog untuk menjadi fleksibel, mampu beralih dari pengamatan mikro di lorong sempit permukiman kumuh ke analisis makro kebijakan di kantor pemerintahan yang ber-AC.
Mengingat masalah etika dan politik yang melekat pada ketidaksetaraan urban, banyak antropolog perkotaan mengadopsi pendekatan partisipatif atau etnografi aktivis. Pendekatan ini melibatkan peneliti bekerja sama dengan komunitas urban—seperti organisasi masyarakat sipil, kelompok advokasi perumahan, atau aktivis lingkungan—untuk mendokumentasikan dan mengatasi masalah mereka. Tujuannya bukan hanya deskripsi, tetapi juga pemberdayaan dan intervensi sosial yang bertanggung jawab.
Etnografi aktivis menantang gagasan netralitas akademik, mengakui bahwa penelitian di lingkungan yang didominasi oleh ketidakadilan struktural secara inheren merupakan tindakan politik. Metodologi ini menuntut refleksi yang mendalam tentang posisi peneliti dan bagaimana pengetahuan yang dihasilkan dapat digunakan sebagai alat perlawanan atau negosiasi bagi penduduk kota yang rentan.
Antropologi perkotaan juga semakin menekankan pentingnya pengalaman spasial dan sensori. Kota tidak hanya dilihat, tetapi juga dicium, didengar, dan dirasakan. Metode 'berjalan kota' (atau *dérive* dalam tradisi Situasionis) memungkinkan peneliti untuk bergerak secara acak atau terstruktur melalui lanskap urban, mencatat bagaimana tubuh bereaksi terhadap ritme kota, kebisingan, dan desain arsitektur.
Fokus pada aspek sensori membantu mengungkap apa yang disebut James Scott sebagai 'ruang yang tidak dapat dibaca'—bagian-bagian kota yang lolos dari kategorisasi atau perencanaan formal pemerintah. Ini termasuk gang-gang belakang, pasar ilegal, atau tempat-tempat pertemuan tersembunyi yang menjadi jantung kehidupan sosial komunitas tertentu.
Studi tentang kota telah menghasilkan berbagai tema yang terus diperbaharui seiring dengan perubahan cepat dalam lanskap global. Berikut adalah beberapa fokus utama yang mendominasi wacana antropologi perkotaan saat ini.
Sebagian besar populasi kota di Global Selatan bertahan hidup melalui apa yang disebut sektor informal—pekerjaan yang tidak teregulasi, tidak terlindungi, dan seringkali tidak terhitung dalam statistik resmi. Antropolog menolak untuk memandang sektor informal hanya sebagai manifestasi kemiskinan atau disorganisasi; sebaliknya, mereka melihatnya sebagai sistem ekonomi yang sangat terstruktur dan adaptif, yang seringkali menopang kota ketika sektor formal gagal.
Permukiman kumuh (*slums* atau *favela*) adalah titik fokus penting. Daripada melihatnya sebagai kegagalan perencanaan, antropolog, seperti Aihwa Ong, menganalisis permukiman ini sebagai hasil dari kegagalan negara dalam menyediakan perumahan yang memadai dan sebagai zona di mana hukum, kekuasaan, dan kewarganegaraan dinegosiasikan ulang setiap hari. Penduduk di permukiman ini seringkali menunjukkan tingkat organisasi sosial dan kohesi yang tinggi, membangun mekanisme pertahanan diri, sistem kredit internal, dan jaringan perlindungan yang kompleks.
Studi antropologi juga menyoroti peran sentral perempuan dalam ekonomi informal. Penjual makanan jalanan, pedagang kaki lima, dan pekerja rumah tangga adalah tulang punggung sistem ini. Penelitian menunjukkan bagaimana perempuan menggunakan ruang publik secara strategis—meskipun ruang tersebut seringkali dianggap maskulin atau berbahaya—untuk mendapatkan penghasilan, membangun jaringan antar-perempuan, dan menegosiasikan peran mereka dalam rumah tangga dan komunitas yang lebih luas.
Kota-kota modern adalah simpul dalam jaringan migrasi global. Antropologi perkotaan secara mendalam menganalisis bagaimana migrasi mengubah demografi kota, menciptakan identitas transnasional, dan memunculkan bentuk-bentuk baru dari kewarganegaraan.
Konsep transnasionalisme menunjukkan bahwa migran mempertahankan koneksi yang vital dengan tanah air mereka, mengirimkan remitansi, mempraktikkan ritual budaya, dan bahkan memengaruhi politik di kedua lokasi. Kota menjadi tempat di mana identitas tidak hanya bersifat lokal atau nasional, tetapi melintasi batas. Antropolog mempelajari 'ruang diaspora'—seperti restoran etnis, toko kelontong, atau kuil—yang berfungsi sebagai jangkar budaya dan ekonomi bagi komunitas transnasional.
Tidak semua penduduk kota menikmati hak yang sama. Antropologi memberikan perhatian khusus pada migran tidak berdokumen, pengungsi, atau penduduk yang tinggal di wilayah abu-abu hukum. Mereka mungkin merupakan warga negara de facto kota (bekerja, membayar pajak, menggunakan layanan publik), tetapi tidak memiliki hak politik de jure. Studi ini mengungkap bagaimana penduduk tersebut menyusun kehidupan mereka melalui praktik-praktik kewarganegaraan alternatif, menuntut pengakuan dan akses tanpa memiliki status hukum formal.
Perkotaan adalah medan pertarungan untuk kontrol atas ruang. Konflik muncul dari ketegangan antara visi kota yang dikendalikan oleh pasar (dikenal sebagai neoliberalisme urban) dan kebutuhan sehari-hari penduduk.
Gentrifikasi—proses di mana wilayah kota yang miskin direvitalisasi dan kemudian dihuni oleh kelas menengah atau atas, yang mengakibatkan penggusuran penduduk asli—adalah subjek utama. Antropolog menganalisis bukan hanya dampak ekonomi dari gentrifikasi, tetapi juga dampak kultural dan sosial. Gentrifikasi menghapus memori kolektif suatu tempat, mengganti toko-toko lokal dengan butik mewah, dan merusak jaringan sosial yang telah dibangun selama beberapa generasi. Penelitian etnografis di sini mengungkap bagaimana penduduk melawan proses ini melalui narasi tandingan dan aktivisme berbasis tempat.
Di banyak kota, ruang publik—taman, alun-alun, dan jalanan—semakin diprivatisasi atau diawasi secara ketat. Hal ini membatasi fungsi tradisional ruang publik sebagai tempat pertemuan politik, debat, dan rekreasi. Antropolog mengamati bagaimana kebijakan keamanan kota (seperti pelarangan pengemis atau penutupan taman pada malam hari) secara efektif mengusir kelompok-kelompok tertentu, terutama kaum muda, tunawisma, dan minoritas. Studi ini menegaskan bahwa akses terhadap ruang publik adalah indikator fundamental keadilan urban.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah cara kita mendiami dan mengalami kota. Konsep 'Kota Cerdas' (Smart City) kini menjadi perhatian utama, tetapi antropologi mengajukan kritik penting terhadap narasi teknologi yang cenderung utopis.
Sementara para perencana memandang teknologi sebagai solusi netral untuk masalah lalu lintas atau kejahatan, antropolog menyelidiki implikasi etika dan sosial dari pengumpulan data massal, pengawasan, dan algoritma yang mengelola kehidupan kota. Siapa yang mendapat manfaat dari teknologi ini? Siapa yang datanya dikumpulkan? Studi etnografis sering menunjukkan adanya ‘bias algoritmik’ di mana teknologi cenderung mereplikasi dan bahkan memperkuat ketidaksetaraan sosial yang ada, misalnya, dalam penargetan kepolisian atau distribusi layanan publik.
Antropologi tidak lagi memisahkan antara kehidupan daring dan luring. Kota dipahami sebagai ruang yang dihibridisasi. Media sosial, misalnya, bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga medan politik urban—tempat mobilisasi protes, penyebaran informasi lokal, dan pembangunan identitas kolektif terjadi. Perhatian diarahkan pada bagaimana interaksi digital membentuk pola mobilitas fisik, memengaruhi keputusan konsumen, dan bahkan mempolarisasi komunitas dalam lingkungan perkotaan yang padat.
Di tengah krisis iklim global, kota telah diakui sebagai penyebab utama dan juga korban dari masalah lingkungan. Antropologi lingkungan urban berfokus pada hubungan yang rumit antara infrastruktur, limbah, air, dan keadilan sosial.
Studi antropologis tentang limbah (sampah) melampaui daur ulang. Mereka meneliti bagaimana sampah—yang merupakan produk sampingan tak terhindarkan dari konsumsi urban—diatur dan didistribusikan. Seringkali, komunitas miskin atau minoritas dipaksa tinggal di dekat tempat pembuangan akhir atau pabrik yang sangat berpolusi, yang merupakan isu utama dalam keadilan lingkungan.
Penelitian tentang 'ekonomi sampah' juga memberikan wawasan tentang para pemulung (pengumpul barang bekas). Antropolog menunjukkan bahwa pemulung tidak hanya membersihkan kota, tetapi juga memiliki pengetahuan spesifik tentang materialitas urban dan memainkan peran penting dalam sistem daur ulang informal yang seringkali jauh lebih efisien daripada sistem formal yang diselenggarakan oleh pemerintah kota.
Infrastruktur (jalan, air, listrik, sanitasi) adalah urat nadi kota. Antropologi infrastruktur menganggapnya bukan hanya sebagai objek teknis, melainkan sebagai artefak politik dan sosial. Siapa yang menerima akses air bersih yang terjamin? Siapa yang menderita pemadaman listrik yang kronis? Jawabannya seringkali terkait erat dengan kelas sosial, etnis, dan koneksi politik.
Studi tentang air di perkotaan, misalnya, mengungkap bagaimana ketersediaan atau kelangkaan air menjadi alat kekuasaan, mendefinisikan batas-batas kewarganegaraan, dan memicu konflik. Etnografi menunjukkan bagaimana keluarga di permukiman informal mengembangkan strategi inovatif—dan seringkali berisiko—untuk mendapatkan kebutuhan dasar ketika jaringan resmi negara gagal menjangkau mereka.
Kota adalah pusat kekuasaan, tempat keputusan politik dibuat dan diimplementasikan, seringkali melalui bahasa perencanaan dan pembangunan. Antropologi menyediakan lensa kritis untuk melihat kekuasaan ini dalam praktik sehari-hari.
Banyak penelitian antropologi secara tradisional fokus pada 'yang terpinggirkan'. Namun, belakangan ini, muncul pergeseran menuju studi birokrasi dan elit urban. Etnografi kantor—mempelajari para perencana kota, pejabat pembangunan, dan arsitek—mengungkap bagaimana ideologi pembangunan, kebijakan, dan moralitas profesional diterjemahkan menjadi perubahan fisik di lanskap kota.
Hal ini membantu memahami mengapa proyek-proyek pembangunan tertentu diprioritaskan (misalnya, infrastruktur untuk investasi asing) sementara kebutuhan dasar penduduk miskin diabaikan. Ini juga menyoroti peran ‘pakar’ dalam membentuk narasi kota, seringkali mengabaikan pengetahuan lokal dan praktik hidup sehari-hari yang dikembangkan oleh warga kota itu sendiri.
Kota-kota adalah tempat protes dan resistensi. Antropolog meneliti bagaimana gerakan sosial urban menggunakan jalanan, alun-alun, dan ruang publik lainnya sebagai panggung politik. Mereka menganalisis ritus protes, simbolisme spanduk, dan formasi tubuh kolektif untuk memahami bagaimana warga kota menantang struktur kekuasaan yang ada.
Politik jalanan tidak hanya tentang tuntutan formal; ia juga tentang klaim atas hak untuk berada di ruang tersebut. Ketika demonstran menduduki alun-alun, mereka secara efektif merebut kembali ruang yang telah diprivatisasi atau diatur oleh negara, menegaskan kembali 'Hak atas Kota' secara empiris.
Antropologi perkotaan terus menghadapi tantangan dalam merespons kecepatan perubahan global. Kota-kota berkembang dengan laju yang luar biasa, didorong oleh kapital finansial yang bergerak cepat dan perubahan iklim yang tak terhindarkan.
Ada perdebatan berkelanjutan mengenai apakah teori urban yang dikembangkan di Global Utara (Eropa dan Amerika Utara) masih relevan untuk memahami dinamika di Global Selatan (Asia, Afrika, Amerika Latin). Kota-kota di Global Selatan dicirikan oleh tingkat informalitas yang jauh lebih tinggi, peran negara yang berbeda, dan pola urbanisasi yang seringkali terjadi tanpa industrialisasi yang memadai.
Antropolog kini berupaya untuk ‘mendemosi’ teori-teori Barat dan membangun konsep-konsep yang lahir dari pengalaman urban di tempat lain—misalnya, teori tentang ketidakpastian (*precarity*) atau teori tentang kekerasan struktural yang endemik dalam konteks pasca-kolonial. Hal ini menuntut adanya dialog yang lebih setara antara para sarjana dari seluruh dunia.
Melakukan etnografi di kota-kota yang ditandai oleh kesenjangan kekayaan yang ekstrem, kekerasan geng, dan pengawasan negara menimbulkan masalah etika yang serius. Antropolog harus bergulat dengan pertanyaan tentang bagaimana melindungi informan mereka yang rentan, terutama ketika penelitiannya mungkin melibatkan kritik terhadap otoritas lokal atau jaringan kriminal yang kuat.
Tanggung jawab peneliti melampaui publikasi akademik. Ada tuntutan yang semakin besar agar hasil penelitian diterjemahkan menjadi kebijakan yang dapat diakses dan diadvokasi oleh komunitas yang mereka pelajari, memastikan bahwa antropologi berfungsi sebagai jembatan, bukan hanya sebagai alat eksploitasi data.
Di masa depan, antropologi perkotaan kemungkinan akan semakin fokus pada aspek temporal dan emosional kehidupan urban. Penelitian tentang ‘ritme kota’ (Lefebvre) mengeksplorasi bagaimana waktu terstruktur—ritme kerja, ritme perjalanan, ritme liburan—dan bagaimana ritme yang berbeda ini saling bertabrakan, menciptakan stres atau harmoni.
Demikian pula, studi tentang 'afek' atau emosi kolektif (kecemasan, harapan, ketakutan) sangat penting. Kota modern seringkali ditandai oleh ketidakpastian yang kronis, entah itu ketakutan akan penggusuran, kecemasan finansial, atau ancaman polusi. Antropolog menggunakan metode yang lebih kualitatif dan fenomenologis untuk menangkap bagaimana perasaan-perasaan ini menggerakkan aksi sosial dan membentuk persepsi tentang masa depan kota.
Antropologi perkotaan adalah disiplin yang secara inheren ambisius. Ia berusaha memahami totalitas pengalaman manusia di lingkungan yang paling kompleks, terkonsentrasi, dan cepat berubah. Melalui lensa etnografi yang mendalam, kita dapat melihat bahwa kota bukan sekadar tempat disorganisasi, melainkan ruang yang dipenuhi oleh makna, perlawanan, dan adaptasi manusia yang luar biasa.
Dari lorong-lorong sempit permukiman informal hingga ruang rapat dewan kota yang formal, antropolog terus menyingkap struktur kekuasaan tersembunyi, jaringan sosial yang kuat, dan narasi budaya yang memungkinkan jutaan orang untuk bertahan hidup dan berkembang. Ketika kota-kota dunia terus tumbuh dan menghadapi tantangan monumental dari perubahan iklim, ketidaksetaraan, dan revolusi teknologi, peran antropologi perkotaan menjadi semakin krusial. Disiplin ini menawarkan perspektif yang membumi, manusiawi, dan kritis, yang sangat dibutuhkan untuk membentuk kota yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua penghuninya.
Analisis mendalam ini menegaskan bahwa untuk memahami masyarakat kontemporer secara keseluruhan, kita harus terlebih dahulu memahami kota—bukan hanya strukturnya yang monumental, tetapi juga interaksi sehari-hari yang membangun dan membongkar dunia urban, satu per satu peristiwa, satu per satu individu, dalam hiruk pikuk yang tak pernah berhenti.