Ilustrasi perbandingan struktur linguistik antara kata kerja bantu eksistensi (seperti 'are') dan ekspresi fungsi ('digunakan untuk') yang diserap dalam tata bahasa Indonesia.
Dalam studi komparatif linguistik antara Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, salah satu tantangan terbesar bagi para pembelajar—baik penutur asli yang belajar bahasa kedua maupun sebaliknya—adalah memahami peran dan substitusi dari kata kerja bantu eksistensi, yang paling sering dijumpai dalam bentuk 'are'. Frasa kunci "are digunakan untuk" merupakan jembatan konseptual yang menuntut analisis mendalam: bagaimana Bahasa Indonesia mengekspresikan keberadaan dan tujuan (fungsi) tanpa perlu secara eksplisit menerjemahkan kata 'are' itu sendiri?
Bahasa Indonesia, sebagai bahasa yang menganut struktur topik-komen dan memiliki tata bahasa yang jauh lebih fleksibel dibandingkan bahasa infleksional, sering kali menghilangkan kopula (kata kerja penghubung 'to be'). Ketidakadaan terjemahan langsung inilah yang memaksa penutur untuk mencari padanan kontekstual yang menggarisbawahi fungsi atau status. Artikel yang komprehensif ini akan mengupas tuntas mengapa 'are' seringkali tersembunyi atau bahkan hilang dalam terjemahan, dan bagaimana struktur 'digunakan untuk' (atau variasi sinonimnya) mengambil alih peran penjelas dalam kalimat Bahasa Indonesia yang rapi dan benar.
Kopula, atau kata kerja penghubung (seperti *is*, *am*, *are* dalam Bahasa Inggris), berfungsi menghubungkan subjek dengan pelengkap (komplemen) yang menjelaskan status, identitas, atau lokasi subjek tersebut. Dalam Bahasa Inggris, penggunaan kopula bersifat wajib. Kontrasnya, Bahasa Indonesia sering kali menggunakan
Struktur tata bahasa Indonesia cenderung berorientasi pada
Pertimbangkan contoh di mana 'are' biasanya digunakan dalam kalimat pasif: "The tools are used for carving." Jika diterjemahkan secara harfiah, kita mungkin mendapatkan "Alat-alat itu adalah digunakan untuk mengukir," yang secara sintaksis terdengar canggung dan tidak alami. Struktur yang benar menghilangkan 'adalah' dan langsung menghubungkan subjek dengan predikat pasif-nya: "Alat-alat itu digunakan untuk mengukir." Keberadaan subjek ('alat-alat itu') sudah diasumsikan sebelum fungsinya dijelaskan. Pemahaman ini sangat krusial; hilangnya 'are' bukan berarti hilangnya maknanya, melainkan maknanya telah dilebur ke dalam struktur kalimat yang lebih ramping.
Meskipun Bahasa Indonesia sering menggunakan zero copula, ada dua kata yang sering disalahartikan sebagai terjemahan langsung dari 'to be', yaitu 'adalah' dan 'merupakan'. Namun, keduanya memiliki fungsi yang jauh lebih spesifik daripada sekadar menghubungkan subjek dan predikat:
Ketika konteksnya adalah status pasif atau fungsi, seperti dalam "are digunakan untuk", jarang sekali salah satu dari kopula ini diperlukan. Struktur pasif yang dimulai dengan prefiks 'di-' (seperti *digunakan*) sudah memadai untuk menyatakan bahwa subjek menerima aksi, dan hubungan ini tidak memerlukan kata penghubung tambahan. Keputusan untuk menggunakan *adalah* atau *merupakan* harus didasarkan pada kebutuhan definitif, bukan kebutuhan gramatikal wajib seperti dalam Bahasa Inggris.
Frasa 'digunakan untuk' adalah predikat majemuk yang sangat efisien. Ini menggabungkan kata kerja pasif ('digunakan', dari akar kata 'guna') dengan preposisi tujuan ('untuk'). Kombinasi ini secara eksplisit menyatakan status (pasif: menerima aksi penggunaan) dan arah (tujuan: preposisi 'untuk'). Dalam konteks kalimat yang ingin menyatakan fungsi, frasa ini menjadi inti penjelasan tanpa perlu bantuan kata kerja eksistensi seperti 'are'.
Ketika 'are' muncul dalam kalimat pasif Bahasa Inggris (misalnya, "The funds
Kombinasi 'di-' dengan kata 'guna' menciptakan 'digunakan', yang secara sempurna mewakili status benda sebagai penerima aksi pemanfaatan. Subjeknya adalah benda atau entitas yang sedang dibicarakan, dan predikatnya adalah aksi pasif tersebut. Kesederhanaan ini adalah kekuatan tata bahasa Indonesia. Tidak ada infleksi kata kerja, dan tidak ada perubahan bentuk kata kerja bantu berdasarkan subjek (singular, plural, atau orang pertama/kedua/ketiga).
Setelah status pasif ditetapkan ('digunakan'), elemen 'untuk' (preposisi) secara langsung mengarahkan pendengar atau pembaca ke tujuan atau manfaat spesifik dari penggunaan tersebut. Ini membedakan penggunaan pasif yang mendefinisikan fungsi (digunakan
Dalam upaya memperkaya narasi, penulis sering menggunakan variasi preposisi tujuan yang mempertahankan makna fungsi yang sama, meskipun 'untuk' adalah yang paling umum:
Pilihan variasi ini tidak mengubah fakta bahwa struktur kalimat Indonesia dengan sukses mengintegrasikan makna eksistensi, status, dan tujuan, yang dalam bahasa Inggris memerlukan struktur S + 'are' + V3 + 'for/to'.
Selain digunakan untuk menyatakan fungsi pasif, 'are' juga sangat sering digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyatakan kondisi, kualitas, atau status berkelanjutan (continuous tense). Bagaimana Bahasa Indonesia mengatasi situasi ini tanpa kata 'are'?
Dalam Bahasa Inggris, 'are' secara gramatikal harus digunakan ketika subjeknya jamak ("The policies
Kualitas 'kompleks' langsung dilekatkan pada subjek ('solusi') tanpa perlu kata penghubung. Keindahan dan efisiensi Bahasa Indonesia terletak pada kemampuannya membiarkan subjek dan predikat atributifnya berdampingan tanpa pemisah gramatikal yang kaku.
Penggunaan 'are' dalam kalimat continuous ("They
Dalam konteks ini, kata 'sedang' mengambil alih fungsi gramatikal yang dalam bahasa Inggris dipecah antara 'are' dan akhiran '-ing'. 'Sedang' adalah penanda waktu (aspek), bukan kata kerja eksistensi, sehingga ia lebih tepat dan tidak membingungkan seperti penerjemahan harfiah 'are'. Ini semakin memperkuat argumen bahwa fungsi 'are digunakan untuk' bukanlah tentang menerjemahkan 'are', melainkan tentang menemukan penanda struktur fungsional yang paling tepat.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk menguraikan berbagai cara Bahasa Indonesia mengekspresikan fungsi dan tujuan, yang semuanya secara konseptual menggantikan kebutuhan akan struktur 'Subjek + are + Predikat Fungsi'.
Banyak kata kerja dalam Bahasa Indonesia sudah mengandung makna fungsi di dalamnya, sehingga menghilangkan kebutuhan untuk kata 'digunakan'. Dalam konteks formal, meskipun 'digunakan untuk' sering dipakai, penulisan yang lebih padat sering memilih kata kerja yang lebih spesifik:
Ketika subjek adalah alat, sistem, atau konsep, seringkali kita dapat langsung menggunakan kata kerja aktif (dengan prefiks 'me-') yang mendeskripsikan apa yang dilakukan subjek tersebut, tanpa perlu pasif 'digunakan'. Ini adalah teknik penulisan yang lebih dinamis dan kuat.
Ketika tujuan yang ditekankan adalah peran atau identitas substitusi, frasa 'berfungsi sebagai' atau 'berperan sebagai' sering digunakan sebagai sinonim yang lebih kaya dan deskriptif untuk 'digunakan untuk'.
Prefiks 'ber-' (berfungsi, berperan) menunjukkan bahwa subjek memiliki kualitas atau status fungsional tertentu secara inheren. Ini berbeda dari 'digunakan', yang menekankan bahwa subjek menerima aksi dari pihak luar. Dalam konteksi ilmiah dan teknis, penggunaan 'berfungsi sebagai' memberikan tingkat formalitas yang tinggi dan ketepatan leksikal.
Elaborasi lebih lanjut mengenai struktur kalimat ini menunjukkan bahwa kekayaan Bahasa Indonesia dalam menyatakan tujuan jauh melampaui terjemahan tunggal. Kita dapat memandang 'digunakan untuk' sebagai payung besar di bawahnya terdapat puluhan cara spesifik untuk mengekspresikan relasi antara entitas dan tujuannya.
Penting untuk dicatat bahwa dalam kerangka berpikir linguistik, setiap pilihan kata mencerminkan nuansa. Memilih
Pemahaman struktural ini paling baik diuji melalui studi kasus di mana penutur non-pribumi sering membuat kesalahan dengan memaksakan struktur 'are' ke dalam tata bahasa Indonesia.
Kesalahan paling umum adalah mencoba mempertahankan kopula ketika menerjemahkan kalimat pasif fungsional. Ini sering terjadi karena penutur merasa kalimatnya 'kosong' tanpa kata kerja penghubung.
Penghapusan 'adalah' pada struktur yang benar menunjukkan bahwa prefiks 'di-' memiliki kekuatan gramatikal yang absolut untuk menyatakan status pasif. Analisis ini harus meluas ke ribuan kata kerja lain yang menggunakan prefiks 'di-'. Contohnya, 'are allocated' menjadi 'dialokasikan', 'are collected' menjadi 'dikumpulkan', dan sebagainya. Dalam semua kasus ini, peran 'are' sebagai penanda pasif telah diinternalisasi oleh prefiks 'di-'.
'Are' juga digunakan untuk menunjukkan lokasi ("The files
Penggunaan 'ada' hanya diperlukan jika eksistensi itu sendiri adalah fokus utama kalimat (misalnya, "Ada file-file di server," yang menekankan keberadaan file). Namun, jika fokusnya adalah lokasi dari subjek yang sudah diasumsikan ada, maka zero copula dengan preposisi 'di' lebih disukai. Ini menunjukkan betapa berbedanya prioritas struktural antara kedua bahasa: Bahasa Inggris memprioritaskan kata kerja eksistensi; Bahasa Indonesia memprioritaskan relasi kontekstual.
Untuk mencapai kedalaman yang diperlukan dalam eksplorasi ini, kita harus membahas bagaimana konsep fungsionalitas dan tujuan diperkuat melalui modifikasi leksikal dan sintaksis yang lebih kompleks dalam Bahasa Indonesia, semuanya terlepas dari kebutuhan 'are'.
Dalam tulisan akademis atau teknis, frasa 'digunakan untuk' terkadang terasa terlalu sederhana. Untuk mengekspresikan bahwa suatu subjek berfungsi atau relevan dalam kaitannya dengan subjek lain, kita menggunakan konstruksi yang menghubungkan relasi, bukan hanya aksi pasif.
Contoh: "The regulations
Kata kerja 'berkenaan' atau 'terkait' adalah kata kerja statif (kata kerja yang mendeskripsikan keadaan atau relasi, bukan aksi). Kata kerja statif dalam Bahasa Indonesia secara inheren tidak memerlukan kopula. Sama seperti 'digunakan untuk' mengatasi aspek pasif dan tujuan, 'berkenaan dengan' mengatasi aspek relasi dan relevansi. Hal ini menunjukkan bahwa sistem linguistik Indonesia menggunakan kata kerja statif yang kaya untuk menggantikan peran 'are' sebagai penanda status non-aksi.
Dalam linguistik formal, kita dapat melihat 'digunakan untuk' sebagai hasil dari transformasi pasif yang menghilangkan agen (pelaku aksi). Ketika kita mengatakan "Pena ini digunakan untuk menulis," kita menghilangkan siapa yang menggunakannya (agen implisit, misalnya: 'orang').
Transformasi ini sah dalam Bahasa Indonesia, dan yang terpenting, ia tidak memerlukan 'adalah' atau 'merupakan'. Ini karena aksi ('menggunakan') dan tujuannya ('untuk menulis') sudah terhubung secara logis, dan prefiks pasif 'di-' sudah memenuhi persyaratan gramatikal. Kesalahan fatal adalah ketika penutur mencoba memaksakan pemisahan subjek dan predikat dengan memasukkan 'adalah', seolah-olah subjek ('Pena ini') perlu diidentifikasi sebelum fungsinya dinyatakan.
Jika kita membahas konteks yang sangat filosofis atau leksikal, kita mungkin menemukan pengecualian, tetapi dalam konteks fungsional praktis (seperti yang diimplikasikan oleh 'digunakan untuk'), zero copula adalah aturan emas. Kedisiplinan dalam menghindari terjemahan harfiah dari 'are' ke dalam konteks fungsional pasif adalah kunci utama untuk mencapai kefasihan dan kealamian berbahasa Indonesia yang tinggi.
Perjalanan kita melalui struktur tata bahasa Indonesia ini menegaskan bahwa padanan untuk konsep "are digunakan untuk" bukanlah terjemahan kata per kata, melainkan adopsi struktur sintaksis yang secara inheren berbeda. Bahasa Indonesia mengedepankan efisiensi, konteks, dan fleksibilitas leksikal daripada kepatuhan kaku terhadap kata kerja bantu eksistensi.
Inti dari pembahasan ini terletak pada tiga pilar utama yang menyerap fungsi 'are':
Dengan demikian, frasa "are digunakan untuk" dalam pikiran pembelajar Bahasa Inggris harus ditransformasi menjadi model struktural yang lebih sederhana dan langsung dalam Bahasa Indonesia:
Penguasaan prinsip ini adalah langkah esensial untuk maju dari pemahaman terjemahan harfiah yang kaku menuju penguasaan nuansa sintaksis yang memungkinkan komunikasi yang lebih efektif, baik dalam konteks teknis, akademis, maupun sehari-hari. Bahasa Indonesia telah menyediakan semua alat leksikal dan morfemis yang diperlukan untuk menyatakan status, fungsi, dan tujuan tanpa perlu bergantung pada kerangka kerja gramatikal bahasa asing.
Di luar aturan tata bahasa formal, pilihan struktur kalimat juga sangat dipengaruhi oleh dimensi pragmatik—bagaimana bahasa digunakan dalam konteks sosial dan komunikasi sehari-hari. Penggunaan 'digunakan untuk' versus alternatifnya juga mencerminkan tingkat formalitas, penekanan, dan bahkan gaya penulisan yang diinginkan oleh penutur atau penulis.
Dalam konteks dokumen teknis, manual pengguna, atau laporan ilmiah, kejelasan dan ketidakambiguan adalah yang terpenting. Di sinilah 'digunakan untuk' menjadi pilihan struktural yang dominan dan paling sering disukai. Alasannya adalah frasa ini sangat eksplisit; ia tidak hanya menyatakan fungsi tetapi juga menyatakan bahwa subjek tersebut berada dalam keadaan dimanfaatkan.
Sebagai contoh, dalam manual peralatan, kalimat seperti "Tuas ini digunakan untuk mengatur kecepatan motor" jauh lebih jelas dan kurang ambigu dibandingkan alternatif yang lebih ringkas seperti "Tuas ini mengatur kecepatan motor." Meskipun yang terakhir secara tata bahasa benar, yang pertama menekankan status tuas sebagai objek pasif yang dimanipulasi untuk tujuan tertentu. Pilihan leksikal ini menunjukkan kesadaran pragmatik penulis akan audiens dan kebutuhan mereka akan kejelasan instruksional.
Sebaliknya, dalam penulisan esai atau narasi yang lebih mengalir, penulis mungkin memilih kata kerja aktif (me-) yang lebih dinamis untuk menjaga ritme kalimat. Fleksibilitas ini memungkinkan penulis Bahasa Indonesia untuk memvariasikan gaya mereka tanpa perlu khawatir mengubah struktur kata kerja bantu, sebuah kemewahan yang tidak dimiliki oleh bahasa yang sangat terinfleksikan seperti Bahasa Inggris.
Tata bahasa yang memungkinkan zero copula dan struktur topik-komen memberikan kekuatan retoris yang unik. Dalam Bahasa Indonesia, elemen yang diletakkan di awal kalimat sering kali dianggap sebagai topik yang ditekankan. Ketika kita menggunakan struktur pasif fungsional, kita secara inheren menekankan subjek (alat atau objek yang sedang dibahas), bukan agen yang melakukan aksi.
Ketika penekanan jatuh pada fungsi (apa yang dicapai), struktur 'digunakan untuk' menjadi penekanan yang kuat. Jika 'are' diterjemahkan secara harfiah, ia akan mengganggu aliran penekanan ini. Misalnya, menambahkan 'adalah' sebelum 'digunakan' dapat mengalihkan penekanan dari fungsi spesifiknya menjadi identitas atau definisi umum dari subjek, yang mungkin bukan tujuan retoris penulis.
Oleh karena itu, penutur asli secara naluriah menghindari kopula dalam konteks pasif fungsional karena mereka tahu bahwa fungsi 'digunakan untuk' sudah cukup kuat untuk membawa makna tanpa perlu penguatan eksistensi yang berlebihan.
Untuk melengkapi tinjauan 5000 kata ini, kita harus memeriksa unit terkecil—morfem—yang membentuk kata kunci kita, serta variasi sintaksis yang sangat jarang digunakan tetapi secara teoritis ada dalam konteks formal dan dialektal.
Kata 'digunakan' adalah contoh sempurna dari efisiensi morfologi aglutinatif Bahasa Indonesia:
Ketika ketiga morfem ini digabungkan, mereka menciptakan satu kata padat:
Meskipun zero copula adalah aturan untuk kalimat pasif fungsional, ada beberapa konteks linguistik yang lebih tua atau sangat formal (sering ditemukan dalam terjemahan teks klasik atau filosofis) di mana kopula dapat muncul bersama predikat pasif. Namun, penggunaan ini hampir selalu dianggap sebagai gaya yang kaku dan jarang digunakan dalam komunikasi modern.
Bahkan dalam kasus ini, 'adalah' tidak diterjemahkan sebagai 'are' secara murni, melainkan sebagai penanda identifikasi atau penekanan yang membantu memisahkan subjek dari klausa penjelas yang panjang. Bagi sebagian besar pembelajar dan penutur, menjauhi struktur ini adalah cara terbaik untuk mencapai kealamian dan kepatuhan terhadap kaidah tata bahasa Indonesia kontemporer.
Perbedaan struktural antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, terutama mengenai keberadaan kopula, memiliki implikasi kognitif yang menarik. Bahasa yang menghilangkan kata kerja eksistensi cenderung lebih fokus pada
Dalam kalimat Bahasa Indonesia, hubungan antara subjek dan atribut (misalnya, 'Meja itu besar') bersifat langsung. Tidak ada filter gramatikal di tengahnya. Ketika kita berbicara tentang fungsi ('Pena itu digunakan untuk menulis'), kita langsung mengaitkan benda dengan aksinya. Hal ini memfasilitasi komunikasi yang sangat langsung dan tidak bertele-tele.
Konsep "are digunakan untuk" merupakan titik didih di mana pemikiran harus beralih dari memprioritaskan "bagaimana benda itu ada" (melalui 'are') menjadi "apa yang terjadi pada benda itu" (melalui 'digunakan'). Transisi kognitif ini adalah fondasi bagi penutur untuk mulai berpikir secara alami dalam kerangka Bahasa Indonesia.
Beberapa linguis berpendapat bahwa penghilangan kopula dalam bahasa-bahasa tertentu mencerminkan pandangan dunia di mana hubungan dan status dianggap inheren atau dinamis, bukan statis. Daripada menyatakan "X adalah Y," Bahasa Indonesia menyatakan "X, Y." Hubungan ini sudah ada, dan tidak perlu diumumkan melalui kata kerja bantu. Ketika kita menyatakan bahwa suatu objek "digunakan untuk" tujuan tertentu, kita mengakui bahwa fungsi tersebut adalah bagian dari realitas objek tersebut saat ini, bukan sekadar identitas formal.
Secara keseluruhan, pemahaman yang mendalam tentang "are digunakan untuk" menuntut bukan sekadar kamus terjemahan, tetapi restrukturisasi menyeluruh terhadap cara kita memahami hubungan antara subjek, aksi, dan tujuan. Bahasa Indonesia, melalui mekanisme morfologi pasifnya yang kuat dan penanda tujuan yang presisi, berhasil menyajikan konsep ini dengan kejelasan dan efisiensi yang luar biasa, membuktikan bahwa kompleksitas gramatikal tidak selalu sebanding dengan kekayaan ekspresif.