Arief Rahman Hakim

Simbol Ketegasan dan Api Idealism Mahasiswa Penggugur Orde Lama

Simbol Idealism Mahasiswa Api Keberanian

Gambar: Simbol Obor dan Buku, Melambangkan Idealism Mahasiswa.

Mukadimah: Garis Takdir di Tahun Gejolak

Sejarah Indonesia sering kali ditandai oleh pergolakan hebat yang melahirkan pahlawan-pahlawan muda, mereka yang tak gentar berdiri di garis depan perubahan, mempertaruhkan masa depan, bahkan nyawa. Di antara nama-nama yang terpatri abadi dalam lembaran transisi kekuasaan yang penuh darah, nama Arief Rahman Hakim berdiri tegak sebagai simbol monumental. Ia bukan sekadar mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI); ia adalah api yang membakar semangat jutaan pemuda di era 1960-an, katalisator yang mempercepat runtuhnya sebuah era dan lahirnya orde politik yang baru.

Periode 1965 hingga awal 1966 merupakan masa yang sangat menentukan bagi arah bangsa Indonesia. Setelah peristiwa tragis yang mengguncang dasar negara, kekosongan politik dan ekonomi yang mengerikan menciptakan kondisi di mana rakyat, terutama kalangan terpelajar, merasa harus bertindak. Hiper-inflasi yang mencapai ratusan persen, ketidakstabilan politik yang akut akibat intrik ideologi, dan hilangnya kepercayaan publik terhadap kepemimpinan yang ada, semuanya bermuara pada satu tuntutan kolektif: perubahan total.

Di tengah pusaran kekacauan inilah, Konsentrasi Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) muncul sebagai kekuatan moral yang menuntut pertanggungjawaban. KAMI, bersama organisasi pelajar lainnya (KAPPI), menyuarakan Tiga Tuntutan Rakyat, atau yang dikenal sebagai Tritura. Tuntutan ini—Pembubaran PKI beserta ormasnya, Perombakan Kabinet Dwikora, dan Penurunan Harga—menjadi mantra perjuangan yang membimbing aksi massa. Arief Rahman Hakim berada di jantung gerakan ini, seorang pemuda dengan integritas dan keberanian luar biasa, siap menghadapi konsekuensi terberat dari idealismenya.

"Kematian Arief bukan hanya duka, tetapi lonceng yang berbunyi sangat keras, memaksa rezim untuk mendengarkan. Ia mengubah demonstrasi menjadi revolusi moral."

Sang Idealist dari Salemba: Profil Arief Rahman Hakim

Arief Rahman Hakim dikenal sebagai sosok yang tenang namun memiliki keyakinan yang kuat terhadap prinsip-prinsip keadilan dan konstitusionalisme. Lahir di lingkungan yang kondusif untuk pendidikan, Arief memilih jalur hukum di Universitas Indonesia, sebuah institusi yang pada masa itu menjadi pusat intelektual dan perdebatan sengit mengenai masa depan negara. Studi hukum memberinya kerangka berpikir yang kokoh mengenai hak dan kewajiban warga negara, serta batas-batas kekuasaan. Ini sangat kontras dengan realitas politik saat itu, di mana prinsip hukum sering kali tunduk pada kepentingan politik.

Keterlibatannya dalam organisasi mahasiswa tidak hanya bersifat akademis. Ia aktif dalam gerakan-gerakan yang berupaya mengkritisi kebijakan pemerintah yang dinilai semakin menjauh dari cita-cita proklamasi. Mahasiswa UI, yang merasa terikat secara moral dan intelektual untuk menjaga kemurnian negara, melihat bahwa Demokrasi Terpimpin telah melenceng jauh. Pemerintahan yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, justru menjelma menjadi kekuatan yang represif dan rentan terhadap infiltrasi ideologi ekstrem.

Dalam KAMI, Arief menemukan wadah untuk menyalurkan energi oposisi konstruktif. KAMI menyatukan berbagai faksi mahasiswa dari beragam latar belakang politik dan agama, yang memiliki satu tujuan bersama: membersihkan negara dari elemen-elemen yang dianggap merusak persatuan dan mengembalikan stabilitas ekonomi. Peran Arief dalam perencanaan strategi aksi, terutama dalam menjaga agar demonstrasi tetap terorganisir dan berpegang pada prinsip non-kekerasan, sangat dihargai oleh rekan-rekannya.

Konteks Sosio-Politik: Kuali Mendidih Indonesia

Untuk memahami kedalaman pengorbanan Arief Rahman Hakim, kita harus menilik kondisi Indonesia pada pertengahan 1960-an. Negara berada di ambang kehancuran ekonomi. Kebijakan konfrontasi terhadap Malaysia telah menguras kas negara, sementara proyek-proyek mercusuar yang mahal tidak menghasilkan manfaat nyata bagi kesejahteraan rakyat. Uang dicetak tanpa kendali, menyebabkan hiper-inflasi yang menghancurkan daya beli masyarakat. Harga kebutuhan pokok meroket drastis dalam hitungan bulan, membuat rakyat miskin semakin tercekik.

Secara politik, negara terpecah-belah antara tiga kekuatan utama: militer, komunis, dan kepemimpinan pusat. Setelah insiden G30S, keseimbangan kekuatan ini hancur. Militer, dengan dukungan penuh dari rakyat, berusaha mengambil alih kontrol, sementara sisa-sisa Orde Lama mencoba mempertahankan kekuasaannya melalui retorika revolusioner yang hampa. Mahasiswa, yang merasa terancam oleh kekacauan ideologi dan kelaparan ekonomi, mengambil peran sebagai penyeimbang moral, menuntut kejelasan dan ketegasan.

Arief dan generasinya menyadari bahwa krisis ini bukan hanya tentang pergantian kepemimpinan, tetapi tentang penyelamatan Republik dari keruntuhan struktural. Mereka menuntut perombakan kabinet bukan atas dasar balas dendam, tetapi karena kabinet yang ada dianggap gagal total dalam mengatasi krisis ekonomi dan gagal menjamin keamanan warga negara. Mereka melihat bahwa sistem politik yang didominasi oleh Demokrasi Terpimpin telah menutup semua jalur kritik yang sehat, sehingga aksi massa di jalanan menjadi satu-satunya cara untuk menyuarakan kebenaran yang ditutup-tutupi.

Simbol Tritura Bubarkan Reformasi Stabilisasi TRITURA

Gambar: Visualisasi Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) Tahun 1966.

Tritura: Titik Balik Perjuangan Mahasiswa

Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) secara resmi dideklarasikan pada 12 Januari. Namun, aksi massa besar-besaran yang dipimpin KAMI dan KAPPI memuncak pada Februari. Tritura bukan sekadar serangkaian permintaan politis; ia adalah manifestasi dari keputusasaan rakyat yang terorganisir. Mari kita bedah lebih dalam signifikansi dari setiap tuntutan, karena ini adalah dasar dari aksi di mana Arief Rahman Hakim gugur.

1. Pembubaran PKI dan Ormas-Ormasnya

Setelah G30S, tuntutan ini bersifat non-negotiable bagi sebagian besar masyarakat. PKI dianggap sebagai dalang dari tragedi nasional dan ancaman fundamental terhadap Pancasila. Meskipun telah terjadi pembersihan besar-besaran, secara hukum PKI masih memiliki status dan pengaruh di beberapa lapis pemerintahan. Mahasiswa menuntut pembubaran resmi dan permanen sebagai jaminan keamanan ideologis negara. Tuntutan ini merupakan upaya untuk menutup babak sejarah yang penuh konflik berdarah dan membuka jalan bagi rekonsiliasi nasional yang bebas dari bayang-bayang ideologi ekstrem.

2. Perombakan Kabinet Dwikora

Kabinet Dwikora dinilai telah gagal total. Kegagalan ini bukan hanya diukur dari kinerja ekonomi, tetapi juga dari kontaminasi unsur-unsur politik yang pro-PKI dan unsur-unsur lain yang dianggap korup dan tidak kompeten. Mahasiswa menuntut penggantian menteri-menteri yang dicurigai terlibat dalam intrik politik atau yang dianggap bertanggung jawab atas krisis ekonomi. Perombakan ini dilihat sebagai prasyarat mutlak untuk memulihkan kepercayaan publik dan memulai pemulihan ekonomi secara serius. Tuntutan ini secara langsung menargetkan pusat kekuasaan, menunjukkan keberanian mahasiswa untuk menantang struktur pemerintahan yang mapan.

3. Penurunan Harga/Perbaikan Ekonomi Rakyat

Ini adalah tuntutan yang paling menyentuh langsung kehidupan sehari-hari masyarakat. Pada puncaknya, inflasi mencapai hampir 600% dalam setahun. Harga beras, minyak, dan sandang berada di luar jangkauan rakyat biasa. Mahasiswa melihat bahwa stabilitas politik tidak akan pernah tercapai tanpa perut rakyat yang kenyang. Aksi demonstrasi sering kali melibatkan ibu-ibu rumah tangga dan pedagang kecil yang bergabung, membuktikan bahwa gerakan mahasiswa memiliki akar yang kuat di tengah penderitaan rakyat. Tuntutan ini menjustifikasi aksi massa sebagai gerakan moral, bukan sekadar perebutan kekuasaan.

Hari Nahas: 11 Februari dan Pengorbanan

Demonstrasi mencapai puncaknya pada Februari, dengan konsentrasi massa terbesar yang bergerak menuju Istana Negara. Tujuannya adalah menyampaikan Tritura secara langsung kepada pucuk pimpinan negara. Suasana sangat tegang. Pemerintah, yang menyadari bahaya gerakan mahasiswa, telah mengerahkan pasukan pengamanan untuk memblokade jalan-jalan utama menuju istana.

Pada 11 Februari, massa mahasiswa KAMI dan KAPPI bergerak dalam jumlah besar. Mereka berhadapan dengan barikade keamanan di sekitar Istana Kepresidenan. Kontak fisik antara demonstran dan aparat tak terhindarkan. Para mahasiswa, termasuk Arief, bersikeras melanjutkan perjalanan mereka, didorong oleh keyakinan bahwa suara rakyat harus didengar. Mereka percaya bahwa kekuatan moral idealismenya akan mampu melunakkan hati para penguasa.

Namun, dalam situasi yang kacau dan penuh emosi itu, tragedi terjadi. Tembakan dilepaskan dari barisan pengamanan. Arief Rahman Hakim, yang saat itu berada di garis depan, terkena tembakan dan gugur di tempat. Detail mengenai siapa penembak dan dari unit mana tembakan itu berasal sering kali menjadi materi perdebatan historiografi, tetapi dampaknya jelas dan tak terbantahkan. Kematian Arief segera menjadi simbol yang sangat kuat.

Kabar gugurnya Arief menyebar cepat. Ia adalah korban pertama dan paling terkenal dari gerakan Tritura. Kematiannya bukan hanya kehilangan seorang mahasiswa, tetapi pengorbanan yang disaksikan oleh seluruh bangsa. Aparat keamanan telah menembak seorang mahasiswa yang hanya membawa spanduk dan tuntutan moral. Tindakan represif ini, alih-alih meredam, justru menyulut api kemarahan massa yang jauh lebih besar.

"Peluru yang menembus Arief Rahman Hakim tidak hanya membunuhnya, tetapi juga menembus dinding pertahanan Orde Lama. Kematiannya adalah saksi bisu kegagalan sistem lama dalam merespons aspirasi rakyat."

Arief Sebagai Simbol: Katalisator Perubahan

Pengorbanan Arief Rahman Hakim memiliki dampak politik yang luar biasa. Jika sebelumnya demonstrasi Tritura dipandang hanya sebagai gangguan, setelah kematiannya, gerakan ini mendapatkan legitimasi moral yang tak terbantahkan. Arief diangkat sebagai Pahlawan Ampera—seorang martir yang gugur demi pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat. Gelar ini diberikan oleh rekan-rekannya dan masyarakat umum sebagai pengakuan atas idealismenya.

Kematian Arief menciptakan gelombang simpati yang mengubah dinamika hubungan antara pemerintah dan mahasiswa. Para mahasiswa, yang kini berduka, semakin bersatu dan menuntut pertanggungjawaban yang lebih keras. Aparat keamanan kini berada di bawah sorotan tajam, memaksa militer untuk mengambil sikap tegas terhadap insiden tersebut.

Tekanan publik yang meningkat drastis setelah Arief gugur menjadi salah satu faktor kunci yang mempercepat langkah-langkah politik selanjutnya. Dalam beberapa minggu setelah tragedi tersebut, situasi menjadi semakin tidak terkendali bagi kepemimpinan lama. Inilah yang kemudian membuka jalan bagi dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), sebuah dokumen yang secara efektif mengalihkan kekuasaan eksekutif dan keamanan kepada pihak militer.

Sejarawan banyak mencatat bahwa tanpa intensitas dan penderitaan yang dihasilkan oleh aksi Tritura dan pengorbanan seperti Arief, transisi kekuasaan mungkin akan memakan waktu lebih lama atau bahkan menghasilkan hasil yang berbeda. Kematian Arief membuktikan bahwa mahasiswa tidak hanya berani bicara, tetapi juga berani mati demi keyakinannya, memecahkan mitos kekuasaan yang tak tersentuh.

Refleksi Mendalam: Idealism Mahasiswa dalam Sejarah Bangsa

Kisah Arief Rahman Hakim bukan sekadar narasi biografi, tetapi studi kasus fundamental mengenai peran kelompok intelektual muda dalam sejarah Indonesia. Sejak era pergerakan nasional, mahasiswa telah berulang kali muncul sebagai kekuatan penyeimbang yang menolak kompromi moral demi keuntungan politik. Mereka adalah ‘penjaga gawang’ etika publik, bergerak ketika institusi formal (parlemen, partai politik) gagal menjalankan fungsinya.

Pada tahun 1966, mahasiswa bertindak atas dasar tanggung jawab historis. Mereka melihat bahwa krisis yang melanda negara adalah krisis multidimensi—ekonomi, politik, dan moral. Mereka menolak pragmatisme politik yang hanya menguntungkan elit tertentu. Dalam pandangan Arief dan rekan-rekannya, negara telah menyimpang terlalu jauh dari jalur yang diamanatkan oleh UUD 1945, dan tugas mereka adalah mengembalikan negara ke rel konstitusional dan keadilan sosial.

Gerakan mahasiswa KAMI/KAPPI mengedepankan tiga pilar kekuatan yang menjadikannya tak tertandingi: Idealism Murni (tidak terikat kepentingan politik praktis), Persatuan Lintas Ideologi (bersatu atas nama rakyat, bukan faksi), dan Keberanian Ekstrem (kesiapan untuk menghadapi risiko fisik). Arief Rahman Hakim mewujudkan ketiga pilar ini. Kematiannya mengabadikan ketiga prinsip tersebut, menjadikannya standar emas bagi gerakan mahasiswa di masa depan.

Apabila kita menganalisis lebih lanjut latar belakang pendidikannya sebagai mahasiswa hukum, tampak jelas bahwa perjuangan Arief bukan didasarkan pada emosi semata, melainkan pada pemahaman mendalam tentang prinsip kedaulatan hukum. Dalam sistem Demokrasi Terpimpin, supremasi hukum telah digantikan oleh supremasi pemimpin. Arief menentang ini. Ia menuntut agar konstitusi dihormati, dan kedaulatan dikembalikan kepada rakyat, bukan di tangan segelintir politisi yang memanfaatkan situasi pasca-konflik untuk kepentingan pribadi mereka.

Pengorbanan dirinya mengirimkan pesan yang jelas: bahwa kedaulatan rakyat lebih mahal dari nyawa mahasiswa. Ini adalah resonansi historis yang memastikan bahwa gerakan mahasiswa selalu memiliki tempat terhormat dalam historiografi bangsa, terlepas dari keberpihakan politik mereka selanjutnya.

Peran KAMI dan Sinergi Aksi

KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) berhasil karena ia mampu mengatasi fragmentasi politik yang biasa terjadi di kalangan mahasiswa. KAMI menyatukan mahasiswa dari UI, ITB, IPB, dan universitas lainnya, yang secara tradisional memiliki pandangan yang berbeda-beda. Mereka menemukan irisan kepentingan kolektif yang lebih besar daripada perbedaan ideologi kampus mereka. Sinergi ini, yang difokuskan pada Tritura, adalah kunci efektivitas gerakan tersebut.

Peran Arief dalam koordinasi dan kepemimpinan di lapangan sangat vital. Dalam kerumitan aksi massa, dibutuhkan pemimpin yang tidak hanya berani tetapi juga mampu menjaga disiplin moral. KAMI berusaha memastikan bahwa aksi mereka, meskipun radikal dalam tuntutannya, tetap bersifat damai dan teratur sejauh mungkin. Tragedi 11 Februari menunjukkan bahwa aparat keamananlah yang gagal menjaga kedamaian, bukan mahasiswa.

Keputusan mahasiswa untuk tidak mundur, bahkan setelah jatuhnya korban, menunjukkan tingkat komitmen yang luar biasa. Mereka tahu bahwa mundur berarti mengakui kekalahan moral dan membiarkan kekuasaan lama terus berkuasa tanpa tandingan. Darah Arief justru menjadi sumpah untuk melanjutkan perjuangan hingga tuntutan Tritura terpenuhi.

Dampak Jangka Panjang: Dari Tritura menuju Orde Baru

Dampak langsung dari kematian Arief Rahman Hakim adalah percepatan krisis legitimasi kepemimpinan lama. Masyarakat luas, yang sudah lelah dengan krisis ekonomi, kini memiliki alasan moral tambahan untuk menuntut perubahan. Peristiwa 11 Februari secara langsung memperkuat posisi kekuatan-kekuatan yang menuntut stabilitas dan ketertiban baru.

Ketika Supersemar dikeluarkan pada 11 Maret, ia menandai akhir dari Demokrasi Terpimpin. Pemerintahan baru, yang kemudian dikenal sebagai Orde Baru, menggunakan Tritura—terutama tuntutan pembubaran PKI—sebagai landasan legitimasi awalnya. Ironisnya, gerakan mahasiswa yang menuntut demokrasi sejati dan perbaikan ekonomi, secara tidak langsung membantu menstabilkan rezim baru yang kelak akan menjadi represif.

Meskipun Orde Baru akhirnya menyerap energi gerakan 1966, pengorbanan Arief Rahman Hakim tetap menjadi pengingat yang menyakitkan. Ia gugur bukan demi mendirikan kekuasaan otoriter baru, tetapi demi terciptanya tatanan yang adil, demokratis, dan sejahtera. Warisan Arief menjadi patokan: setiap gerakan mahasiswa yang benar-benar idealis harus siap menghadapi risiko kehilangan segalanya demi prinsip kebenaran.

Peringatan dan Pengabadian Nama

Untuk mengenang perjuangannya, nama Arief Rahman Hakim diabadikan di berbagai tempat, terutama di lingkungan kampus dan jalan-jalan utama. Hal ini berfungsi sebagai pengingat abadi akan kekuatan pemuda dan keberanian menghadapi otoritas. Peringatan-peringatan ini bukan sekadar monumen fisik, tetapi janji moral bahwa semangat Ampera yang ia wakili tidak akan pernah padam.

Di Universitas Indonesia, ia dihormati sebagai martir kampus. Kisahnya diceritakan kepada setiap generasi mahasiswa baru, menanamkan kesadaran akan tanggung jawab mereka sebagai 'kontrol sosial'. Ia menjadi contoh bagaimana idealism yang dipegang teguh dapat mengubah jalannya sejarah, meskipun harga yang harus dibayar sangat mahal.

Analisis Etos dan Moralitas Gerakan

Gerakan Tritura di mana Arief menjadi bagian intinya, didasarkan pada etos moralitas yang tinggi. Mereka bergerak bukan karena dorongan personal atau ambisi kekuasaan. Mereka bergerak karena kesadaran akan penderitaan kolektif dan ketiadaan jalur penyelesaian yang konstitusional. Etos ini yang membedakan gerakan 1966 dari intrik politik di kalangan elit. Mereka adalah suara hati nurani yang terbungkam.

Dalam konteks historiografi, Arief Rahman Hakim mewakili agent of change yang tidak ternoda. Ia adalah contoh klasik dari figur yang kepolosannya—dalam artian tidak terlibat dalam kejahatan atau korupsi politik—membuat pengorbanannya menjadi murni. Kemurnian ini memberi daya ledak spiritual pada gerakan. Para demonstran lain melihat kematiannya sebagai penegasan bahwa mereka benar: bahwa rezim yang mereka lawan adalah rezim yang kejam dan tidak manusiawi, dan bahwa perjuangan harus terus berlanjut hingga titik darah penghabisan.

Dampak psikologis dari kematian Arief di kalangan pemuda sangat besar. Ia mengubah demonstrasi menjadi perang suci moralitas melawan otoritarianisme yang lalim. Ini adalah titik balik di mana mahasiswa berhenti sekadar memprotes dan mulai menuntut pertanggungjawaban politik yang mendasar. Tanpa pengorbanan ini, sulit dibayangkan bagaimana tekanan terhadap rezim lama bisa mencapai tingkat yang diperlukan untuk memicu transisi kekuasaan secara radikal dan cepat.

Apabila kita merenungkan situasi kekinian, warisan Arief Rahman Hakim mengajarkan pentingnya ketidakberpihakan dalam menjaga demokrasi. Idealism yang ia pegang mengajarkan bahwa mahasiswa harus selalu berdiri di atas kepentingan kelompok, di sisi kebenaran dan keadilan bagi rakyat banyak. Kematiannya menjadi peringatan bahwa kebebasan dan keadilan bukanlah hadiah, melainkan sesuatu yang harus direbut dan dijaga dengan pengorbanan yang tiada henti.

Arief Rahman Hakim, seorang mahasiswa hukum yang mungkin bercita-cita menjadi hakim atau jaksa, takdirnya justru membawanya ke pengadilan sejarah. Di sana, ia menjadi hakim atas nasib bangsanya sendiri, menuntut keadilan dengan nyawanya. Namanya, yang terukir bersama nama pahlawan Ampera lainnya, akan selamanya menjadi bara api yang mengingatkan setiap generasi penerus tentang harga yang harus dibayar untuk membebaskan Indonesia dari cengkeraman ketidakadilan dan kekacauan politik yang merusak.

Kesimpulan: Api yang Tak Pernah Padam

Kisah Arief Rahman Hakim adalah babak penting dalam sejarah modern Indonesia yang penuh dengan pelajaran berharga tentang keberanian sipil dan idealism. Ia adalah lambang transisi, jembatan berdarah dari kekacauan Orde Lama menuju tatanan baru, di mana suara mahasiswa akhirnya didengar. Meskipun hasil politik dari transisi tersebut masih terus diperdebatkan, peran sentral dan pengorbanan Arief Rahman Hakim sebagai katalisator tidak dapat disangkal.

Ia gugur pada usia yang sangat muda, namun warisannya telah melampaui usia. Arief mengajarkan bahwa idealisme bukan hanya konsep yang dipelajari di ruang kuliah, melainkan panggilan yang harus dilaksanakan di jalanan, di tengah bahaya. Kematiannya menandai akhir dari kesabaran rakyat dan awal dari sebuah perubahan besar. Api keberanian yang ia nyalakan terus bersinar, menjadi mercusuar bagi mahasiswa Indonesia di setiap zaman untuk berani menyuarakan kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu sangat mahal harganya.

Pengorbanan Pahlawan Ampera ini adalah cerminan abadi dari pepatah klasik: vox populi, vox dei—suara rakyat adalah suara Tuhan. Dan pada 11 Februari, suara rakyat itu dimaklumatkan dengan darah seorang mahasiswa idealis yang tak gentar menghadapi peluru, demi menyelamatkan masa depan negaranya dari kehancuran ekonomi dan moral.

Perjuangan demi tegaknya amanat penderitaan rakyat adalah tugas yang tak pernah usai.

Menganalisis Kedalaman Krisis Ekonomi 1965-1966

Krisis ekonomi yang melatarbelakangi Tritura bukanlah sekadar ketidaknyamanan, melainkan bencana struktural yang mengancam keutuhan sosial. Ketika Arief Rahman Hakim dan rekan-rekannya turun ke jalan menuntut "Penurunan Harga," mereka berhadapan dengan data inflasi yang melampaui batas kewajaran. Pada akhir 1965, harga-harga naik hampir 200%. Di awal 1966, laju ini semakin menggila. Pemerintah mencoba mengatasinya dengan devaluasi Rupiah yang justru memperburuk keadaan. Kebijakan moneter yang dikeluarkan pada Desember 1965, yang secara efektif memotong nilai mata uang, menciptakan kepanikan masal. Para pemegang uang tunai kehilangan tabungan mereka dalam semalam. Mahasiswa, yang terhubung langsung dengan rakyat biasa melalui aktivitas sosial kampus, menyaksikan langsung penderitaan ini.

Arief, dengan latar belakang hukum dan ekonomi politik, pasti memahami bahwa kegagalan ekonomi ini adalah hasil dari prioritas politik yang salah. Anggaran negara terfokus pada konfrontasi militer dan proyek-proyek prestise, sementara sektor pangan dan kesehatan diabaikan. Tuntutan 'Penurunan Harga' secara efektif adalah kritik terhadap seluruh kebijakan fiskal dan moneter Orde Lama. Ini bukan hanya teriakan kelaparan; ini adalah tuntutan untuk manajemen negara yang rasional dan bertanggung jawab.

Resiliensi KAMI Pasca Tragedi

Seringkali, ketika seorang pemimpin atau simbol gugur, gerakan dapat terpecah atau kehilangan momentum. Namun, yang terjadi pada KAMI setelah 11 Februari adalah kebalikannya. Kematian Arief Rahman Hakim bertindak sebagai sumpah darah yang menguatkan tekad para aktivis. Mereka tidak takut. Mereka marah. KAMI berhasil mengkonsolidasikan kemarahan ini menjadi energi politik yang terfokus.

Setelah penguburan Arief, demonstrasi justru semakin masif. Para mahasiswa mengenakan pita hitam dan membawa spanduk yang mengecam kekerasan aparat. Mereka menggunakan citra Arief sebagai martir untuk memenangkan hati masyarakat yang sebelumnya mungkin ragu-ragu mendukung gerakan tersebut. Dalam waktu singkat, KAMI berhasil mengubah narasi dari 'aksi mahasiswa yang mengganggu ketertiban' menjadi 'perjuangan suci melawan tirani'.

Organisasi KAMI menunjukkan kedewasaan politik yang luar biasa. Meskipun berduka, mereka tetap menjaga struktur komando dan strategi aksi. Mereka bekerja sama erat dengan unsur-unsur TNI yang pro-Tritura, memastikan bahwa gerakan mereka tidak disalahgunakan atau dipandang sebagai pemberontakan tanpa arah. Resiliensi ini adalah bukti bahwa gerakan 1966 memiliki dasar organisasi yang kokoh, bukan hanya sekumpulan massa yang emosional.

Dimensi Hukum dan Konstitusionalisme dalam Perjuangan Arief

Sebagai calon sarjana hukum, prinsip-prinsip yang dipegang Arief Rahman Hakim berakar kuat pada kedaulatan hukum. Dalam Demokrasi Terpimpin, presiden telah mengeluarkan banyak ketetapan yang melampaui batas-batas konstitusi. Mahasiswa hukum melihat ini sebagai erosi sistematis terhadap negara hukum. Tuntutan perombakan kabinet dan pembubaran organisasi tertentu dapat dibaca sebagai upaya untuk mengembalikan checks and balances yang telah lama hilang.

Arief mewakili mahasiswa yang menolak ide bahwa hukum adalah alat kekuasaan semata. Bagi mereka, hukum adalah pelindung keadilan. Ketika mereka berdemonstrasi di depan istana, mereka tidak hanya menuntut pergantian orang, tetapi menuntut pengembalian supremasi konstitusi. Kematiannya, akibat tembakan yang melanggar hukum dan hak asasi manusia, semakin memperkuat argumen mereka bahwa sistem yang berkuasa telah menjadi outlaw terhadap konstitusinya sendiri.

Pengorbanan ini kemudian menjadi rujukan etika bagi profesi hukum di Indonesia. Ia mengajarkan bahwa membela keadilan terkadang memerlukan pengorbanan di luar batas ruang sidang, bahkan jika itu berarti mengorbankan masa depan profesional yang sudah terjamin demi masa depan bangsa yang lebih baik. Arief Rahman Hakim bukan hanya martir politik, ia adalah martir konstitusionalisme.

Warisan untuk Generasi Aktivis Selanjutnya

Warisan Arief Rahman Hakim tidak berhenti pada transisi 1966. Idealismenya terus menginspirasi gerakan-gerakan mahasiswa berikutnya, termasuk peristiwa penting tahun 1974 (Malari) dan klimaksnya pada tahun 1998. Setiap kali mahasiswa merasa bahwa negara telah menyimpang atau kembali ke praktik-praktik otoriter, mereka selalu merujuk kembali pada keberanian Pahlawan Ampera.

Para aktivis tahun 1998, yang menuntut reformasi total dan demokratisasi, mengambil semangat Tritura. Sama seperti Arief yang menuntut pembersihan rezim lama, generasi '98 juga menuntut pembersihan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Kematian mahasiswa pada tahun 1998, seperti yang terjadi pada Arief, kembali menjadi katalisator yang tidak terhindarkan untuk perubahan politik.

Dengan demikian, Arief Rahman Hakim telah menetapkan semacam 'standar pengorbanan' dalam aktivisme mahasiswa Indonesia. Ia mengingatkan bahwa untuk mencapai perubahan fundamental, idealisme harus dibuktikan dengan tindakan nyata dan kesiapan untuk menerima risiko terberat. Ia adalah simbol bahwa mahasiswa tidak hanya berfungsi sebagai 'agen perubahan' tetapi juga sebagai 'penjaga moral' yang siap mati demi prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan kebangsaan.

Seiring waktu berjalan, ingatan kolektif tentang Arief Rahman Hakim mungkin menghadapi tantangan asimilasi dalam narasi sejarah yang lebih besar. Namun, bagi mereka yang memahami periode 1966 secara mendalam, ia adalah bukti hidup bahwa satu nyawa yang dipersembahkan dengan tulus dapat memicu gelombang yang mampu menumbangkan kekuasaan yang dianggap tak terkalahkan. Keberaniannya adalah pelajaran abadi tentang bagaimana kaum muda harus berinteraksi dengan negara ketika negara itu mulai tersesat.

Namanya, diabadikan dalam sunyi sejarah, terus berbisik kepada setiap generasi mahasiswa baru: "Kebenaran harus diperjuangkan, berapa pun harganya."

🏠 Homepage