Kiprah tokoh-tokoh kunci dalam pengembangan sistem ekonomi berbasis syariat Islam di Indonesia seringkali menjadi pilar utama dalam pemetaan arah kebijakan dan filosofi praktik keuangan yang adil. Di antara figur-figur tersebut, nama Arif Rahman Lubis muncul sebagai sosok yang memiliki kedalaman intelektual dan kontribusi praktis yang signifikan, terutama dalam merumuskan kerangka kerja yang tidak hanya legalistik, tetapi juga berorientasi pada kemaslahatan umat. Pemikirannya telah melintasi batas akademis, merasuk ke dalam kebijakan publik, dan membentuk lanskap keuangan syariah kontemporer. Artikel ini akan mengupas tuntas perjalanan intelektual, sumbangsih filosofis, serta implikasi praktis dari pemikiran Arif Rahman Lubis dalam konteks pembangunan ekonomi dan keuangan syariah global, dengan fokus mendalam pada konsep-konsep inti yang ia kembangkan.
Arif Rahman Lubis, sebagai seorang pemikir, tidak dapat dilepaskan dari konteks perkembangan ekonomi Islam pasca-reformasi di Indonesia. Pada periode tersebut, terjadi lonjakan kebutuhan akan kerangka teoretis yang kokoh, yang mampu menjembatani gap antara ajaran normatif Islam (fiqh) dan tantangan kompleks sistem keuangan modern (ekonomi konvensional). Latar belakang pendidikannya yang multidisiplin—meliputi ilmu syariah, hukum, dan ekonomi—memberikannya perspektif unik yang memungkinkan sintesis pemikiran yang utuh dan komprehensif. Perjalanan akademisnya membawanya mendalami secara kritis konsep-konsep tradisional sambil mencari solusi inovatif untuk masalah kontemporer, seperti kemiskinan struktural, ketidaksetaraan distribusi aset, dan volatilitas pasar keuangan global.
Inti dari seluruh kerangka pemikiran Arif Rahman Lubis adalah penekanan yang tak terpisahkan pada Maqashid Syariah, atau tujuan-tujuan luhur hukum Islam. Baginya, ekonomi syariah bukanlah sekadar formalitas menghindari riba, melainkan sebuah instrumen transformatif yang bertujuan mencapai lima pilar utama: perlindungan agama (hifz al-din), perlindungan jiwa (hifz al-nafs), perlindungan akal (hifz al-’aql), perlindungan keturunan (hifz al-nasl), dan yang paling relevan dalam konteks ekonomi, perlindungan harta (hifz al-mal). Namun, Lubis memperluas interpretasi hifz al-mal ini melampaui kepemilikan individu; ia menempatkannya dalam kerangka distribusi yang adil dan pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan bagi seluruh komunitas. Pendekatan ini menempatkan moralitas dan etika sebagai pengawas utama mekanisme pasar.
Ia berargumen bahwa banyak institusi keuangan syariah yang terperangkap dalam "legal formalisme," di mana akad-akad hanya memenuhi persyaratan sah secara fiqh, tetapi gagal mewujudkan spirit keadilan substansial. Kontribusi terbesarnya di sini adalah mendorong pergeseran paradigma dari "hukum transaksi" (fiqh muamalah) menuju "tujuan sosial-ekonomi" (maqashid). Ini bukan hanya kritik, melainkan tawaran metodologi baru: setiap produk keuangan, setiap kebijakan investasi, harus diuji dengan matang sejauh mana ia berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan riil masyarakat, bukan hanya laba finansial bagi pemegang saham.
Pemikiran Lubis dapat dibagi menjadi beberapa pilar teoritis yang saling mendukung, membentuk sebuah ekosistem ekonomi yang ia yakini mampu mengatasi kegagalan sistem kapitalis konvensional. Pilar-pilar ini sangat detail dan membutuhkan analisis mendalam untuk dipahami sepenuhnya.
Kritik tajam Lubis terhadap sistem moneter modern adalah sifatnya yang terlalu abstrak dan terlepas dari nilai-nilai ekonomi fundamental. Ia mengadvokasi penguatan keterkaitan antara penciptaan uang dan aset riil (emas, komoditas, atau infrastruktur produktif). Menurutnya, inflasi struktural dan siklus boom-bust yang merugikan sebagian besar populasi adalah konsekuensi langsung dari sistem uang fiat yang tidak terkendali dan mudah dieksploitasi. Teori ini menuntut bank sentral dan institusi keuangan syariah untuk memprioritaskan pembiayaan sektor riil, seperti pertanian, industri manufaktur skala kecil dan menengah (UMKM), dan pengembangan infrastruktur dasar, alih-alih berspekulasi pada instrumen keuangan derivatif.
Ia menekankan bahwa Murabahah (jual-beli dengan margin keuntungan) dan Ijarah (sewa) yang mendominasi perbankan syariah saat ini, meskipun sah secara fiqh, masih menciptakan risiko yang mirip dengan utang berbunga jika tidak disertai dengan transfer risiko kepemilikan yang substansial. Solusinya terletak pada reaktivasi dan inovasi instrumen berbasis bagi hasil, yaitu Mudharabah dan Musyarakah, yang secara intrinsik menuntut keterlibatan dan tanggung jawab bersama terhadap aset yang dibiayai. Ini adalah pergeseran dari "risiko kredit" menuju "risiko bisnis" yang dibagi secara adil.
Salah satu sumbangan paling orisinal dari Arif Rahman Lubis adalah cetak biru integrasi antara Keuangan Sosial Islam (ISF), yang mencakup Zakat, Wakaf, dan Sedekah, dengan Keuangan Komersial Syariah. Ia melihat pemisahan antara keduanya sebagai kelemahan struktural yang menghilangkan dimensi sosial dari ekonomi Islam.
Lubis mengembangkan model Sinergi Wakaf Produktif Terintegrasi. Dalam model ini, aset wakaf (tanah, bangunan, atau bahkan dana tunai) tidak hanya berfungsi sebagai amal statis. Sebaliknya, aset tersebut dikelola secara profesional melalui instrumen komersial seperti Sukuk Wakaf atau diinvestasikan melalui skema Musyarakah dengan entitas bisnis syariah. Keuntungan yang dihasilkan dari investasi komersial tersebut kemudian dialokasikan kembali untuk tujuan sosial yang ditetapkan oleh waqif (donatur), seperti pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan ekonomi mikro.
Model ini berfungsi sebagai penyangga anti-siklus (counter-cyclical). Ketika pasar komersial mengalami kontraksi, dana sosial yang stabil (Zakat dan Wakaf) dapat disalurkan untuk menjaga daya beli masyarakat miskin dan UMKM, mengurangi ketidakstabilan sosial yang sering terjadi selama krisis ekonomi. Lubis melihat ini sebagai realisasi sejati dari konsep Takaful (saling menanggung) dalam skala makroekonomi. Penetrasi gagasan ini ke dalam kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan lembaga pengelola wakaf menunjukkan dampak praktis dari kerangka teoritisnya.
Dalam ranah fiqh, Lubis dikenal karena penekanannya pada perlunya ijtihad (penalaran hukum) yang metodologis dan kontekstual. Ia menentang pendekatan yang hanya mengutip teks klasik tanpa mempertimbangkan perubahan drastis dalam realitas ekonomi dan teknologi modern. Baginya, fiqh harus menjadi alat yang memecahkan masalah, bukan sekadar membenarkan status quo.
Salah satu area penting yang ia jelajahi adalah regulasi dan etika dalam FinTech Syariah. Lubis menyadari potensi besar teknologi digital untuk mendemokratisasi akses ke layanan keuangan, tetapi ia juga memperingatkan risiko baru, seperti eksploitasi data pribadi dan mekanisme pinjaman online yang berpotensi menyerupai riba modern jika pengawasannya lemah. Ia mengusulkan kerangka kerja etika FinTech yang berbasis pada tiga prinsip: Transparansi Total, Kepemilikan Data yang Amanah, dan Anti-Gharar Algoritmik (menghindari ketidakpastian yang berlebihan yang diciptakan oleh algoritma kompleks).
Lebih jauh lagi, dalam konteks Shariah Governance, Lubis menekankan bahwa Dewan Pengawas Syariah (DPS) harus terdiri dari individu yang tidak hanya memiliki keahlian fiqh, tetapi juga pemahaman mendalam tentang akuntansi, manajemen risiko, dan operasional bisnis. Ini menjamin bahwa fatwa yang dikeluarkan bukan hanya benar secara ritualistik, tetapi juga relevan dan dapat diterapkan secara efektif dalam lingkungan bisnis yang dinamis. Kegagalan DPS memahami model bisnis dapat menyebabkan stagnasi inovasi, sebuah risiko yang dihindari oleh pemikiran Lubis.
Kekuatan Arif Rahman Lubis tidak hanya terletak pada teori, tetapi juga pada kemampuannya menerjemahkan ide-ide tersebut ke dalam praktik institusional. Ia memiliki peran sentral dalam pengembangan beberapa lembaga kunci di Indonesia, yang membuktikan relevansi pemikirannya di tingkat kebijakan.
Dalam konteks regulasi, Lubis berperan aktif dalam fase penyusunan undang-undang dan peraturan pemerintah yang bertujuan memperkuat sektor keuangan syariah. Salah satu kontribusinya yang paling berharga adalah memasukkan klausul-klausul yang menjamin bahwa sengketa keuangan syariah diselesaikan melalui pengadilan agama, yang memiliki yurisdiksi dan pemahaman yang lebih baik tentang aspek fiqh, sekaligus menjaga hak-hak konsumen melalui mekanisme arbitrase syariah yang kredibel.
Ia juga menjadi arsitek di balik standardisasi produk-produk keuangan, terutama dalam hal transparansi risiko. Lubis berkeras bahwa masyarakat harus dapat membedakan secara jelas antara skema pembiayaan yang berbasis utang (debt-based) versus yang berbasis kemitraan (equity-based). Hal ini penting untuk mengedukasi publik agar tidak memperlakukan produk syariah sebagai sekadar "kosmetik" dari produk konvensional, tetapi sebagai alternatif yang berbeda secara fundamental dalam pembagian risiko dan imbal hasil.
Kontribusi detail lainnya adalah dalam kerangka pelaporan keberlanjutan. Lubis mengusulkan bahwa lembaga keuangan syariah wajib melaporkan tidak hanya kinerja finansial (profit), tetapi juga kinerja sosial (people) dan lingkungan (planet), sejalan dengan prinsip Maqashid Syariah. Laporan ini harus mencakup metrik kualitatif dan kuantitatif tentang bagaimana operasi mereka mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang selaras dengan nilai-nilai Islam. Ia melihat transparansi non-finansial ini sebagai kunci untuk membangun kepercayaan publik jangka panjang.
Fokus Lubis pada wakaf produktif telah merevolusi cara institusi filantropi Islam beroperasi. Sebelum intervensi pemikirannya, wakaf seringkali terperangkap dalam bentuk aset statis yang kurang optimal secara ekonomi. Lubis mendorong penggunaan instrumen keuangan modern—seperti obligasi syariah, saham, dan reksa dana—sebagai wadah investasi untuk dana wakaf tunai. Pendekatan ini memungkinkan aset wakaf tumbuh dan menghasilkan arus kas yang berkelanjutan, membiayai proyek-proyek sosial tanpa mengurangi pokok wakaf.
Ia juga memberikan perhatian khusus pada tata kelola (governance) Nadzir (pengelola wakaf). Lubis menekankan bahwa Nadzir harus profesional, akuntabel, dan memiliki keahlian manajemen aset yang canggih. Ia mengadvokasi sertifikasi Nadzir secara nasional untuk memastikan standar etika dan kompetensi yang tinggi. Ide ini kemudian diadopsi oleh badan-badan pengelola wakaf nasional, menciptakan efisiensi dan kredibilitas yang jauh lebih baik dalam pengelolaan dana umat.
Tujuan tertinggi dari ekonomi Islam, menurut Lubis, adalah distribusi kekayaan yang merata dan pencapaian keadilan sosio-ekonomi. Ia mengembangkan sebuah teori distribusi yang berbasis pada prinsip-prinsip Qur’ani dan Sunnah, yang melampaui mekanisme Zakat tradisional.
Lubis secara intensif membahas bahaya Iktinaz, yaitu penimbunan harta yang tidak produktif. Dalam pandangannya, ekonomi Islam tidak mengharamkan akumulasi kekayaan secara mutlak, tetapi menuntut agar kekayaan tersebut diinvestasikan kembali ke dalam ekonomi riil untuk menciptakan lapangan kerja dan manfaat sosial. Jika kekayaan hanya ditimbun (misalnya, dalam bentuk emas yang tidak bergerak atau uang tunai yang disimpan), ia menjadi sasaran Zakat, yang bertindak sebagai disinsentif untuk penimbunan dan insentif untuk investasi.
Ia berpendapat bahwa sistem pajak modern yang tidak adil seringkali membebani pekerja berpenghasilan rendah dan memberikan celah kepada pemegang modal besar. Lubis mengusulkan reformasi pajak yang selaras dengan etos Zakat: memprioritaskan pajak atas aset yang tidak produktif (tanah tidur, modal spekulatif) daripada pajak atas pendapatan kerja. Pendekatan ini secara struktural mendorong modal untuk bergerak, berinvestasi, dan berpartisipasi dalam perekonomian produktif, yang secara otomatis meningkatkan keadilan distributif.
Ketimpangan struktural, menurut analisis Lubis, diperparah oleh dominasi sistem utang (riba-based debt system) yang membuat si kaya semakin kaya melalui bunga, dan si miskin semakin tertekan oleh beban utang. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa inti dari reformasi keuangan syariah harus berupa pergeseran masif ke Equity Financing (pembiayaan berbasis ekuitas/bagi hasil).
Dalam skema Musyarakah dan Mudharabah, risiko dan keuntungan dibagi secara proporsional. Jika sebuah usaha untung, pemberi modal dan pengelola (pelaku usaha kecil) sama-sama menikmati hasilnya; jika rugi, kerugian ditanggung bersama. Model ini secara fundamental lebih adil dan lebih stabil karena tidak ada kewajiban pembayaran yang tetap (bunga) yang dapat memicu kebangkrutan saat terjadi penurunan ekonomi. Lubis secara konsisten mendesak bank syariah untuk meningkatkan porsi pembiayaan berbasis bagi hasil hingga menjadi mayoritas portofolio mereka, sebuah tantangan besar dalam praktik perbankan saat ini yang cenderung memilih instrumen yang lebih mudah dikelola risikonya (seperti Murabahah).
Implementasi teori ini memerlukan perubahan budaya dan regulasi. Budaya bankir harus diubah dari penilai kredit (credit analyst) menjadi penilai risiko bisnis (venture capitalist), dan regulasi harus memberikan insentif pajak dan modal yang lebih besar untuk pembiayaan ekuitas dibandingkan pembiayaan utang. Ia juga mengadvokasi penggunaan teknologi blockchain untuk menciptakan platform crowdfunding syariah yang transparan dan efisien, memungkinkan investor kecil berpartisipasi dalam proyek-proyek bagi hasil skala besar, yang sebelumnya hanya bisa diakses oleh institusi besar.
Pemikiran Lubis tidak terbatas pada batas-batas nasional Indonesia. Ia secara aktif terlibat dalam diskusi global mengenai peran etika dalam ekonomi pasca-krisis keuangan global. Kontribusinya menawarkan perspektif Islam sebagai solusi yang valid terhadap kegagalan pasar modern.
Lubis sangat kritis terhadap filosofi neoliberal yang menempatkan pertumbuhan PDB sebagai satu-satunya tolok ukur kesuksesan, seringkali mengorbankan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Ia mengusulkan bahwa indikator kesejahteraan harus diperluas, mencakup Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kualitas Lingkungan, yang sejalan dengan tujuan Maqashid.
Dalam isu lingkungan, Lubis memposisikan Islam sebagai pelopor ekonomi hijau. Konsep Istislah (kepentingan publik) dan Maslahah harus digunakan untuk melarang aktivitas ekonomi yang merusak lingkungan secara tidak dapat diperbaiki. Ia berpendapat bahwa institusi keuangan syariah memiliki kewajiban etis untuk tidak membiayai proyek-proyek yang berkontribusi terhadap krisis iklim. Ini mendorong konsep "Green Sukuk Syariah" yang dijamin oleh aset infrastruktur energi terbarukan atau konservasi alam, sebuah inovasi yang telah mulai diimplementasikan di pasar modal global.
Lebih lanjut, ia menekankan perlunya de-globalisasi parsial dalam rantai pasokan makanan. Pandemi global menunjukkan kerentanan sistem yang sangat bergantung pada logistik jarak jauh. Ekonomi syariah, melalui prinsip keberlanjutan lokal (local sustainability), harus mendorong investasi pada pertanian lokal, ketahanan pangan, dan industri kecil yang dikelola secara komunal, mengurangi ketergantungan pada fluktuasi pasar komoditas internasional yang seringkali bersifat manipulatif.
Lubis menyadari bahwa semua kerangka teoritis dan regulasi akan sia-sia jika tidak didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten dan berintegritas. Ia mengadvokasi reformasi pendidikan ekonomi Islam. Pendidikan tersebut tidak boleh hanya berfokus pada teknik finansial, tetapi juga harus menekankan pembentukan karakter dan etika Islam yang kuat.
Kurikulum yang ia usulkan harus bersifat interdisipliner, menggabungkan Fiqh Muamalah, Akuntansi Forensik, Manajemen Risiko, dan Filsafat Ekonomi. Tujuannya adalah melahirkan para profesional yang mampu membuat keputusan yang menguntungkan secara finansial sambil mematuhi standar etika tertinggi. Ia sering mengutip pepatah bahwa sistem syariah yang baik di tangan orang jahat akan hancur, tetapi sistem yang lumayan di tangan orang yang berintegritas tinggi akan tetap membawa manfaat.
Untuk memastikan konsep Maqashid bukan hanya jargon teoritis, Lubis mengembangkan metodologi kuantitatif untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan sosial dalam operasional bank dan bisnis syariah. Metodologi ini, yang sering disebut 'Maqashid Index', bertujuan mengkonversi nilai-nilai kualitatif menjadi metrik yang dapat diukur dan diaudit.
Maqashid Index membagi kinerja lembaga keuangan menjadi tiga kategori utama, yang masing-masing memiliki sub-indikator spesifik:
Dengan menggunakan MI, seorang manajer atau regulator dapat melihat apakah sebuah institusi, meskipun menghasilkan laba tinggi, secara substansial gagal dalam memenuhi tujuan sosial-ekonomi Islam. Jika sebuah bank syariah menghasilkan miliaran laba tetapi hanya berfokus pada pembiayaan konsumtif untuk kelas atas dan mengabaikan sektor pertanian, MI-nya akan rendah. Hal ini memaksa institusi untuk menyeimbangkan antara motif laba (profit motive) dan motif sosial (purpose motive).
Metodologi ini menuntut pengenalan kerangka Akuntansi Sosial Syariah yang terpisah dari Akuntansi Keuangan konvensional. Laporan keuangan harus mencerminkan tidak hanya modal fisik, tetapi juga modal manusia, modal sosial, dan modal lingkungan yang telah digunakan atau dihasilkan oleh kegiatan operasional. Konsep ini menantang standar pelaporan akuntansi internasional yang didominasi oleh pendekatan kapitalis sempit.
Meskipun pemikiran Arif Rahman Lubis menawarkan kerangka yang ideal, ia secara realistis mengakui adanya kesenjangan besar antara teori dan praktik (the implementation gap). Mengatasi kesenjangan ini menjadi fokus terakhir dari karya-karyanya.
Salah satu tantangan terbesar adalah menciptakan rezim regulasi yang koheren. Lubis berpendapat bahwa regulasi syariah seringkali meniru regulasi konvensional, hanya menambahkan lapisan fiqh. Ini menghambat inovasi. Ia mengadvokasi regulasi yang bersifat principla-based (berbasis prinsip) daripada rule-based (berbasis aturan rinci). Regulasi berbasis prinsip memberikan ruang bagi institusi untuk mengembangkan produk inovatif selama mereka mematuhi prinsip inti Maqashid dan menghindari riba, gharar, dan maysir.
Selain itu, ia menyoroti pentingnya Arbitrase Syariah yang kuat. Ketika sengketa muncul, keputusan harus cepat, adil, dan didasarkan pada interpretasi fiqh kontemporer yang relevan. Kelemahan dalam sistem penyelesaian sengketa dapat merusak kepercayaan investor dan konsumen. Lubis menyarankan pembentukan badan arbitrase regional yang didukung oleh database fatwa yang terpadu dan transparan, mengurangi ambiguitas hukum yang sering menghambat pertumbuhan sektor ini.
Pembiayaan berbasis ekuitas (Mudharabah/Musyarakah) seringkali kurang populer di kalangan bank syariah karena masalah likuiditas; instrumen ini sulit diperdagangkan di pasar sekunder. Lubis mengusulkan pengembangan Pasar Modal Syariah yang lebih dinamis melalui instrumen Sukuk Musyarakah yang terstruktur, yang memungkinkan investor untuk keluar dari investasi bagi hasil mereka tanpa membubarkan kemitraan secara prematur.
Ia juga mendorong sentralisasi pengelolaan likuiditas di tingkat bank sentral, di mana kelebihan dana dari satu institusi syariah dapat disalurkan secara efisien ke institusi lain yang membutuhkan, menggunakan instrumen syariah seperti Wakala (perwakilan) atau Qardh Hasan (pinjaman tanpa bunga), yang menjaga agar dana tetap bersirkulasi dalam ekonomi riil dan mencegah praktik "parkir" dana yang tidak produktif di pasar uang konvensional. Model likuiditas yang kooperatif ini adalah kunci untuk mengurangi risiko sistemik dalam industri syariah secara keseluruhan.
Warisan intelektual Arif Rahman Lubis adalah pembangunan jembatan yang kokoh antara idealisme Islam dan pragmatisme ekonomi modern. Ia berhasil mengangkat diskursus ekonomi syariah dari sekadar kajian fiqh komparatif menjadi ilmu ekonomi terapan yang memiliki alat ukur, model matematis, dan kerangka implementasi yang jelas.
Visi masa depan yang ia tawarkan adalah tentang Ekonomi Syariah sebagai Sistem Otonom. Sebuah sistem yang tidak lagi hanya menjadi pelengkap atau subsistem dari ekonomi konvensional, tetapi sebuah model alternatif yang mampu berdiri sendiri dan menawarkan solusi global terhadap masalah kemiskinan, ketidaksetaraan, dan krisis lingkungan. Pencapaian visi ini bergantung pada keberhasilan generasi penerus dalam:
Arif Rahman Lubis telah meletakkan fondasi teoretis yang menantang: bahwa ekonomi Islam harus diukur bukan dari seberapa besar aset yang dikelolanya, melainkan dari seberapa adil distribusi aset tersebut, seberapa kuat ia melindungi yang rentan, dan seberapa tulus kontribusinya terhadap kemaslahatan seluruh umat manusia. Kontribusinya akan terus menjadi rujukan esensial bagi akademisi, praktisi, dan pembuat kebijakan yang berjuang mewujudkan sistem ekonomi yang beradab dan berkelanjutan. Kedalaman analisisnya tentang interkoneksi antara Maqashid Syariah dan instrumen keuangan modern memberikan peta jalan yang jelas menuju perwujudan keadilan ekonomi global yang dicita-citakan oleh Islam.
Dalam upaya menjauhkan praktik keuangan syariah dari sekadar replikasi produk konvensional, Arif Rahman Lubis memperkenalkan metodologi pengambilan keputusan yang disebut "Analisis Risiko Maqashid" (ARM). ARM berargumen bahwa risiko harus dievaluasi tidak hanya dari perspektif kerugian finansial (risk of default atau market risk), tetapi juga dari perspektif kerugian sosial atau etika (Maqashid loss).
ARM mengidentifikasi beberapa kategori risiko etika yang perlu diukur dan dikelola secara proaktif:
Dengan mengintegrasikan ARM, sebuah proyek investasi harus melewati ambang batas kelayakan ganda: kelayakan finansial tradisional (NPV, IRR) DAN kelayakan etika (low RFL, low RKD, low RLS). Jika sebuah proyek menghasilkan IRR tinggi tetapi memiliki RLS yang ekstrem (misalnya, melibatkan penggundulan hutan besar-besaran), proyek tersebut harus ditolak sesuai dengan tuntutan Maqashid Syariah, meskipun menjanjikan keuntungan finansial jangka pendek. Metodologi ini menuntut adanya unit manajemen risiko yang tidak hanya terdiri dari ahli keuangan, tetapi juga ahli syariah dan ilmuwan sosial.
Lubis percaya bahwa dengan memasukkan risiko Maqashid ke dalam harga modal, institusi syariah akan secara alami terdorong untuk berinvestasi pada proyek-proyek yang memiliki dampak sosial positif dan berkelanjutan. Ini adalah mekanisme pasar yang ditanamkan secara etis. Bank yang mengabaikan risiko Maqashid mungkin mendapatkan laba dalam jangka pendek, tetapi akan menghadapi reputasi buruk dan ketidakstabilan sosial dalam jangka panjang, yang pada akhirnya akan merusak nilai pemegang saham.
Selama bertahun-tahun, perdebatan sering muncul apakah ekonomi syariah adalah bagian dari fiqh (hukum Islam) atau disiplin ilmu ekonomi tersendiri. Arif Rahman Lubis dengan tegas memposisikannya sebagai disiplin mandiri, yang menggunakan prinsip-prinsip fiqh sebagai sumber normatif, tetapi menggunakan alat analisis ekonomi modern untuk tujuan implementasi dan optimasi.
Pendekatan fiqh-sentris yang kaku, menurut Lubis, cenderung fokus pada pertanyaan sah atau tidaknya suatu transaksi (halal atau haram), namun seringkali mengabaikan pertanyaan tentang efisiensi, keadilan distributif, dan dampak makroekonomi. Misalnya, dari sudut pandang fiqh, Murabahah yang memenuhi rukun dan syarat dianggap sah. Namun, dari sudut pandang ekonomi syariah (yang berorientasi Maqashid), jika Murabahah menjadi 90% dari portofolio bank dan menciptakan lingkungan yang mirip dengan pembiayaan berbasis utang, maka meskipun sah, ia gagal dalam mencapai tujuan Maqashid.
Oleh karena itu, Lubis mengadvokasi perumusan Teori Nilai Syariah yang berbeda dari teori nilai utilitas marjinal konvensional. Teori Nilai Syariah ini menempatkan maslahah (kemaslahatan) sebagai fungsi utilitas utama. Keputusan ekonomi tidak hanya didorong oleh maksimisasi laba individu, tetapi oleh maksimisasi maslahah kolektif. Ini menuntut modifikasi pada model-model ekonomi standar, seperti fungsi produksi dan konsumsi, untuk memasukkan variabel etika, Zakat, dan Wakaf sebagai faktor endogen yang mempengaruhi kesejahteraan.
Kontribusi Lubis juga meluas ke kebijakan fiskal makroekonomi. Ia mendorong penggunaan instrumen fiskal Islami untuk menstabilkan perekonomian. Ia mengusulkan bahwa pemerintah harus mengeluarkan Sukuk berbasis aset riil dan proyek infrastruktur produktif (bukan sekadar Sukuk berbasis utang), yang secara langsung mengikat modal investor pada pembangunan nasional.
Selain itu, ia melihat Zakat sebagai alat fiskal yang kuat. Jika dikelola secara sentral dan profesional, Zakat dapat berfungsi sebagai jaring pengaman sosial yang memitigasi dampak resesi. Lubis menyarankan agar Zakat tidak hanya didistribusikan secara konsumtif, tetapi juga diinvestasikan secara produktif dalam bentuk modal kerja bagi mustahiq (penerima Zakat) yang memiliki potensi wirausaha. Transformasi Zakat dari bantuan karitatif menjadi modal ventura sosial adalah salah satu ide revolusioner yang ia usung, memberikan solusi permanen terhadap kemiskinan alih-alih bantuan sementara.
Melihat semakin kompleksnya pasar keuangan global dan munculnya instrumen baru (seperti kripto syariah), Lubis menekankan pentingnya tata kelola (governance) yang adaptif namun tetap memegang teguh prinsip etika.
Lubis menggarisbawahi perlunya DPS yang independen dan memiliki kekuatan veto substansial. DPS tidak boleh hanya bertindak sebagai 'stempel' legalitas transaksi. Ia mengusulkan agar anggota DPS harus menjalani uji kelayakan dan kepatutan yang ketat, dan rotasi jabatan harus diatur untuk mencegah konflik kepentingan yang timbul akibat hubungan yang terlalu erat dengan manajemen bank. Standar etika bagi anggota DPS harus setara dengan standar auditor independen.
Dalam konteks transaksi modern, Lubis meninjau ulang konsep Gharar (ketidakpastian). Ia berpendapat bahwa di era informasi, banyak ketidakpastian dapat dan harus dihilangkan melalui transparansi kontrak yang total dan penggunaan teknologi. Misalnya, dalam platform investasi digital, semua risiko yang melekat pada aset (risiko Mudharabah) harus disajikan secara jelas, sederhana, dan mudah diakses oleh investor awam. Gagal memberikan informasi yang memadai sama dengan menciptakan Gharar yang dilarang.
Lubis memandang bahwa inovasi harus selalu tunduk pada maslahah. Jika sebuah produk FinTech sangat canggih tetapi hanya melayani spekulasi atau menciptakan volatilitas sistemik, produk tersebut harus dilarang, meskipun memenuhi kriteria fiqh formal yang minimal. Keseimbangan antara inovasi teknis dan integritas etika adalah tantangan terbesar bagi keuangan syariah di era digital, dan pemikiran Arif Rahman Lubis memberikan panduan yang kokoh untuk menavigasi tantangan tersebut. Keberlanjutan sistem syariah tidak ditentukan oleh kecepatan pertumbuhannya, melainkan oleh kekokohan fondasi etika yang ia pertahankan.
Inilah inti dari seluruh kerangka intelektual yang diwariskan oleh Arif Rahman Lubis: sebuah panggilan untuk kembali kepada tujuan luhur syariat, merumuskan solusi kontemporer dengan integritas, dan membangun sistem yang tidak hanya menghindari yang haram, tetapi secara aktif mewujudkan yang adil dan mensejahterakan. Dampak pemikirannya, yang tertanam dalam kebijakan, regulasi, dan praktik institusional, terus membentuk masa depan ekonomi syariah di Indonesia dan dunia.