Menggali Kearifan Arsitektur Sunda: Harmoni Manusia, Kosmos, dan Alam

Arsitektur tradisional Sunda, yang berakar kuat di wilayah Jawa Barat dan Banten, bukan sekadar teknik membangun tempat tinggal. Ia adalah manifestasi fisik dari filosofi hidup masyarakat Sunda yang menjunjung tinggi keseimbangan (kesejajaran) dan keselarasan dengan alam semesta. Setiap detail konstruksi, mulai dari pemilihan bahan hingga orientasi bangunan, menyimpan makna kosmologis dan sosial yang mendalam. Rumah adat Sunda adalah sebuah teks budaya yang menceritakan hubungan harmonis antara Manusa (Manusia), Gunung (Pegunungan/Atas), dan Laut (Lautan/Bawah).

Prinsip utama yang melandasi seluruh corak Arsitektur Sunda adalah Ngahiji Jeung Alam (menyatu dengan alam). Bangunan harus bersifat sementara, mudah kembali ke bumi, dan sebisa mungkin tidak merusak lingkungan saat didirikan. Inilah yang mendorong penggunaan material organik, sistem struktur panggung, dan metode sambungan tanpa paku, menjadikannya model arsitektur berkelanjutan yang relevan hingga masa kini.

Inti dari arsitektur vernakular Sunda adalah adaptasi. Struktur rumah harus mampu menyesuaikan diri dengan topografi wilayah yang berbukit, curah hujan yang tinggi, dan ancaman gempa bumi. Ketinggian rumah panggung adalah jawaban fungsional sekaligus simbolis terhadap tantangan-tantangan ini.

1. Filosofi Hidup dalam Struktur Bangunan

Rumah Sunda didirikan berdasarkan tiga pilar filosofi yang mencerminkan pandangan dunia (kosmologi) mereka:

1.1 Konsep Tiga Dunia (Triloka)

Struktur panggung secara inheren membagi rumah menjadi tiga zona vertikal, merefleksikan konsep alam semesta dalam kepercayaan Sunda:

Pemisahan ini memastikan bahwa manusia hidup di zona yang bersih dan terangkat, menghormati bumi di bawahnya, dan menjaga kontak spiritual dengan langit di atasnya.

1.2 Orientasi Kosmis dan Tata Letak

Penentuan arah rumah (orientasi) adalah proses ritual yang sangat penting, seringkali harus mengikuti arah matahari terbit dan terbenam, atau hubungan antara Gunung (ketinggian) dan Laut (kedalaman). Di banyak komunitas adat, rumah harus menghadap ke arah yang dianggap memiliki energi baik, misalnya tegak lurus terhadap arah mata angin (Utara-Selatan) atau sejajar dengan kontur tanah.

Selain arah, orientasi ruang juga mencerminkan tata krama. Misalnya, bagian depan rumah selalu digunakan untuk menerima tamu (ruang publik), sementara bagian belakang (pawon/dapur) adalah area paling pribadi dan sakral yang dikuasai oleh Ibu rumah tangga.

2. Bahan Baku Organik dan Kearifan Konstruksi

Kekuatan dan keindahan Arsitektur Sunda terletak pada penggunaan material yang 100% berasal dari lingkungan sekitar, meminimalkan jejak ekologis. Proses pemilihan dan pengolahan bahan dilakukan secara hati-hati, seringkali disertai ritual agar bahan tersebut ‘bernyawa’ dan mampu melindungi penghuninya.

2.1 Penggunaan Bambu yang Ekstensif

Bambu (awi) adalah material paling dominan, melambangkan elastisitas, kekuatan, dan daya tahan terhadap gempa. Berbagai jenis bambu memiliki peran spesifik:

2.2 Kayu dan Ijuk sebagai Pelengkap

Kayu (biasanya Jati, Nangka, atau Rasamala) digunakan untuk bagian struktur yang memerlukan stabilitas mutlak, seperti balok penyangga utama (umpak). Kayu yang dipilih pun harus dipotong pada waktu tertentu dan dari pohon yang tidak memiliki cacat, sesuai kepercayaan adat.

Untuk penutup atap, material yang paling umum adalah ijuk (serat hitam pohon enau), kiray (daun kirai), atau hateup (jerami). Ijuk sangat disukai karena kemampuannya menahan panas, kedap air, dan memiliki daya tahan hingga puluhan tahun. Penggunaan sirap (kayu tipis) juga ditemui, terutama di wilayah yang lebih modern atau memiliki akses ke kayu berkualitas tinggi.

Ilustrasi Sistem Struktur Pasak dan Bambu Diagram sederhana yang menunjukkan sambungan tiang dan balok menggunakan pasak, ciri khas konstruksi rumah Sunda yang tahan gempa. Soko (Tiang) Balok (Lambang) Soko Sambungan Pasak (Tahan Gempa) Ilustrasi sederhana sistem sambungan pasak pada struktur rumah Sunda yang memberikan fleksibilitas dan ketahanan terhadap getaran gempa.

2.3 Teknik Sambungan Non-Paku

Penggunaan pasak, tali ijuk, dan takikan (encok) adalah ciri khas konstruksi Sunda. Metode ini menghasilkan struktur yang ‘hidup’ dan lentur. Ketika terjadi guncangan, sambungan ini tidak patah melainkan berayun dan kembali ke posisi semula. Penggunaan paku besi dianggap melemahkan ikatan spiritual dan fisik kayu, serta mengganggu siklus alamiah material tersebut.

Sambungan yang paling fundamental adalah Umpak Batu. Tiang utama (soko) tidak ditanam ke dalam tanah, melainkan diletakkan di atas batu datar yang berfungsi sebagai pondasi. Ini mencegah pembusukan kayu oleh kelembapan tanah sekaligus meningkatkan kemampuan struktur untuk bergerak saat terjadi gempa.

3. Tipologi Atap: Simbol dan Makna

Bentuk atap adalah elemen arsitektur yang paling ekspresif dalam tradisi Sunda, masing-masing memiliki nama dan makna filosofis yang berbeda. Kemiringan atap yang sangat curam (seringkali lebih dari 45 derajat) berfungsi praktis untuk mengalirkan air hujan yang melimpah, namun secara simbolis juga menunjuk ke langit.

3.1 Suhunan Jolopong (Lurus Memanjang)

Jolopong berarti ‘lurus terentang’ atau ‘telentang’. Ini adalah bentuk atap paling sederhana dan paling umum. Atap ini memiliki dua bidang miring yang bertemu di satu bubungan (puncak) lurus. Ia sering dianggap sebagai bentuk dasar atau prototipe.

Filosofi: Sederhana, praktis, dan jujur. Merefleksikan gaya hidup yang tidak neko-neko dan efisien dalam penggunaan material. Ia sering dijumpai pada rumah-rumah sederhana atau bangunan pendukung seperti lumbung (leuit) yang tidak memerlukan detail rumit.

3.2 Suhunan Parahu Kumureb (Perahu Terbalik)

Bentuk ini memiliki empat bidang atap. Dua bidang utama bertemu di bubungan, sementara dua bidang di sisi depan dan belakang ditambahkan untuk menutup ruang tambahan. Jika dilihat dari samping, bentuknya menyerupai perahu yang terbalik (terkurap).

Filosofi: Melambangkan kesiapan dan perlindungan. Dalam budaya agraris, perahu sering dikaitkan dengan perjalanan dan perlindungan. Bentuk ini lebih kompleks dari Jolopong dan sering digunakan pada rumah-rumah yang dihuni oleh keluarga dengan status sosial yang lebih tinggi atau rumah yang memiliki teras depan yang lebih lebar.

3.3 Suhunan Julang Ngapak (Burung Merentang Sayap)

Ilustrasi Atap Julang Ngapak Gambar siluet rumah adat Sunda dengan atap Julang Ngapak, yang menyerupai burung merentang sayap, melambangkan kebebasan dan perlindungan. Suhunan Julang Ngapak Bentuk atap Julang Ngapak, simbolisasi sayap burung yang siap terbang, melambangkan kemakmuran dan penjagaan.

Julang Ngapak (yang berarti ‘burung yang sedang mengepakkan sayap’) adalah salah satu bentuk atap yang paling indah dan khas Sunda. Ciri utamanya adalah adanya bagian atap yang melebar keluar di kedua sisi ujung bubungan (disebut juga ‘sayap’).

Filosofi: Melambangkan kemakmuran, perlindungan, dan kebebasan. Burung (Julang) adalah simbol hewan yang dekat dengan langit dan keagungan. Bentuk ini sering digunakan pada rumah kepala adat atau di kampung-kampung adat tertentu yang masih memegang teguh tradisi, seperti Kampung Naga.

3.4 Suhunan Badak Heuay (Badak Menganga)

Bentuk atap ini memiliki dua bidang miring yang bertemu di tengah, namun bidang di bagian depan dibuat lebih panjang dan turun jauh, seolah-olah ‘menganga’ atau terbuka lebar. Atap depan ini berfungsi sebagai peneduh teras yang sangat lebar.

Filosofi: Mencerminkan keramahtamahan dan keterbukaan. Area teras yang lebar (disebut juga golodog atau tepas) menunjukkan kesiapan tuan rumah menyambut tamu. Badak adalah simbol kekuatan dan keagungan alam, menunjukkan rumah yang kokoh dan berwibawa.

3.5 Suhunan Tagog Anjing (Anjing Duduk)

Atap Tagog Anjing menyerupai posisi anjing yang sedang duduk tegak, dengan kaki depan terentang. Bentuknya terdiri dari dua bidang, di mana bidang utama berbentuk persegi panjang, dan bidang tambahan di depan dibuat lebih rendah dengan kemiringan yang berbeda, membentuk semacam ‘topi’ atau teritisan.

Filosofi: Kesetiaan dan penjagaan. Anjing yang duduk adalah gambaran penjaga rumah yang setia. Bentuk ini sangat fungsional untuk wilayah dengan curah hujan ekstrem, karena teritisan yang bertingkat memastikan air tidak jatuh dekat dinding.

3.6 Suhunan Capit Gunting

Capit Gunting sebenarnya lebih merupakan ornamen di ujung bubungan, bukan bentuk atap keseluruhan. Ia adalah dua kayu (atau bambu) yang disilangkan di ujung atas atap, menyerupai gunting terbuka.

Filosofi: Simbol pelindung dari roh jahat dan penanda batas. Walaupun sering digunakan pada lumbung padi (Leuit), penggunaan pada rumah tinggal juga ada, berfungsi sebagai penahan bubungan sekaligus penegas status sosial.

4. Tata Ruang dan Pembagian Fungsional yang Sakral

Rumah Sunda tidak hanya dibagi secara vertikal (Triloka), tetapi juga secara horizontal (tata ruang), mencerminkan hirarki fungsi dan interaksi sosial dalam keluarga. Pembagian ini hampir seragam di seluruh komunitas Sunda tradisional.

4.1 Golodog atau Teras (Ruang Transisi)

Golodog adalah tangga sekaligus teras kecil di depan rumah. Teras ini menjadi ruang transisi dari dunia luar yang ‘kotor’ menuju dunia dalam yang ‘bersih’. Di sini tamu biasanya disambut sebelum dipersilakan masuk lebih dalam. Golodog seringkali hanya berupa balok kayu besar atau batu pijakan, berfungsi sebagai tempat membersihkan kaki.

4.2 Tepas atau Panghareup (Ruang Publik)

Ini adalah ruang depan, berfungsi sebagai ruang tamu. Sifatnya publik dan maskulin, tempat kepala keluarga (Bapak) menerima tamu atau mengadakan musyawarah kecil. Ruangan ini harus selalu bersih dan rapi. Di sini tidak ada perabotan yang berlebihan, mencerminkan kesederhanaan hidup.

4.3 Jero atau Imah (Ruang Keluarga/Inti)

Jero (dalam) adalah inti rumah, area privat bagi keluarga. Di sinilah aktivitas makan, tidur, dan berkumpul utama dilakukan. Secara adat, bagian ini adalah pusat spiritual dan emosional rumah tangga. Penempatan kamar tidur mengikuti hirarki usia atau status dalam keluarga.

Pada beberapa komunitas, di tengah ruang Jero terdapat tiang utama (Soko Guru) yang dianggap paling sakral karena menopang seluruh beban kosmis dan fisik rumah. Di sinilah sering diletakkan sesajen atau barang pusaka.

4.4 Pawon (Dapur)

Pawon (dapur) selalu terletak di bagian belakang rumah. Dapur dianggap sebagai area yang paling ‘hangat’ dan feminin, dikuasai oleh Ibu rumah tangga. Lokasinya yang terpisah atau terbelakang menunjukkan pemisahan antara area sosial dan area yang berhubungan dengan kebutuhan primer.

Pawon tidak hanya tempat memasak, tetapi juga tempat berkumpulnya anggota keluarga paling intim. Api di pawon (menggunakan tungku) melambangkan kehidupan dan keberlanjutan. Dalam banyak tradisi, aktivitas di pawon harus selalu dilakukan dengan kesopanan dan ritual.

4.5 Leuit (Lumbung Padi)

Meskipun Leuit sering berdiri terpisah dari rumah utama, ia merupakan bagian integral dari kompleks Arsitektur Sunda. Leuit adalah lumbung penyimpanan padi, yang secara simbolis mewakili Ibu Sri Pohaci (Dewi Padi).

Leuit selalu dibangun lebih kokoh dan lebih tinggi dari rumah tinggal. Posisi panggungnya yang tinggi melindungi padi dari hama dan kelembapan. Secara filosofis, Leuit adalah simbol kemakmuran dan kemandirian pangan. Padi di dalamnya tidak boleh diambil sembarangan, harus melalui ritual yang ketat, menunjukkan penghargaan tertinggi terhadap sumber kehidupan.

5. Ritual Pembangunan dan Dimensi Sakral

Proses mendirikan rumah adat Sunda bukanlah sekadar kegiatan teknis, melainkan serangkaian upacara (upacara ngadegkeun) yang melibatkan seluruh komunitas dan bertujuan menyelaraskan bangunan dengan kekuatan alam dan roh leluhur.

5.1 Mitembeyan (Memulai Pembangunan)

Sebelum sebatang pun kayu dipotong atau ditanam, harus dilakukan ritual Mitembeyan. Kepala adat atau ahli bangunan (disebut juga undagi) akan meminta izin kepada penunggu lahan. Pemilihan hari yang baik (biasanya dihitung berdasarkan kalender Sunda) sangat krusial, karena diyakini bahwa hari yang salah dapat membawa kesialan.

5.2 Penanaman Umpak dan Soko Guru

Tahap paling sakral adalah penanaman tiang utama (Soko Guru) dan peletakan batu pondasi (Umpak). Di bawah Soko Guru, seringkali ditanam benih padi, uang logam kuno, atau benda-benda simbolis lainnya (sasajen) sebagai persembahan agar rumah kokoh, makmur, dan dihuni dengan damai.

5.3 Upacara Syukuran

Setelah rumah selesai (atau bahkan setelah atap terpasang), diadakan syukuran besar. Ini adalah cara masyarakat berterima kasih kepada alam, material, dan leluhur. Makanan disajikan, doa dipanjatkan, dan komunitas berkumpul, menegaskan bahwa rumah tersebut kini sah dan diberkati sebagai tempat tinggal.

Arsitektur Sunda mengajarkan bahwa rumah tidak selesai saat konstruksi fisik rampung. Ia baru selesai ketika ia diterima oleh alam dan komunitas. Kesinambungan antara ritual dan konstruksi adalah inti dari arsitektur ekologis.

6. Variasi Regional dan Konservasi Kearifan Lokal

Meskipun prinsip dasar (rumah panggung, bahan alam, orientasi kosmis) bersifat universal di Jawa Barat, terdapat variasi signifikan yang mencerminkan adaptasi lokal, iklim mikro, dan kekhasan adat masing-masing komunitas.

6.1 Kampung Naga, Tasikmalaya

Kampung Naga dikenal sebagai salah satu konservator arsitektur Sunda yang paling ketat. Di sini, semua rumah harus seragam: atap Jolopong, menghadap Utara-Selatan (tepat lurus dengan sungai Ciwulan), dan dibangun dengan material bambu tanpa pengecualian. Keseragaman ini melambangkan kesamaan derajat di antara warganya dan kepatuhan mutlak pada adat (pikukuh). Mereka bahkan melarang pembangunan rumah dari batu atau genteng, demi menjaga keselarasan dengan lingkungan.

6.2 Kampung Pulo, Garut

Kampung Pulo memiliki aturan yang sangat unik mengenai jumlah rumah dan leuit. Di sana hanya boleh ada enam rumah adat dan satu masjid. Jika ada anak yang menikah, mereka harus pindah ke luar kompleks adat untuk membangun rumah baru. Rumah-rumah di Kampung Pulo juga menggunakan atap Jolopong dan terletak di pulau kecil di tengah danau, menekankan isolasi dan pelestarian tradisi.

6.3 Masyarakat Baduy, Banten

Masyarakat Baduy (terutama Baduy Dalam) memiliki aturan arsitektur yang paling ketat, mencerminkan pemisahan total dari dunia luar. Rumah mereka (disebut sulah nyanda) dibangun secara seragam, panggungnya sangat tinggi, dan kemiringan atapnya sangat curam untuk melindungi dari hujan dan kelembapan. Orientasi rumah harus selalu menghadap ke arah lembah (Timur-Barat), dan penggunaan paku dilarang keras—semua menggunakan pasak dan tali ijuk. Tidak ada jendela di beberapa bagian, demi menjaga privasi dan membatasi pandangan ke dunia luar.

7. Detail Teknis yang Sering Terlewatkan

Untuk memahami kedalaman arsitektur Sunda, kita perlu menelaah beberapa detail teknis yang menjadikannya struktur yang cerdas dan efisien:

7.1 Sistem Ventilasi Silang

Karena iklim tropis yang lembap, sistem ventilasi sangat penting. Lantai bambu (palupuh) menyediakan ventilasi dari bawah. Dinding anyaman bambu (bilik) memiliki pori-pori yang halus yang memungkinkan udara mengalir secara horizontal, menciptakan sistem ventilasi silang yang efektif menjaga suhu di dalam ruangan tetap nyaman tanpa perlu pendingin buatan.

7.2 Penggunaan Bambu untuk Dinding (Bilik)

Dinding bilik dibuat dari anyaman bambu dengan berbagai motif (contoh: sasak atau kepang). Bilik bukan hanya penutup, tapi juga struktur semi-fleksibel. Proses penganyaman bilik dilakukan dengan teknik khusus agar dapat mengembang dan menyusut sesuai perubahan suhu dan kelembapan, mencegah retak.

Bambu yang digunakan untuk bilik harus melalui proses pengawetan tradisional (misalnya perendaman air lumpur) untuk meningkatkan daya tahan terhadap rayap, yang menunjukkan pengetahuan mendalam tentang sifat material alami.

7.3 Jendela Kecil dan Minim

Jendela pada rumah Sunda tradisional seringkali minim dan berukuran kecil. Ini dilakukan bukan karena keterbatasan, melainkan untuk menjaga stabilitas suhu di dalam ruangan. Jendela kecil mengurangi masuknya panas matahari langsung pada siang hari, sementara ventilasi utama didapatkan dari pori-pori dinding bilik dan kolong rumah.

8. Krisis dan Relevansi Kontemporer

Di era modern, arsitektur Sunda menghadapi tantangan besar: urbanisasi, material modern (semen dan besi), dan perubahan gaya hidup. Namun, filosofi yang mendasarinya justru menjadi sangat relevan dalam isu keberlanjutan global.

8.1 Arsitektur Hijau dan Biomimetik

Arsitektur Sunda adalah contoh nyata arsitektur hijau yang telah dipraktikkan selama berabad-abad. Material lokal, daur ulang alami, dan minimnya limbah konstruksi menjadikannya model sempurna untuk bangunan yang responsif terhadap iklim. Sistem panggung dan atap curam adalah contoh biomimetik—meniru sistem alam untuk memecahkan masalah teknis (misalnya, meniru pohon yang berdiri tegak melawan angin).

8.2 Adaptasi Modern: Mempertahankan Jiwa

Upaya pelestarian kini tidak hanya fokus pada replikasi rumah adat secara utuh, tetapi juga pada adaptasi filosofi Sunda ke dalam desain modern. Banyak arsitek kontemporer di Jawa Barat kini mengadopsi:

Simbol Harmoni Alam dan Manusia Sunda Diagram yang melambangkan hubungan timbal balik antara Gunung, Manusia, dan Laut dalam kosmologi Sunda. Gunung Manusa Laut Dimensi Spiritual Dimensi Fisik Konsep tiga dunia (Triloka) yang menjadi dasar filosofi pembangunan rumah adat Sunda: menjaga harmoni antara Bumi Luhur (Gunung), Bumi Tengah (Manusa), dan Bumi Handap (Laut/Kolong).

9. Mendalami Nilai Kesejajaran dan Kemakmuran

Lebih jauh dari sekadar bentuk dan bahan, arsitektur Sunda mengajarkan nilai sosial yang kuat, khususnya prinsip Kesejajaran. Rumah adat Sunda umumnya relatif seragam, baik itu rumah kepala adat maupun rumah warga biasa. Struktur yang sederhana, meskipun dengan detail atap yang berbeda, menunjukkan penolakan terhadap pemujaan materi atau perbedaan kelas yang mencolok. Ini berbeda dengan beberapa tradisi arsitektur lain di Nusantara yang memperlihatkan hirarki status melalui ukuran atau ukiran yang megah.

9.1 Konsep Luhur dan Handap

Pembagian vertikal (atas-bawah) tidak hanya kosmis, tetapi juga etis. Area di atas (lantai dan atap) harus selalu dijaga kesuciannya, sementara area di bawah (kolong) meskipun merupakan dunia bawah, tetap dihormati sebagai tempat berlindung bagi hewan dan jalur air. Segala sesuatu harus diletakkan pada tempatnya (pancer), mencerminkan ketertiban dalam kehidupan sehari-hari.

Penghormatan terhadap kolong rumah sangat penting. Di sinilah terkadang air limbah dari dapur diserap kembali oleh tanah secara alami, atau tempat unggas dan ternak kecil berlindung. Ketinggian kolong biasanya disesuaikan agar sirkulasi udara tetap lancar, menghindari kelembapan berlebih yang dapat merusak struktur bambu.

9.2 Peran Balai Adat dan Pusat Komunitas

Dalam komunitas adat yang utuh, rumah tinggal (Imah) selalu didampingi oleh Balai Adat (Bale) atau tempat berkumpul komunal. Arsitektur Bale seringkali merupakan versi yang lebih besar dan terbuka dari rumah tinggal, menekankan fungsi publik dan musyawarah. Kehadiran Bale dalam tata ruang kampung menunjukkan bahwa kehidupan Sunda tidak hanya berpusat pada individu atau keluarga, tetapi pada kebersamaan dan pengambilan keputusan kolektif.

Bale biasanya memiliki lantai yang lebih luas dan tidak memiliki pembagian ruang privat seperti dapur atau kamar tidur. Atapnya mungkin menggunakan bentuk Julang Ngapak atau Parahu Kumureb untuk menunjukkan keagungan dan wibawa komunal.

10. Ketahanan Ekologis dan Masa Depan

Arsitektur Sunda adalah warisan yang tak ternilai dalam menghadapi tantangan ekologis global. Ketahanan (resiliensi) strukturnya terhadap gempa dan banjir, serta filosofi penggunaan bahan yang bertanggung jawab, menjadikannya acuan bagi desain berkelanjutan.

10.1 Manajemen Kelembaban dan Mikro Iklim

Salah satu kecerdasan teknis terbesar adalah manajemen kelembaban. Struktur panggung yang tinggi, atap ijuk yang tebal, dan dinding bilik yang bernapas secara kolektif menciptakan mikro iklim yang sejuk dan kering di dalam rumah. Kelembaban tinggi di luar diredam oleh atap ijuk dan sirkulasi udara di kolong rumah, mencegah pertumbuhan jamur dan memperpanjang usia material organik.

10.2 Siklus Hidup Material

Karena menggunakan sistem sambungan pasak dan tali, ketika rumah Sunda harus dibongkar atau diperbaiki, materialnya dapat dipisah dengan mudah dan kembali ke alam tanpa meninggalkan limbah plastik atau logam. Bambu yang membusuk akan menjadi nutrisi bagi tanah, menutup siklus hidup material secara sempurna (cradle-to-cradle). Ini adalah pemahaman yang jauh melampaui konsep daur ulang modern.

Pada akhirnya, Arsitektur Sunda adalah pelajaran tentang keterbatasan dan penghargaan. Keterbatasan material diimbangi dengan kreativitas dan kejelian. Penghargaan terhadap alam diwujudkan dalam setiap tiang dan bilah bambu yang didirikan. Rumah Sunda berdiri sebagai monumen keharmonisan abadi, mengingatkan penghuninya bahwa mereka hanyalah bagian kecil dari siklus kosmik yang lebih besar, dan tempat tinggal terbaik adalah tempat yang tidak pernah mengklaim kepemilikan atas alam.

Mempelajari warisan Arsitektur Sunda bukan hanya menengok masa lalu, melainkan mencari solusi otentik untuk masa depan, di mana bangunan dan lingkungan harus hidup berdampingan, bukan saling meniadakan.

🏠 Homepage