Surah At-Taubah, yang dikenal sebagai salah satu surah Madaniyah yang membahas secara rinci hukum, perjanjian, dan struktur masyarakat Islam, memuat sebuah ayat fundamental yang menjadi tiang penopang ekonomi dan spiritual umat: Ayat 103. Ayat ini tidak sekadar memerintahkan pengambilan zakat; ia merangkum seluruh filosofi hubungan antara harta, jiwa, otoritas kepemimpinan, dan berkah ilahi. Memahami At-Taubah 103 adalah memahami inti dari konsep *tazkiyah* (penyucian) dalam Islam.
Ayat mulia ini terdiri dari tiga pilar utama yang saling terkait: perintah untuk mengambil zakat (*Khudz*), efek ganda dari penyucian (*Tathhir* dan *Tazkiyah*), dan fungsi doa kepemimpinan sebagai sumber ketenangan (*Sakan*). Pembahasan mendalam atas setiap frasa dalam ayat ini mengungkap peta jalan Islam menuju stabilitas sosial dan kemakmuran spiritual.
Frasa pertama, Ambillah zakat dari sebagian harta mereka
(*Khudz min amwalihim shadaqah*), menggunakan kata kerja imperatif (*fi’il amr*), Khudz
(Ambillah). Ini merupakan penekanan yang tegas dan langsung kepada Rasulullah ﷺ, dan setelah beliau, kepada otoritas atau ulil amri yang sah. Perintah ini menunjukkan bahwa zakat bukan sekadar amal sukarela (sedekah sunah), melainkan kewajiban terstruktur yang harus dikumpulkan dan dikelola oleh negara atau institusi resmi.
Dalam konteks fikih, perintah ini mendefinisikan zakat sebagai hak masyarakat yang harus diambil, bukan hanya diberikan jika muzakki (pemberi zakat) berkehendak. Hal ini membedakan zakat wajib dari sedekah sunah. Kewenangan pengambilan ini menguatkan peran negara dalam memastikan distribusi kekayaan berjalan efektif. Jika zakat hanya diserahkan secara individu tanpa pengawasan, tujuan penyucian kolektif dan pemerataan sosial akan sulit tercapai. Oleh karena itu, *khudz* menetapkan fondasi bagi sistem perpajakan sosial pertama dalam sejarah Islam.
Kata dari sebagian harta mereka
(*min amwalihim*) menunjukkan bahwa zakat hanya diambil dari harta yang telah mencapai nisab dan haul, dan dari jenis harta yang memang diwajibkan (emas, perak, hasil pertanian, ternak, dan harta perdagangan). Penggunaan kata min
(dari sebagian) menunjukkan bahwa tidak seluruh harta dikenakan zakat, melainkan hanya porsi kecil yang telah ditetapkan ukurannya oleh syariat. Porsi kecil ini, meskipun persentasenya rendah, memiliki dampak spiritual dan sosial yang luar biasa besar.
Kewajiban pengambilan oleh negara (atau amil zakat) memastikan beberapa hal vital: pertama, standarisasi perhitungan; kedua, identifikasi penerima yang sah (*mustahiq*); dan ketiga, pencegahan penyembunyian harta. Sejarah mencatat bagaimana Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq memerangi mereka yang enggan menyerahkan zakat kepada pemerintah, membuktikan bahwa zakat adalah pilar ibadah yang wajib diinstitusikan, seperti halnya salat.
Inti filosofis dari ayat ini terletak pada klausa kedua: dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.
Ayat menggunakan dua kata yang sangat dekat maknanya namun berbeda penekanannya: *Tathhir* (تُطَهِّرُهُمْ) dan *Tazkiyah* (تُزَكِّيهِمْ). Kedua kata ini merujuk pada proses purifikasi, namun dalam dimensi yang berbeda, menunjukkan bahwa efek zakat bersifat komprehensif, mencakup aspek material, moral, dan spiritual.
*Tathhir* secara harfiah berarti membersihkan dari kotoran atau najis. Dalam konteks zakat, *tathhir* memiliki dua makna utama. Pertama, pembersihan material, yaitu membersihkan harta dari hak orang lain. Dalam pandangan Islam, ketika harta telah mencapai nisab, porsi zakat yang ada di dalamnya bukan lagi hak penuh pemiliknya, melainkan hak fakir miskin. Dengan dikeluarkannya zakat, harta yang tersisa menjadi halal, suci, dan berkah sepenuhnya.
Bila zakat tidak dikeluarkan, harta yang dimiliki menjadi tercampur (*mal ghalul*). Pemiliknya menahan hak orang lain, yang secara spiritual menjadi 'kotoran' dalam kekayaannya. Proses *tathhir* menghapus noda ini, memastikan bahwa sisa kekayaan dapat dinikmati tanpa beban dosa penahanan hak orang miskin. Ini adalah bentuk sanitasi
ekonomi yang menjamin keberkahan investasi dan konsumsi.
Aspek kedua dari *tathhir* adalah pembersihan moral dari sifat-sifat tercela seperti kikir (*bukhul*), ketamakan, dan cinta dunia yang berlebihan (*hubbud dunya*). Kekikiran dianggap sebagai penyakit hati yang menghalangi seorang mukmin mencapai kesempurnaan iman. Zakat berfungsi sebagai terapi paksa (melalui perintah *Khudz*) untuk membuang kotoran mental ini, mengajarkan pemilik harta tentang pengorbanan dan solidaritas.
Filosofi *tathhir* mengajarkan bahwa harta benda, meskipun tampak fisik, memiliki dimensi spiritual yang dipengaruhi oleh cara ia diperoleh dan dikeluarkan. Harta yang dibersihkan melalui zakat akan berfungsi sebagai sarana ketaatan, sementara harta yang kotor akan menjadi sumber fitnah dan dosa.
Sementara *Tathhir* berfokus pada penghapusan negatif, *Tazkiyah* berfokus pada penambahan positif. *Tazkiyah* (dari akar kata *zaka*) berarti pertumbuhan, peningkatan, atau pengembangan. Ayat ini menjanjikan bahwa zakat tidak hanya membersihkan jiwa dari kikir, tetapi juga menumbuhkannya menuju kesempurnaan spiritual.
Zakat menumbuhkan sifat-sifat mulia dalam diri muzakki, seperti empati, rasa syukur, kemurahan hati, dan keyakinan teguh pada rezeki Allah. Proses pemberian ini menguatkan ikatan batin dengan Pencipta, meyakinkan bahwa setiap pengeluaran di jalan-Nya akan digantikan berkali lipat di dunia maupun di akhirat. *Tazkiyah* adalah evolusi moral yang mengubah mentalitas penimbun menjadi mentalitas pemberi.
Efek *tazkiyah* tidak hanya terbatas pada individu. Secara sosial, zakat menumbuhkan rasa persaudaraan (*ukhuwah*) dan mengurangi jurang kecemburuan sosial. Ketika yang kaya tahu bahwa mereka wajib berbagi, dan yang miskin tahu bahwa ada hak mereka yang terpenuhi, stabilitas sosial pun tercapai. Secara ekonomi, zakat yang disalurkan kepada delapan asnaf (golongan penerima) membantu meningkatkan daya beli dan menggerakkan roda perekonomian dari bawah, menciptakan pertumbuhan yang merata dan berkelanjutan.
Kesimpulannya, *Tathhir* adalah membersihkan lahan dari gulma (kekikiran dan dosa), sementara *Tazkiyah* adalah menanam benih (iman dan berkah) di lahan yang telah dibersihkan itu. Keduanya adalah hasil interaksi unik yang diciptakan oleh kewajiban zakat.
Bagian ketiga dari ayat ini adalah instruksi unik: dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.
(*Wa shalli ‘alaihim, inna shalaataka sakanun lahum*). Frasa ini menyoroti peran spiritual seorang pemimpin (Rasulullah, dan amil yang sah) setelah menerima zakat.
Perintah *shalli 'alaihim* berarti berdoalah untuk mereka
(bukan salat atas mereka
). Doa ini berfungsi ganda: sebagai pengakuan resmi atas diterimanya ibadah mereka dan sebagai validasi spiritual atas ketaatan mereka. Dalam sunah Nabi ﷺ, doa ini sering berupa permohonan agar Allah melimpahkan berkah kepada keluarga muzakki. Ini bukan formalitas, melainkan ritual penutup yang esensial dalam proses zakat.
Ketika seseorang membayar zakat kepada otoritas, mereka melakukan transaksi yang melibatkan kepatuhan hukum dan ibadah. Doa dari pemimpin berfungsi sebagai 'tanda terima' spiritual yang melegitimasi pembayaran mereka di mata agama. Tanpa pengakuan ini, ada potensi kecemasan apakah ibadah mereka telah diterima sepenuhnya.
Inilah puncak keindahan ayat 103. Allah SWT menjelaskan alasan di balik perintah doa tersebut: Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.
(*Sakanun* - ketenteraman, kedamaian, tempat tinggal). Penggunaan kata *Sakan* sangat mendalam, biasanya digunakan untuk merujuk pada rumah (tempat tinggal) atau pasangan hidup, yaitu hal-hal yang memberikan stabilitas dan kedamaian mutlak.
Mengeluarkan sebagian besar harta (terkadang dalam jumlah yang signifikan) sering kali menimbulkan rasa cemas atau takut miskin (kekhawatiran yang dihasilkan dari syaitan, seperti yang dijelaskan dalam Al-Baqarah 268). Doa pemimpin berfungsi sebagai obat
atau penyembuh
psikologis. Doa tersebut meyakinkan muzakki bahwa pengeluaran mereka diakui oleh Allah, sehingga rasa takut kehilangan harta digantikan oleh harapan pahala dan jaminan keberkahan.
Doa Nabi ﷺ menghilangkan keraguan mengenai keikhlasan niat. Bagi seorang mukmin, pengakuan dari Rasul atau pemimpin yang saleh memberikan kepastian bahwa harta yang telah mereka keluarkan kini menjadi jembatan menuju surga, bukan sekadar biaya yang hilang. Ketenangan ini melengkapi proses *tazkiyah*; setelah harta bersih dan jiwa terbebas dari kikir, hati menjadi tenteram (*mutmainnah*).
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita perlu membedah struktur bahasa dan penafsiran ulama terdahulu terhadap At-Taubah 103, terutama karena ia datang dalam konteks Surah At-Taubah yang sarat dengan hukum dan penyesalan (taubat).
Mayoritas ulama tafsir menyebutkan bahwa ayat 103 ini turun terkait dengan kelompok yang disebut golongan yang mencampuradukkan
(mukhallithun), yaitu orang-orang yang awalnya terlibat dalam dosa (seperti membolos dari Perang Tabuk atau menunda ketaatan) tetapi kemudian menyesal sejujur-jujurnya. Mereka datang kepada Nabi ﷺ dengan membawa harta mereka sebagai tebusan atas dosa, berharap agar harta itu membersihkan mereka. Nabi ﷺ awalnya enggan menerimanya, hingga Allah menurunkan ayat ini, memerintahkan beliau untuk menerima harta mereka (zakat/sedekah penyesalan) dan mendoakan mereka.
Konteks ini menunjukkan bahwa zakat, dalam kasus tertentu, berfungsi tidak hanya sebagai kewajiban rutin tetapi juga sebagai sarana taubat yang diterima oleh otoritas agama, mengintegrasikan ibadah finansial dengan pengampunan ilahi. Zakat menjadi bukti nyata dari perubahan hati dan keseriusan taubat.
Meskipun ayat menggunakan kata *Shadaqah*, yang secara umum berarti sedekah atau amal, ulama sepakat bahwa dalam konteks ini, *Shadaqah* bermakna Zakat Wajib. Bukti pendukungnya adalah:
membersihkan dan menyucikan(*Tathhir wa Tazkiyah*) adalah fungsi spesifik yang dikaitkan Allah dengan Zakat, sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi ﷺ.
Susunan kalimat tuthahhiruhum wa tuzakkiihim biha
(kamu membersihkan mereka dan menyucikan mereka dengannya) menempatkan subjek pembersihan (Tathhir dan Tazkiyah) pada *muzakki* (si pemberi zakat), dan bukan pada *mustahiq* (si penerima). Ini menegaskan bahwa manfaat spiritual utama dari zakat kembali kepada pemberinya. Harta yang diberikan membersihkan jiwa pemberi, bukan hanya mengisi perut si penerima. Ini adalah transfer kekayaan yang esensi berkahnya adalah transfer spiritual.
Penekanan pada kata Inna shalaataka sakanun lahum
menggunakan *Inna* (sesungguhnya), yang berfungsi sebagai penegasan (taukid). Ini bukan sekadar perkiraan, melainkan kepastian ilahi: doa pemimpin PASTI memberikan ketenangan. Ini adalah jaminan Allah atas hasil psikologis dari proses zakat yang terstruktur dan spiritual.
Ayat 103 adalah piagam bagi pemerintahan Islam dalam mengelola dana sosial. Ia menetapkan prinsip-prinsip dasar yang harus diikuti oleh lembaga amil zakat modern, melampaui sekadar aspek penarikan dana.
Perintah *Khudz* mewajibkan adanya lembaga amil yang kompeten, adil, dan profesional. Amil bukan sekadar petugas pencatat, tetapi mereka adalah pelaksana ibadah yang bertugas memastikan *tathhir* (pembersihan) terwujud dan *tazkiyah* (pertumbuhan) terjadi. Oleh karena itu, kriteria amil harus mencakup integritas moral dan pemahaman yang mendalam tentang fikih zakat. Jika amil tidak memiliki integritas, proses *tazkiyah* spiritual bagi muzakki bisa terganggu.
Kewajiban negara dalam memastikan transparansi pengelolaan dana zakat juga berasal dari ayat ini. Muzakki harus yakin bahwa harta yang mereka serahkan akan digunakan sesuai dengan syariat dan mencapai tujuan *sakan* (ketenangan) tersebut. Pelaporan yang akuntabel adalah bagian integral dari peran *Sami'un Alim* yang akan dibahas di akhir ayat.
Jika *tazkiyah* berarti pertumbuhan, maka dana zakat tidak boleh hanya berfungsi sebagai bantuan konsumtif belaka. Lembaga zakat modern didorong untuk menggunakan dana zakat secara produktif, misalnya melalui modal usaha mikro, pelatihan keterampilan, atau beasiswa pendidikan bagi *mustahiq*. Tujuan akhirnya adalah mengeluarkan *mustahiq* dari garis kemiskinan dan mengubah mereka menjadi *muzakki* di masa depan. Proses ini adalah manifestasi nyata dari pertumbuhan ekonomi yang diilhami oleh semangat *tazkiyah*.
Pengembangan ini sejalan dengan konsep *maqashid syariah* (tujuan syariah), di mana zakat bertujuan untuk memelihara harta dan jiwa. Dengan memberdayakan penerima zakat, harta mereka di masa depan akan terpelihara, dan stabilitas jiwa (sakan) akan meluas dari pemberi zakat kepada penerima zakat itu sendiri.
Ayat 103 ditutup dengan dua asmaul husna yang sangat relevan: Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(*Wallahu Samî’un 'Alîmun*). Penutupan ini berfungsi sebagai penutup, peringatan, dan sekaligus penghiburan bagi semua pihak yang terlibat dalam proses zakat.
Sifat Allah Maha Mendengar memiliki kaitan langsung dengan instruksi *Wa shalli 'alaihim*. Allah Maha Mendengar doa yang dipanjatkan oleh pemimpin (Rasulullah atau amil) untuk para muzakki. Artinya, doa tersebut tidak sia-sia; ia dijamin didengar dan dikabulkan. Ini memperkuat janji *sakan* (ketenangan) bagi pemberi zakat, karena sumber ketenangan mereka didukung oleh kekuasaan dan pendengaran Ilahi yang tak terbatas.
Di sisi lain, *Samî’un* juga berfungsi sebagai peringatan bagi amil: Allah mendengar setiap permintaan dan keluh kesah para mustahiq, dan Dia juga mendengar niat, baik yang terucap maupun yang tersembunyi, dari para muzakki. Tidak ada niat yang dapat disembunyikan dari Allah SWT.
Allah Maha Mengetahui memiliki implikasi mendalam terhadap aspek *Tathhir* dan *Tazkiyah*. Allah mengetahui:
At-Taubah 103 meruntuhkan dikotomi antara ibadah ritual dan ibadah sosial ekonomi. Zakat bukan sekadar transfer moneter; ia adalah ritual penyucian yang mengikat tiga pihak: pemilik harta (muzakki), pemimpin/pengelola (amil), dan Allah SWT.
Kikir adalah salah satu dosa besar yang mencegah manusia merasakan kedamaian. Ayat ini menawarkan obat kuratif yang paling efektif. Zakat, yang diwajibkan dan didoakan oleh otoritas, memaksa individu untuk melepaskan ikatan materialistik yang mencekik jiwa. Proses *tazkiyah* mengubah kikir menjadi dermawan, kegelisahan menjadi ketenangan, dan kecurigaan menjadi kepercayaan.
Salah satu makna tersembunyi dari *Tazkiyah* adalah keberkahan. Harta yang ‘tumbuh’ (*zaka*) adalah harta yang diberkahi. Berkah di sini tidak selalu berarti peningkatan jumlah secara fisik, tetapi peningkatan manfaat dan kualitas hidup. Sedikit harta yang berkah jauh lebih baik daripada banyak harta yang menjadi fitnah. Ketenangan yang dijanjikan dalam ayat ini adalah manifestasi utama dari keberkahan tersebut.
Konsep *sakan* yang dihasilkan oleh doa pemimpin perlu dieksplorasi lebih jauh. Ketenangan yang dirasakan oleh muzakki adalah kompensasi spiritual atas pengorbanan materialnya. Ketenangan ini berakar pada beberapa dimensi keyakinan:
Dalam fikih yang detail dan rumit, kepastian bahwa seseorang telah memenuhi kewajibannya adalah sumber ketenangan. Muzakki modern, yang mungkin khawatir apakah perhitungan nisabnya sudah benar atau apakah penerima zakatnya adalah golongan yang sah, membutuhkan jaminan. Ketika zakat diserahkan kepada lembaga yang berwenang dan mereka mendoakannya, keraguan tersebut terangkat, digantikan oleh kepastian ketaatan.
Ketenangan ini meluas hingga ke urusan keluarga dan anak cucu. Seorang muzakki yang tulus percaya bahwa hartanya telah disucikan melalui zakat akan merasa damai bahwa ia meninggalkan warisan yang bersih bagi keturunannya, bebas dari hak orang lain. Ini adalah bentuk investasi spiritual yang melintasi generasi.
Zakat, oleh karena itu, adalah mekanisme Ilahi yang dirancang untuk mengintegrasikan keadilan ekonomi (melalui pengambilan harta) dengan kesehatan mental dan spiritual (melalui pembersihan jiwa dan pemberian ketenangan). Ayat 103 bukan hanya instruksi hukum; ia adalah resep penyembuhan bagi penyakit sosial dan spiritual yang timbul akibat materialisme yang tak terkendali.
Meskipun ayat ini diturunkan lebih dari empat belas abad yang lalu, relevansinya tetap abadi, terutama dalam menghadapi kompleksitas ekonomi modern. Kewajiban *Khudz* hari ini diimplementasikan melalui lembaga-lembaga zakat yang menggunakan teknologi untuk menjangkau muzakki dan mustahiq secara efisien. Namun, modernisasi mekanisme ini tidak boleh menghilangkan esensi spiritualnya.
Tantangan terbesar saat ini adalah memastikan bahwa zakat tetap menjadi ibadah yang mendalam, bukan hanya pungutan pajak. Jika zakat hanya dilihat sebagai kewajiban finansial tanpa elemen *tathhir* dan *tazkiyah*, maka tujuannya sebagai pembersih jiwa akan gagal. Lembaga amil harus tetap memegang teguh peran spiritual mereka, memastikan bahwa proses serah terima zakat dilakukan dengan penuh penghormatan, dan doa bagi muzakki tetap menjadi bagian integral dari sistem, bahkan jika doa tersebut disampaikan secara kolektif atau virtual.
Amil zakat modern harus memahami bahwa tugas mereka adalah meneruskan warisan Rasulullah ﷺ dalam memberikan *sakan* (ketenangan) kepada umat. Ketika dana dikelola secara transparan dan profesional, itu sendiri adalah sumber ketenangan, karena muzakki yakin harta mereka tidak disia-siakan.
Akhir dari ayat ini adalah pengingat yang kuat bahwa meskipun manusia mungkin lalai dalam melaksanakan tugas *Khudz* atau dalam memberikan *Sakan*, Allah senantiasa mendengar dan mengetahui. Ini adalah sumber harapan bagi muzakki yang ikhlas namun mungkin ragu akan validitas administrasi zakat. Keikhlasan niat mereka akan diterima oleh Yang Maha Mengetahui, terlepas dari kekurangan prosedural manusia.
Sebaliknya, bagi mereka yang mencoba memanipulasi harta zakat, baik muzakki yang berbohong mengenai nisab, maupun amil yang korup, peringatan *Samî’un 'Alîmun* adalah ancaman yang nyata. Tidak ada celah yang luput dari pengetahuan Ilahi, dan perhitungan akhir akan selalu berdasarkan kebenaran niat yang hakiki.
Dengan demikian, Surah At-Taubah Ayat 103 adalah sebuah mahakarya legislasi Islam yang menyatukan perintah hukum yang tegas dengan janji penyucian spiritual yang lembut. Ia menjamin bahwa kepatuhan finansial menghasilkan kedamaian batin, dan bahwa setiap langkah ketaatan di jalan Allah akan selalu berakhir pada ketenangan jiwa yang abadi.
Frasa ‘Khudz’ menunjukkan bahwa aspek zakat memiliki dimensi *jabrîyah* (pemaksaan atau kewajiban). Ini penting untuk membedakan zakat dari ibadah personal semata. Jika seseorang menolak membayar zakat kepada otoritas, ia dianggap melanggar hukum negara sekaligus perintah agama. Sejarah Islam, terutama pada masa Khulafaur Rasyidin, menunjukkan bahwa penegakan zakat adalah prioritas utama untuk menjaga kohesi sosial dan spiritual. Kegagalan dalam menginstitusikan *Khudz* akan merusak seluruh struktur *tazkiyah* masyarakat.
Para fukaha membahas secara ekstensif bagaimana negara harus bertindak terhadap orang kaya yang menolak. Pandangan yang dominan adalah negara berhak mengambil zakat secara paksa, dan jika penolakan tersebut diiringi dengan penolakan terhadap kewajiban zakat itu sendiri, maka ia bisa dikenakan sanksi yang lebih berat. Ini menegaskan bahwa hak fakir miskin adalah hak yang dilindungi oleh negara, bukan hak opsional yang tergantung pada kemurahan hati individu.
Meskipun perintahnya adalah ‘ambilah’, ulama juga memberikan batasan. Amil harus mengambil zakat dengan adab yang baik, tanpa menimbulkan kesulitan atau mengambil harta melebihi nisab yang ditetapkan. Rasulullah ﷺ memberikan panduan yang sangat detail mengenai bagaimana amil harus bersikap saat mengumpulkan zakat dari pemilik ternak atau hasil bumi, menekankan kelembutan dan keadilan. Tujuannya adalah memastikan bahwa proses *tathhir* harta tidak diimbangi dengan *tadmir* (perusakan) jiwa muzakki melalui perlakuan kasar.
Aspek hukum ini menunjukkan keseimbangan yang luar biasa antara ketegasan hukum dan kasih sayang dalam pelaksanaannya, suatu ciri khas yang menjamin bahwa *Sakan* (ketenangan) bukan hanya dirasakan setelah pembayaran, tetapi juga selama proses pembayaran berlangsung.
Ayat 103 sering kali ditafsirkan berdampingan dengan ayat-ayat yang melarang riba. Keduanya merupakan dua sisi dari mata uang yang sama dalam membangun ekonomi yang etis. Riba adalah praktik yang merusak harta dan jiwa, berlawanan total dengan *Tathhir* dan *Tazkiyah*. Zakat, dengan mengambil porsi kecil untuk distribusi, memastikan bahwa sisa harta yang dipegang menghasilkan keberkahan, menghilangkan potensi kerusakan spiritual yang ditimbulkan oleh penimbunan atau eksploitasi kekayaan.
Kekayaan yang terbebani riba adalah kekayaan yang tercemar, dan zakat tidak akan sepenuhnya berfungsi untuk penyucian kecuali sumber penghasilan itu sendiri adalah suci. Oleh karena itu, *tazkiyah* yang sempurna memerlukan kepatuhan ganda: menjauhi yang haram dan melaksanakan yang wajib.
Zakat wajib seringkali menjadi pemicu bagi muzakki untuk melakukan sedekah sunah lainnya, infak, dan wakaf. Pengalaman spiritual dari *tazkiyah* melalui zakat membuka pintu hati seseorang, memudahkannya untuk berbuat lebih banyak kebaikan. Rasa *Sakan* yang diperoleh menjadi motivasi spiritual yang berkelanjutan. Ini adalah efek bola salju dari ketaatan; satu amal wajib yang dilakukan dengan sempurna akan memicu serangkaian amal sunah berikutnya.
Ini sejalan dengan konsep *barakah* yang meluas: harta yang dizakati tidak berkurang, tetapi bertambah secara kualitatif. Kehilangan 2,5% secara angka digantikan oleh peningkatan kebahagiaan, kesehatan, ketenangan keluarga, dan keberhasilan usaha yang tidak terukur secara matematis. Inilah makna terdalam dari janji Allah tentang pertumbuhan (*Tazkiyah*).
Dalam masyarakat tradisional, persetujuan dan pengakuan dari pemimpin spiritual memiliki bobot psikologis yang sangat besar. Doa Nabi ﷺ (dan amil yang saleh) berfungsi sebagai validasi sosial-keagamaan. Bagi seorang mukmin, mendapatkan doa dari otoritas agama memberikan status dan pengakuan bahwa mereka adalah bagian integral dari komunitas yang patuh.
Fenomena ini dikenal dalam psikologi modern sebagai kebutuhan akan pengakuan. Ayat 103 menunjukkan bahwa Islam mengakui kebutuhan ini dan memenuhinya melalui mekanisme ibadah, di mana pemimpin memberikan balasan spiritual atas pengorbanan material, menciptakan ikatan emosional dan spiritual yang kuat antara rakyat dan pemimpin.
Konsep *Sakan* dalam ayat ini sangat kuat. Zakat memberikan keamanan spiritual (*safety*). Keamanan ini bukan dari ancaman fisik, melainkan dari ancaman kerugian abadi (azab neraka). Dengan membayar zakat, seorang mukmin merasa telah membeli asuransi spiritual terkuat yang ditawarkan oleh Allah SWT. Ketenangan ini membebaskan energi mental dari kecemasan tentang hari akhir, memungkinkan muzakki fokus pada ketaatan lainnya di dunia.
Ketenangan yang ditimbulkan oleh zakat adalah lawan dari kegelisahan yang ditimbulkan oleh keserakahan. Ketika harta menjadi tujuan utama, kegelisahan akan meningkat (karena harta selalu terancam hilang). Ketika harta menjadi sarana ibadah, kegelisahan menghilang, digantikan oleh jaminan bahwa pemiliknya berada di bawah perlindungan Ilahi.
Surah At-Taubah Ayat 103 adalah salah satu ayat paling komprehensif yang membahas ibadah harta dalam Al-Qur'an. Ia tidak hanya membentuk pilar hukum (kewajiban institusional zakat), tetapi juga mendefinisikan tujuan akhir dari intervensi hukum tersebut: penyucian individu dan ketenangan kolektif.
Setiap frasa dalam ayat ini membangun satu kesatuan yang koheren:
Melaksanakan semangat At-Taubah 103 berarti membangun masyarakat yang tidak hanya stabil secara ekonomi, tetapi juga tenteram secara spiritual, di mana kekayaan dipandang sebagai amanah yang wajib dibersihkan, dan kepatuhan terhadap amanah tersebut dihadiahi ketenangan langsung dari Allah SWT.
Semoga kita termasuk golongan yang senantiasa membersihkan harta dan jiwa kita, demi meraih ketenangan yang dijanjikan.