Surah At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur'an, memiliki karakter yang unik karena fokusnya yang kuat pada penetapan hukum, pemurnian barisan umat, dan batas-batas hubungan dengan non-mukmin. Ayat 115 dari surah ini merupakan sebuah deklarasi penting mengenai dua prinsip fundamental dalam agama Islam: pertama, batasan dalam memohonkan ampunan (Istighfar), dan kedua, prinsip keadilan ilahi dalam menyampaikan petunjuk sebelum menjatuhkan hukuman atau menyesatkan.
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّىٰ يُبَيِّنَ لَهُمْ مَّا يَتَّقُونَ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Ayat ini seringkali dibaca berdampingan dengan ayat sebelumnya (114) yang menjelaskan mengapa Nabi Ibrahim akhirnya menghentikan permohonan ampunan bagi ayahnya, Azar, yang meninggal dalam keadaan musyrik. Ayat 115 kemudian berfungsi sebagai kaidah umum yang memayungi keputusan Ibrahim tersebut, sekaligus menetapkan sebuah norma universal tentang cara Allah berinteraksi dengan hamba-Nya terkait hidayah dan kesesatan. Inti dari ayat ini adalah klarifikasi (tabayyun) sebagai prasyarat pertanggungjawaban.
Untuk memahami sepenuhnya Ayat 115, kita harus menengok ke belakang, kepada contoh utama mengenai batasan permohonan ampun, yaitu kisah Nabi Ibrahim. Ibrahim, yang dikenal sebagai Bapak Para Nabi dan simbol keimanan murni (Tauhid), pernah berjanji kepada ayahnya yang musyrik bahwa ia akan memohonkan ampunan baginya. Permohonan ini lahir dari rasa kasih sayang dan janji yang telah terucap.
Namun, janji tersebut dibatalkan secara ilahi ketika jelas bagi Ibrahim bahwa ayahnya adalah musuh Allah karena kekafirannya yang keras kepala. Ayat 114 menegaskan bahwa memohonkan ampunan bagi orang musyrik yang meninggal dalam kekafiran adalah terlarang. Ayat 115 kemudian datang untuk memberikan penjelasan yang lebih luas: tindakan Ibrahim menghentikan Istighfar adalah karena dia telah menerima kejelasan hukum dari Allah. Allah tidak akan membiarkan Ibrahim dalam keraguan, atau membiarkannya melakukan sesuatu yang salah, tanpa memberikan petunjuk yang jelas terlebih dahulu.
Kasus Ibrahim menjadi landasan penting dalam konsep *Al-Wala' wal-Bara'* dalam Islam. Walaupun terdapat ikatan darah, ikatan akidah harus diutamakan. Istighfar, dalam konteks ini, bukan sekadar doa, tetapi merupakan bentuk pengakuan dan dukungan spiritual. Memohon ampunan bagi mereka yang secara tegas menolak Allah hingga akhir hayatnya dianggap bertentangan dengan prinsip loyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya. Ayat 115 menunjukkan bahwa kejelasan hukum ini telah disampaikan, dan setelah kejelasan itu datang, umat wajib mengikutinya.
Bagian inti dari Ayat 115 adalah pernyataan: “Dan tidaklah Allah akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Dia memberi petunjuk kepada mereka, hingga dijelaskan kepada mereka apa yang seharusnya mereka hindari.”
Ayat ini menetapkan sebuah kaidah utama dalam hukum dan keadilan ilahi. Allah (SWT) adalah Maha Adil, dan keadilan-Nya menuntut bahwa tidak ada satu pun hamba yang dihukum atau dibiarkan tersesat tanpa sebelumnya diberikan peluang sempurna untuk mengetahui kebenaran dan jalan yang benar. Petunjuk (Hidayah) yang dimaksud di sini bukanlah sekadar intuisi, melainkan Hidayah Al-Bayan wa Al-Irsyad (Petunjuk Penjelasan dan Bimbingan), yang disampaikan melalui wahyu, para nabi, dan kitab suci.
Konsep ini menghilangkan argumen bahwa Allah 'memaksa' seseorang tersesat setelah ia menerima cahaya kebenaran. Sebaliknya, ayat ini menekankan bahwa jika seseorang yang tadinya berada di jalan petunjuk akhirnya tersesat, hal itu terjadi karena ia telah melanggar batas-batas yang telah dijelaskan dengan rinci oleh Allah. Allah memastikan bahwa hukum-hukum-Nya telah disampaikan, dibedakan antara yang wajib dan yang haram, antara yang benar dan yang salah, sebelum pertanggungjawaban dituntut.
Frasa kunci adalah "hingga dijelaskan kepada mereka apa yang seharusnya mereka hindari (Ma Yattaqun)."
Kata yubayyina (menjelaskan) berasal dari kata bayyana, yang berarti membuat sesuatu menjadi jelas, gamblang, dan tidak samar. Ini adalah penekanan ilahi terhadap pentingnya transparansi hukum. Allah tidak menuntut kepatuhan atas hal yang tersembunyi. Klarifikasi ini harus mencakup tiga dimensi:
Klarifikasi harus datang dari sumber yang sahih, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Petunjuk ini sempurna dan mencakup semua aspek kehidupan yang diperlukan untuk mencapai ketakwaan (attaqwa). Kejelasan ini menghilangkan alasan kebodohan atau ketidaktahuan (kecuali bagi mereka yang memang tidak memiliki akses sama sekali).
Ini adalah kejelasan dalam penetapan hukum: mana yang wajib, mana yang dianjurkan, mana yang makruh, dan mana yang haram (yang harus dihindari). Dalam konteks ayat 115, ini mencakup kejelasan bahwa Istighfar bagi orang musyrik yang wafat dalam kekafirannya adalah termasuk hal yang harus dihindari.
Setelah hukum dijelaskan, konsekuensi dari pelanggaran juga harus jelas. Ini memberikan kesadaran penuh kepada hamba-hamba-Nya bahwa tindakan mereka memiliki timbal balik yang pasti di sisi Allah. Jika mereka memilih untuk menyimpang setelah memahami, penyimpangan itu adalah pilihan mereka sendiri, bukan penyesatan dari Allah.
Ayat 115 ini menjadi salah satu dasar terpenting dari kaidah ushul fiqih, yaitu bahwa “Tidak ada sanksi atas suatu perbuatan sebelum hukumnya dijelaskan.” Ini adalah manifestasi dari rahmat dan keadilan Allah (SWT). Dalam terminologi teologis, ini dikenal sebagai penetapan *Hujjah* (bukti atau argumen) atas manusia. Selama hujjah belum tegak, manusia masih berada dalam keadaan di mana pertanggungjawaban penuh belum diberlakukan.
Ini memberikan jaminan kepada orang-orang mukmin awal, yang mungkin secara tidak sengaja melakukan perbuatan yang kemudian dilarang (seperti kasus Ibrahim), bahwa Allah tidak akan menghukum mereka atas perbuatan masa lalu yang dilakukan sebelum larangan itu diwahyukan secara eksplisit dan jelas. Mereka yang telah mendapat petunjuk namun kemudian menyimpang, penyimpangan mereka terjadi karena mereka mengabaikan kejelasan yang telah diberikan.
Untuk memahami kedalaman janji ilahi dalam Ayat 115, kita harus menyelami makna "petunjuk" (hidayah) dan "penyesatan" (dhalalah) dalam terminologi Al-Qur'an.
Hidayah yang diberikan Allah tidak monolitik. Ada beberapa tingkatan Hidayah yang semuanya harus terpenuhi sebelum Allah "menyesatkan" (membiarkan tersesat) seseorang yang sudah berada di jalan lurus:
Petunjuk naluriah yang ditanamkan pada setiap manusia untuk mengakui adanya Pencipta. Ini adalah titik awal, sebelum wahyu datang. Allah tidak menyesatkan kaum dari tingkat fitrah ini kecuali jika mereka secara sadar menolaknya.
Inilah yang ditekankan dalam Ayat 115. Yaitu petunjuk berupa pengetahuan, kitab suci, dan penjelasan dari para rasul. Petunjuk ini bersifat eksternal dan obyektif. Allah memastikan bahwa semua aturan, batasan, dan peringatan telah sampai kepada kaum tersebut dengan kejelasan yang maksimal.
Petunjuk berupa kekuatan dan kemauan internal yang diberikan Allah kepada hamba-Nya untuk mengamalkan ilmu yang telah diperoleh. Seseorang yang tadinya dibimbing (Hidayah Ilmiah) kemudian "disesatkan" oleh Allah, maknanya adalah Allah menarik kembali Taufiq-Nya. Penarikan Taufiq ini, sesuai Ayat 115, hanya terjadi setelah orang tersebut secara sadar dan sengaja mengabaikan Hidayah Ilmiah (Bayan) yang telah jelas diterimanya.
Ayat 115 menunjukkan bahwa penyesatan bukanlah tindakan arbitrari. Jika suatu kaum yang telah beriman dan mendapat petunjuk (Hidayah Ilmiah) mulai menyimpang, Allah tidak segera mencabut Taufiq-Nya. Allah terlebih dahulu mengirimkan peringatan, melalui ayat-ayat, ujian, atau melalui ulama yang mengingatkan. Jika kaum tersebut berkeras untuk melanggar "apa yang seharusnya mereka hindari" (Ma Yattaqun) meskipun larangan itu sudah sangat jelas, barulah Allah menetapkan mereka dalam kesesatan (membiarkan mereka dalam penyimpangan sebagai konsekuensi pilihan mereka).
Inilah puncak keadilan. Allah memberi mereka waktu dan penjelasan penuh. Mereka sendiri yang memilih untuk berenang melawan arus kejelasan ilahi. Penyesatan (Dhalalah) di sini adalah hasil dari penolakan terhadap kebenaran yang telah terjelaskan, bukan hukuman tanpa sebab.
Jika Allah berjanji bahwa Dia tidak akan menyesatkan suatu kaum sebelum Dia memberikan kejelasan, maka hal ini membebankan tanggung jawab besar kepada pewaris para nabi, yaitu para ulama dan dai. Tugas mereka adalah memastikan bahwa *Hujjah* Allah telah ditegakkan di tengah-tengah umat.
Klarifikasi (Tabayyun) yang dituntut oleh Ayat 115 haruslah disampaikan dengan metodologi yang jelas, bahasa yang dapat dipahami, dan relevansi konteks. Mereka harus menjelaskan secara rinci: apa batasan-batasan dalam ibadah, apa batasan dalam muamalah, dan yang paling penting, "apa yang seharusnya mereka hindari" (yaitu, dosa-dosa besar, syirik, bid'ah, dan perilaku yang merusak akidah atau moral).
Kegagalan ulama dalam menjelaskan kebenaran dapat mengakibatkan umat berada dalam kebingungan, dan ini, menurut kaidah yang tersirat dalam ayat ini, dapat menangguhkan pertanggungjawaban penuh mereka, karena prasyarat klarifikasi belum terpenuhi secara sempurna.
Ayat ini mengajarkan kepada setiap Muslim tentang pentingnya ilmu dan ketekunan dalam mencari kejelasan:
Ayat 115 diakhiri dengan penegasan yang sangat kuat: “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Innal Laha Bikulli Syai'in 'Alim).
Penutup ini bukan sekadar kalimat pelengkap, melainkan fondasi logis yang menopang seluruh ayat. Mengapa Allah harus menjelaskan (yubayyin) sebelum menyesatkan? Karena Dia adalah Al-Aliim (Yang Maha Mengetahui).
Pengetahuan Allah meliputi:
Karena Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk apa yang telah diwahyukan, bagaimana wahyu itu diterima, dan apa yang tersembunyi dalam hati setiap individu, maka penetapan hukum-Nya (termasuk batasan Istighfar dan prinsip Klarifikasi) adalah penetapan yang paling sempurna dan adil. Tidak ada kemungkinan adanya kecurangan, kelalaian, atau ketidakadilan dalam sistem petunjuk ilahi ini.
Ayat 115 adalah pilar utama yang menolak pandangan teologis yang mengatakan bahwa takdir kesesatan mendahului kejelasan petunjuk. Sebaliknya, ia menegaskan urutan logis dan etis: Petunjuk (Hidayah) → Klarifikasi (Bayān) → Pertanggungjawaban (Hukuman atau Tetap dalam Hidayah).
Kewajiban ilahi untuk menjelaskan (yubayyin) adalah rahmat yang agung. Rahmat ini termanifestasi dalam sifat Syariah yang universal dan mudah dipahami. Syariah tidak dibuat dalam teka-teki, melainkan dalam perintah dan larangan yang eksplisit. Bahkan ketika ada aspek yang ambigu (mutasyabihat), dasar-dasar syariat tetap kokoh dan jelas (muhkamat).
Apabila suatu larangan (Ma Yattaqun) telah disampaikan, namun ada sebagian kaum yang masih melakukannya karena kelalaian parsial atau kesalahan interpretasi minor, Ayat 115 mengajarkan bahwa Allah masih memberikan toleransi selama kesalahan tersebut bukan karena penolakan total terhadap Bayān (klarifikasi) tersebut. Ini mendorong umat untuk selalu kembali kepada sumber utama, mencari kejelasan, dan tidak berpuas diri dalam ketidaktahuan, karena kejelasan itu telah disediakan oleh Allah.
Proses klarifikasi hukum (Bayān) bukan hanya terjadi sekali pada masa Nabi, melainkan terus berlanjut melalui upaya penafsiran (Tafsir), pengajaran (Ta’lim), dan penetapan hukum (Ijtihad) oleh para ulama yang mukhlish. Umat Islam di setiap zaman dituntut untuk berpegang pada metode klarifikasi yang telah diwariskan ini.
Kegagalan dalam Bayān dapat terjadi secara internal (umat mengabaikan ilmu yang ada) atau eksternal (ilmu belum sampai atau disampaikan dengan benar). Dalam kasus kegagalan eksternal, keadilan ilahi menjamin bahwa Allah tidak akan meminta pertanggungjawaban melebihi apa yang telah mereka ketahui. Ini adalah pengakuan atas keterbatasan manusia dan keadilan universal Allah yang Maha Mengetahui.
Pilihan kata ‘Ma Yattaqun’ (apa yang mereka takuti/hindari) sangat spesifik. Ini merujuk pada segala sesuatu yang harus dihindari agar seseorang tetap berada dalam lingkup ketakwaan (Taqwa).
Ini adalah hal pertama yang harus dijelaskan dan dihindari. Dalam konteks Nabi Ibrahim, hal yang paling harus dihindari adalah kekafiran, yang menjadi alasan utama mengapa Istighfar tidak lagi diperbolehkan. Syirik dan kekafiran adalah penyimpangan paling fatal setelah Hidayah Tauhid diterima.
Klarifikasi mengenai Tauhid haruslah tuntas. Ini mencakup tidak hanya pengakuan lisan, tetapi juga praktik ibadah, tawakal, dan kecintaan yang murni hanya kepada Allah. Jika kejelasan Tauhid ini sudah mutlak, penyimpangan setelahnya adalah kesesatan yang disengaja.
Setelah dasar Tauhid, Ma Yattaqun mencakup larangan-larangan yang dapat merusak kualitas ketakwaan, seperti zina, riba, membunuh, dan kemaksiatan fundamental lainnya yang dijelaskan dengan tegas dalam nash. Allah telah menjadikan hukum-hukum ini jelas bagi mereka yang mencari kebenaran.
Ini juga mencakup batasan dalam praktik keagamaan. Jika suatu praktik tidak memiliki dasar dalam Syariat yang telah jelas, maka itu termasuk dalam ‘Ma Yattaqun’ dalam arti harus dihindari. Prinsip ini memastikan pemurnian agama dari penambahan yang tidak sahih, sehingga umat dapat beribadah di atas ilmu dan kejelasan, bukan asumsi dan hawa nafsu.
Pentingnya klarifikasi ini berkali-kali ditekankan oleh ayat tersebut. Kejelasan mengenai apa yang harus dihindari merupakan pondasi moral dan spiritual. Tanpa kejelasan ini, konsep takwa (ketakutan kepada Allah) menjadi kabur dan tidak memiliki batasan yang pasti.
Meskipun ayat ini turun dalam konteks sejarah tertentu (kasus Ibrahim dan penentuan sikap terhadap munafikin), prinsipnya abadi dan sangat relevan di era modern.
Di masa kini, di mana informasi, termasuk ajaran Islam, mudah diakses melalui berbagai media, tanggung jawab untuk mencari dan memahami ‘Ma Yattaqun’ menjadi lebih besar. Ketika Allah menyediakan sarana klarifikasi melalui teknologi dan kemudahan akses terhadap tafsir dan hadits, seseorang yang memilih untuk tetap berada dalam kebodohan yang disengaja (jahil murakkab) berada dalam risiko besar. Ayat 115 secara implisit menuntut keaktifan dalam pencarian ilmu.
Dalam dunia global, interaksi antara Muslim dan non-Muslim semakin intens. Ayat 115 menegaskan kembali batasan spiritual yang ditarik oleh Istighfar Nabi Ibrahim: meskipun kita dituntut untuk berbuat baik kepada semua manusia, batasan dalam hal akidah dan doa khusus (seperti memohon ampunan dosa syirik) harus tetap dijaga, karena hal itu termasuk ‘Ma Yattaqun’ yang sudah diklarifikasi.
Kita harus membedakan antara toleransi sosial (berbuat adil, berinteraksi baik) dengan loyalitas spiritual (Al-Wala'). Ayat ini menjadi pedoman bahwa loyalitas tertinggi hanya untuk Allah dan agama-Nya, dan batasan ini telah dijelaskan dengan gamblang agar kita tidak tersesat ke dalam kekeliruan teologis.
Penutupan ayat dengan nama Allah Al-'Aliim memberikan jaminan moral dan kepastian teologis. Nama ini merangkum semua janji dan peringatan dalam ayat tersebut.
Ilmu Allah (Al-'Ilm) adalah sempurna dan meliputi segala sesuatu (Bikulli Syai’in). Karena ilmu-Nya yang sempurna, Dia tahu:
Penekanan pada Al-'Aliim menghilangkan keraguan bahwa penetapan larangan Istighfar bagi orang musyrik (kasus Ibrahim) adalah suatu kekeliruan atau ketidakadilan. Tidak ada yang luput dari pandangan Allah, dan penetapan hukum ini didasarkan pada pengetahuan yang mutlak akan realitas batin dan masa depan hamba-Nya.
Keadilan (Al-'Adl) Allah dalam Ayat 115 sepenuhnya didukung oleh Ilmu-Nya. Keadilan terwujud dalam memastikan Bayān (klarifikasi) terpenuhi. Jika Allah tidak memiliki ilmu sempurna (Bikulli Syai’in 'Alim), mungkin saja ada aspek yang terlewat dalam klarifikasi, sehingga hukuman yang dijatuhkan bisa dianggap tidak adil. Namun, karena ilmu-Nya mencakup segalanya, kita yakin bahwa setiap pertanggungjawaban yang diminta adalah berdasarkan pengetahuan mutlak atas kejelasan yang telah disampaikan.
Kesimpulan dari penegasan ini adalah bahwa umat Muslim harus hidup dalam kepastian akan hukum Allah, dan bahwa ketidakpastian (syak) hanya muncul karena kelalaian manusia dalam mencari kejelasan yang sudah terhampar luas dalam wahyu.
Ayat 115 Surah At-Taubah berfungsi sebagai penanda garis demarkasi yang jelas dalam metodologi Islam. Ia mengajarkan bahwa agama ini dibangun di atas landasan ilmu (pengetahuan), bukan dugaan atau emosi belaka.
Kisah Ibrahim mengajarkan bahwa kasih sayang pribadi, meskipun kuat (cinta seorang anak kepada ayahnya), tidak boleh melampaui batas hukum yang telah diklarifikasi oleh Allah. Kasih sayang harus tunduk pada kejelasan tauhid dan loyalitas kepada Sang Pencipta. Ketika hukum tentang ‘Ma Yattaqun’ (apa yang harus dihindari) telah jelas, seorang Muslim harus segera mematuhinya, bahkan jika itu bertentangan dengan perasaan atau hubungan keduniaan.
Tanpa kejelasan (Bayān) yang dijanjikan dalam ayat ini, umat akan terombang-ambing. Kejelasan ini adalah benteng yang melindungi umat dari bid'ah, sinkretisme, dan kesesatan. Setiap kali umat Islam menghadapi isu baru atau dilema kontemporer, mereka harus selalu merujuk pada prinsip 115: mencari klarifikasi hukum dari sumber yang sahih sebelum mengambil tindakan, sehingga mereka tidak termasuk dalam golongan yang menyimpang setelah menerima petunjuk.
Klarifikasi ini adalah syarat mutlak untuk ketakwaan yang benar. Taqwa adalah hasil dari pemahaman yang mendalam tentang ‘Ma Yattaqun’ dan keberanian untuk menjauhi hal-hal yang dapat membatalkan pahala atau merusak akidah, sebagaimana yang telah dijelaskan secara rinci oleh Tuhan yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
Oleh karena itu, setiap Muslim wajib menjadikan pencarian dan pemahaman yang jelas (Bayān) sebagai prioritas tertinggi dalam kehidupan spiritualnya. Hanya dengan ilmu yang jelas, seseorang dapat memastikan bahwa ia tidak termasuk dalam golongan yang ‘disesatkan’ setelah menerima petunjuk, karena ia telah memenuhi janji ilahi untuk mengetahui dan menjauhi apa yang dilarang.