Prinsip Asasi Tauhid dan Sentralitas At-Taubah 31
Konsep tauhid, pengesaan Allah dalam segala aspek rububiyah (ketuhanan), uluhiyah (peribadatan), dan asma wa sifat (nama dan sifat), adalah inti ajaran samawi. Dalam perjalanan sejarah agama-agama, selalu muncul penyimpangan yang mereduksi keutuhan tauhid tersebut. Salah satu bentuk penyimpangan yang paling halus namun paling berbahaya, yang seringkali tidak disadari oleh pemeluknya, adalah meletakkan otoritas mutlak manusia pada tingkat yang setara dengan otoritas Sang Pencipta.
Surah At-Taubah, ayat ke-31, memberikan peringatan keras dan gamblang mengenai batas-batas ketaatan kepada figur keagamaan, baik itu ulama, rahib, maupun figur yang dianggap suci, termasuk Al Masih putra Maryam. Ayat ini berfungsi sebagai barometer yang membedakan ketaatan yang diizinkan dan ketaatan yang terjerumus ke dalam wilayah syirik (penyekutuan).
Pesan utama yang diusung oleh ayat ini adalah penegasan kembali bahwa hanya ada satu Tuhan yang berhak disembah dan ditaati secara mutlak, yakni Allah. Segala bentuk ketaatan yang melampaui batas dan menggeser hukum-hukum Allah dengan hukum buatan manusia adalah perbuatan yang bertentangan dengan prinsip fundamental tauhid. Pemahaman mendalam terhadap ayat ini menjadi krusial dalam menjaga kemurnian akidah umat dari segala bentuk distorsi spiritual dan legislatif.
Lafadz dan Terjemah At-Taubah Ayat 31
Ayat mulia ini merupakan fondasi teologis dalam memandang kedudukan pembuat hukum dan otoritas keagamaan. Marilah kita telaah lafadznya:
Terjemahnya adalah sebagai berikut:
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya (ahbar), dan rahib-rahibnya (ruhban), sebagai tuhan-tuhan (arbab) selain Allah, dan (juga) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (QS. At-Taubah [9]: 31)
Komponen Kunci Lafadz: Ahbar, Ruhban, dan Arbab
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus membedah tiga istilah sentral yang digunakan oleh Al-Qur'an untuk menunjuk pihak-pihak yang melenceng dari tauhid:
- Al-Ahbar (الأحبار): Ini adalah bentuk jamak dari kata Hibr atau Habr, yang secara spesifik merujuk kepada ulama atau orang-orang berilmu dari Bani Israil (Yahudi). Mereka adalah para intelektual, pakar hukum, dan penafsir kitab suci.
- Ar-Ruhban (الرهبان): Ini adalah bentuk jamak dari Rahib, yang merujuk kepada para biarawan, pertapa, atau penganut Kristen yang mengasingkan diri dari dunia untuk beribadah dan spiritualitas. Mereka mewakili asketisme dan pengabdian.
- Arbab (أرباب): Bentuk jamak dari Rabb, yang berarti Tuhan, Penguasa, atau Tuan yang memiliki otoritas mutlak dalam menentukan hukum. Ketika Al-Qur'an menyebut seseorang dijadikan 'Arbab min dunillah,' ini berarti mereka telah diberikan hak-hak ketuhanan.
Tafsir Historis: Makna Menjadikan Mereka 'Arbab'
Ayat ini sering kali disalahpahami sebagai tuduhan bahwa Yahudi dan Nasrani secara harfiah bersujud kepada ulama dan rahib mereka. Namun, tafsir yang paling sahih dan mendalam, yang diperkuat oleh hadis Nabi Muhammad ﷺ, menjelaskan bahwa penyimpangan ini bersifat legislatif dan ketaatan, bukan ritual sujud.
Hadis Adi bin Hatim dan Penjelasan Nabi
Penjelasan terbaik datang dari riwayat sahabat Nabi, Adi bin Hatim Ath-Tha’i (yang dahulunya beragama Nasrani). Ketika ayat ini turun dan Adi mendengarnya, ia berkata kepada Nabi, "Wahai Rasulullah, kami tidak pernah menyembah mereka."
Nabi Muhammad ﷺ menjawab dengan penjelasan yang membedakan antara ibadah ritual dan ibadah ketaatan:
"Bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan, lalu kamu menghalalkannya? Dan bukankah mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan, lalu kamu mengharamkannya?"
Adi menjawab, "Benar."
Nabi ﷺ bersabda, "Itulah bentuk ibadah mereka kepada ulama dan rahib mereka."
Pernyataan ini mengubah perspektif makna 'menyembah' atau 'menjadikan tuhan' dalam konteks ayat 31 At-Taubah. Ibadah dalam konteks ini adalah ketaatan yang melampaui batas, yaitu meletakkan hak legislasi (hak membuat hukum halal dan haram) di tangan figur keagamaan, bahkan ketika hukum tersebut secara eksplisit bertentangan dengan ajaran wahyu yang jelas. Ini adalah puncak dari pengingkaran terhadap Tauhid Al-Hakimiyyah (pengesaan Allah dalam kedaulatan hukum).
Dimensi Legislatif dan Hukum
Tindakan menjadikan ulama dan rahib sebagai arbab mencakup beberapa dimensi teologis dan hukum:
- Penerimaan Perubahan Hukum Ilahi: Mereka menerima dengan pasrah ketika pemimpin agama mereka mengubah status syariat—misalnya, menghapus kewajiban tertentu atau melegalkan dosa.
- Penghapusan Kewenangan Allah: Mereka mengakui bahwa manusia (ulama atau rahib) memiliki hak yang sama, atau bahkan lebih tinggi, dalam menentukan apa yang baik (ma'ruf) dan apa yang buruk (munkar), padahal hak prerogatif ini mutlak milik Allah.
- Ketaatan Tanpa Verifikasi: Ketaatan buta terhadap fatwa atau ajaran yang jelas-jelas menyalahi nash Al-Qur’an atau Sunnah yang sahih, semata-mata karena keyakinan terhadap kesucian atau kedudukan figur tersebut.
Ini bukan masalah mengikuti ajaran yang berasal dari tafsiran yang jujur (ijtihad) yang sah, melainkan masalah ketaatan terhadap perintah yang secara sadar mengganti, membatalkan, atau menandingi hukum Allah. Dalam esensinya, ini adalah syirik ketaatan (Shirk At-Ta’ah), di mana otoritas ketaatan tertinggi diberikan kepada entitas selain Allah.
Kedudukan Al Masih Putra Maryam dalam Ayat
Ayat 31 ini juga secara spesifik menyebutkan: "dan (juga) Al Masih putra Maryam." Penyebutan Isa Al-Masih (Yesus Kristus) setelah ulama dan rahib memperkuat dua poin teologis penting:
1. Penolakan Ketuhanan Isa
Penyebutan Isa Al-Masih menegaskan inti perselisihan teologis dengan sebagian Nasrani yang mengangkat Isa dari status nabi dan hamba Allah menjadi tuhan atau anak tuhan. Penyebutan ini berfungsi sebagai koreksi langsung terhadap keyakinan trinitas dan penegasan bahwa Isa, seperti nabi-nabi lainnya, adalah hamba yang diutus.
2. Batasan Figur Sentral
Bahkan figur yang sangat suci dan dihormati seperti Isa Al-Masih, yang dilahirkan tanpa ayah dan memiliki mukjizat luar biasa, tidak boleh dijadikan 'arbab' atau tuhan. Jika Isa sendiri, yang merupakan Nabi Ulul Azmi, dilarang untuk disembah, maka lebih-lebih lagi para ulama dan rahib, betapapun tinggi ilmunya, tidak berhak mendapatkan ketaatan mutlak yang hanya pantas diberikan kepada Allah.
Penyertaan Isa Al-Masih dalam konteks syirik ini menekankan bahwa masalahnya adalah prinsip fundamental tauhid, bukan masalah figur spesifik. Kesalahan muncul ketika manusia, atas dasar kecintaan, penghormatan, atau ketakutan, melampaui batas dan memberikan hak-hak ketuhanan kepada makhluk.
Analisis Filosofis: Tauhid Al-Hakimiyyah dan Syirik Ketaatan
Ayat At-Taubah 31 ini adalah landasan utama dalam memahami Tauhid Al-Hakimiyyah, yaitu pengakuan bahwa kedaulatan untuk menentukan hukum, syariat, dan batasan (halal dan haram) hanya milik Allah semata. Ketika otoritas ini direbut oleh manusia, maka terjadilah Syirik Ketaatan (Syirk At-Ta’ah).
Hak Eksklusif Allah dalam Legislasi
Allah SWT berfirman: "Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah." (QS. Al-A'raf [7]: 54). Hak legislasi (pembuatan hukum) adalah turunan dari Rububiyah (Ketuhanan). Jika seseorang mengakui bahwa Allah adalah Pencipta (Rabb), ia secara logis harus menerima bahwa Allah-lah yang berhak menentukan bagaimana ciptaan-Nya harus hidup.
Ketergelinciran Ulama dan Rahib
Penyimpangan ulama dan rahib biasanya terjadi karena faktor-faktor berikut:
- Kepentingan Duniawi: Mereka mengubah atau menyembunyikan hukum demi mendapatkan kedudukan, kekayaan, atau pengaruh politik (menjual ayat-ayat Allah dengan harga murah).
- Fanatisme Berlebihan: Mereka meyakini bahwa ajaran nenek moyang atau tradisi mazhab mereka lebih utama daripada nash yang jelas, sehingga mereka memaksakan tafsiran yang menyimpang.
- Keangkuhan Intelektual: Keyakinan bahwa akal dan ijtihad manusia dapat sepenuhnya menggantikan atau membatalkan otoritas wahyu, tanpa menyadari batasan kapasitas akal mereka.
Ketergelinciran Umat (Pengikut)
Penyimpangan pengikut biasanya terjadi karena:
- Taqlid Buta (Ketaatan Buta): Mengikuti pemimpin agama tanpa menanyakan dasar hukumnya, dengan keyakinan bahwa pemimpin tersebut tidak mungkin salah, bahkan ketika keputusannya jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
- Mencari Keringanan Palsu: Memilih pemimpin agama yang memberikan fatwa 'mudah' yang membenarkan keinginan hawa nafsu mereka, meskipun bertentangan dengan syariat yang ketat.
- Pengkultusan Individu: Mengangkat kedudukan seseorang dari penasihat atau pengajar menjadi sosok yang memiliki kekebalan teologis, sehingga perkataannya dianggap setara dengan wahyu.
Ayat 31 At-Taubah mengajarkan bahwa dosa syirik ketaatan ini ditanggung bersama, baik oleh pemimpin yang membuat hukum menyimpang maupun oleh pengikut yang menerima dan mengamalkannya, karena keduanya telah melanggar perjanjian fundamental tauhid.
Membedakan Ketaatan Syar'i dan Syirik Ketaatan
Penting sekali untuk memahami bahwa Islam mewajibkan ketaatan kepada ulama, umara (pemimpin), dan bahkan orang tua, selama ketaatan itu berada dalam koridor hukum Allah. Ketaatan kepada figur keagamaan menjadi syirik hanya ketika otoritas mereka disetarakan dengan Allah dalam hal penetapan hukum yang mutlak.
Ketaatan yang Diperintahkan (Ketaatan Syar'i)
Ketaatan kepada ulama dan pemimpin adalah ketaatan yang terikat, bukan ketaatan yang independen. Landasannya adalah firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil Amri di antara kamu..." (QS. An-Nisa [4]: 59). Ketaatan kepada Ulil Amri (yang mencakup ulama dan umara) hanya sah sepanjang mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika Ulil Amri memerintahkan maksiat atau menghalalkan yang haram, maka tidak ada ketaatan bagi makhluk dalam kemaksiatan kepada Pencipta.
Tanda-Tanda Syirik Ketaatan
Syirik ketaatan termanifestasi ketika:
- Mengganti Syariat: Figur keagamaan mengeluarkan hukum yang secara eksplisit membatalkan hukum Al-Qur’an, dan umat menerimanya sebagai ajaran yang sah.
- Pengakuan Hak Imunitas Hukum: Dipercayai bahwa seorang ulama atau pemimpin tertentu memiliki hak untuk membuat hukum baru yang mengikat semua orang, meskipun tanpa dalil syar'i.
- Menjadikan Ijtihad sebagai Wahyu: Menganggap ijtihad atau pendapat individu seorang figur setara dengan teks wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah), sehingga tidak boleh dikritik atau ditolak, bahkan jika bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.
Ayat 31 At-Taubah adalah peringatan bahwa sumber hukum tertinggi harus tunggal. Jika dua sumber (Allah dan manusia) diterima sebagai pembuat hukum yang setara, tauhid telah tercemar. Keindahan Islam terletak pada penekanan terhadap kemurnian sumber ajaran, yang harus selalu kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad ﷺ.
Kajian Mendalam Mengenai Konsekuensi Syirik Ketaatan
Syirik ketaatan memiliki dampak yang jauh lebih luas daripada sekadar praktik ibadah. Ia menghancurkan struktur masyarakat yang berdasarkan keadilan ilahi (syariah) dan menggantinya dengan otoritas despotik atau oligarki keagamaan yang semena-mena. Ketika manusia menerima hak manusia lain untuk menentukan halal dan haram, mereka telah menyerahkan kebebasan spiritual mereka dan menempatkan diri mereka dalam perbudakan ideologis.
Ini adalah pelanggaran terhadap fitrah manusia yang diciptakan untuk bebas dan hanya tunduk kepada Allah. Ketaatan mutlak kepada ulama atau rahib, dalam konteks legislasi, berarti meniru model penyembahan yang dilakukan oleh umat-umat terdahulu yang secara bertahap tergelincir dari kemurnian tauhid. Sejarah menunjukkan bahwa penyimpangan dimulai dari penghormatan yang berlebihan, kemudian beralih menjadi pengkultusan, dan puncaknya adalah penyerahan hak legislatif.
Proses syirik ketaatan ini seringkali terjadi secara bertahap dan halus. Awalnya, ulama memberikan nasihat. Kemudian, nasihat tersebut dianggap sebagai keharusan. Lalu, keharusan tersebut diangkat menjadi hukum yang tidak boleh dibantah, meskipun bertentangan dengan nas. Pada titik inilah garis tauhid terlampaui.
Kehati-hatian dalam memahami dan menerapkan ajaran agama menuntut setiap Muslim untuk selalu memverifikasi sumber hukum. Ulama adalah pewaris para nabi, mereka dihormati karena ilmunya, tetapi mereka bukan pembuat hukum. Mereka adalah penafsir, penyampai, dan penjelas hukum Allah. Kekebalan dari kesalahan (ma’sum) hanya dimiliki oleh para nabi dan rasul dalam menyampaikan wahyu, bukan oleh ulama atau figur spiritual pasca-kenabian.
Oleh karena itu, kewajiban umat adalah untuk mengembalikan setiap pertikaian atau perbedaan pendapat kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul. Inilah makna hakiki dari Tauhid Al-Hakimiyyah yang ditekankan secara keras dalam At-Taubah 31. Ayat ini bukan hanya kritik historis terhadap umat Yahudi dan Nasrani, tetapi sebuah cermin abadi bagi umat Islam agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dalam bentuk pengkultusan individu, mazhab, atau lembaga keagamaan.
Manifestasi Modern Penyimpangan At-Taubah 31
Meskipun ayat ini ditujukan kepada Yahudi dan Nasrani pada masa turunnya, prinsip yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan relevan sepanjang zaman. Dalam konteks kehidupan kontemporer, syirik ketaatan ini dapat mengambil bentuk-bentuk baru yang lebih terselubung dan kompleks.
1. Pengkultusan Kepemimpinan Spiritual
Dalam beberapa gerakan atau kelompok spiritual (thariqah atau jamaah), terdapat kecenderungan untuk meletakkan otoritas seorang guru, mursyid, atau kyai pada posisi yang hampir tak terbatas. Pengikut didorong untuk meyakini bahwa petunjuk sang pemimpin bersifat absolut, sehingga perintahnya wajib ditaati tanpa mempertimbangkan apakah perintah itu sesuai dengan syariat atau tidak. Apabila terjadi benturan antara ajaran syar'i dan perintah pribadi pemimpin, yang diutamakan adalah perintah pemimpin, inilah esensi dari menjadikan mereka 'arbab'.
2. Fatwa yang Mengikuti Selera Kekuasaan
Beberapa ulama dan institusi keagamaan modern tergelincir dalam penyimpangan ini ketika mereka mengeluarkan fatwa atau pendapat hukum yang disesuaikan dengan kepentingan politik atau selera penguasa, meskipun bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat yang jelas. Ketaatan masyarakat terhadap fatwa yang jelas-jelas menyesatkan, hanya karena fatwa itu datang dari lembaga resmi, adalah bentuk syirik ketaatan. Mereka meletakkan ketaatan kepada otoritas duniawi di atas ketaatan kepada Allah, sehingga otoritas tersebut bertindak layaknya ‘rabb’ dalam legislasi.
3. Fanatisme Mazhab yang Berlebihan
Fanatisme mazhab yang ekstrem juga dapat menjadi pintu gerbang menuju syirik ketaatan. Ketika seorang penganut mazhab meyakini bahwa pendapat mazhabnya (yang merupakan hasil ijtihad manusia) adalah kebenaran mutlak dan tidak dapat dibantah, bahkan oleh dalil Al-Qur’an dan Sunnah yang lebih kuat, maka ia telah memberikan hak ketuhanan legislatif kepada pendiri mazhab tersebut atau penafsirnya. Ini melanggar prinsip bahwa semua ijtihad manusia bersifat relatif dan dapat dikoreksi oleh wahyu.
4. Dominasi Tradisi di Atas Wahyu
Dalam beberapa masyarakat, tradisi (adat) telah dilembagakan sedemikian rupa sehingga menggeser hukum Islam. Ulama yang takut menghadapi tekanan sosial atau budaya lantas 'melegalkan' atau 'membolehkan' tradisi yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat, semata-mata untuk menjaga harmoni sosial atau melestarikan budaya lokal. Ketaatan kolektif terhadap tradisi yang melanggar hukum Allah, di mana ulama berfungsi sebagai pembenarnya, adalah manifestasi modern dari menjadikan ‘ahbar’ sebagai arbab.
Oleh karena itu, setiap Muslim memiliki tanggung jawab individu yang berat. Ayat At-Taubah 31 menuntut adanya sikap kritis dan bijaksana. Menghormati ulama adalah wajib, tetapi ketaatan mutlak hanya untuk Allah dan Rasul-Nya. Mencintai Al-Masih adalah bagian dari iman, tetapi penyembahan hanya milik Sang Khaliq.
Kontemplasi dan Pemurnian Tauhid: Kembali kepada Prinsip
Ayat ini ditutup dengan penegasan yang kuat: "...padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan." Penutup ini membawa kita kembali kepada akar permasalahan, yaitu penolakan terhadap pemurnian ibadah (Tauhid Al-Uluhiyyah) dan pemurnian kedaulatan (Tauhid Al-Hakimiyyah).
Pentingnya Pengakuan Keunikan Allah (Subhanahu Wa Ta’ala)
Kalimat penutup, "Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan," (Subhaanahu ‘amma yushrikun), berfungsi sebagai deklarasi pemurnian. Allah Mahasuci dari memiliki sekutu dalam Rububiyah-Nya (penciptaan dan pengaturan) maupun dalam Uluhiyah-Nya (hak untuk ditaati dan disembah secara mutlak). Syirik, dalam bentuk apa pun—baik syirik ritual (menyembah patung), syirik doa (meminta kepada selain Allah), atau syirik ketaatan (mengikuti hukum selain Allah)—adalah penghinaan terhadap kesucian dan keunikan Allah.
Bagi seorang Mukmin, ayat 31 At-Taubah mengajarkan bahwa ujian terbesar bukanlah terletak pada ketaatan ritual yang terlihat, melainkan pada keteguhan hati dalam menghadapi otoritas manusia yang cenderung melampaui batasnya. Pengesaan Allah harus mencakup dimensi praktis dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam hal siapa yang memiliki hak mutlak untuk mengatur hidup manusia.
Tanggung Jawab Individu dalam Memerangi Syirik
Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada alasan pembenaran bagi ketaatan yang menyesatkan. Para pengikut yang taat secara buta kepada ulama atau rahib yang menyesatkan tetap bertanggung jawab atas perbuatan syirik mereka. Kewajiban mencari ilmu dan membandingkan setiap perintah dengan standar wahyu adalah tanggung jawab pribadi setiap individu yang beriman.
Oleh karena itu, pemurnian akidah dan pemahaman Tauhid Al-Hakimiyyah melalui ayat ini adalah benteng pertahanan umat Islam dari segala bentuk penyimpangan, baik yang datang dari dalam (fanatisme) maupun dari luar (tekanan sosial atau politik). Hanya dengan menjaga kemurnian ketaatan kepada Allah, kita dapat memastikan bahwa kita berada di jalan yang lurus dan terhindar dari dosa syirik yang paling besar.
Pengkajian mendalam terhadap At-Taubah 31 ini menuntut kita untuk senantiasa waspada terhadap segala bentuk otoritas spiritual yang mencoba menggeser kedudukan Allah SWT sebagai satu-satunya Rabb yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, serta satu-satunya Pembuat Hukum yang mutlak. Kesadaran inilah yang menjadi inti keimanan sejati dan kunci keselamatan di dunia dan di akhirat.
Keadilan dan Hukum Mutlak hanya Milik Allah.
Ekspansi Mendalam: Tujuh Pilar Ketaatan dalam Konteks At-Taubah 31
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif mengenai batasan ketaatan sebagaimana termaktub dalam Surah At-Taubah ayat 31, kita perlu menguraikan tujuh pilar ketaatan yang harus selalu terikat pada hukum Allah. Setiap pilar yang goyah akan membuka celah bagi syirik ketaatan.
Pilar 1: Ketaatan Harus Berdasarkan Dalil Syar’i
Setiap perintah atau larangan dari seorang ulama atau pemimpin harus dapat ditelusuri kembali ke sumber otoritatif syariat: Al-Qur’an dan Sunnah. Ketaatan yang murni hanyalah kepada perintah yang didukung oleh dalil. Jika seorang figur keagamaan mengeluarkan hukum tanpa dasar syar'i yang jelas, ketaatan kepadanya bukanlah ibadah, melainkan pengagungan terhadap pribadi, yang berpotensi menjadi syirik. Ulama hanyalah penerjemah, dan ketaatan tertuju pada hukum yang mereka sampaikan, bukan pada status mereka sebagai manusia.
Pilar 2: Hak Tasyri’ (Legislasi) Adalah Eksklusif
Tasyri’ (hak membuat undang-undang, menetapkan halal dan haram) adalah hak eksklusif (prerogatif) Allah SWT. Ketika ulama atau rahib mengambil hak ini, mereka secara implisit menempatkan diri mereka sejajar dengan Tuhan. Pengikut yang menerima otoritas tasyri’ manusia ini telah menyetujui syirik. Hukum yang berasal dari manusia harus selalu berfungsi sebagai implementasi dari hukum Ilahi, bukan sebagai pengganti atau penantang hukum Ilahi. Inilah garis batas terpenting yang dipaparkan oleh At-Taubah 31.
Pilar 3: Ketaatan Terikat pada Ketiadaan Maksiat
Prinsip Fiqh yang abadi: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Sang Khaliq.” Ketaatan kepada figur keagamaan otomatis gugur atau bahkan menjadi haram ketika perintah mereka jelas-jelas menyerukan kepada yang diharamkan Allah. Dalam riwayat Adi bin Hatim, Nabi ﷺ menekankan bahwa inti dari menjadikan mereka arbab adalah ketika umat menerima penghalalan yang diharamkan dan pengharaman yang dihalalkan oleh Allah, menunjukkan bahwa ketaatan tanpa batas ini adalah ibadah syirik.
Pilar 4: Penolakan terhadap Konsep Imunitas (Ma’sum) Manusia
Selain para Nabi dan Rasul dalam menyampaikan wahyu, tidak ada manusia yang ma’sum (terjaga dari kesalahan). Ulama adalah manusia biasa yang rentan terhadap kesalahan tafsir, hawa nafsu, dan tekanan lingkungan. Mengkultuskan seorang ulama sedemikian rupa sehingga dianggap tidak mungkin salah (seperti yang dilakukan beberapa sekte terhadap figur spiritual mereka) adalah akar dari syirik ketaatan. At-Taubah 31 menegaskan bahwa bahkan Isa Al-Masih, figur yang paling luar biasa, tidak luput dari risiko diagungkan melebihi batas ketuhanan.
Pilar 5: Ketaatan sebagai Wujud Ibadah
Ibadah tidak hanya terbatas pada shalat, puasa, atau haji. Ketaatan, terutama dalam hal penerimaan hukum, adalah bentuk ibadah yang paling esensial. Apabila seorang hamba menyerahkan hak ketaatan legislatifnya kepada manusia, ia telah melakukan ibadah kepada manusia tersebut, meskipun secara fisik ia tetap melakukan shalat menghadap Ka’bah. Inilah esensi syirik yang tersembunyi (syirk khafi) yang diangkat oleh ayat ini.
Pilar 6: Perlindungan dari Taqlid yang Tercela
Taqlid (mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil) memiliki dua jenis. Taqlid yang terpuji adalah bagi awam (orang biasa) yang mengikuti ulama yang terpercaya dalam masalah yang tidak mereka kuasai, dengan syarat ulama tersebut tidak menyalahi nas yang jelas. Taqlid yang tercela, dan yang menjadi pintu syirik ketaatan, adalah taqlid buta terhadap figur yang dikenal menyimpang atau ketika pendapat mereka jelas-jelas bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah yang sahih. At-Taubah 31 adalah seruan untuk meninggalkan taqlid jenis kedua ini.
Pilar 7: Korelasi antara Ibadah dan Hukum
Ayat 31 menyandingkan tindakan menjadikan ulama/rahib sebagai arbab dengan seruan untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Ini menunjukkan bahwa ibadah (ritual) tidak akan sah jika tidak disertai dengan ketaatan hukum (legislatif) yang benar. Mustahil seseorang mengklaim menyembah Allah dalam shalat, namun dalam kehidupan sosial dan hukum, ia taat secara mutlak kepada otoritas manusia yang menantang hukum Allah. Ibadah yang benar harus mencakup pengesaan Allah secara total, baik dalam ritual maupun dalam kedaulatan hukum (hakimiyyah).
Dengan menimbang ketujuh pilar ini, kita menyadari bahwa pesan At-Taubah 31 adalah peta jalan menuju kemerdekaan spiritual. Ini adalah pembebasan dari perbudakan kepada otoritas manusia dan penegasan kembali bahwa hanya Allah yang berhak atas cinta, penghormatan, dan ketaatan tertinggi dalam setiap sendi kehidupan, baik ritual maupun legislatif. Pemahaman ini harus terus diulang dan ditanamkan agar umat tidak tergelincir ke dalam lubang syirik yang sama seperti yang dialami oleh umat-umat terdahulu.
Pengembangan Teologis: Syirik Ketaatan dalam Konteks Kontemporer
Dalam era modern yang kompleks, syirik ketaatan tidak hanya terwujud dalam hubungan antara pengikut dan ulama, tetapi juga dalam struktur negara dan ideologi. Ayat At-Taubah 31 memberikan kerangka teologis untuk menganalisis penyimpangan ini.
Kedaulatan Negara dan Hukum Sekuler
Ketika sebuah negara atau sistem hukum secara sadar dan permanen menempatkan hukum buatan manusia (hukum sekuler) di atas Syariat Ilahi, dan masyarakat menerimanya sebagai otoritas tertinggi dalam halal dan haram, maka secara kolektif masyarakat tersebut berada dalam risiko syirik ketaatan. Penerimaan terhadap sistem yang secara eksplisit melegalkan apa yang diharamkan Allah (seperti riba, zina, atau minuman keras) sebagai hukum tertinggi yang mengikat adalah wujud modern dari menjadikan entitas legislatif sebagai 'rabb' selain Allah.
Tentu saja, ketaatan kepada pemimpin negara (ulil amri) dalam urusan administratif, ekonomi, atau ketertiban umum yang tidak bertentangan dengan syariat tetap wajib. Namun, jika Ulil Amri atau badan legislatif mengklaim hak untuk membuat hukum yang menantang otoritas wahyu, maka umat yang mengikutinya secara mutlak telah melanggar batasan yang ditetapkan oleh At-Taubah 31.
Komodifikasi Agama dan Fatwa Pesanan
Globalisasi dan komersialisasi telah menciptakan 'pasar' fatwa. Ulama yang cenderung memberikan fatwa 'lunak' atau 'pesanan' yang menyenangkan audiens atau donatur, terlepas dari kejelasan nas, telah menyimpang dari peran mereka sebagai pelayan wahyu. Mereka menjadi 'ahbar' yang menyesatkan. Pengikut yang secara sengaja memilih fatwa yang paling mudah (talfeeq) meskipun bertentangan dengan ijma’ atau dalil yang kuat, hanya demi mengikuti hawa nafsu, menunjukkan ketaatan kepada ulama tersebut daripada kepada Allah. Mereka menukar kebenaran demi keringanan yang palsu.
Bahaya Ideologi di Atas Akidah
Beberapa kelompok menempatkan ideologi politik atau sosial (misalnya, nasionalisme ekstrem, sosialisme, atau bahkan beberapa bentuk konservatisme) di atas prinsip-prinsip syariat. Ketika seorang anggota kelompok merasa lebih wajib menaati doktrin ideologi pemimpinnya, meskipun doktrin itu bertentangan dengan tauhid atau syariat, maka pemimpin ideologi tersebut telah diangkat menjadi 'rabb'. At-Taubah 31 menuntut agar loyalitas tertinggi selalu diberikan kepada akidah Islam dan hukum Allah, menguji setiap ideologi dengan standar wahyu.
Implikasi bagi Pendidikan Keagamaan
Ayat ini memiliki implikasi besar dalam pendidikan keagamaan. Kurikulum harus menekankan metodologi (ushul) dan verifikasi dalil, alih-alih sekadar indoktrinasi pendapat. Tujuannya adalah melahirkan umat yang bukan hanya taat, tetapi taat berdasarkan ilmu (basirah), sehingga mereka mampu membedakan antara ketaatan syar’i kepada ulama sebagai penafsir, dan syirik ketaatan kepada ulama sebagai pembuat hukum. Jika pendidikan hanya menghasilkan pengikut buta, risiko terulang penyimpangan At-Taubah 31 akan selalu ada.
Dalam kesimpulannya, At-Taubah 31 adalah peringatan keras bahwa menjaga tauhid memerlukan kewaspadaan abadi terhadap penyimpangan otoritas. Figur keagamaan dihormati karena ilmunya, bukan karena status ketuhanannya. Kedaulatan hukum adalah hak Allah, dan siapapun yang menantang hak ini, atau yang menerima penantangnya, telah terjerumus ke dalam perserikatan yang dibenci oleh Allah.
Tanggung jawab ini adalah amanah. Kita tidak boleh membiarkan rasa hormat kita terhadap ulama, rahib, atau figur suci, termasuk Al-Masih putra Maryam, melampaui batas yang telah ditetapkan Allah, yakni batas yang memisahkan makhluk dari Sang Khalik.
Analisis Linguistik dan Semantik Kata 'Arbab'
Untuk benar-benar memahami mengapa ketaatan legislatif dianggap syirik, kita harus mengupas makna kata 'Arbab' (bentuk jamak dari Rabb) secara linguistik dan semantik dalam bahasa Arab klasik dan konteks Al-Qur’an.
Rabb (الرب) dalam Bahasa Arab
Kata Rabb memiliki makna dasar: penguasa, pemilik, pemelihara, pendidik, dan tuan. Dalam konteks kemanusiaan, seseorang bisa menjadi rabb al-manzil (tuan rumah) atau rabb al-mal (pemilik harta). Namun, ketika kata ini digunakan secara mutlak tanpa sandingan (seperti yang ditujukan kepada Allah), maknanya mencakup kedaulatan mutlak atas penciptaan, pengaturan, dan, yang paling penting dalam konteks At-Taubah 31, hak untuk menentukan hukum dan jalan hidup.
Penggunaan 'Arbab' dalam Syirik Uluhiyah
Ketika Al-Qur'an menggunakan kata 'Arbab' untuk figur selain Allah, ia menunjuk pada penyimpangan dalam dua area Tauhid:
- Rububiyah Palsu: Umat berkeyakinan bahwa figur tersebut memiliki kemampuan untuk menciptakan hukum atau menyediakan rezeki spiritual yang independen dari Allah.
- Uluhiyah Ketaatan: Figur tersebut dipatuhi secara mutlak dalam hal legislasi, yang merupakan hak esensial dari Uluhiyah (hak untuk disembah dan ditaati).
Pilihan kata 'Arbab' (Tuhan-tuhan) daripada 'Alihah' (sesembahan/ilah) dalam ayat ini sangat kuat. 'Ilah' lebih sering merujuk pada objek penyembahan ritual (patung, berhala). Sementara 'Rabb' menekankan hak kedaulatan dan pengaturan. Ayat 31 secara spesifik menyerang syirik kedaulatan: mereka menjadikan rahib dan ulama sebagai penguasa hukum yang setara dengan Allah.
Peran Fatwa dan Qanun (Hukum)
Dalam praktik, fatwa ulama (hasil ijtihad) adalah interpretasi yang rentan terhadap kesalahan, sedangkan Qanun (hukum buatan manusia) adalah keputusan yang mengikat. Ketika fatwa diangkat menjadi qanun yang menentang syariat, dan umat menerimanya sebagai otoritas tertinggi, maka otoritas fatwa tersebut telah mengambil peran 'Rabb'. At-Taubah 31 mengajarkan bahwa seorang Muslim harus membedakan antara bimbingan (yang bisa dikoreksi) dan undang-undang mutlak (yang hanya milik Allah).
Dengan demikian, kata 'Arbab' mencerminkan kedalaman penyimpangan yang terjadi. Ini bukan sekadar kesalahan tafsir, melainkan penyerahan hak kedaulatan yang mutlak dan tak terbatas, sebuah tindakan yang merusak inti ajaran Tauhid. Pemahaman semantik ini harus menjadi panduan bagi setiap Muslim dalam berinteraksi dengan figur otoritas keagamaan di setiap zaman.
Siklus Pengulangan Sejarah dalam Syirik Ketaatan
Sejarah menunjukkan bahwa syirik ketaatan adalah siklus yang terus berulang dalam setiap umat. Polanya hampir selalu sama:
- Fase Penghormatan Awal: Figur keagamaan dihormati karena ilmu dan ketakwaannya. Ketaatan masih terikat pada dalil syar’i.
- Fase Pengkultusan: Kedudukan figur ditinggikan, dianggap memiliki ilmu laduni atau makrifat yang melebihi orang lain, sehingga perkataannya tidak lagi perlu verifikasi dalil.
- Fase Legislasi (Arbabisasi): Figur tersebut mulai membuat hukum atau mengubah hukum Allah (baik secara terang-terangan maupun dengan tafsir yang dipaksakan) untuk memuaskan pengikut atau penguasa.
- Fase Syirik Ketaatan: Pengikut menerima hukum baru ini, menolaknya sebagai hukum yang lebih benar daripada wahyu asli, dan dengan demikian menjadikan figur tersebut sebagai 'Rabb' atau tuhan hukum.
Ayat 31 dari Surah At-Taubah bertindak sebagai intervensi ilahi yang memotong siklus ini. Ia mengingatkan bahwa keberadaan ulama dan rahib adalah untuk melayani wahyu, bukan untuk menggantikannya. Bahkan dalam Islam, risiko pengulangan ini selalu ada, terutama dalam masa-masa kemunduran ilmu dan dominasi hawa nafsu. Oleh karena itu, prinsip 'Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan' harus terus digaungkan sebagai penangkal setiap upaya pengkultusan yang berujung pada syirik.
Pentingnya pelajaran dari At-Taubah 31 tidak hanya terletak pada pengakuan Allah sebagai satu-satunya yang patut disembah, tetapi juga pada pengakuan Allah sebagai satu-satunya yang berhak membuat hukum. Kedua aspek tauhid ini, Tauhid Al-Uluhiyyah dan Tauhid Al-Hakimiyyah, tidak dapat dipisahkan. Keutuhan iman bergantung pada ketaatan yang terikat pada wahyu, bukan pada otoritas fana manusia.
Ketegasan At-Taubah 31 adalah rahmat, karena ia melindungi umat dari perbudakan yang paling berbahaya: perbudakan ideologis dan spiritual kepada sesama manusia. Inilah inti kemerdekaan seorang Muslim, yaitu hanya tunduk kepada Allah SWT.
Penghormatan kepada Al-Masih putra Maryam, yang juga disebut dalam ayat ini, adalah wajib bagi Muslim karena ia adalah nabi yang mulia. Namun, penghormatan ini harus berhenti di batas kenabian. Mengangkatnya (atau siapapun) melampaui batas manusia adalah syirik. Ayat ini mengajarkan keseimbangan yang sempurna: menghormati tanpa mengkultuskan, dan taat tanpa syirik.
Semua uraian tafsir, historis, linguistik, dan teologis ini menegaskan satu hal: pemeliharaan tauhid adalah upaya seumur hidup yang menuntut ilmu, kewaspadaan, dan keberanian untuk menolak ketaatan yang melanggar batas, demi memenuhi seruan: 'Laa Ilaaha Illaa Huwa' (Tiada Tuhan selain Dia).