Ilustrasi: Kitab sebagai Sumber Hukum dan Keadilan.
Surah At-Taubah, surah ke-sembilan dalam Al-Quran, memegang posisi yang sangat unik dan krusial dalam kajian Islam. Surah ini merupakan satu-satunya surah yang tidak diawali dengan *Basmallah* (Bismillahirrahmanirrahim), menandai deklarasi akhir dan penarikan perjanjian damai dengan kelompok musyrikin tertentu yang berulang kali melanggar kesepakatan mereka. Di antara rangkaian ayat yang membahas batas-batas hubungan antara komunitas Muslim yang baru berdiri dan musuh-musuh yang melanggar janji, Ayat 5 surah ini seringkali menjadi titik fokus perdebatan dan kesalahpahaman. Untuk mencapai pemahaman yang adil dan benar, kita wajib menempatkan Ayat 9:5 dalam bingkai konteks historis yang ketat, analisis linguistik yang mendalam, dan interpretasi jurisprudensi (fiqh) yang komprehensif.
Tujuan dari artikel ini adalah untuk membongkar lapisan-lapisan pemahaman seputar Ayat 5 Surah At-Taubah, memastikan bahwa maknanya yang sesungguhnya – sebagai perintah yang sangat spesifik dan bersyarat dalam situasi perang tertentu – dapat dipahami secara utuh, jauh dari pemotongan konteks yang dapat mengarah pada generalisasi yang menyesatkan.
Ayat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Terjemahan literalnya, yang seringkali menjadi sumber kesalahpahaman tanpa konteks, adalah:
Surah At-Taubah diturunkan pasca-Fathu Makkah (Penaklukan Makkah) dan sebelum Haji Wada’ (Haji Perpisahan). Secara spesifik, ayat-ayat awalnya, termasuk 9:5, berkaitan dengan situasi di Jazirah Arab pada tahun ke-9 Hijriah. Pada saat itu, umat Islam menghadapi dua masalah utama:
Ayat 9:1-4 memberikan ultimatum: Bagi musyrikin yang tidak melanggar perjanjian atau yang memiliki perjanjian bersyarat, masa damai masih berlaku. Namun, bagi mereka yang secara terang-terangan melanggar sumpah dan membantu memerangi umat Islam, Allah memberikan periode penangguhan empat bulan suci (*al-Ashhur al-Hurum*) sebagai masa tenggang untuk beriman atau meninggalkan wilayah tersebut.
Memahami 9:5 tanpa Ayat 9:1-4 dan 9:6 adalah kesalahan fatal. Ayat ini adalah bagian dari "Deklarasi Pelepasan Tanggung Jawab" (*Bara'ah*). Para ulama telah sepakat bahwa perintah ini tidak bersifat umum, melainkan sangat terikat pada keadaan dan identitas musuh yang spesifik.
Perintah 'membunuh' (فَاقْتُلُوا) dalam 9:5 ditujukan secara eksklusif kepada kelompok musyrikin yang memenuhi kriteria berikut, sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat sebelumnya:
Masa empat bulan ini bukan hanya peringatan, tetapi peluang terakhir untuk bertaubat atau menghentikan permusuhan. Setelah masa tenggang berakhir, mereka yang memilih melanjutkan agresi dianggap sebagai musuh yang harus diperangi hingga mereka bertaubat atau dikalahkan.
Surah At-Taubah sendiri memberikan pengecualian yang jelas, membuktikan bahwa Ayat 9:5 bukanlah perintah umum untuk memerangi semua non-Muslim di sepanjang zaman:
Ayat 9:4 secara eksplisit menyatakan bahwa musyrikin yang telah menjaga perjanjian mereka dan tidak membantu musuh melawan Muslimin, perjanjian mereka harus dihormati hingga batas waktunya. Ini menunjukkan bahwa perintah di 9:5 hanya berlaku untuk kelompok yang mengkhianati. Kebijaksanaan ini menegaskan prinsip Islam bahwa perjanjian adalah suci dan harus dipatuhi, bahkan dengan musuh.
Ini adalah pembatasan paling penting yang sering diabaikan. Ayat 9:6 memerintahkan:
Jika 9:5 memerintahkan perang terhadap musuh bebuyutan, 9:6 segera menetapkan batas etis tertinggi dalam peperangan: bahkan dalam situasi konflik terpanas, jika seorang musyrik meminta suaka, umat Islam wajib memberikan perlindungan, mengajarinya Islam (jika ia ingin belajar), dan mengantarkannya ke tempat yang benar-benar aman. Ini menghapus interpretasi bahwa 9:5 adalah lisensi pembunuhan tanpa pandang bulu. Tujuan tertinggi adalah dakwah dan keselamatan, bukan pemusnahan.
Untuk memahami kedalaman 9:5, kita perlu membedah istilah-istilah kuncinya, terutama kata kerja yang digunakan, yang semuanya merujuk pada konteks militer dan pertahanan.
Ini adalah periode empat bulan suci (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab). Dalam tradisi Arab pra-Islam dan Islam, bulan-bulan ini adalah masa gencatan senjata universal. Allah SWT memberikan periode damai ini sebagai kesempatan terakhir bagi para pengkhianat untuk kembali kepada kebenaran atau setidaknya menghentikan permusuhan. Perintah untuk berperang (9:5) hanya berlaku *setelah* masa damai ini selesai (*fa idha insalakha*).
Kata *qital* (قِتَال) dan bentuk perintah *iqtilu* (dari akar kata Q-T-L) memang berarti ‘membunuh’ atau ‘memerangi.’ Namun, dalam terminologi militer dan jurisprudensi Al-Quran, *qital* (memerangi) merujuk pada konflik bersenjata yang sah dan terorganisir, berbeda dari *qatl* (pembunuhan) yang merupakan pembunuhan non-militer atau kriminal.
Dalam konteks 9:5, *iqtilu* adalah perintah militer untuk melawan kekuatan bersenjata yang telah melanggar perjanjian dan menolak kesempatan damai. Ini bukan perintah untuk membunuh warga sipil, perempuan, anak-anak, pendeta, atau petani. Jurisprudensi Islam sangat jelas membatasi *qital* hanya kepada pihak kombatan yang membawa senjata.
Bagian kedua 9:5 memberikan jalan keluar yang sangat mudah: “فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ” (Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka).
Ini membuktikan bahwa tujuan perintah perang di 9:5 bukanlah pemusnahan, tetapi penghentian permusuhan dan penegakan kedaulatan Islam. Begitu musuh menunjukkan niat untuk menghentikan permusuhan (dengan bertaubat) dan masuk ke dalam tatanan sosial Islam (dengan melaksanakan Shalat dan Zakat), konflik harus segera dihentikan. Mereka harus "diberi kebebasan" (*fa khallu sabilahum*). Ini adalah demonstrasi paripurna dari sifat Allah yang Maha Pengampun (*Ghafur*) dan Maha Penyayang (*Rahim*), yang mengakhiri ayat tersebut.
Para ahli tafsir dan fuqaha (ahli hukum Islam) sepanjang sejarah telah memberikan interpretasi yang sangat hati-hati terhadap 9:5, mencegahnya digunakan sebagai dasar untuk perang tak terbatas.
Dalam sejarah tafsir, 9:5 sering disebut sebagai "Ayat Pedang" (*Ayat as-Sayf*). Beberapa ulama terdahulu (seperti Imam Syafi'i) berpendapat bahwa 9:5 telah mengabrogasi (menghapus hukum) dari semua ayat damai lainnya, menjadikannya satu-satunya dasar hukum peperangan. Namun, pandangan ini ditolak oleh mayoritas ulama tafsir kontemporer dan modernis.
Mayoritas ulama (termasuk Hanafi, Maliki, dan Hanbali) berpendapat bahwa 9:5 tidak mengabrogasi ayat-ayat damai. Sebaliknya, 9:5 adalah *takshish* (pengkhususan) yang berlaku untuk situasi perang defensif melawan kelompok tertentu yang melanggar perjanjian. Ayat-ayat dasar tentang perdamaian, keadilan, dan tidak memulai agresi (seperti QS. Al-Baqarah 2:190, dan QS. Al-Mumtahanah 60:8) tetap berlaku sebagai prinsip umum hubungan internasional Islam.
Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menekankan bahwa 9:5 hanya mengatur kondisi perang yang muncul setelah empat bulan masa tenggang berakhir. Ayat ini tidak menghapus perintah untuk berbuat baik kepada non-Muslim yang tidak memerangi umat Islam.
Berdasarkan At-Taubah 9:5 dan ayat-ayat lainnya, Fiqh Perang (Siyar) menetapkan batasan yang ketat:
Perintah 'kepunglah mereka dan intailah mereka di tempat pengintaian' (وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ) memperkuat bahwa ini adalah strategi militer yang diterapkan terhadap musuh yang masih aktif dan menolak tawaran damai, bukan terhadap warga sipil yang damai.
Ironisnya, Ayat At-Taubah 9:5 seringkali menjadi ayat Al-Quran yang paling disalahpahami, baik oleh ekstremis yang ingin membenarkan kekerasan tak berdasar, maupun oleh kritikus yang ingin mencitrakan Islam sebagai agama kekerasan.
Narasi yang menyebut 9:5 sebagai 'Ayat Pedang' yang mengharuskan perang abadi melawan semua non-Muslim adalah narasi yang terputus dari konteks. Para sarjana kontemporer seperti Yusuf Qaradhawi dan Muhammad Asad sepakat bahwa 9:5 adalah ayat yang sangat spesifik (*khusus*) dan tidak dapat dijadikan prinsip umum (*‘amm*) bagi kebijakan luar negeri Islam.
Jika Islam menganjurkan perang tak terbatas, mengapa Surah At-Taubah sendiri memberikan begitu banyak celah untuk perdamaian, taubat, dan perlindungan suaka (9:4 dan 9:6)? Teks Al-Quran harus dibaca sebagai satu kesatuan yang koheren. Perang dalam Islam adalah pengecualian, bukan aturan, dan harus didasarkan pada keadilan dan kebutuhan defensif.
Prinsip umum yang mengatur hubungan Muslim dengan non-Muslim yang damai tetap dipegang teguh oleh Ayat Al-Quran yang lebih umum dan tetap relevan:
Ayat 60:8 menegaskan bahwa keadilan dan kebaikan adalah standar moral tertinggi dalam interaksi dengan non-Muslim yang tidak agresif. Ayat 9:5, oleh karena itu, harus dipahami sebagai intervensi hukum dalam situasi darurat militer dan pengkhianatan, bukan sebagai penghapus prinsip keadilan universal.
Periode empat bulan suci (*al-Ashhur al-Hurum*) adalah elemen sentral dalam memahami kemanusiaan dan keadilan perintah 9:5. Pemberian masa tenggang ini adalah bukti bahwa Islam tidak tergesa-gesa dalam konflik. Konsep ini memerlukan elaborasi yang lebih rinci.
Jatuhnya perintah perang setelah masa tenggang menunjukkan bahwa hukuman hanya diterapkan setelah musuh diberikan setiap kesempatan yang mungkin untuk bertaubat atau mundur dari permusuhan. Periode ini berfungsi sebagai:
Jika perintah perang dikeluarkan seketika, hal itu bisa dianggap sebagai agresi. Namun, dengan ditetapkannya masa *al-Ashhur al-Hurum*, tindakan militer pasca-periode tersebut secara definitif dikategorikan sebagai respons yang adil terhadap agresi berkelanjutan yang menolak perdamaian. Ini adalah prinsip 'perang terakhir' dalam keadaan yang sangat terdesak dan dibenarkan.
Beberapa ulama tafsir, seperti Mujahid dan Qatadah, menjelaskan bahwa masa empat bulan ini juga memberikan kesempatan bagi musyrikin yang tidak ingin beriman namun ingin menjaga nyawa mereka untuk meninggalkan wilayah Jazirah Arab (yang pada dasarnya sedang dipersatukan di bawah satu hukum Islam). Dengan kata lain, mereka diberikan pilihan antara:
Ayat ini hanya mengesahkan tindakan militer terhadap kelompok ketiga: mereka yang memilih untuk tinggal dan tetap memusuhi setelah seluruh kesempatan untuk rekonsiliasi atau pengunduran diri telah habis.
Analisis terhadap frasa وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ (Kepunglah mereka dan intailah mereka di tempat pengintaian) further memperjelas sifat militer dari ayat ini.
Kata *wahsūruhūm* (kepunglah mereka) secara harfiah berarti memblokir atau mengepung. Ini adalah istilah militer klasik yang menunjukkan strategi untuk membatasi gerakan musuh, biasanya diterapkan pada benteng, kamp, atau rute pasokan musuh. Perintah ini tidak relevan jika ditujukan kepada individu damai di pasar, melainkan kepada kekuatan militer yang terorganisir.
*Waq’udu Lahum Kulla Marṣad* berarti 'intailah mereka di setiap tempat pengintaian.' Ini merujuk pada taktik pencegatan dan patroli militer. Tujuannya adalah untuk mengantisipasi serangan balasan atau pelarian pasukan musuh. Tindakan ini merupakan bagian integral dari operasi militer untuk mengamankan wilayah dan menetralkan ancaman. Ini bukan dorongan untuk memburu warga sipil, tetapi untuk mencegah pasukan musuh yang berbahaya dari berkumpul kembali atau melarikan diri untuk melanjutkan pertempuran di lain waktu.
Keseluruhan rangkaian kata kerja—membunuh/memerangi, menangkap, mengepung, mengintai—melukiskan sebuah gambaran yang jelas mengenai operasi perang yang legal dan terukur, diarahkan untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung lama dan mengancam stabilitas komunitas Muslim di Madinah dan Mekah.
Dalam konteks Madinah sebagai negara-kota yang baru, Surah At-Taubah berfungsi sebagai piagam konstitusional dan kebijakan luar negeri. Ayat 9:5 dapat dipandang sebagai alat untuk penegakan kedaulatan.
Jazirah Arab pada saat itu adalah wilayah yang kacau balau, di mana perjanjian sering dilanggar dan keamanan sangat rapuh. Ayat 9:5, meskipun keras, merupakan respons yang proporsional terhadap situasi di mana pengkhianatan perjanjian dan agresi terus-menerus mengancam eksistensi negara Muslim. Ini adalah bagian dari proses membersihkan Mekah dari ideologi paganisme yang menjadi sumber konflik utama, sehingga hanya Islam, yang membawa hukum dan ketertiban yang baru, yang dapat bertahan di sana.
Para ulama juga menyepakati bahwa perintah dalam 9:5 memiliki batasan geografis yang kuat. Ayat ini ditujukan kepada musyrikin yang tinggal di sekitar Ka'bah (Al-Masjidil Haram) di Jazirah Arab, yang merupakan pusat spiritual Islam. Keputusan untuk membersihkan wilayah ini dari musyrikin yang militan adalah unik untuk kondisi geografis dan spiritual tersebut. Ini tidak dapat diekstrapolasi menjadi perintah untuk menyerang non-Muslim di seluruh dunia.
Jika 9:5 sangat terikat konteks, apa relevansinya bagi umat Islam di masa kini? Hikmah dari ayat ini tidak terletak pada perintah militer, tetapi pada prinsip-prinsip hukum abadi yang mendasarinya.
Ayat ini mengajarkan pentingnya kedaulatan dan penegakan hukum. Ketika perjanjian dilanggar, dan kedaulatan terancam, negara memiliki hak dan kewajiban untuk mengambil tindakan tegas setelah semua jalan damai ditutup. Hal ini mengajarkan bahwa keadilan tanpa kekuatan untuk ditegakkan adalah sia-sia, namun kekuatan tanpa keadilan adalah tirani.
Relevansi terbesar terletak pada bagian akhir ayat: “فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ” (Jika mereka bertaubat... maka berilah kebebasan kepada mereka). Bagian ini adalah inti dari seluruh Surah At-Taubah. Perang harus berhenti seketika jika musuh menunjukkan tanda-tanda reformasi spiritual dan sosial.
Hal ini mendemonstrasikan bahwa: **Pintu Taubat lebih utama daripada pintu peperangan.** Tujuan akhir Islam adalah penerimaan kebenaran dan pembangunan masyarakat yang damai, bukan penumpahan darah. Perang adalah sarana untuk menghentikan kezaliman dan agresi, bukan tujuan itu sendiri.
Di era modern, di mana hubungan antarnegara didasarkan pada perjanjian internasional, 9:5 memberikan pelajaran mendalam: perjanjian harus dihormati. Jika suatu negara atau kelompok melanggar perjanjian damai secara terang-terangan dan mengancam keamanan, tindakan pertahanan kolektif menjadi sah. Namun, ini harus selalu dibatasi oleh etika perang Islam (perlindungan sipil, proporsionalitas) sebagaimana ditekankan oleh ulama klasik.
Ayat 9:5 menolak ekstremisme karena mensyaratkan dua hal yang saling berlawanan bagi ekstremis: pertama, ia sangat membatasi target (hanya musuh yang berkhianat); dan kedua, ia segera menawarkan jalan keluar yang damai (Taubat) dan memerintahkan penghentian permusuhan, yang bertentangan dengan mentalitas perang abadi yang dianut oleh kelompok radikal.
Untuk memastikan pemahaman yang kokoh terhadap ayat ini, penting untuk mengulangi dan menekankan beberapa poin kontekstual yang kritis, yang mencegah penafsiran tunggal yang dangkal.
Ayat 9:5 muncul setelah rentetan upaya diplomatik yang gagal. Islam selalu menganut prinsip damai terlebih dahulu. Ayat ini adalah hasil dari eskalasi konflik yang dipicu oleh musuh itu sendiri, bukan hasil dari niat Muslim untuk memulai agresi. Peperangan yang disahkan di sini adalah perang pertahanan yang sah secara hukum, yang harus dimulai dan diakhiri dengan keadilan.
Perintah untuk membunuh orang musyrikin di mana saja mereka ditemui adalah pernyataan militer yang kuat, namun segera dilunakkan dan dibatasi oleh syarat *Tawbah*. Kondisi ini (bertaubat, mendirikan shalat, menunaikan zakat) adalah bukti bahwa tujuan bukan pada kematian musuh, melainkan pada perubahan perilaku dan komitmen mereka terhadap tatanan yang damai. Sebagaimana yang ditekankan oleh para ahli tafsir, frasa “maka berilah kebebasan kepada mereka” adalah kunci etika Islam. Perlakuan musuh yang menyerah haruslah perlakuan seorang warga negara, bukan perlakuan terhadap tawanan perang.
Jika kita meninjau ulang secara mendalam, At-Taubah 9:5 adalah salah satu demonstrasi paling dramatis dari Mercy (Rahmat) Allah. Di tengah perintah perang paling keras yang ada dalam Al-Quran, Allah meletakkan jalan keluar yang paling mudah: keimanan dan pertobatan. Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam situasi permusuhan yang ekstrim, Allah masih menyediakan jalan untuk pengampunan yang harus direspon oleh umat Islam dengan memberikan keamanan penuh.
Perintah perang dalam 9:5 harus ditempatkan di bawah payung filosofis yang lebih besar dalam Islam: menjaga lima kebutuhan esensial (*al-daruriyyat al-khams*): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Peperangan yang diizinkan oleh 9:5 adalah upaya untuk menjaga jiwa (dari agresi musuh), menjaga agama (dari upaya pemusnahan spiritual), dan menjaga kedaulatan yang memungkinkan kehidupan sosial yang damai.
Sehingga, ayat ini bukan tentang perluasan wilayah atau pemaksaan agama. Ini adalah tindakan bedah militer untuk menghilangkan kanker pengkhianatan yang mengancam kehancuran komunitas yang baru berdiri. Setelah kanker dihilangkan (melalui taubat atau kekalahan militer), tubuh komunitas kembali sehat dan damai.
Penelitian terhadap ribuan halaman tafsir klasik (seperti Tafsir Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, dan Al-Tabari) menegaskan bahwa tidak ada ulama mainstream yang pernah mengartikan 9:5 sebagai izin untuk menyerang non-Muslim secara acak atau tanpa sebab. Konsensus mereka berputar pada poin-poin berikut:
Membaca 9:5 adalah mempelajari pelajaran abadi tentang penanganan krisis politik dan militer dengan prinsip-prinsip Ilahi. Ayat ini mengajarkan bahwa bahkan ketika berhadapan dengan pengkhianatan paling serius, keadilan, pembatasan, dan kesempatan untuk bertaubat harus tetap dijaga di garis depan setiap tindakan. Keseimbangan antara ketegasan militer dan kelembutan spiritual adalah warisan utama dari Surah At-Taubah (9): 5.
Dalam kesimpulannya, Ayat At-Taubah 9:5 adalah perintah perang yang unik, temporal, dan sangat bersyarat, yang ditujukan kepada kekuatan militer musuh yang telah mengkhianati perjanjian damai dan menolak kesempatan terakhir untuk rekonsiliasi. Ia bukan ayat universal yang mempromosikan kekerasan, melainkan bagian dari kerangka hukum Islam yang ketat untuk memastikan keselamatan dan kedaulatan, yang selalu mengutamakan perdamaian, taubat, dan pengampunan Allah.
***
Surah At-Taubah secara keseluruhan dikenal sebagai Surah *Bara'ah*, yang berarti pemutusan atau pelepasan tanggung jawab. Pemahaman terhadap Ayat 5 sangat bergantung pada pemahaman mengapa pemutusan hubungan ini harus terjadi dan apa dampak sosialnya pada Jazirah Arab saat itu.
Salah satu tujuan utama deklarasi ini adalah mengamankan ibadah Haji dan Ka'bah dari praktik-praktik pagan yang telah merusak kesuciannya. Pada masa pra-Islam, Haji sering kali disertai dengan ritual yang menyalahi tauhid. Ayat-ayat di sekitar 9:5 bertujuan untuk memastikan bahwa mulai saat itu, Ka'bah akan menjadi pusat murni monoteisme. Tindakan militer yang diizinkan oleh 9:5 terhadap musyrikin yang militan adalah cara untuk menegakkan keamanan dan kemurnian spiritual di pusat peradaban Islam.
Ini bukan hanya masalah militer, tetapi juga masalah teologis dan sosiologis. Jika musuh-musuh yang melanggar janji diizinkan untuk terus beroperasi di jantung wilayah Muslim, mereka akan terus mengganggu keamanan ibadah dan menabur benih kekacauan. Deklarasi Bara'ah, yang mencapai puncaknya di 9:5 (terhadap pengkhianat) dan 9:6 (perlindungan bagi pencari suaka), adalah strategi yang terpadu untuk mencapai stabilitas.
Frasa yang mengakhiri konflik ("Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka") mendefinisikan kriteria menjadi warga negara dalam komunitas Muslim. Ini adalah tiga pilar komitmen: iman (Taubat), ibadah (Shalat), dan tanggung jawab sosial-ekonomi (Zakat). Begitu kriteria ini dipenuhi, segala bentuk permusuhan harus dihentikan. Mereka tidak lagi dianggap sebagai musuh, tetapi sebagai saudara seiman, menjamin hak-hak penuh mereka di bawah hukum Islam.
Ayat ini menunjukkan bahwa perang adalah alat untuk mencapai perdamaian melalui kepatuhan terhadap tatanan yang adil, bukan alat untuk memaksakan konversi. Namun, karena musyrikin yang ditargetkan di sini telah berulang kali terbukti tidak dapat dipercaya dalam perjanjian damai, satu-satunya jaminan perdamaian yang tersisa adalah komitmen total terhadap sistem hukum Islam, yang direpresentasikan oleh shalat dan zakat.
Salah satu kesalahan terbesar dalam memahami 9:5 adalah mencampuradukkan konsep *Qital* (perang/pertempuran) dengan *Iqrah* (pemaksaan agama). Islam secara tegas melarang pemaksaan agama, sebagaimana dinyatakan dalam QS. Al-Baqarah 2:256, *“La ikraha fid din”* (Tidak ada paksaan dalam agama).
Perintah untuk berperang dalam 9:5 tidak pernah berarti pemaksaan konversi dengan pedang. Perang hanya diizinkan karena pengkhianatan perjanjian dan agresi militer. Jika tujuan utama adalah pemaksaan konversi, maka opsi untuk memberikan suaka dan mengantar musyrik ke tempat aman (9:6) tidak akan ada. Mengapa harus melindungi seseorang dan mengantarnya ke tempat yang aman, jika tujuannya adalah memaksanya masuk Islam di tempat itu juga?
Tujuan *Qital* di sini adalah penghapusan ancaman militer dan politik yang spesifik. Jika musyrik tersebut memilih untuk tetap pada agamanya tetapi meninggalkan permusuhan dan wilayah konflik, Islam memastikan keselamatannya (9:6). Ini membatalkan argumen bahwa 9:5 adalah dasar untuk perang konversi. Ayat ini adalah dasar untuk perang pertahanan dan pengamanan wilayah kedaulatan.
Pengulangan dari kata kerja-kata kerja militer spesifik dalam 9:5 (membunuh, menangkap, mengepung, mengintai) mengukuhkan bahwa tindakan yang diperintahkan bersifat taktis dan militer. Ini adalah petunjuk operasional bagi pasukan yang menghadapi musuh yang telah lama menjadi ancaman. Setiap kata kerja adalah instruksi untuk menghancurkan kekuatan tempur musuh, bukan untuk melaksanakan genosida ideologis. Jika tujuannya adalah genosida, tidak perlu ada instruksi untuk mengintai atau mengepung—hanya perlu perintah pembunuhan massal, yang secara tegas dilarang oleh etika perang Islam.
Mari kita lakukan analisis struktural dari setiap komponen perintah militer yang diberikan dalam 9:5 untuk menunjukkan ketepatan dan keterbatasan ayat tersebut:
Ini adalah kondisi temporal (kapan boleh bertindak). Ini menetapkan batas waktu minimum empat bulan. Tidak ada tindakan militer yang diizinkan sebelum batas waktu ini. Prinsip: Keadilan membutuhkan peringatan dan masa tenggang yang memadai.
Ini adalah perintah aksi utama (perang/membunuh), ditujukan khusus kepada kelompok yang dideklarasikan musuh di Ayat 9:1-4. Prinsip: Aksi militer hanya terhadap musuh yang telah melanggar perjanjian.
Ini adalah cakupan geografis dalam zona perang. Ini mengindikasikan bahwa musuh yang telah melanggar janji dan menolak taubat harus dianggap sebagai ancaman militer di mana pun mereka berada di medan operasi. Prinsip: Musuh yang melarikan diri harus dinetralkan agar tidak berkumpul kembali.
Menangkap atau menawan adalah bagian integral dari perang, menunjukkan bahwa tujuan bukan hanya membunuh, tetapi juga menahan kombatan musuh. Prinsip: Mengizinkan penahanan tawanan, yang mana hak-haknya diatur lebih lanjut dalam Fiqh.
Tindakan taktis untuk membatasi pergerakan musuh, menunjukkan operasi militer terstruktur. Prinsip: Perang harus dilakukan dengan strategi dan tidak sembarangan.
Penekanan pada pencegahan dan pengamanan rute. Prinsip: Penyelidikan dan intelijen adalah bagian dari perang yang sah.
Kondisi penghentian konflik. Ini adalah kunci interpretasi. Begitu syarat keimanan dan sosial-politik terpenuhi, perang harus berakhir. Prinsip: Taubat dan perdamaian menghentikan perang, tanpa kecuali.
Hasil akhir jika mereka bertaubat. Mereka dibebaskan dari permusuhan. Prinsip: Pengampunan dan rekonsiliasi adalah tujuan akhir yang diwajibkan.
Di luar kajian teologi, 9:5 sering disalahpahami karena keengganan untuk mengakui realitas sejarah peperangan kuno. Meskipun bahasa ayat ini keras, ia jauh lebih manusiawi dan etis dibandingkan hukum perang yang berlaku di Jazirah Arab atau Kekaisaran Bizantium pada masa itu.
Hukum perang dalam Islam, bahkan yang tertuang dalam 9:5 dan ayat-ayat terkait, menetapkan batas-batas yang tidak ada dalam tradisi perang kontemporer di abad ke-7 Masehi. Nabi Muhammad SAW secara eksplisit melarang pembunuhan non-kombatan, penghancuran tanaman, dan perusakan tempat ibadah, bahkan saat melaksanakan perintah 9:5. Perintah ini harus dibaca bersama larangan-larangan etis tersebut.
Tanpa konteks ini, pembaca modern cenderung menafsirkan *faqtilu* sebagai perintah untuk kekejaman yang tak terbatas. Namun, dalam kerangka Fiqh Siyar, *faqtilu* adalah perintah untuk terlibat dalam perang yang terikat oleh batasan moral dan hukum yang ketat, yang secara dramatis membedakannya dari perang tanpa aturan yang dominan di masa itu.
Penting untuk menggarisbawahi bahwa Surah At-Taubah 9:5 tidak menciptakan prinsip baru; ia menerapkan prinsip keadilan (terhadap pengkhianatan) dalam situasi darurat. Prinsip dasarnya adalah bahwa umat Islam wajib menghormati perjanjian (9:4) dan memberikan perlindungan kepada mereka yang mencari suaka (9:6).
Oleh karena itu, 9:5 bukanlah penyimpangan dari ajaran Islam tentang perdamaian, melainkan penegasan bahwa perdamaian harus didasarkan pada keadilan. Ketika keadilan (melalui penghormatan perjanjian) dihancurkan oleh musuh, respons yang adil harus dilakukan, tetapi respons ini harus segera dihentikan begitu musuh kembali kepada keadilan (melalui Taubat).
Ayat 9:5 mengajarkan bahwa komunitas beriman memiliki hak untuk membela dirinya secara tegas, tetapi hak ini tidak pernah menghilangkan kewajiban untuk menawarkan jalan damai dan pengampunan. Keutamaan Allah yang *Ghafur* (Maha Pengampun) dan *Rahim* (Maha Penyayang) yang menutup ayat tersebut adalah pengingat abadi bahwa bahkan perintah perang adalah manifestasi dari rahmat Ilahi, yang tujuannya selalu untuk mengakhiri kekacauan dan membangun masyarakat yang beriman dan damai.
Setiap kali ayat ini dipelajari, harus diingat bahwa ia adalah dokumen hukum dan militer yang sangat spesifik yang ditulis untuk menyelesaikan krisis eksistensial bagi komunitas Muslim awal. Generalisasi maknanya ke luar konteks historis, tanpa memperhatikan pembatasan tegas dalam 9:4 dan 9:6, adalah pengabaian terhadap keseluruhan pesan Al-Quran tentang perdamaian, keadilan, dan belas kasih. Memahami 9:5 secara utuh adalah memahami bagaimana Islam menyeimbangkan kebutuhan pertahanan diri yang keras dengan keharusan moral untuk pengampunan dan perdamaian.
***
Setelah menelusuri lapisan-lapisan historis, linguistik, dan jurisprudensi, jelaslah bahwa Ayat At-Taubah (9): 5 bukanlah lisensi abadi untuk perang, melainkan perintah militer yang temporal dan sangat spesifik. Perintah ini hanya berlaku bagi kelompok musyrikin yang telah berulang kali melanggar perjanjian, menolak masa tenggang empat bulan, dan melanjutkan agresi militer terhadap umat Islam yang baru berdiri.
Empat pilar utama yang harus selalu diingat saat mengutip atau menafsirkan ayat ini adalah:
Melalui lensa keadilan dan konteks yang menyeluruh, At-Taubah 9:5 berdiri sebagai bukti bahwa meskipun Islam membolehkan pertahanan diri yang keras dalam menghadapi pengkhianatan, pintu menuju perdamaian, kebebasan, dan pengampunan (yang dijamin oleh sifat *Ghafur* dan *Rahim* Allah) selalu terbuka lebar. Pesan fundamentalnya adalah: perang diizinkan sebagai upaya terakhir untuk mengakhiri kezaliman, tetapi perdamaian adalah tujuan abadi.