Ilustrasi simbolis keridaan hati terhadap rezeki dan ketetapan Allah SWT.
I. Pendahuluan: Ayat Kunci Menuju Kedamaian Hati
Surah At-Taubah (Pengampunan) adalah salah satu surah Madaniyah yang diturunkan pada periode sulit dan penting dalam sejarah Islam, khususnya pasca Perang Tabuk. Surah ini banyak membahas hukum, perjanjian, dan secara tegas membedakan antara orang-orang mukmin sejati dengan golongan munafik. Dalam konteks pembedaan ini, ayat 59 muncul sebagai penanda spiritual dan psikologis yang krusial.
Ayat ini bukan hanya sekadar instruksi moral, tetapi merupakan terapi ilahiah bagi hati yang gelisah, hati yang selalu membandingkan, dan hati yang terserang penyakit ketidakpuasan. Inti dari ayat ini adalah perintah untuk mencapai derajat *Ar-Rida* (keridaan) dan *Al-Qana'ah* (kecukupan hati) terhadap segala bentuk pembagian rezeki, baik materiil maupun non-materiil, yang telah ditetapkan oleh Allah SWT melalui perantaraan Rasul-Nya.
“Jikalau mereka sungguh-sungguh rida dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan mereka berkata: ‘Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya dan (demikian pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah.’" (QS. At-Taubah: 59)
Kontekstualisasi ayat ini erat kaitannya dengan kisah para munafik yang tidak puas dengan pembagian harta rampasan perang atau sedekah. Mereka mengkritik Rasulullah ﷺ seolah-olah pembagian tersebut tidak adil. Ayat ini datang untuk menggarisbawahi: kritik terhadap pembagian Ilahiah adalah manifestasi dari penyakit hati, sementara keridaan total adalah tanda keimanan yang lurus dan kokoh.
II. Tahlil Lughawi dan Tafsir Mendalam Lafaz Kunci
Untuk memahami kedalaman pesan spiritual ayat 59, kita harus mengurai makna setiap lafaz kunci yang terkandung di dalamnya. Bahasa Arab Al-Qur'an memiliki kekayaan makna yang berlapis, dan setiap kata membawa beban teologis yang signifikan.
1. Makna Fundamental dari 'Radhu' (رَضُوا)
Kata radhu berasal dari akar kata Rida (رضا). Rida bukan hanya berarti 'setuju' secara pasif, tetapi merupakan kondisi spiritual aktif di mana hati menerima dan merasa puas sepenuhnya dengan takdir dan ketetapan, tanpa ada sedikit pun rasa benci, penolakan, atau keinginan untuk mengubah ketetapan tersebut. Rida adalah puncak dari tawakal dan syukur. Seseorang yang rida tidak hanya menerima nasib buruk dengan sabar, tetapi ia melihat nasib buruk itu sebagai kebaikan yang tersembunyi, sebagai hadiah, atau sebagai ujian yang menaikkan derajatnya di sisi Allah. Jika rida hanya berarti sabar, maka ia adalah tingkatan yang lebih rendah. Rida sejati berarti hati mencapai ketenangan (thuma'ninah) dan memandang takdir Allah sebagai sesuatu yang terbaik, meskipun akal dan nafsu mungkin tidak menyukai hasil akhirnya.
Dalam konteks ayat ini, keridaan diarahkan kepada "ما آتاهم الله ورسوله" (apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya). Ini mencakup pembagian harta, kedudukan, rezeki, kesehatan, ujian, dan segala bentuk karunia (atau penahanannya). Keridaan di sini menyingkirkan sikap iri, dengki, dan rasa tidak adil terhadap distribusi ilahiah.
2. 'Ma Atahumullahu wa Rasuluhu' (ما آتاهم اللَّهُ وَرَسُولُهُ)
Frasa ini merujuk pada segala sesuatu yang diberikan. Penting untuk dicatat penyebutan Allah diikuti oleh Rasul-Nya. Dalam konteks pembagian harta (seperti zakat, fa'i, atau ghanimah), Rasulullah ﷺ bertindak sebagai pelaksana (administrator) ketetapan Allah. Keridaan terhadap pembagian yang dilakukan Rasulullah adalah keridaan terhadap syariat yang diwahyukan oleh Allah. Ketidakpuasan terhadap pembagian Rasulullah sama artinya dengan menolak hukum Allah.
Peran Rasulullah di sini sebagai penyampai dan pelaksana hukum menunjukkan bahwa ketaatan dan kepuasan terhadap kepemimpinan yang sah (yang berdasarkan syariat) adalah bagian integral dari keridaan kepada Allah.
3. Puncak Tawakal: 'Hasbunallahu' (حَسْبُنَا اللَّهُ)
Lafaz ini berarti "Cukuplah Allah bagi kami." Ini adalah deklarasi tauhid yang paling agung, sebuah pernyataan penyerahan diri total. Ketika seseorang benar-benar rida, ia akan mengucapkan lafaz ini. Ini adalah penegasan bahwa Allah adalah Pelindung, Penjamin, dan Pemberi Kecukupan yang tak terbatas.
Pengucapan 'Hasbunallahu' adalah jembatan dari keridaan masa lalu/saat ini menuju harapan masa depan. Ia menolak ketergantungan pada makhluk dan menempatkan semua harapan hanya pada Sang Pencipta. Ini adalah inti dari tawakal (penyerahan diri penuh) dan isti’anah (memohon pertolongan).
4. Harapan Masa Depan: 'Sayu'tinallahu min Fadhlihi wa Rasuluhu' (سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ)
Kata sayu'tina menggunakan huruf sin (س) yang dalam bahasa Arab menunjukkan masa depan yang dekat. Ini menyiratkan janji yang pasti. Setelah menyatakan kecukupan Allah (Hasbunallah), seorang mukmin beralih pada harapan dan optimisme: Allah akan memberikan karunia-Nya di masa depan.
Frasa min fadhlihi (dari karunia-Nya) menunjukkan bahwa apa pun yang diberikan Allah adalah murni kemurahan hati-Nya, bukan kewajiban-Nya, dan bukan pula hasil semata-mata dari usaha manusia. Ini memperkuat konsep bahwa rezeki adalah anugerah ilahiah (fadhl), bukan hak mutlak yang didapatkan murni dari kecerdasan atau kekuatan.
5. Penutup Spiritual: 'Inna Ilallahi Raghibun' (إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ)
Kata raghibun (orang-orang yang berharap/menginginkan dengan sungguh-sungguh) berasal dari akar kata raghbah (keinginan kuat, antusiasme). Ini adalah penutup yang sempurna, menegaskan kembali bahwa seluruh arah hati, keinginan, dan cita-cita hanya tertuju kepada Allah. Ini adalah pernyataan bahwa keinginan utama mereka bukanlah harta duniawi yang mereka tuntut atau keluhkan, tetapi keridaan Allah dan ganjaran di akhirat.
Pernyataan ini mengubah perspektif dari kekecewaan material menjadi kerinduan spiritual. Kerinduan (raghbah) ini meniscayakan mereka tidak akan pernah kecewa, sebab jika keinginan mereka adalah Allah, maka Allah pasti akan memenuhi keinginan tersebut dengan kebaikan dunia dan akhirat.
III. Rida: Puncak Stabilitas Spiritual dan Hubungannya dengan Qadar
Ayat 59 menempatkan *Rida* sebagai pilar utama iman. Rida adalah stasiun terakhir (maqam) dalam perjalanan spiritual sebelum memasuki tingkatan para muhsinin (orang-orang yang berbuat baik secara sempurna). Definisi Rida melampaui Sabar (kesabaran), dan sangat erat kaitannya dengan penerimaan terhadap Qadar (ketetapan ilahi).
1. Perbedaan antara Sabar dan Rida
Sabar (Sabr) adalah menahan diri dari keluh kesah dan menahan emosi yang tidak diinginkan saat menghadapi musibah. Sabar adalah keharusan (wajib). Seseorang yang sabar mungkin masih merasakan sakit, tetapi ia menahannya. Ia mungkin tidak suka dengan musibah yang menimpanya, tetapi ia tetap tunduk pada hukum Allah.
Rida, di sisi lain, adalah tingkatan yang lebih tinggi (mustahab, disukai). Orang yang rida tidak hanya menahan diri; hatinya benar-benar tenang dan bahagia dengan ketetapan tersebut. Ia melihat musibah atau kekurangan rezeki sebagai hadiah yang dikemas dalam bentuk ujian. Ia tidak hanya menerima takdir dengan pasrah, tetapi menyambutnya dengan syukur. Dalam Rida, tidak ada perlawanan batin; hanya ada penerimaan total dan keyakinan mutlak bahwa pilihan Allah adalah yang terbaik baginya.
Beberapa ulama sufi menegaskan, jika sabar adalah posisi seseorang di tengah badai dengan menahan payung, Rida adalah posisi seseorang yang menari di bawah hujan, yakin bahwa air itu membawa kesegaran dan berkah.
2. Rida sebagai Manifestasi Tauhid Rububiyah
Penyakit hati yang digambarkan dalam ayat 59 (ketidakpuasan terhadap pembagian rezeki) adalah bentuk keretakan dalam Tauhid Rububiyah (keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pengatur, Pencipta, dan Pemberi Rezeki). Ketika seseorang mengeluh, pada dasarnya ia merasa dirinya lebih tahu tentang apa yang seharusnya ia terima daripada Sang Maha Tahu.
Rida memulihkan tauhid ini. Ketika seorang mukmin berkata, "Saya rida dengan apa yang Engkau berikan," ia sedang mengakui keesaan Allah dalam mengatur alam semesta dan rezeki, dan mengakui bahwa pengetahuan-Nya melampaui pengetahuan dirinya. Ini membawa kedamaian karena beban perencanaan dan pengaturan dipindahkan sepenuhnya ke pundak Yang Maha Kuat.
3. Rida dan Bahaya Iri Hati (Hasad)
Ketidakpuasan yang disorot oleh ayat ini sering kali berakar pada perbandingan sosial, yang dalam Islam dikenal sebagai Iri Hati (Hasad). Orang-orang munafik yang dikisahkan dalam Asbabun Nuzul ayat ini iri terhadap pembagian rezeki yang diterima oleh orang lain atau merasa bahwa bagian mereka terlalu kecil.
Rida berfungsi sebagai penawar racun Hasad. Apabila hati rida terhadap pembagian Allah, ia akan memahami bahwa kekayaan yang diberikan kepada orang lain adalah ujian bagi orang tersebut, dan kekurangan yang ia hadapi adalah ujian baginya sendiri. Tidak ada ruang untuk iri karena setiap individu telah dijamin rezeki yang telah ditentukan (maqsum) sesuai hikmah Allah.
Kunci Rida: Tidak memandang apa yang ada di tangan orang lain, tetapi fokus pada janji dan karunia yang telah ditetapkan Allah untuk dirinya sendiri, sambil berusaha keras (ikhtiar) dalam batas-batas syariat.
4. Dampak Rida pada Kehidupan Duniawi
Ironisnya, meskipun Rida adalah konsep spiritual, dampaknya sangat terasa dalam kehidupan material. Orang yang rida adalah orang yang paling kaya, meskipun mungkin ia miskin harta. Rasulullah ﷺ bersabda, "Kekayaan (sejati) bukanlah dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (sejati) adalah kekayaan jiwa (hati)." Kekayaan jiwa inilah yang disebut Qana'ah.
Rida menghasilkan Qana'ah. Qana'ah adalah perasaan cukup dan puas dengan apa yang dimiliki. Seorang yang Qana'ah hidup tanpa tekanan kompetisi material yang tak berkesudahan, mengurangi stres, dan memfokuskan energi pada ibadah dan tujuan akhirat, menjadikannya pribadi yang bahagia dan stabil secara emosional di tengah hiruk pikuk dunia.
IV. Konteks Rezeki, Ikhtiar, dan Etika Ekonomi
Ayat 59 muncul dalam konteks pembagian harta (ekonomi), memaksa kita untuk membahas bagaimana konsep Rida bersanding dengan kewajiban berikhtiar dan bekerja keras.
1. Rida terhadap Hasil, Bukan Berhenti Berusaha
Pemahaman yang keliru terhadap Rida dan Tawakal sering kali menghasilkan sikap fatalistik (pasrah total tanpa usaha). Ajaran Islam menolak fatalisme. Ayat 59 tidak menganjurkan kaum Muslimin untuk berhenti bekerja dan hanya menunggu rezeki jatuh dari langit. Sebaliknya, ia mengajarkan untuk berusaha sekuat tenaga (Ikhtiar) dan setelah usaha maksimal dilakukan, hasilnya diserahkan total kepada Allah, dan hasil tersebut diterima dengan Rida.
Ikhtiar adalah kewajiban. Rida adalah penerimaan terhadap Qadar. Keduanya berjalan beriringan. Jika seorang petani telah menanam benih, merawatnya, dan berdoa, ia harus rida jika panennya sedikit karena hujan, atau jika gagal sama sekali karena hama. Keridaannya tidak membatalkan usaha, tetapi mencegah keputusasaan dan keluh kesah yang melanggar adab kepada Allah.
2. Kedudukan Rasulullah dalam Pembagian Ekonomi
Dalam sejarah Islam, khususnya di masa awal Madinah, Rasulullah ﷺ berperan sebagai pemimpin negara dan bendahara utama baitul mal (kas negara). Pembagian sedekah, zakat, atau harta rampasan perang (ghanimah) adalah tindakan kenegaraan yang berdasarkan wahyu. Kritik munafik yang disebutkan dalam ayat ini adalah kritik terhadap integritas Rasulullah dalam melaksanakan mandat ilahiah tersebut.
Oleh karena itu, keridaan yang diperintahkan dalam ayat 59 juga mencakup keridaan terhadap sistem pembagian kekayaan yang ditetapkan oleh Islam. Ini adalah landasan etika ekonomi Islam: bahwa distribusi kekayaan harus dilihat sebagai rahmat dan bukan semata-mata produk tawar-menawar pasar yang bebas dari nilai spiritual.
Jika keridaan ini hilang, maka akan timbul: penimbunan (iktinaz), kerakusan (syuhh), dan ketidakadilan sosial. Rida memastikan bahwa meskipun distribusi tampak tidak merata di mata manusia (karena hikmahnya tersembunyi), hati tetap tenang karena ia bersumber dari syariat yang adil.
3. Implikasi Praktis dari 'Sayu'tina Allah'
Janji Allah bahwa Dia akan memberi dari karunia-Nya (sayu'tina Allah min fadhlihi) adalah dorongan untuk terus beramal saleh. Keridaan hari ini membuka pintu rezeki di masa depan. Ulama tafsir menjelaskan bahwa janji ini bukan hanya janji kekayaan materi, melainkan janji taufik, keberkahan (barakah), ilmu, dan pahala akhirat yang abadi. Karunia Allah (fadhl) adalah lebih luas dan lebih mulia daripada sekadar rezeki duniawi (rizq).
Kondisi hati yang rida menarik keberkahan. Ketika hati sudah tenang, pikiran menjadi jernih, dan ia mampu melihat peluang kebaikan dan rezeki yang sebelumnya tertutup oleh kabut kekecewaan dan keluh kesah. Dengan demikian, rida secara psikologis menjadi katalisator bagi kesuksesan duniawi yang dihiasi dengan nilai-nilai spiritual.
V. Harmoni Tawakal, Hasbunallah, dan Raghbah Ilallahi
Bagian akhir ayat 59 merangkum esensi hubungan hamba dengan Tuhannya melalui tiga konsep yang saling berkaitan: Tawakal, Isti'anah (memohon pertolongan), dan Raghbah (keinginan/harap).
1. 'Hasbunallahu' sebagai Pilar Tawakal
Lafaz Hasbunallahu adalah pernyataan tawakal tertinggi. Ibnu Abbas menjelaskan bahwa kalimat ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim AS ketika beliau dilempar ke dalam api, dan ia menyelamatkan beliau. Kalimat ini mengandung kekuatan spiritual yang luar biasa, memindahkan fokus dari kemampuan diri yang terbatas kepada Kekuasaan Allah yang tak terbatas.
Ketika seseorang merasa kekurangan rezeki atau sedang menghadapi kesulitan ekonomi, mengucapkan 'Hasbunallahu' dengan keyakinan penuh adalah pengakuan bahwa meskipun dunia telah meninggalkan kita, Allah tetap ada dan mencukupi. Tawakal yang sejati menuntut tiga hal:
- Keyakinan mutlak pada janji Allah.
- Penerimaan (Rida) terhadap ketetapan-Nya.
- Terus melakukan usaha (Ikhtiar) yang diperintahkan.
2. Raghbah: Mengarahkan Seluruh Keinginan ke Akhirat
Penutup ayat, Inna Ilallahi Raghibun (sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah), adalah penentuan prioritas hidup. Jika seseorang berharap pada harta dan kedudukan duniawi, maka ia rentan kecewa karena dunia fana dan tidak pernah sempurna.
Sebaliknya, jika seluruh keinginan dan antusiasme diarahkan kepada Allah—kepada keridaan-Nya, kepada surga-Nya, dan kepada karunia-Nya—maka kerugian materiil di dunia tidak akan melukai inti kebahagiaannya. Raghbah (harapan/keinginan kuat) ini adalah kekuatan pendorong yang membebaskan hati dari perbudakan materi.
Tafsir lain menyebutkan bahwa raghibun di sini berarti 'merindukan ampunan dan rahmat-Nya'. Dengan menempatkan Allah sebagai tujuan tertinggi, segala kegelisahan terkait urusan duniawi menjadi tidak berarti. Harapan kepada Allah tidak akan pernah sia-sia, karena Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya.
3. Integrasi Rida dan Raghbah
Ayat 59 menyajikan siklus spiritual yang sempurna:
- Awal (Rida): Menerima apa yang telah berlalu atau sedang terjadi (Qadar).
- Jembatan (Hasbunallah): Deklarasi Tawakal dan kecukupan saat ini.
- Akhir (Raghbah): Optimisme dan harapan terhadap karunia Allah di masa depan, sambil mengarahkan hati sepenuhnya kepada-Nya.
VI. Penerapan Nilai Ayat 59 dalam Kehidupan Kontemporer
Meskipun ayat ini diturunkan dalam konteks pembagian harta di masa Nabi, ajarannya relevan secara abadi, terutama dalam masyarakat modern yang didorong oleh konsumerisme, kompetisi tak terbatas, dan tekanan untuk selalu tampil ‘sukses’ secara material.
1. Mengatasi Krisis Mental dan Kelelahan Digital
Di era media sosial, manusia terus menerus disuguhi ilusi kehidupan sempurna orang lain. Hal ini memicu ketidakpuasan akut dan stres mental. Ayat 59 menawarkan penawar: Rida. Jika seorang mukmin benar-benar menginternalisasi Rida, ia akan berhenti membandingkan "rezeki" (kekayaan, karir, keluarga, kesehatan) yang Allah berikan padanya dengan yang diberikan kepada orang lain.
Rida menciptakan batas psikologis terhadap tuntutan eksternal. Seseorang tidak lagi merasa harus mengejar standar yang ditetapkan oleh masyarakat, tetapi berpegang pada standar kecukupan yang ditetapkan oleh dirinya sendiri dan kehendak Ilahi. Ini adalah resep paling ampuh untuk mengurangi kelelahan dan kecemasan kontemporer.
2. Etika Kerja dan Profesionalisme
Dalam dunia profesional, Rida tidak berarti menerima pekerjaan yang buruk atau upah yang tidak adil tanpa protes. Rida terhadap hasil yang telah ditetapkan Allah setelah kita melakukan seluruh upaya hukum dan profesional. Jika seorang profesional telah berusaha keras, bernegosiasi secara adil, dan berdoa, tetapi hasil karirnya tidak sesuai harapan, ia harus menerima kondisi tersebut dengan Rida, yakin bahwa Allah memiliki rencana yang lebih besar (min fadhlihi) baginya.
Sebaliknya, ketika seorang atasan memberikan rezeki (upah/bonus) kepada karyawan, karyawan tersebut diajarkan untuk menerima dengan keridaan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ dalam pembagian harta. Meskipun ia berhak meminta yang adil, begitu keputusan final dibuat, penerimaannya harus diwarnai oleh keikhlasan dan keyakinan bahwa semua rezeki adalah dari Allah.
3. Mengelola Ujian Hidup Non-Materi
Rezeki (ma atahumullahu) tidak terbatas pada uang. Ia mencakup kesehatan, anak, pasangan, waktu, dan ujian. Ayat 59 mengajarkan keridaan terhadap ujian non-materi. Misalnya:
- Rida terhadap Sakit: Menerima penyakit sebagai penghapus dosa dan sarana meninggikan derajat.
- Rida terhadap Anak yang diuji: Menerima kondisi anak (misalnya cacat, sakit, atau sulit diatur) sebagai amanah dan ujian kesabaran yang akan diganjar pahala besar.
- Rida terhadap Kematian: Menerima kehilangan orang yang dicintai sebagai ketetapan yang tak terhindarkan dan kembali mengucapkan 'Hasbunallahu'.
4. Kesadaran Sosial dan Zakat
Konsep Rida dan Qana'ah memiliki dampak besar pada etika zakat dan sedekah. Orang yang kaya didorong untuk memberi bukan karena ia harus mengurangi kelebihan, tetapi karena ia rida untuk berbagi apa yang Allah titipkan padanya. Orang miskin didorong untuk menerima dengan Rida, tanpa mengkritik jumlah yang diberikan, dan meyakini bahwa Allah akan menggantinya dengan karunia lain.
Ayat 59, yang awalnya membahas pembagian zakat/harta, menegaskan bahwa keadilan sosial dimulai dari hati yang rida. Jika setiap individu puas dengan bagiannya, baik sebagai pemberi maupun penerima, maka ketegangan sosial yang dipicu oleh distribusi kekayaan dapat diredam.
VII. Penguatan Konsep Rida melalui Ayat dan Hadis Pendukung
Konsep Rida dalam At-Taubah 59 didukung oleh landasan syariat yang luas, menegaskan bahwa ini adalah tujuan utama dari ajaran Islam dalam membentuk karakter mukmin.
1. Rida dan Janji Surga
Allah SWT menjanjikan Rida (keridaan-Nya) sebagai ganjaran tertinggi bagi hamba-Nya yang Rida terhadap-Nya. Dalam Surah Al-Bayyinah ayat 8, Allah berfirman: "Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya."
Ini menunjukkan hubungan resiprokal: Rida hamba terhadap takdir-Nya adalah syarat untuk mendapatkan Rida Allah. Rida Allah adalah tujuan akhir, dan semua keridaan di dunia ini (sebagaimana dituntut dalam At-Taubah 59) adalah jalan menuju keridaan abadi tersebut.
2. Hadis tentang Kekayaan Jiwa (Qana'ah)
Sejumlah hadis Nabi ﷺ secara eksplisit mendukung inti spiritual dari ayat 59:
- “Telah beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan dia rida (qana'ah) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya.” (HR. Muslim). Hadis ini menempatkan kecukupan rezeki dan keridaan sebagai tiga pilar keberuntungan sejati, bahkan lebih utama daripada kekayaan yang melimpah.
- "Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang dilebihkan dalam hal harta dan penciptaan, hendaklah ia melihat kepada orang yang berada di bawahnya." (HR. Bukhari dan Muslim). Ajaran ini secara langsung menanggulangi akar masalah dalam At-Taubah 59, yaitu penyakit membandingkan rezeki orang lain. Rida diperoleh melalui pandangan ke bawah dalam urusan dunia.
3. Rida dan Qadha' (Hukum/Ketetapan)
Iman kepada Qada’ dan Qadar adalah rukun iman keenam. Ayat 59 adalah aplikasi praktis dari rukun ini. Seseorang tidak bisa mengklaim beriman penuh kepada takdir Allah jika hatinya menolak dan mengeluh terhadap hasil takdir tersebut. Keridaan terhadap apa yang telah terjadi (masa lalu) dan Tawakal terhadap apa yang akan terjadi (masa depan) adalah dua sayap yang menguatkan iman kepada Qadar.
Ulama Aqidah menekankan bahwa ujian terberat dari Qadar adalah ujian rezeki, karena ia bersentuhan langsung dengan kebutuhan fisik manusia. Oleh karena itu, keridaan yang dituntut dalam At-Taubah 59 mengenai pembagian rezeki merupakan tolok ukur keimanan seseorang terhadap kemutlakan hukum Allah.
4. Karunia Allah yang Tak Terhitung
Konsep 'min fadhlihi' (dari karunia-Nya) dalam ayat ini mengingatkan kita pada Surah Ibrahim ayat 34: "Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghingganya." Bahkan jika seorang hamba merasa kekurangan dalam satu aspek rezeki (misalnya harta), ia selalu dikelilingi oleh karunia tak terhingga lainnya (oksigen, penglihatan, akal, waktu luang).
Rida membuka mata hati untuk melihat lautan karunia ini, yang secara otomatis meredam keluhan tentang setetes rezeki yang terasa kurang. Kekuatan ayat 59 terletak pada kemampuannya menggeser fokus dari kekurangan duniawi menuju kelimpahan anugerah Ilahi.
VIII. Ringkasan dan Penutup
Surah At-Taubah ayat 59 berdiri sebagai panduan spiritual yang mendalam, mengajarkan bahwa kedamaian sejati tidak ditemukan dalam akumulasi kekayaan, tetapi dalam keridaan terhadap pembagian dan ketetapan Allah SWT. Ayat ini adalah ultimatum bagi hati yang munafik dan sekaligus janji manis bagi hati yang mukmin.
Ayat ini mengajarkan bahwa sikap yang benar saat menghadapi pembagian rezeki atau ujian adalah:
- Rida: Menerima dengan hati lapang dan bersyukur terhadap apa yang telah diberikan, meyakini bahwa itu adalah yang terbaik.
- Tawakal: Menyatakan kecukupan Allah ("Hasbunallahu") sebagai penopang hidup, melepaskan ketergantungan pada makhluk.
- Raghbah: Mengarahkan seluruh harapan dan cita-cita hanya kepada Allah dan karunia-Nya yang abadi.
Semoga Allah senantiasa menganugerahkan kita hati yang rida terhadap segala ketetapan-Nya, menjadikan kita termasuk golongan raghibun (orang-orang yang berharap sepenuhnya kepada-Nya).