Ayat ke-109 dari Surah At-Taubah merupakan sebuah pembanding yang sangat fundamental mengenai hakikat niat, tujuan, dan konsekuensi dari setiap amal perbuatan manusia di dunia. Ayat ini diturunkan dalam konteks historis yang spesifik, namun implikasi moral dan spiritualnya bersifat universal, menjangkau seluruh aspek kehidupan beragama dan bermasyarakat.
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىٰ تَقْوَىٰ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَم مَّنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىٰ شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
"Apakah orang yang mendirikan bangunannya atas dasar takwa kepada Allah dan keridaan-(Nya) itu lebih baik, ataukah orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu (bangunan) itu roboh bersamanya ke dalam api neraka? Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim." (Q.S. At-Taubah: 109)
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita perlu merujuk pada konteks sejarahnya, yang dikenal sebagai peristiwa pembangunan Masjid Dhirar (masjid yang menimbulkan bahaya). Ayat ini diturunkan sebagai pembeda tajam antara Masjid Quba (yang dibangun atas dasar takwa) dan Masjid Dhirar (yang dibangun atas dasar kemunafikan).
Masjid Dhirar didirikan oleh sekelompok orang munafik di Madinah, dengan Abu Amir Ar-Rahib sebagai tokoh sentralnya. Mereka pura-pura mendirikan tempat ibadah, padahal tujuan utamanya adalah:
Ketika mereka meminta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk shalat di masjid tersebut, beliau menunda keputusan hingga pulang dari Perang Tabuk. Sekembalinya dari Tabuk, wahyu turun, mengungkapkan niat jahat mereka, dan memerintahkan Rasulullah ﷺ untuk tidak shalat di sana, bahkan memerintahkan pembongkarannya. Ini adalah kasus unik di mana sebuah 'tempat ibadah' diperintahkan untuk dihancurkan karena fondasinya bukan ketakwaan, melainkan kerusakan (dhirar).
Masjid Quba, masjid pertama yang didirikan oleh Rasulullah ﷺ di Madinah, menjadi representasi dari 'bangunan di atas takwa'. Masjid Quba didirikan dengan niat murni untuk mencari keridaan Allah, mempererat persaudaraan, dan menjadi pusat ibadah. Kontras inilah yang menjadi landasan filosofis Surah At-Taubah 109: perbedaan antara amal yang lahir dari keikhlasan (takwa) dan amal yang lahir dari tipu daya (nifaq).
Ayat ini menggunakan metafora arsitektur—mendirikan bangunan (بُنْيَانَهُ)—untuk menggambarkan struktur kehidupan, amal, atau komunitas yang dibangun oleh manusia. Perbandingan ini dibagi menjadi dua kategori yang bertolak belakang.
Ini adalah fondasi yang kokoh dan abadi. Frasa kunci dalam bagian ini adalah:
Taqwa (ketakwaan) adalah landasan spiritual tertinggi. Ia bukan hanya rasa takut, tetapi juga kesadaran menyeluruh yang mendorong ketaatan dan menjauhkan diri dari maksiat. Dalam konteks pembangunan amal, takwa berarti:
Keridaan (Ridhwan) adalah tingkatan yang lebih tinggi dari takwa. Takwa adalah menjauhi kemurkaan, sementara ridhwan adalah meraih cinta dan persetujuan Ilahi. Bangunan yang didasari ridhwan memiliki jaminan keberkahan dan penerimaan dari Sang Pencipta. Amal tersebut tidak hanya benar secara syariat, tetapi juga dicintai oleh Allah.
Ini adalah metafora kehancuran, ketidakstabilan, dan kebinasaan. Frasa ini menggambarkan hasil dari amal yang didasarkan pada kemunafikan, tipu daya, atau tujuan yang jahat.
Secara leksikal, syafa berarti tepi atau bibir. Juruf adalah tepi jurang, biasanya tepi sungai atau tebing yang terkikis air. Ini melambangkan posisi yang sangat rawan dan tidak stabil. Bangunan tersebut mungkin tampak tegak dari kejauhan, tetapi ia tidak memiliki pijakan yang kokoh.
Dalam konteks spiritual, ini adalah gambaran dari kemunafikan. Orang munafik membangun amalnya (misalnya, shalat, sedekah, mendirikan masjid) di atas 'tepi' iman yang rapuh. Mereka tidak memiliki kedalaman keyakinan. Amal mereka hanyalah formalitas luar yang sewaktu-waktu bisa runtuh karena tidak memiliki akar takwa.
Kata hār menunjukkan sifat jurang tersebut: ia sudah rapuh, mudah longsor, dan berada dalam proses keruntuhan. Fondasi ini tidak membutuhkan guncangan besar untuk hancur; ia sudah siap untuk jatuh kapan saja.
Ayat ini memberikan hasil yang definitif dan dramatis. Bangunan tersebut tidak hanya runtuh di dunia, tetapi keruntuhannya membawa pelakunya langsung ke dalam api Neraka Jahannam. Ini menunjukkan bahwa amal yang didirikan atas dasar niat jahat dan kemunafikan tidak hanya sia-sia, tetapi juga menjadi sarana yang menjerumuskan pelakunya ke dalam hukuman abadi. Bangunan tersebut menjadi bukti kezaliman mereka sendiri.
Visualisasi metafora arsitektur dalam Q.S. At-Taubah 109.
Visualisasi ini menunjukkan perbedaan mendasar antara membangun di atas dasar takwa yang memiliki akar mendalam, dan membangun di tepi jurang kemunafikan yang pasti akan runtuh dan membawa kehancuran.
Meskipun ayat ini turun mengenai Masjid Dhirar, maknanya melampaui bangunan fisik. Ayat ini adalah prinsip universal dalam menilai semua amal, proyek, atau institusi yang dibangun oleh manusia.
Ayat ini menegaskan bahwa kualitas niat jauh lebih penting daripada wujud fisik amal. Masjid Dhirar adalah masjid, secara fisik berfungsi sebagai tempat sujud. Namun, karena niat pendirinya adalah makar dan perpecahan, ia dihukumi sebagai sumber kezaliman. Ini mengajarkan bahwa amal tanpa niat yang murni ibarat tubuh tanpa ruh, cepat atau lambat akan membusuk dan runtuh.
Fondasi takwa menjamin keberlanjutan dan pahala di akhirat (duniawi dan ukhrawi). Sebaliknya, amal yang didasari riya, sum’ah (ingin didengar), atau kepentingan politik sempit, meskipun terlihat besar di mata manusia, hakikatnya berdiri di tepi jurang. Ketika badai fitnah datang, atau ketika kepentingan duniawinya tercapai, bangunan amal itu akan runtuh.
Kemunafikan tidak hanya berbentuk individu; ia bisa menjadi struktural dalam organisasi atau institusi. Ayat 109 berfungsi sebagai alat uji: Apakah lembaga ini benar-benar melayani keridaan Allah (misalnya, menjunjung keadilan, menyebarkan ilmu yang bermanfaat, mendamaikan), ataukah ia hanya digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan kekayaan, menindas, atau memecah belah umat?
Setiap proyek yang bertujuan untuk merusak keimanan, memecah belah persatuan, atau menghalangi jalan dakwah yang benar, meskipun dihias dengan nama-nama agama, tetap tergolong dalam bangunan yang didirikan di tepi jurang yang rapuh.
Penutup ayat ini sangat penting: "Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim." (وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ). Orang yang membangun di atas kemunafikan adalah orang zalim:
Kezaliman (Zhulm) di sini terkait erat dengan menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu menempatkan kepentingan duniawi atau ego di atas keridaan Ilahi. Orang-orang ini, karena pilihan mereka yang zalim, tidak akan menerima petunjuk (hidayah) dari Allah untuk memperbaiki fondasi mereka.
Perumpamaan dalam ayat 109 tidak terbatas pada masjid. Ia mencakup tiga jenis bangunan utama dalam hidup seorang Muslim.
Setiap tindakan yang kita lakukan—ibadah ritual, pekerjaan profesional, hingga interaksi sosial—adalah sebuah bangunan. Apakah kita shalat karena riya' atau karena taqwa? Apakah kita berdagang dengan jujur mencari rida Allah, ataukah dengan curang demi keuntungan sesaat? Niat di balik amal itulah yang menentukan apakah amal tersebut berdiri di atas fondasi takwa yang kokoh atau di tepi jurang yang menunggu kehancuran.
Keluarga adalah unit sosial terkecil. Pernikahan yang didirikan atas dasar takwa adalah pernikahan yang bertujuan mencapai keridaan Allah, menunaikan kewajiban, dan mendidik anak-anak sesuai tuntunan agama. Sebaliknya, pernikahan yang dibangun hanya atas dasar nafsu, harta, atau status sosial—tanpa memperhitungkan syariat dan takwa—adalah bangunan yang rapuh. Ketika cobaan datang, bangunan ini akan runtuh dan memicu konflik yang merusak.
Pemerintahan, organisasi, dan komunitas yang dibangun di atas prinsip keadilan (yang merupakan manifestasi takwa), kejujuran, dan pelayanan kepada rakyat, akan kokoh dan mendapatkan keberkahan. Sebaliknya, sistem atau negara yang dibangun di atas penindasan, korupsi, dan kemunafikan (meski mengklaim religius), cepat atau lambat akan mengalami keruntuhan sosial, moral, dan ekonomi, sebagaimana jurang yang terkikis.
Ayat ini menyebutkan dua pilar: takwa (kontrol diri) dan ridhwan (tujuan akhir). Ini adalah keseimbangan penting:
Keruntuhan bangunan di tepi jurang tidak hanya melambangkan kegagalan proyek duniawi, tetapi juga proses penghancuran spiritual yang terjadi secara bertahap.
Istilah juruf hār (jurang yang sudah runtuh) menunjukkan bahwa kemunafikan dan niat buruk memiliki sifat erosi. Ia tidak stabil. Sedikit demi sedikit, amal baik yang mungkin pernah dilakukan akan terkikis oleh niat jahat yang mengakar di dalamnya. Seseorang mungkin memulai dengan niat yang lumayan, namun jika ia membiarkan riya, kesombongan, atau ambisi pribadi menjadi fondasinya, maka ia telah memindahkan bangunannya ke tepi jurang.
Kata kerja fanhāra (lalu roboh bersamanya) sangat kuat. Ia menunjukkan kehancuran yang total dan mendadak. Ketika bangunan kemunafikan runtuh, ia tidak hanya meninggalkan puing-puing, tetapi ia membawa pelakunya (bihi) ikut jatuh. Ini menekankan tanggung jawab personal; amal yang rusak akan menjadi beban yang menyeret pemiliknya ke dalam azab.
Keterkaitan antara keruntuhan di dunia dan api Neraka Jahannam menunjukkan bahwa konsekuensi dari membangun di atas dasar yang rusak bersifat abadi. Amal yang dilakukan bukan demi Allah tidak hanya batal di dunia, tetapi juga menjadi bukti kejahatan di akhirat. Neraka adalah manifestasi tertinggi dari ketidakstabilan dan kezaliman, tempat di mana tidak ada fondasi yang dapat bertahan kecuali fondasi tauhid dan takwa.
Berapapun energi, waktu, dan biaya yang dikeluarkan untuk membangun 'Masjid Dhirar' (simbol amal munafik), semuanya berakhir nihil. Ayat ini mengajarkan kita untuk selalu mengevaluasi kembali investasi hidup kita: apakah kita menginvestasikan waktu dan harta pada fondasi yang kokoh (takwa) yang akan menghasilkan buah di akhirat, ataukah pada pasir rapuh (kemunafikan) yang hanya menghasilkan kehampaan dan hukuman?
Jika fondasi taqwa adalah satu-satunya jaminan keselamatan, maka upaya untuk membangun dan memelihara fondasi ini harus menjadi prioritas utama seorang Muslim.
Ayat ini menuntut kita untuk selalu melakukan introspeksi niat. Sebelum memulai proyek, pekerjaan, atau ibadah, tanyakan: Apakah ini dibangun atas dasar keridaan Allah? Apakah saya siap melakukannya jika tidak ada seorang pun yang melihat atau memuji saya?
Fondasi takwa memerlukan pemeliharaan terus-menerus. Ia tidak didapatkan hanya dengan satu tindakan besar, tetapi melalui istiqamah dalam amal-amal kecil yang murni. Istiqamah dalam ketaatan akan memperdalam akar takwa, membuatnya mampu menahan badai fitnah yang datang silih berganti.
Taqwa tidak dapat berdiri tanpa ilmu. Orang yang beramal tanpa ilmu (jahil) mungkin memiliki niat baik, tetapi ia berisiko membangun di atas metode yang salah, yang bisa jadi menyerupai 'jurang yang rapuh' dari sisi bid'ah atau penyimpangan. Ilmu adalah cetak biru yang menjamin bahwa bangunan amal sesuai dengan standar keridaan Ilahi.
Kontekstualisasi ayat ini (Masjid Dhirar vs. Masjid Quba) mengajarkan pentingnya lingkungan. Komunitas yang didirikan atas takwa (seperti Masjid Quba) saling menguatkan. Sebaliknya, berada dalam lingkungan yang didasari kemunafikan (seperti Masjid Dhirar) akan melemahkan iman dan membuat fondasi pribadi kita ikut terancam keruntuhan.
Q.S. At-Taubah 109 adalah sebuah pertanyaan retoris yang kuat—sebuah pertanyaan yang jawabannya sudah jelas, namun menuntut perenungan mendalam dari setiap Mukmin. Ayat ini bukan sekadar narasi sejarah tentang kehancuran sebuah masjid; ia adalah peta jalan spiritual untuk menilai kualitas setiap upaya kita di dunia ini.
Bangunan yang didirikan atas taqwa dan ridhwan adalah investasi jangka panjang yang hasilnya akan dinikmati di dunia (keberkahan, kedamaian, persatuan) dan di akhirat (Jannah). Fondasi ini adalah garansi stabilitas yang tidak akan tergerus oleh ujian duniawi, karena akarnya tertanam kuat dalam dimensi Ilahi.
Sebaliknya, bangunan yang didirikan di tepi jurang kemunafikan adalah jebakan. Ia menawarkan ilusi stabilitas dan kesuksesan di dunia, namun ketika kebenaran terungkap di hadapan Allah, seluruh struktur kebohongan itu akan runtuh, membawa pemiliknya ke dalam api yang menghanguskan.
Peringatan keras bahwa Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim harus menjadi pengingat yang menyengat: Kezaliman dalam niat adalah penghalang terbesar datangnya hidayah. Selama seseorang masih memilih fondasi kebohongan, pintu petunjuk akan tertutup baginya.
Maka, setiap Muslim harus senantiasa bertanya pada dirinya sendiri, di mana ia meletakkan fondasi kehidupannya? Apakah ia sedang membangun benteng taqwa yang akan berdiri kokoh di hari perhitungan, ataukah ia tanpa sadar sedang berada di tepi jurang yang siap menelannya ke dalam kehancuran abadi?
Penghayatan terhadap Surah At-Taubah ayat 109 menjadi kunci untuk memastikan bahwa seluruh bangunan hidup kita, baik yang bersifat personal, keluarga, maupun kolektif, diarahkan pada satu tujuan mulia: meraih keridaan Allah SWT.