I. Teks dan Terjemahan Ayat Pembeda
Surah At-Taubah ayat ke-33 adalah salah satu ayat yang memiliki kedudukan fundamental dalam memahami misi universal Islam dan janji ilahi terhadap keberlangsungannya. Ayat ini sering disebut sebagai ayat "Izhar ad-Din" (Manifestasi Agama), memuat pernyataan tegas mengenai takdir Islam di tengah peradaban dunia.
Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas semua agama, meskipun orang-orang musyrik tidak menyukai.
Janji yang terkandung dalam ayat ini adalah janji absolut dari Sang Pencipta. Ia bukan sekadar harapan, melainkan sebuah kepastian yang akan terwujud melalui berbagai mekanisme, baik secara historis, intelektual, maupun spiritual. Pemahaman yang mendalam atas setiap frasa dalam ayat ini memerlukan kajian yang terperinci, agar umat Islam dapat menginternalisasi makna kemuliaan dan tanggung jawab dakwah yang melekat padanya.
II. Tafsir Linguistik dan Analisis Kalimat Kunci
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita wajib membedah setiap komponen bahasa Arab dalam ayat ini, karena setiap kata mengandung bobot makna teologis yang mendalam.
1. هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ (Dialah yang mengutus Rasul-Nya)
Kalimat pembuka ini langsung menegaskan sumber pengutusan, yaitu Allah (هُوَ). Penekanan pada ‘Dialah’ menunjukkan bahwa pengutusan Nabi Muhammad SAW adalah tindakan murni ketuhanan, bukan inisiatif manusiawi. Ini memberikan otoritas mutlak pada risalah yang dibawa. Penggunaan kata "Rasul" (utusan) menunjukkan seseorang yang membawa pesan formal dan mandat dari Dzat yang mengutus. Keterikatan antara Allah dan Rasul-Nya bersifat eksklusif dan fundamental dalam teologi Islam.
2. بِالْهُدَىٰ (Dengan membawa petunjuk)
Al-Huda (الْهُدَىٰ) secara umum merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah, yang merupakan panduan ilahi. Ini adalah petunjuk yang menghilangkan kegelapan kebodohan (Jahiliyyah) dan kesesatan. Petunjuk ini bersifat sempurna, menjawab kebutuhan spiritual, moral, sosial, dan hukum manusia. Petunjuk ini adalah landasan teoritis dan praktis yang menjadi bekal Rasulullah SAW dalam membangun peradaban baru. Konten petunjuk ini adalah ilmu yang sahih, ajaran yang adil, dan syariat yang membawa kemaslahatan hakiki.
3. وَدِينِ الْحَقِّ (Dan agama yang benar)
Ini adalah inti dari risalah. Din (دِينِ) merujuk pada sistem kehidupan, hukum, keyakinan, dan praktik. Al-Haqq (الْحَقِّ) berarti kebenaran, keadilan, dan realitas yang sesungguhnya. Ketika Islam digambarkan sebagai "Dīnul Haqq", ini berarti Islam adalah sistem yang bersumber dari kebenaran absolut, bebas dari kontradiksi, mitos, dan penyimpangan. Ini adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia dan hukum alam semesta. Ke-Haqq-an ini menjamin superioritasnya secara inheren di hadapan semua sistem lainnya.
4. لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِۦ (Untuk dimenangkan/dimanifestasikan atas semua agama)
Inilah puncak janji. Kata kunci di sini adalah لِيُظْهِرَهُ (liyuzhirahu). Secara etimologis, "izhar" (manifestasi/kemenangan) memiliki dua makna utama:
- Kemenangan Fisik dan Politik (Dominasi Historis): Kekuatan politik dan militer yang memungkinkannya berkuasa dan menerapkan syariatnya, yang telah terwujud dalam sejarah Islam, dari Madinah hingga era kekhalifahan.
- Kemenangan Intelektual dan Argumentatif (Dominasi Hujjah): Keunggulan Islam dalam hal dalil, bukti, logika, dan moralitas. Argumen Islam akan selalu unggul dan tak terbantahkan oleh ideologi atau keyakinan lain, meskipun umat Islam mungkin sedang dalam posisi lemah secara politik. Ini adalah kemenangan hujjah (bukti).
Frasa عَلَى الدِّينِ كُلِّهِۦ (atas semua agama) menggunakan kata كُلِّهِۦ (kullihī - seluruhnya), yang sangat tegas. Ini mencakup semua bentuk keyakinan, ideologi, filsafat, dan sistem kehidupan lain yang ada di muka bumi, baik yang bersumber dari wahyu yang telah terdistorsi (Yahudi, Nasrani) maupun yang murni buatan manusia (paganisme, sekularisme, komunisme, dll.). Kemenangan yang dijanjikan bersifat total dan menyeluruh.
5. وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ (Meskipun orang-orang musyrik tidak menyukai)
Bagian penutup ini berfungsi sebagai penegasan janji ilahi di tengah realitas penentangan. Musyrikun (orang-orang musyrik) pada konteks awal merujuk pada pagan Mekkah, tetapi maknanya meluas mencakup siapa pun yang menolak keesaan Allah dan kebenaran Islam, termasuk mereka yang menentang upaya manifestasi agama ini di dunia. Penentangan mereka tidak akan mengubah takdir Allah. Keinginan Allah (Iradah Ilahiyyah) jauh melampaui kebencian atau konspirasi manusia.
III. Hubungan Ayat Ini dengan Tiga Janji Kemenangan
Ayat At-Taubah 33 bukanlah satu-satunya tempat di mana Allah SWT menjanjikan keunggulan Islam. Ayat ini merupakan bagian dari trilogi yang muncul pada tiga surah yang berbeda, menegaskan konsistensi janji Ilahi, yaitu:
- At-Taubah (9): 33 (Fokus pada konfrontasi dengan Musyrikin)
- Al-Fath (48): 28 (Fokus pada janji yang diwahyukan setelah perjanjian Hudaibiyah)
- As-Saff (61): 9 (Fokus pada penguatan janji dan penegasan misi)
Pengulangan janji ini menunjukkan betapa sentralnya konsep 'Izhar ad-Din' (Manifestasi Agama) dalam rencana kosmik Allah SWT. Ia adalah takdir yang tidak dapat dibatalkan.
Konteks Janji dalam Sejarah Awal
Pada saat ayat At-Taubah 33 diwahyukan, umat Islam sedang berada dalam posisi yang semakin kuat, namun tantangan dari Kekaisaran Romawi (Bizantium) dan Persia masih besar. Perang Tabuk (yang dikaitkan dengan konteks Surah At-Taubah) menunjukkan kesiapan umat untuk menghadapi kekuatan super pada masanya. Janji kemenangan ini berfungsi ganda:
- Penghibur dan Pembangkit Semangat: Mengingat kaum Muslimin bahwa kesulitan yang dihadapi hanyalah sementara dan hasil akhir adalah milik mereka.
- Penetapan Visi Jangka Panjang: Menetapkan bahwa misi Islam tidak terbatas pada Arab, melainkan harus meluas hingga mencakup seluruh sistem kehidupan di dunia.
Kemenangan yang dimaksud, terutama pada masa Rasulullah SAW, terwujud melalui pembersihan Jazirah Arab dari praktik syirik, penghancuran berhala di Ka’bah, dan penetapan Islam sebagai otoritas politik tunggal di wilayah tersebut. Namun, para mufasir sepakat bahwa implementasi "atas semua agama" (علَى الدِّينِ كُلِّهِۦ) memiliki cakupan yang jauh lebih luas, melintasi batas geografis dan waktu.
IV. Kedalaman Makna Kemenangan (Izhar Ad-Din)
Kemenangan Islam (Izhar ad-Din) tidak bisa disederhanakan hanya sebagai kemenangan perang atau dominasi teritorial. Ia adalah konsep multi-lapisan yang mencakup dimensi-dimensi berikut, yang semuanya mutlak diperlukan untuk realisasi janji ilahi ini:
1. Kemenangan Hujjah (Intelektual dan Rasional)
Ini adalah kemenangan yang paling mendasar. Islam harus menang dalam arena pemikiran dan debat. Kebenaran Islam harus mampu membuktikan dirinya secara logis, ilmiah, dan filosofis. Syariat Islam menawarkan solusi yang paling adil dan paling sesuai dengan fitrah manusia, mengatasi kegagalan ideologi-ideologi materialistik, sosialistik, atau humanistik semata. Kemenangan ini menuntut umat Islam hari ini untuk menjadi unggul dalam ilmu pengetahuan dan mampu menyajikan ajaran Islam sebagai jalan hidup yang paling relevan dan rasional.
Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menekankan bahwa "izhar" berarti dominasi bukti dan argumen. Ketika ajaran Islam dihadapkan pada kekosongan spiritual dan moral yang dihasilkan oleh sistem lain, keunggulan Islam akan tampak jelas, bahkan bagi orang yang berpikiran jernih dari luar komunitas Muslim. Sifat universal dan abadi (صلاحية الزمان والمكان) dari syariat menjadikannya superior secara inheren.
2. Kemenangan Syariat (Sistem dan Hukum)
Kemenangan ini merujuk pada penerapan hukum dan etika Islam dalam ruang publik, sehingga Islam menjadi sistem yang mengatur politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Ini bukan tentang memaksa keyakinan, melainkan menyediakan kerangka keadilan sosial yang didasarkan pada nilai-nilai tauhid. Di mana pun sistem Islam diterapkan secara murni, ia harus menghasilkan masyarakat yang lebih adil, stabil, dan sejahtera dibandingkan sistem-sistem buatan manusia.
Pada masa kegemilangan Islam, hukum-hukumnya mengungguli hukum-hukum Romawi dan Persia. Prinsip-prinsip ekonomi Islam yang bebas riba, penekanan pada zakat untuk pemerataan kekayaan, dan sistem peradilan yang independen, adalah manifestasi dari janji ini. Realisasi kemenangan ini memerlukan kebangkitan umat untuk kembali memimpin peradaban, bukan sekadar menjadi pengikut peradaban lain.
3. Kemenangan Spiritual (Kualitas Pribadi)
Dominasi Islam juga harus terwujud dalam kualitas spiritual individu Muslim. Kekuatan iman, ketakwaan, kejujuran, dan akhlak mulia (ihsan) adalah bukti hidup dari kebenaran ajaran Islam. Jika umat Islam lemah secara moral, korup, atau terpecah belah, maka manifestasi "Dīnul Haqq" akan terhambat, bahkan jika mereka memiliki kekuatan politik. Kemenangan ini adalah pondasi yang menopang dua jenis kemenangan lainnya. Tanpa keunggulan spiritual (zuhud, tawakkal, dan ikhlas), setiap bentuk dominasi politik akan menjadi rapuh dan rentan terhadap kejatuhan.
Sejumlah mufasir besar, termasuk Ibnu Katsir dan Al-Qurtubi, menekankan bahwa janji ini mencakup periode kemunculan Imam Mahdi dan turunnya Nabi Isa AS, yang akan memimpin dunia di bawah naungan syariat Islam secara total dan tanpa penentangan, yang merupakan puncak realisasi janji "liyuzhirahu ‘ala ad-dīn kullihī." Ini menempatkan janji tersebut melampaui rentang waktu sejarah manusia yang biasa dan mengarah pada takdir akhir zaman.
V. Interpretasi "Seluruh Agama" (Ad-Din Kullihi)
Frasa "atas semua agama" (علَى الدِّينِ كُلِّهِۦ) adalah titik perdebatan utama di antara para ulama. Apakah ini berarti Islam akan menghapus semua agama lain, atau hanya mendominasi mereka?
Pandangan Tafsir Klasik
Mayoritas ulama tafsir kontemporer dan klasik berpegangan pada pandangan bahwa manifestasi ini bersifat komprehensif:
- Dominasi Mutlak (Hujjah dan Syariat): Islam akan mendominasi secara bukti (hujjah) dan otoritas (syariat). Ini tidak menghilangkan keberadaan penganut agama lain (Ahlul Kitab) dalam Daulah Islamiyyah (Negara Islam), tetapi memastikan bahwa hukum tertinggi di negeri itu adalah hukum Islam.
- Penghapusan Syirik: Di Jazirah Arab (sesuai konteks turunnya At-Taubah), Islam menghapus total paganisme. Di luar Jazirah Arab, sistem pagan dan syirik akan runtuh seiring penyebaran tauhid.
- Kemenangan Universal Akhir Zaman: Sebagaimana dijelaskan oleh hadis-hadis sahih, pada akhir zaman (masa turunnya Nabi Isa), seluruh agama akan bersatu di bawah bendera Islam, yang merupakan realisasi puncak "kullihī". Nabi Isa AS akan menghancurkan salib dan memerintah berdasarkan syariat Nabi Muhammad SAW, sehingga tidak ada lagi agama yang sah kecuali Islam.
Kekuatan kata "kullihī" (seluruhnya) menuntut pemahaman bahwa sistem yang dibawa Rasulullah SAW tidak akan pernah setara atau subordinat terhadap sistem lain. Ia adalah superordinat, yakni sistem yang mengatasi, menilai, dan mengungguli semua sistem lainnya. Dalam setiap konflik ideologi, Islam memiliki keunggulan normatif dan praktis.
Eksistensi Ideologi Kontemporer
Di era modern, "agama" tidak hanya merujuk pada keyakinan tradisional (seperti Kristen, Hindu, Budha) tetapi juga mencakup ideologi sekuler yang telah mengambil peran agama (seperti materialisme, ateisme, kapitalisme radikal, dan humanisme tanpa Tuhan). Ayat ini menjanjikan bahwa Islam akan mengungguli, secara intelektual dan moral, bahkan ideologi-ideologi modern ini yang menolak eksistensi Tuhan. Kekuatan At-Taubah 33 adalah penegasan bahwa kegagalan sistem buatan manusia adalah keniscayaan, dan solusi hanya ada pada sistem Ilahi.
VI. Tugas Umat dalam Merealisasikan Janji
Janji Allah dalam At-Taubah 33 bersifat mutlak, tetapi realisasinya di dunia ini terikat pada usaha (kasb) dan tanggung jawab (taklif) umat Islam. Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka. Oleh karena itu, merealisasikan kemenangan Islam adalah tugas kolektif yang memerlukan persiapan di beberapa sektor kunci.
1. Persiapan Keilmuan (Asas Kemenangan Hujjah)
Umat harus menguasai ilmu pengetahuan kontemporer sekaligus ilmu syar’i secara mendalam. Kemenangan intelektual tidak mungkin dicapai oleh umat yang terbelakang dalam teknologi, sains, ekonomi, dan filsafat. Muslim harus mampu berinteraksi dengan dunia intelektual modern, menyaring yang batil, dan mengintegrasikan yang bermanfaat, sambil menjadikan wahyu sebagai sumber otoritas tertinggi.
Kegagalan dalam sektor keilmuan berarti kegagalan dalam menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang kompatibel dengan kemajuan dan kecanggihan peradaban, sehingga janji "Dīnul Haqq" yang rasional menjadi terdistorsi di mata dunia. Keterbelakangan ilmiah adalah salah satu bentuk dominasi agama lain atas Islam, karena umat Islam terpaksa bergantung pada output pemikiran yang tidak berdasarkan tauhid.
2. Persiapan Dakwah dan Komunikasi
Izhar ad-Din menuntut penyebaran ajaran Islam kepada seluruh umat manusia dengan cara terbaik (bil hikmah wal mau’izhatil hasanah). Dakwah hari ini bukan hanya melalui mimbar, tetapi melalui media, seni, dan karya nyata. Kemenangan ini terwujud ketika prinsip-prinsip Islam diadopsi secara luas, baik oleh non-Muslim yang masuk Islam, maupun oleh sistem-sistem sosial yang secara bertahap mengadopsi nilai-nilai keadilan dan moralitas Islam.
Metode dakwah harus relevan dengan tantangan zaman. Jika di masa lalu dakwah dilakukan melalui penaklukan (futuhat), hari ini ia lebih banyak melalui dialog, diplomasi, dan penunjukkan model kehidupan yang unggul (uswah hasanah). Kemenangan tidak dicapai dengan paksaan, tetapi dengan keunggulan model yang ditawarkan.
3. Persiapan Persatuan dan Politik
Perpecahan umat (tafarruq) adalah penghalang terbesar bagi manifestasi agama ini. Janji kemenangan Allah adalah untuk ‘Umat Islam’ sebagai satu kesatuan, bukan untuk faksi atau kelompok tertentu. Kemenangan syariat menuntut adanya kekuatan politik yang solid dan adil yang mampu melindungi umat dan menerapkan hukum-hukum Allah di muka bumi.
Dalam sejarah, setiap kali umat Islam mencapai persatuan politik di bawah kepemimpinan yang saleh, janji At-Taubah 33 terwujud dengan gemilang, mengantarkan peradaban pada masa keemasan. Sebaliknya, saat umat terfragmentasi dan saling bertikai, dominasi intelektual dan politik musuh menjadi mudah terjadi, menunda realisasi janji tersebut.
Sektor ini sangat krusial. Tanpa otoritas politik yang kokoh, penerapan sistem hukum Islam (Syariat) akan mustahil. Islam sebagai sistem hidup yang komprehensif (Dīnul Haqq) harus memiliki wadah untuk diimplementasikan secara menyeluruh. Oleh karena itu, upaya kebangkitan politik Islam, yang didasarkan pada prinsip keadilan dan persatuan, adalah prasyarat vital untuk memenuhi janji yang termaktub dalam ayat ini.
VII. Respon terhadap Penentangan (Walaaw Karihal Musyrikun)
Frasa penutup "وَ لَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ" (Meskipun orang-orang musyrik tidak menyukai) bukan sekadar sisipan, tetapi berfungsi sebagai pengingat abadi tentang sifat alami perjuangan antara kebenaran dan kebatilan.
Sifat Abadi Kebencian
Allah SWT menjelaskan bahwa penentangan terhadap Islam dan upaya untuk memadamkan cahayanya akan selalu ada. Kebencian ini bersifat mendasar karena Islam menantang otoritas selain Allah (syirik) dan menolak sistem kehidupan yang didasarkan pada hawa nafsu atau kepentingan pribadi semata. Bagi mereka yang mengambil alih peran ketuhanan (baik individu, ideologi, atau negara), kemenangan Islam adalah ancaman terhadap kekuasaan dan hegemoni mereka.
Ayat ini mengajarkan umat Islam untuk tidak terkejut atau patah semangat oleh penentangan. Sebaliknya, mereka harus melihat penentangan itu sebagai bukti bahwa mereka berada di jalur kebenaran. Intensitas kebencian dan konspirasi yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam (baik musyrikin, kuffar, atau munafiqin) justru menegaskan pentingnya janji ilahi ini.
Ketidakberdayaan Konspirasi Manusia
Penyebutan penentangan ini juga mengandung makna bahwa usaha manusia, betapapun kuatnya, tidak akan mampu menggagalkan kehendak Allah. Sejarah penuh dengan upaya untuk menghancurkan Islam—dari peperangan era Nabi, Perang Salib, invasi Mongol, hingga upaya penjajahan dan perang ideologi modern—tetapi Islam tetap bertahan dan, secara global, terus berkembang.
Kebenaran (Al-Haqq) memiliki daya tahan yang melebihi kekuatan fisik. Kebencian yang didasarkan pada kesesatan (batil) pada akhirnya akan hancur sendiri. Tugas umat hanyalah menjadi alat yang efektif dalam realisasi kehendak-Nya, bertawakal sepenuhnya kepada janji Allah, dan tidak gentar oleh jumlah atau sumber daya yang dimiliki oleh pihak penentang.
VIII. Implikasi Kontemporer Ketinggian Islam
Bagaimana janji At-Taubah 33 relevan di tengah tantangan global abad ke-21, di mana umat Islam sering kali dilihat sebagai tertinggal atau terpinggirkan?
1. Kritik Terhadap Materialisme
Dalam konteks modern, janji kemenangan ini terwujud ketika Islam menawarkan solusi yang superior terhadap krisis moral, sosial, dan lingkungan yang ditimbulkan oleh materialisme dan sekularisme radikal. Masyarakat Barat, meskipun unggul secara ekonomi dan militer, menderita krisis keluarga, identitas, dan makna hidup yang mendalam.
Di sini, Islam (Dīnul Haqq) menunjukkan keunggulannya dengan menawarkan makna hidup yang jelas, struktur keluarga yang kokoh, dan sistem etika yang komprehensif. Kemenangan ini bersifat persuasif: sistem Islam yang diterapkan dengan benar akan menarik hati nurani manusia karena ia menjawab fitrah yang haus akan kebenaran transenden.
2. Keunggulan Ekonomi Syariah
Sistem ekonomi konvensional modern sering dilanda krisis siklus karena ketergantungan pada riba (bunga) dan spekulasi berlebihan. Sebaliknya, prinsip-prinsip ekonomi syariah, yang menekankan keadilan, pembagian risiko, larangan riba, dan investasi berbasis aset riil, terbukti lebih stabil dan etis.
Manifestasi Islam atas agama dan sistem lain terlihat ketika para ekonom non-Muslim mulai mengakui keunggulan model keuangan Islam dalam menghadapi keruntuhan pasar finansial. Ini adalah bentuk manifestasi (izhar) keunggulan hukum Islam di sektor yang dianggap paling rasional dan modern.
3. Peran Umat Islam sebagai Saksi (Syuhada ‘ala al-Nas)
Realisasi janji At-Taubah 33 menuntut umat Islam untuk hidup sesuai dengan perannya sebagai umat pertengahan (ummatan wasata) dan saksi atas umat manusia. Ini berarti menunjukkan integritas moral dan profesionalisme yang luar biasa, sehingga perbuatan mereka sendiri menjadi bukti kebenaran agama yang mereka anut.
Ketika seorang Muslim menjadi ilmuwan terkemuka, dokter yang paling etis, atau politisi yang paling jujur, ia telah berkontribusi pada manifestasi Islam. Kemenangan bukanlah sekadar pidato atau deklarasi, melainkan kualitas yang terlihat dan dirasakan oleh seluruh peradaban.
IX. Refleksi Mendalam tentang Konsep Ketundukan Universal
Konsep yang terkandung dalam At-Taubah 33 ini, yaitu penegasan bahwa Islam akan mengatasi seluruh sistem lainnya, membawa kita pada refleksi filosofis dan teologis tentang sifat ketundukan alam semesta (taslim) kepada Sang Pencipta.
Kebenaran Hakiki dan Kebatilan Relatif
Filosofi di balik janji ini adalah bahwa hanya ada satu Kebenaran Absolut (Al-Haqq), dan Kebenaran tersebut diwakili dalam risalah Nabi Muhammad SAW. Semua yang menyimpang dari Kebenaran ini adalah kebatilan (al-Batil). Meskipun kebatilan mungkin tampak kuat dan berkuasa untuk sementara waktu, sifatnya adalah ephemeral (sementara), sedangkan Al-Haqq bersifat kekal.
Allah SWT menjamin bahwa di akhir pertarungan, kekuatan yang mengikuti kebenaran pasti akan menang. Ini memberikan optimisme abadi (optimisme eskatologis) kepada umat Islam. Mereka berjuang bukan untuk kemenangan yang belum pasti, melainkan untuk menegakkan janji yang sudah dipastikan hasilnya oleh Dzat Yang Maha Kuasa.
Islam dan Fitrah Manusia
Salah satu alasan utama mengapa Islam dijanjikan kemenangan atas semua agama adalah karena Islam adalah agama fitrah. Prinsip-prinsipnya—tauhid, keadilan, persamaan di hadapan hukum, dan penghargaan terhadap martabat manusia—adalah tuntutan fundamental dari hati nurani dan akal sehat manusia. Agama lain, yang mungkin telah bercampur dengan tradisi atau penyimpangan manusiawi, menghadapi kesulitan karena bertentangan dengan fitrah.
Kemenangan Islam terjadi ketika manusia, setelah bereksperimen dengan berbagai sistem, akhirnya menyadari bahwa hanya sistem yang selaras dengan fitrah (yaitu Islam) yang dapat membawa kedamaian sejati dan keadilan yang berkelanjutan. Kemenangan ini adalah penemuan kembali diri oleh umat manusia itu sendiri.
Konsekuensi Pengabaian
Jika umat Islam mengabaikan tanggung jawab mereka untuk merealisasikan Izhar ad-Din—dengan meninggalkan ilmu, moral, dan persatuan—maka kemenangan itu akan tertunda, dan umat akan mengalami masa-masa dominasi oleh sistem lain. Ayat ini adalah peringatan sekaligus janji. Jika umat Islam gagal menjadi agen kebenaran, mereka akan digantikan oleh kaum lain yang lebih layak, yang akan menegakkan janji Allah ini (sebagaimana diisyaratkan dalam Surah Muhammad dan lainnya).
Oleh karena itu, setiap Muslim, dalam setiap profesi dan peran, adalah prajurit dalam manifestasi Izhar ad-Din. Seorang pedagang Muslim yang jujur sedang memenangkan pertempuran melawan sistem ekonomi curang; seorang guru Muslim yang mendidik dengan ikhlas sedang memenangkan pertempuran melawan kebodohan; seorang politisi Muslim yang adil sedang memenangkan pertempuran melawan tirani. Kemenangan ini adalah akumulasi dari kontribusi individu yang didasarkan pada tauhid murni.
Seluruh ayat ini mengundang umat Islam pada sebuah gerakan abadi, sebuah jihad yang berkelanjutan dalam arti seluas-luasnya. Ia adalah komitmen untuk selalu berada di garda terdepan kebenaran, keadilan, dan kemajuan peradaban. Kemenangan yang dijanjikan dalam At-Taubah 33 adalah konsekuensi logis dari memeluk sistem yang sempurna dan abadi, sistem yang didukung oleh kehendak Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Janji ini mempertebal keyakinan (yaqin) bahwa perjuangan dakwah, betapapun sulitnya, memiliki ujung yang pasti dan mulia. Ini menghilangkan keraguan dari hati orang-orang beriman dan menjadi cambuk bagi mereka untuk terus berusaha, mengetahui bahwa Allah SWT sendiri yang menjamin hasil akhirnya. Inilah kemuliaan dan urgensi Surah At-Taubah ayat 33 dalam membimbing visi kolektif umat Muhammad SAW.
Dengan demikian, At-Taubah 33 bukan hanya tentang masa lalu atau masa depan yang jauh, melainkan tentang komitmen hari ini: komitmen untuk hidup sebagai manifestasi Islam, di mana pun kita berada, sehingga kebenulan dan petunjuk (Al-Huda dan Dīnul Haqq) kita menjadi terang benderang yang mengatasi setiap kegelapan yang ditawarkan oleh sistem dan ideologi lain yang bersifat sementara dan rapuh. Manifestasi kebenaran ini tidak mengenal henti, melainkan terus berproses seiring dengan bergeraknya roda sejarah dan peradaban manusia.