Zakat merupakan pilar ketiga dari Rukun Islam, sebuah kewajiban finansial yang tidak hanya bersifat ritualistik, tetapi juga fundamental dalam menciptakan sistem keadilan sosial dan pemerataan ekonomi dalam masyarakat Muslim. Kedudukan zakat sangat sentral, berfungsi sebagai mekanisme wajib untuk membersihkan harta dan menyalurkan kekayaan dari golongan mampu kepada golongan yang membutuhkan.
Titik fokus utama dalam pelaksanaan zakat adalah Surah At-Taubah ayat 60. Ayat ini secara eksplisit dan definitif menetapkan batasan (asnaf) mengenai siapa saja yang berhak menerima dana zakat. Pembatasan ini adalah penentu syar'i, memastikan bahwa dana suci tersebut tidak disalurkan sembarangan, melainkan tepat sasaran sesuai dengan tujuan ilahiahnya. Memahami ayat ini secara komprehensif adalah kunci untuk mengimplementasikan zakat secara benar, baik oleh muzakki (pemberi zakat) maupun amil (pengelola zakat).
Fondasi Zakat sebagai Harta Suci
Ayat ini diturunkan untuk menghilangkan kebingungan yang mungkin timbul mengenai distribusi zakat dan menetapkan standar ilahiah yang harus diikuti.
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat (amilin), para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang (gharimin), untuk jalan Allah (fi sabilillah), dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan (ibnus sabil), sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 60)
Pembahasan ayat ini harus dimulai dari struktur bahasa Arabnya. Penggunaan kata kunci إِنَّمَا (Innama) pada awal kalimat sangat penting. Dalam tata bahasa Arab, Innama adalah أداة حصر (Adatul Hasr) atau alat pembatasan/eksklusivitas. Ini berarti bahwa delapan golongan yang disebutkan setelahnya adalah satu-satunya penerima yang sah, tidak ada golongan lain yang boleh ditambahkan atau dikurangi dari daftar ini.
Hal ini menunjukkan bahwa penentuan penerima zakat adalah otoritas mutlak Allah SWT, bukan wewenang penguasa, badan amil, atau individu. Tidak ada pengecualian syar'i untuk menyalurkan zakat di luar delapan kategori ini, bahkan jika tujuannya tampak mulia, seperti pembangunan masjid atau jembatan, kecuali jika kegiatan tersebut dapat dikategorikan secara sah di bawah salah satu dari delapan asnaf (terutama *Fi Sabilillah*).
Berikut adalah uraian mendalam mengenai masing-masing dari delapan golongan yang berhak menerima zakat, termasuk perbedaan definisi dan implikasi fiqihnya.
Fakir adalah golongan yang tingkat kebutuhannya paling parah. Para ulama umumnya sepakat bahwa fakir adalah individu yang sama sekali tidak memiliki harta atau penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya dan kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya. Kekurangan mereka mencapai titik yang menghalangi mereka untuk hidup layak.
Meskipun sering disamakan dalam bahasa sehari-hari, dalam fiqih zakat terdapat perbedaan substansial yang dipegang oleh mayoritas ulama Syafi’i dan Hanbali:
Beberapa ulama lain (seperti Hanafi) cenderung melihat keduanya sama atau mendefinisikan miskin sebagai yang lebih parah. Namun, pandangan mayoritas empat mazhab mengakui adanya dua tingkat kekurangan ini, menjamin bahwa zakat dapat menyentuh tingkat kemiskinan yang berbeda secara adil.
Miskin adalah mereka yang memiliki penghasilan, tetapi penghasilan tersebut tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup minimumnya. Mereka mungkin memiliki tempat tinggal sederhana atau pekerjaan, namun kekurangan tersebut bersifat kronis dan menghalangi mereka dari kemandirian finansial.
Pentingnya membedakan Fakir dan Miskin dalam distribusi zakat adalah untuk memastikan alokasi dana diprioritaskan kepada mereka yang berada di ujung spektrum kemiskinan (Fakir), sementara tetap memberikan dukungan kepada mereka yang berjuang keras namun belum mampu mandiri (Miskin).
Ini adalah golongan profesional yang bertugas mengumpulkan, mencatat, mengelola, menjaga, dan mendistribusikan dana zakat. Mereka berhak mendapatkan bagian dari zakat sebagai upah atas kerja mereka, bahkan jika mereka termasuk orang kaya.
Amil harus memenuhi kriteria tertentu: Muslim, baligh, berakal, adil (terpercaya), memiliki kemampuan kerja yang relevan, dan ditunjuk secara resmi oleh pemerintah atau lembaga yang sah. Bagian Amilin bukan merupakan sedekah, melainkan hak gaji atau kompensasi (ujrah) atas jasa yang mereka berikan. Hal ini untuk menjamin profesionalisme dan kelangsungan lembaga zakat. Besaran bagian mereka dibatasi oleh ijtihad ulama dan biasanya tidak melebihi seperdelapan dari total zakat yang terkumpul, atau sebatas upah yang wajar.
Mu'allaf adalah mereka yang hatinya perlu dilunakkan atau dikuatkan dalam Islam. Golongan ini penting karena zakat digunakan sebagai instrumen dakwah dan politik Islam.
Ulama membagi Mu'allaf menjadi beberapa kategori yang berhak menerima zakat:
Penyaluran zakat kepada Mu'allaf menunjukkan bahwa Islam tidak hanya memperhatikan kebutuhan materi, tetapi juga aspek spiritual dan keamanan sosial.
Golongan ini bertujuan untuk membebaskan budak. Dalam konteks sejarah, ini mencakup budak yang telah membuat perjanjian dengan tuannya untuk membeli kebebasan mereka (mukattab). Zakat digunakan untuk membayar sisa tebusan mereka.
Meskipun perbudakan fisik dalam bentuk historisnya sudah tidak ada di sebagian besar dunia, banyak ulama kontemporer memperluas makna Fi Ar-Riqab. Beberapa penafsiran modern mencakup:
Prinsip dasarnya tetap sama: membebaskan manusia dari ikatan yang merampas kebebasan dan martabatnya.
Gharimin adalah orang yang memiliki hutang dan tidak mampu melunasinya. Zakat berfungsi untuk melunasi hutang mereka, sehingga mereka bisa kembali hidup normal tanpa beban mental dan finansial yang menghancurkan.
Tidak semua orang berhutang berhak menerima zakat. Fiqih membedakan dua kategori utama yang berhak:
Dispensasi ini menunjukkan betapa Islam menghargai harmoni sosial dan bersedia menanggung beban finansial individu demi perdamaian komunitas.
Beberapa ulama modern juga membahas kasus para penjamin (kaafil) yang harus melunasi hutang orang lain. Jika penjamin itu jatuh miskin karena kewajiban tersebut, ia berhak menerima zakat sebagai Gharimin.
Secara harfiah berarti "di jalan Allah." Ini adalah asnaf yang paling luas dan paling banyak menimbulkan perdebatan interpretasi di kalangan ulama klasik maupun kontemporer.
Secara tradisional, mayoritas ulama (Jumhur, termasuk Mazhab Maliki dan Syafi'i) menafsirkan Fi Sabilillah secara sempit, yaitu khusus untuk jihad fisik (perang) yang dilakukan untuk membela Islam. Zakat diberikan kepada para pejuang yang tidak menerima gaji dari negara untuk membeli perlengkapan, senjata, atau bekal perjalanan.
Karena konteks peperangan fisik telah berubah dan kebutuhan umat Islam kini lebih mendesak di bidang pendidikan, kesehatan, dan dakwah, banyak ulama kontemporer (seperti Yusuf Al-Qardhawi) dan lembaga-lembaga zakat modern memperluas interpretasi Fi Sabilillah menjadi:
Perluasan ini didasarkan pada pemahaman bahwa ‘Jalan Allah’ mencakup segala upaya yang bertujuan menegakkan kalimah Allah dan menguatkan umat, sesuai dengan tuntutan zaman.
Salah satu aplikasi terbesar Fi Sabilillah modern adalah pendidikan. Beberapa ulama berpendapat bahwa zakat boleh digunakan untuk membangun sekolah atau memberikan beasiswa kepada siswa miskin, dengan argumen bahwa menegakkan ilmu pengetahuan adalah bagian integral dari menjaga agama (Jihadun Nafs). Namun, Mazhab Syafi’i yang ketat biasanya menyarankan bahwa zakat harus diberikan kepada individu (siswa) yang termasuk fuqara atau masakin, bukan kepada pembangunan fisik sekolah secara langsung, kecuali jika sekolah tersebut memenuhi kriteria wakaf produktif yang mendukung fakir miskin.
Ibnus Sabil adalah orang yang sedang dalam perjalanan (musafir) dan kehabisan bekal di tengah jalan, meskipun di kampung halamannya ia termasuk orang kaya.
Kondisi yang disyaratkan adalah:
Asnaf ini menunjukkan kepedulian Islam terhadap individu yang mengalami kesulitan temporer akibat keadaan, bahkan jika secara status sosial mereka adalah orang berada. Ini adalah bentuk asuransi sosial bagi para pelancong.
Surah At-Taubah (Pengampunan) adalah surah Madaniyah yang diturunkan setelah Perang Tabuk. Ayat 60 muncul dalam konteks di mana komunitas Muslim telah mencapai tingkat organisasi sosial yang matang dan negara Islam mulai memerlukan sistem keuangan yang terstruktur. Ayat ini juga berfungsi sebagai jawaban terhadap mereka yang mengkritik atau mempertanyakan bagaimana dana zakat (disebut sebagai ‘sedekah’ dalam konteks ayat) seharusnya didistribusikan.
Sebelum ayat ini turun, terkadang terdapat ketidakjelasan mengenai hak dan kewajiban terkait zakat. Dengan turunnya QS. At-Taubah: 60, semua spekulasi dihentikan. Struktur delapan asnaf ini adalah manifestasi langsung dari tujuan utama syariat Islam (Maqashid Syariah) dalam bidang ekonomi:
Penggunaan frasa فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ (Fariidatan minallah), yang berarti 'suatu ketetapan yang diwajibkan Allah,' menekankan bahwa penetapan delapan asnaf ini bersifat wajib dan tidak dapat diubah oleh manusia. Zakat adalah hak murni bagi delapan golongan ini.
Apakah zakat harus dibagi rata kepada semua delapan asnaf? Ini adalah poin perbedaan mazhab:
Penerapan kontemporer umumnya mengikuti pandangan fleksibel, memprioritaskan Fakir dan Miskin karena kebutuhan mereka adalah yang paling fundamental.
Walaupun ayat 60 menetapkan penerima, terdapat larangan syar'i mengenai siapa yang tidak boleh menerima zakat:
Keseimbangan dan Keadilan dalam Fiqih Zakat
Di era modern, lembaga amil zakat (seperti Baznas, Lazis) berperan vital dalam menafsirkan dan menerapkan ayat 60 dalam konteks masyarakat yang kompleks. Tantangan terbesar adalah bagaimana mendistribusikan zakat agar tidak hanya bersifat konsumtif, tetapi juga produktif, tanpa melanggar batasan syar'i.
Mayoritas ulama kontemporer sepakat bahwa zakat, terutama bagi Fakir dan Miskin, harus diarahkan pada Zakat Produktif. Zakat diberikan dalam bentuk modal usaha, pelatihan keterampilan, atau alat kerja, sehingga penerima (mustahik) dapat berubah status menjadi pemberi zakat (muzakki) di masa depan. Meskipun demikian, pada kasus darurat (bencana alam, kelaparan), zakat konsumtif (makanan, pakaian) tetap diperlukan.
Salah satu area yang sangat membutuhkan kejelasan adalah penggunaan zakat untuk pembangunan infrastruktur sosial. Jika Baitul Mal ingin membangun sekolah, mereka tidak boleh menggunakan zakat mal secara langsung untuk biaya bangunan. Namun, mereka bisa menggunakan dana zakat untuk:
Dana untuk pembangunan fisik yang tidak dapat dikategorikan di bawah delapan asnaf harus berasal dari dana infaq, sedekah, atau wakaf, bukan dari Zakat Mal.
Dalam ekonomi modern, kasus Gharimin sering kali bersentuhan dengan kredit macet. Lembaga zakat harus cermat membedakan hutang yang boleh dilunasi dengan zakat:
Prinsip kehati-hatian (ihtiyat) sangat ditekankan agar dana zakat benar-benar mengangkat beban syar'i, bukan membiayai gaya hidup yang tidak bertanggung jawab.
Untuk menjaga akuntabilitas dan transparansi (sejalan dengan tuntutan sebagai Amilin yang profesional), lembaga zakat diwajibkan menyajikan laporan keuangan yang membagi penyaluran dana secara jelas ke dalam delapan kategori asnaf, membuktikan bahwa amanah ilahiah dari Ayat 60 telah dipenuhi dengan integritas dan kecermatan.
Kesimpulan dari Surah At-Taubah ayat 60 adalah penegasan bahwa Zakat adalah suatu sistem yang paripurna dan terperinci. Dengan menetapkan delapan asnaf secara tegas, Allah SWT menunjukkan kebijaksanaan-Nya (sebagaimana ditutup dengan وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ - Wallahu 'Alimun Hakim, 'Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana'):
Ayat ini bukan sekadar daftar, melainkan cetak biru (blueprint) bagi sebuah masyarakat yang berpegang teguh pada prinsip keadilan distributif. Setiap muslim, baik individu maupun lembaga, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa setiap sen zakat disalurkan sesuai dengan batasan suci yang ditetapkan dalam Surah At-Taubah ayat 60, menjadikannya fondasi abadi bagi kesejahteraan umat.