Hukum Bacaan Sebelum At-Tawbah: Mengurai Kaidah Basmalah dalam Resitasi Al-Qur'an

Kajian mendalam mengenai kaidah tajwid, riwayat Qira'at, dan implikasi teologis di balik pengecualian Basmalah pada permulaan Surah Kesembilan.

I. Pendahuluan: Keunikan Surah At-Tawbah dan Kaidah Basmalah

Dalam tradisi resitasi Al-Qur'an (Tilawah), terdapat satu kaidah yang berlaku secara universal dan menjadi penanda penting dalam setiap permulaan surah, yaitu pembacaan Basmalah (Bismillahirrohmanirrohim). Bacaan mulia ini, yang mengandung tiga Nama Allah—Allah (Nama Dzat), Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), dan Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang)—merupakan pintu gerbang spiritual menuju setiap babak kalam ilahi. Ia melambangkan permohonan berkah dan pengakuan bahwa segala sesuatu dimulai dengan Rahmat dan Kekuasaan Allah.

Namun, di antara 114 surah dalam Al-Qur'an, terdapat satu pengecualian yang paling signifikan dan menjadi subjek kajian mendalam dalam ilmu Tajwid dan Tafsir, yakni Surah Kesembilan: Surah At-Tawbah (atau dikenal pula sebagai Surah Bara'ah). Surah ini berdiri sendiri sebagai satu-satunya surah yang tidak diawali dengan Basmalah. Keunikan ini menuntut pemahaman yang utuh mengenai bagaimana seorang Qari atau pembaca harus menyikapi transisi dari Surah sebelumnya (Surah Al-Anfal) dan bagaimana memulai Surah At-Tawbah itu sendiri.

Pembahasan mengenai “bacaan sebelum Surah At-Tawbah” ini bukan sekadar persoalan pilihan melainkan adalah implementasi dari kaidah Tajwid yang ketat, yang telah diwariskan melalui rantai periwayatan (sanad) yang sahih dari Rasulullah ﷺ. Pengecualian ini bukan terjadi tanpa alasan, melainkan terkait erat dengan substansi teologis dan historis Surah tersebut, yang bermula sebagai deklarasi permusuhan dan pemutusan perjanjian.

Pentingnya Memahami Hukum Resitasi

Bagi setiap Muslim yang ingin membaca Al-Qur'an dengan benar, memahami kaidah khusus pada Surah At-Tawbah adalah sebuah keharusan. Kesalahan dalam penerapan Basmalah pada titik ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap sunnah Qira'ah yang Mutawatir (diriwayatkan secara massal). Artikel ini akan mengupas tuntas alasan peniadaan Basmalah, serta tiga metode resitasi yang diperbolehkan ketika menyambungkan Surah Al-Anfal dengan Surah At-Tawbah, atau ketika memulai At-Tawbah dari tengah-tengahnya.

Pemisahan Tanpa Basmalah Surah Al-Anfal (8) Tanpa Basmalah Surah At-Tawbah (9)

Gambar 1: Visualisasi perbatasan antara Surah Al-Anfal dan At-Tawbah, menunjukkan ruang kosong Basmalah.

II. Alasan Peniadaan Basmalah: Perspektif Historis dan Teologis

Peniadaan Basmalah (Bismillahirrohmanirrohim) di awal Surah At-Tawbah bukanlah hasil dari kelalaian atau kesalahan penyalinan, melainkan sebuah keputusan yang didasarkan pada petunjuk langsung, baik dari sisi riwayat (transmisi) maupun sisi dirayah (pemahaman konteks). Terdapat dua pandangan utama yang sering dikemukakan oleh para ulama salaf dan khalaf:

1. Pandangan Riwayat (Transmisi Sahabat)

Pendapat yang paling populer adalah bahwa Rasulullah ﷺ tidak pernah membacakan Basmalah di awal Surah At-Tawbah. Ketika Al-Qur'an dikumpulkan di bawah kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (Mushaf Utsmani), para Sahabat hanya menuliskan apa yang mereka dengar langsung dari Nabi. Mereka meletakkan Basmalah di awal surah hanya jika Nabi membacakannya pada permulaan surah tersebut.

Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA bahwa beliau pernah bertanya kepada Khalifah Utsman mengapa Basmalah tidak diletakkan antara Surah Al-Anfal dan Surah At-Tawbah, padahal Al-Anfal termasuk surah-surah yang diturunkan di Madinah dan At-Tawbah juga. Utsman RA menjawab, “Rasulullah ﷺ wafat sebelum beliau menjelaskan kepada kami apakah At-Tawbah itu bagian dari Al-Anfal atau surah yang terpisah. Oleh karena itu, keduanya diletakkan berdekatan, dan tidak ditulis di antaranya kalimat ‘Bismillahirrohmanirrohim’.”

Riwayat ini menunjukkan adanya keraguan historis di kalangan Sahabat mengenai status Surah At-Tawbah: Apakah ia merupakan surah yang berdiri sendiri ataukah kelanjutan tematik dari Surah Al-Anfal? Meskipun akhirnya ditetapkan sebagai surah yang terpisah (Surah 9), ketidakpastian awal tersebut berimplikasi pada penghilangan Basmalah, sebagai bentuk kehati-hatian dalam mengikuti sunnah. Namun, pandangan yang lebih kuat dalam ilmu Tafsir adalah pandangan kedua, yaitu alasan tematik.

2. Pandangan Dirayah (Konteks dan Tema)

Surah At-Tawbah dimulai dengan deklarasi keras: بَرَاءَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ (Pernyataan pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya). Surah ini secara esensial adalah deklarasi perang dan pemutusan perjanjian damai dengan kaum musyrikin yang telah melanggar janji mereka setelah penaklukan Makkah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan para mufassir lain menjelaskan bahwa Basmalah mengandung makna Rahmat (kasih sayang) dan Aman (keamanan/kedamaian). Surah yang dimulai dengan Basmalah berarti pembukaan yang penuh dengan Rahmat dan belas kasihan Allah. Sebaliknya, Surah At-Tawbah dimulai dengan bara'ah (pemutusan hubungan) dan inzaar (peringatan keras) terhadap orang-orang kafir yang tidak bertaubat.

Kontradiksi Tematik: Tidaklah sesuai secara retoris dan teologis untuk memulai Surah yang berisi ancaman keras, hukuman, dan perintah perang dengan ungkapan yang mengandung nama-nama Rahmat Allah (Ar-Rahman dan Ar-Rahim). Oleh karena itu, Basmalah ditiadakan agar sesuai dengan suasana ‘kemurkaan’ dan keadilan yang mutlak pada ayat-ayat awal surah ini. Rahmat dikesampingkan sementara untuk menonjolkan keadilan dan ketegasan ilahi.

Oleh karena itu, jika seorang pembaca memulai resitasi dari awal Surah At-Tawbah (dari ayat pertama), dia harus menghindari pembacaan Basmalah secara mutlak, karena ini adalah konsensus (Ijma') para ulama Qira'at.

III. Metode Resitasi (Tajwid) Ketika Menyambung Surah Al-Anfal (8) dan At-Tawbah (9)

Poin krusial dari “bacaan sebelum Surah At-Tawbah” terletak pada bagaimana seorang Qari beralih dari akhir Surah Al-Anfal (ayat 75) menuju awal Surah At-Tawbah (ayat 1), mengingat Basmalah tidak boleh disisipkan di tengahnya. Dalam ilmu Tajwid, khususnya dalam tradisi Qira'at Imam Hafs 'an 'Ashim, terdapat tiga metode yang diperbolehkan (Al-A'malats Tsalaatsah) untuk menyambung kedua surah ini. Ketiga metode ini harus dilakukan tanpa Basmalah sama sekali.

Akhir Surah Al-Anfal berbunyi: إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (Innallāha bikulli syay’in ‘alīm). Kata terakhir adalah علِيمٌ dengan harakat Dhummatain (tanwin). Awal Surah At-Tawbah berbunyi: بَرَاءَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ (Barā'atun minallāhi wa rasūlih). Kata pertamanya adalah بَرَاءَةٌ dengan Dhummatain.

1. Metode Pertama: Waqf (Berhenti Penuh)

Ini adalah metode yang paling aman, paling umum, dan paling mudah. Pembaca menghentikan bacaan secara total di akhir Surah Al-Anfal, mengambil napas, dan kemudian memulai Surah At-Tawbah seolah-olah ia baru memulai resitasi.

2. Metode Kedua: Sakt (Berhenti Sebentar Tanpa Mengambil Napas)

Metode ini memerlukan sedikit keterampilan teknis. Sakt adalah pemutusan suara (menghentikan aliran nafas/suara) selama waktu yang sangat singkat (sekitar dua harakat), tetapi tanpa mengambil napas baru. Tujuannya adalah memisahkan kedua surah tanpa jeda yang terlalu panjang, namun tetap menunjukkan bahwa itu adalah pemisah (faslah).

3. Metode Ketiga: Washl (Menyambung Penuh)

Ini adalah metode yang paling rumit dan paling berisiko tinggi jika tidak dilakukan dengan ilmu Tajwid yang mumpuni. Washl berarti menyambung akhir Al-Anfal ke awal At-Tawbah tanpa jeda, tanpa Basmalah, dan tanpa Saktah. Karena keduanya berakhir dan dimulai dengan harakat Tanwin/Dhummatain, maka harus terjadi proses Idgham (peleburan) atau Iqlab (penggantian nun mati).

Detail Teknis Washl (Menyambung)

Dalam metode Washl, kata عَلِيمٌ (Alīmun) pada akhir Surah Al-Anfal disambungkan langsung ke kata بَرَاءَةٌ (Barā'atun) pada awal Surah At-Tawbah. Secara teknis, ketika Tanwin bertemu huruf selain Lam atau Ra, ia harus dibaca sesuai kaidah Nun Mati (Idzhar, Ikhfa, Idgham, Iqlab).

Penerapan Idgham

Karena akhir Al-Anfal (عَلِيمٌ) berakhir dengan Tanwin dan disambung ke awal At-Tawbah (بَرَاءَةٌ) yang diawali dengan huruf Ba, maka kaidah yang berlaku adalah Iqlab (mengganti Nun Mati/Tanwin menjadi Mim). Namun, kaidah ini menjadi sangat kompleks ketika diterapkan antar-surah, dan dalam beberapa riwayat, ulama Tajwid lebih menyarankan untuk menghentikan bacaan di antara keduanya.

Oleh karena itu, cara Washl yang paling diterima adalah dengan langsung menyambungkan Tanwin pada علِيمٌ ke huruf Ba pada بَرَاءَةٌ sehingga menghasilkan bunyi Iqlab yang jelas, namun tanpa Basmalah di tengahnya. Pembacaan akan menjadi: إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمُمْ بَرَاءَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ (Innallāha bikulli syay’in ‘alīmum barā'atun minallāhi wa rasūlih).

Meskipun Washl secara teknis diperbolehkan, para ahli Qira'at (seperti riwayat Imam Ad-Dani dan Imam As-Syatibi) sangat menganjurkan metode Waqf atau Sakt untuk menghindari kerancuan, karena tujuan utama di sini adalah membedakan batas surah, bukan menyatukan maknanya.

IV. Hukum Memulai Surah At-Tawbah dari Tengah

Jika seorang pembaca memulai resitasi Al-Qur'an (Ibtida') bukan dari awal Surah At-Tawbah (Ayat 1), melainkan dari ayat kedua atau seterusnya (misalnya Ayat 10 atau Ayat 50), maka hukum Basmalah berubah. Dalam kasus ini, pembaca memiliki pilihan (Takhayyur).

1. Pendapat Mayoritas (Kebolehan Basmalah)

Sebagian besar ulama Tajwid membolehkan Basmalah ketika memulai dari pertengahan surah mana pun, termasuk At-Tawbah. Alasannya adalah Basmalah secara umum disunnahkan untuk setiap permulaan bacaan (Ibtida'). Pengecualian Basmalah hanya berlaku jika dimulai tepat pada Ayat 1 (yang merupakan pernyataan Bara'ah).

Jika memulai dari tengah, konteks ‘pemutusan perjanjian’ pada ayat pertama sudah terlewati, dan pembacaan Basmalah akan kembali berfungsi sebagai permohonan berkah dan pengakuan terhadap Rahmat Allah sebelum memasuki bagian tertentu dari kalam-Nya.

Contoh: Jika memulai dari Ayat 60 (Ayat Zakat): Pembaca boleh membaca بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ, kemudian dilanjutkan dengan إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ...

2. Pendapat Minoritas (Tetap Menghindari Basmalah)

Sebagian kecil ulama, demi kehati-hatian, berpendapat bahwa karena Surah At-Tawbah secara keseluruhan memiliki ‘suasana’ yang tegang dan berisi banyak perintah hukuman dan peringatan, sebaiknya Basmalah dihindari, bahkan saat memulai dari tengah, sebagai penghormatan terhadap pengecualian unik Surah tersebut. Mereka menyarankan cukup membaca Ta'awwudz (أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ) saja.

Kesimpulan Fiqih: Pendapat yang paling kuat dan diterima adalah bahwa Basmalah adalah Mukhayyar (pilihan) ketika memulai dari tengah At-Tawbah. Jika pembaca merasa Basmalah tidak sesuai dengan konteks ayat yang dipilih (misalnya, ayat yang berbicara tentang neraka atau hukuman), ia boleh meninggalkannya. Jika ayatnya berisi ampunan atau sifat Allah, Basmalah dianjurkan.

V. Eksplorasi Mendalam Kaidah Basmalah Dalam Ilmu Qira'at

Untuk memahami sepenuhnya keunikan Surah At-Tawbah, kita harus menempatkannya dalam konteks hukum Basmalah secara umum. Ilmu Qira'at (metode resitasi) dan Tajwid membagi penggunaan Basmalah menjadi empat kategori utama (Al-A'malatul Arba'ah) saat menyambungkan dua surah:

1. Menyambung Surah Biasa (Selain At-Tawbah)

Ketika seorang Qari berpindah dari surah X ke surah Y (misalnya dari Al-Fatihah ke Al-Baqarah, atau dari Al-Ikhlas ke Al-Falaq), ada empat cara yang mungkin dilakukan:

  1. Waqf pada akhir surah X, Waqf pada Basmalah, Washl pada awal surah Y: (Berhenti-Berhenti-Sambung) Ini adalah cara yang paling sering digunakan.
  2. Waqf pada akhir surah X, Washl pada Basmalah, Washl pada awal surah Y: (Berhenti-Sambung-Sambung) Menyambung akhir surah ke Basmalah, lalu Basmalah ke surah berikutnya. Ini disarankan untuk dihindari karena berpotensi menimbulkan makna Basmalah berlaku untuk surah sebelumnya.
  3. Washl pada akhir surah X, Washl pada Basmalah, Washl pada awal surah Y: (Sambung total) Cara ini secara umum dilarang (Mamnu') karena secara tata bahasa Arab, Basmalah bisa dianggap sebagai sifat dari kata terakhir surah sebelumnya, yang merupakan kesalahan fatal (misalnya, membuat setan menjadi "Ar-Rahman").
  4. Washl pada akhir surah X, Waqf pada Basmalah, Washl pada awal surah Y: (Sambung-Berhenti-Sambung) Ini diperbolehkan.

Dalam empat kaidah di atas, Basmalah selalu hadir sebagai pemisah wajib. Penghapusan Basmalah pada transisi Al-Anfal ke At-Tawbah secara otomatis menihilkan kaidah-kaidah tersebut dan menggantinya dengan Tiga Metode (Waqf, Sakt, Washl) yang telah dijelaskan sebelumnya, di mana Basmalah tidak memiliki peran sama sekali.

Implikasi Peniadaan Basmalah terhadap Qira'at Tujuh

Semua riwayat Qira'at yang Mutawatir (Shahih dari Nabi) sepakat mengenai penghilangan Basmalah di awal Surah At-Tawbah. Kesepakatan ini mencakup Qira'at Tujuh (Saba'ah) dan Qira'at Sepuluh ('Asyrah), termasuk riwayat Hafs 'an 'Ashim yang paling populer. Hal ini menunjukkan bahwa kaidah tersebut bersifat baku dan merupakan bagian integral dari pelestarian teks Al-Qur'an, bukan sekadar perbedaan madzhab fiqih.

Keterpisahan Rahmat dan Peringatan Basmalah (Rahmat) Pengecualian Bara'ah (Peringatan)

Gambar 2: Konsep teologis di balik peniadaan Basmalah pada Bara'ah.

VI. Hukum dan Resiko Kesalahan (Tahdzir) dalam Menyambung

Karena kerumitan teknis dalam menyambungkan Surah Al-Anfal dan At-Tawbah tanpa Basmalah, para ulama memberikan peringatan (Tahdzir) mengenai kesalahan-kesalahan yang harus dihindari, terutama ketika menggunakan metode Washl (Menyambung Penuh).

Kesalahan Utama yang Harus Dihindari: Basmalah Tersembunyi

Kesalahan paling fatal adalah menyamarkan Basmalah, yaitu membacanya dengan suara yang sangat pelan (sirr) atau menyisipkan Basmalah dengan anggapan bahwa Basmalah tetap disunnahkan secara umum. Ulama sepakat bahwa menyisipkan Basmalah secara sengaja pada permulaan At-Tawbah adalah pelanggaran terhadap Sunnah Qira'ah yang baku, meskipun niatnya baik (untuk mencari berkah).

Jika seseorang menyambung dan secara tidak sengaja membaca Basmalah, ulama Tajwid kontemporer menyarankan untuk segera berhenti, berta'awwudz, dan mengulang bacaan dari akhir Al-Anfal atau awal At-Tawbah.

Rekomendasi Ahli Tajwid

Secara umum, ahli Qira'at sangat menyarankan untuk menggunakan metode Waqf (Berhenti Penuh) ketika transisi dari Al-Anfal ke At-Tawbah. Metode ini menjamin keamanan dari kesalahan Basmalah dan kesalahan Tajwid (seperti Idgham atau Iqlab yang kurang sempurna saat Washl).

Penggunaan metode Waqf memuaskan dua kebutuhan: 1) Menghormati riwayat Nabi ﷺ yang tidak membacakan Basmalah, dan 2) Memberikan jeda yang jelas antara dua surah dengan makna yang sangat berbeda (Al-Anfal tentang kesepakatan dan rampasan perang yang relatif damai, dan At-Tawbah tentang pemutusan perjanjian keras).

VII. Konteks Surah At-Tawbah yang Menegaskan Pengecualian (Tafsir Kontekstual)

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, perlu diuraikan lebih lanjut mengapa Surah At-Tawbah secara struktural dan semantik menolak Basmalah. Ayat-ayat awal surah ini bukan hanya sekadar peringatan, melainkan penegasan kedaulatan Ilahi atas perjanjian di muka bumi.

Karakteristik Surah Bara'ah

Surah ini memiliki beberapa karakteristik unik yang membedakannya dari surah-surah Madaniyyah lainnya:

  1. Konteks Historis Akhir: Diturunkan pada periode akhir risalah Nabi Muhammad ﷺ, setelah Fathu Makkah (Penaklukan Makkah) dan sebelum Haji Wada' (Haji Perpisahan). Ini adalah periode konsolidasi kekuasaan Islam di Jazirah Arab.
  2. Pengungkapan Munafikin: Sebagian besar surah ini didedikasikan untuk membongkar kedok dan sifat-sifat kaum munafik yang berada di sekitar Madinah dan dalam pasukan Muslim. Mereka dicela dengan bahasa yang sangat tajam dan tanpa ampun.
  3. Perintah Jihad dan Hukum Perang: Surah ini mengandung banyak perintah tentang peperangan, termasuk Ayat 5 (Ayat Sayf/Pedang) yang seringkali disalahpahami, tetapi dalam konteksnya adalah perintah tegas untuk menghadapi mereka yang melanggar perjanjian dan memulai permusuhan.

Jika kita memasukkan Rahmat yang diwakili oleh Basmalah pada awal surah ini, akan terjadi ketidakselarasan makna. Rahmat (Ar-Rahman, Ar-Rahim) yang mutlak biasanya mendahului pengampunan. Namun, Surah At-Tawbah pada mulanya tidak memberikan ruang untuk pengampunan bagi kaum musyrikin yang ingkar janji, melainkan ultimatum (empat bulan masa tenggang) sebelum menghadapi konsekuensi hukuman. Ini adalah wujud Keadilan (Al-Adl), yang dalam konteks ini, harus dipisahkan dari Rahmat Basmalah.

Perbedaan dengan Surah yang Mengandung Ancaman Lain

Beberapa pihak mungkin bertanya, mengapa surah-surah lain yang juga mengandung ancaman keras (seperti sebagian Surah An-Nisa', atau Surah Al-Ma'idah) tetap diawali dengan Basmalah? Jawabannya terletak pada tingkat dan sifat ancaman tersebut.

Pada surah lain, ancaman biasanya diselingi dengan janji ampunan atau ditujukan kepada kelompok yang lebih spesifik. Basmalah berfungsi sebagai pengingat bahwa meskipun ada hukuman, pintu Rahmat Allah selalu terbuka. Surah At-Tawbah, pada permulaannya, adalah pengecualian karena ia adalah proklamasi yang bersifat politis dan militeristik, yang secara langsung membatalkan perjanjian dan menetapkan sanksi hukuman mati jika batas waktu ultimatum terlewati. Sanksi ini menuntut ketegasan mutlak tanpa pengantar Rahmat.

VIII. Analisis Mendalam Mengenai Konsekuensi Washl (Penyambungan)

Mari kita kaji lebih dalam risiko menggunakan metode Washl, yaitu menyambungkan langsung عَلِيمٌ dari Al-Anfal ke بَرَاءَةٌ dari At-Tawbah. Meskipun diperbolehkan, kaidah ini membawa beban Tajwid yang sangat berat.

Kaidah Idgham dan Iqlab dalam Washl

Ketika dua Tanwin bertemu antar-surah, kaidah umum Tajwid tetap berlaku. Karena عَلِيمٌ (Tanwin) bertemu بَرَاءَةٌ (huruf Ba), maka terjadi Iqlab. Iqlab adalah ketika nun mati (atau suara nun dari tanwin) berubah menjadi suara mim samar, diikuti dengan dengungan (Ghunnah).

Pembaca harus memastikan bahwa Iqlab ini dilakukan dengan sempurna dan Ghunnah-nya tepat dua harakat, agar tidak terdengar seperti Basmalah yang terpotong atau suara yang tidak jelas. Kegagalan dalam pengucapan dapat menghasilkan bunyi yang tidak sesuai dengan riwayat. Misalnya, jika Ghunnah terlalu pendek, bunyi م (mim) bisa terlalu cepat, atau jika terlalu lama, bisa mengganggu ritme.

Perbandingan Washl Al-Anfal/At-Tawbah vs. Washl Surah Biasa: Dalam menyambung Surah Al-Qadr dan Al-Bayyinah, misalnya: ...مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ . بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. لَمْ يَكُنِ... ( ...min alfi syahr. Bismillah... Lam yakun...). Tanwin pada شَهْرٍ bertemu huruf Ba Basmalah, sehingga terjadi Iqlab (menjadi Syahrim Bismillah...). Ini adalah Idgham dengan Basmalah.

Pada Al-Anfal/At-Tawbah, kita menyambung tanpa Basmalah. Jadi, عَلِيمٌ langsung bertemu بَرَاءَةٌ. Proses Iqlab harus terjadi di mana Nun Tanwin dari عَلِيمٌ berubah menjadi Mim, langsung menyentuh Ba. عَلِيمُمْ بَرَاءَةٌ. Proses ini jauh lebih jarang ditemukan dalam resitasi sehari-hari dan membutuhkan latihan khusus. Ini adalah alasan kuat mengapa ulama mendorong penggunaan Waqf atau Sakt.

Pilihan Sakt: Jalan Tengah

Metode Sakt (berhenti sebentar tanpa mengambil napas) sering dilihat sebagai kompromi elegan. Ia menunjukkan pemutusan antara dua surah (mirip Waqf) namun tetap menjaga kesinambungan resitasi (mirip Washl). Dalam Sakt, suara pada kata terakhir Al-Anfal (عَلِيمٌ) dihentikan total (dengan sukun), tetapi nafas ditahan, dan segera disambung ke kata pertama At-Tawbah (بَرَاءَةٌ). Ini menghindari kompleksitas Idgham/Iqlab dari Washl, sambil tetap menghormati keunikan Surah At-Tawbah.

IX. Penerapan Hukum Secara Praktis dalam Tilawah

Bagi pembaca Al-Qur'an (Qari') yang ingin mengaplikasikan hukum ini dalam praktik, berikut adalah panduan langkah demi langkah yang harus diikuti saat mencapai akhir Surah Al-Anfal:

Skenario 1: Membaca Rangkaian Surah (Al-Anfal ke At-Tawbah)

Pilih salah satu dari tiga metode, dengan prioritas pada Waqf atau Sakt:

  1. Waqf: Baca ayat 75 Al-Anfal: إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (Innallāha bikulli syay’in ‘alīm). Tutup mulut, ambil napas, hitung 1-2 detik. Kemudian mulai: بَرَاءَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ (Barā'atun minallāhi wa rasūlih).
  2. Sakt: Baca ayat 75 Al-Anfal: إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (Innallāha bikulli syay’in ‘alīm). Tahan nafas, putuskan suara selama 2 harakat (seperti jeda singkat 0.5 detik). Kemudian, tanpa mengambil nafas, sambung ke: بَرَاءَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ.
  3. Washl: Baca ayat 75 Al-Anfal dan langsung sambung dengan Iqlab dan Ghunnah: ...عَلِيمُمْ بَرَاءَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ. (Metode ini hanya untuk mereka yang menguasai Tajwid tingkat lanjut).

Skenario 2: Memulai Tilawah dari Awal Surah At-Tawbah (Ayat 1)

Jika resitasi dimulai langsung dari Surah At-Tawbah, pembaca hanya perlu membaca Ta'awwudz, tanpa Basmalah. Ini adalah konsensus (Ijma'):

Skenario 3: Memulai Tilawah dari Pertengahan Surah At-Tawbah

Jika dimulai dari ayat pertengahan, pembaca wajib membaca Ta'awwudz dan boleh memilih untuk membaca Basmalah, meskipun para ulama menganjurkan kehati-hatian berdasarkan konteks ayat:

X. Kesimpulan dan Penegasan Kaidah

Hukum bacaan sebelum Surah At-Tawbah merupakan salah satu babak terpenting dan termanis dalam ilmu Tajwid. Ia mengajarkan kita bahwa setiap huruf dan setiap kaidah dalam Al-Qur'an memiliki dasar yang kuat, baik dari sisi riwayat transmisi maupun dari sisi pemahaman teologis mendalam.

Peniadaan Basmalah sebelum At-Tawbah secara tegas membedakannya dari 113 surah lainnya. Perbedaan ini berfungsi sebagai penanda historis (keraguan Sahabat akan batas surah) dan penanda tematik (keselarasan antara permulaan yang keras dan absennya Rahmat). Tiga metode penyambungan—Waqf, Sakt, dan Washl—menawarkan fleksibilitas bagi Qari, namun dengan penekanan pada keamanan resitasi yang disediakan oleh metode Waqf.

Memahami dan menerapkan hukum ini bukan hanya masalah teknis, tetapi juga bentuk penghormatan tertinggi terhadap cara Nabi Muhammad ﷺ menerima dan membacakan wahyu. Setiap pembaca diwajibkan untuk menjauhi Basmalah ketika memulai tepat di Ayat 1 Surah At-Tawbah dan memilih salah satu dari tiga cara (Waqf, Sakt, atau Washl) ketika menyambungnya dari akhir Surah Al-Anfal.

Rekapitulasi Hukum Utama

Pembelajaran dan pengulangan kaidah ini memastikan bahwa Tilawah yang dilakukan sesuai dengan sanad (rantai periwayatan) yang sahih, memelihara kemurnian lafazh Al-Qur'an, dan menghormati keunikan Surah At-Tawbah sebagai Bara'ah (pemutusan hubungan) yang unik di antara surah-surah yang dimulai dengan Rahmat (Basmalah).

***

XI. Kedalaman Istilah Tajwid dalam Konteks Transisi

Untuk melengkapi pemahaman yang mendalam mengenai bacaan sebelum Surah At-Tawbah, kita harus mengkaji lebih jauh terminologi Tajwid yang terlibat dalam tiga metode transisi. Pemahaman istilah teknis ini adalah kunci untuk membedakan antara metode yang disukai dan yang berisiko.

1. Analisis Teknis Waqf (Berhenti Penuh)

Waqf (الوقف) secara harfiah berarti berhenti. Dalam Tajwid, ini didefinisikan sebagai pemutusan suara dan pengambilan napas dengan niat untuk melanjutkan resitasi kembali (baik dari titik berhenti atau dari titik sebelumnya yang lebih baik).

Dalam transisi dari Al-Anfal ke At-Tawbah, Waqf pada kata عَلِيمٌ berarti menghentikan bacaan dengan sukun yang sempurna. Praktik ini memastikan tidak ada residu suara dari Tanwin yang tersisa, sehingga memutus surah 8 dan surah 9 secara sempurna. Karena Waqf adalah pemisah yang paling jelas, ia menghilangkan potensi syubhat (kerancuan) bahwa Basmalah telah dihilangkan karena ketidaksengajaan. Waqf adalah manifestasi dari kehati-hatian (ihtiyat) yang dianjurkan oleh ulama senior.

Terdapat dua jenis Waqf yang relevan di sini: Waqf Tam (sempurna) karena akhir Al-Anfal secara makna telah selesai, dan Waqf Ja'iz (diperbolehkan) karena pilihan metode. Dalam konteks ini, ia berfungsi sebagai Waqf Tam karena transisi antar-surah, memastikan makna عَلِيمٌ (Maha Mengetahui) tidak bercampur dengan makna بَرَاءَةٌ (Pemutusan Hubungan).

2. Analisis Teknis Sakt (Jeda Singkat)

Sakt (السكت) adalah jeda singkat, sekitar dua harakat, tanpa pengambilan napas baru. Sakt adalah alat pemisah yang lebih halus daripada Waqf. Dalam riwayat Hafs 'an 'Ashim, Sakt wajib hanya terjadi pada empat tempat spesifik dalam Al-Qur'an (seperti di akhir Surah Al-Kahf pada عِوَجًا). Namun, pada transisi Al-Anfal ke At-Tawbah, Sakt adalah Sakt Ja'iz (diperbolehkan/opsional), bukan Wajib.

Sakt pada عَلِيمٌ harus dilakukan dengan mempertahankan sukun pada Mim tanpa memasukkan Basmalah. Kelebihan Sakt adalah ia mempertahankan energi resitasi (Tilawah) yang berkesinambungan, yang sering disukai dalam konteks Tilawah yang panjang. Qari yang memilih Sakt menunjukkan penguasaan Tajwid yang tinggi karena ia harus mengontrol nafasnya agar dapat memulai Surah At-Tawbah tanpa Basmalah setelah jeda yang sangat singkat.

Perbedaan utama antara Waqf dan Sakt terletak pada nafas. Waqf = ambil nafas. Sakt = tahan nafas. Keduanya sepakat bahwa Basmalah adalah haram pada titik ini.

3. Analisis Teknis Washl (Penyambungan Total)

Washl (الوصل) berarti menyambungkan. Dalam kasus Al-Anfal dan At-Tawbah, Washl adalah yang paling menantang karena melibatkan kaidah Iqlab (perubahan Nun Tanwin menjadi Mim) yang harus dilakukan dalam suasana transisi surah, yang biasanya diisi oleh Basmalah.

عَلِيمٌ (alīmun) + بَرَاءَةٌ (barā'atun) menjadi عَلِيمُمْ بَرَاءَةٌ (alīmum barā'atun). Mim kecil yang menandai Iqlab ini harus dibaca dengan Ghunnah (dengungan) yang jelas. Jika Qari gagal menghasilkan Ghunnah yang benar, bacaan bisa menjadi عَلِيمُ بَرَاءَةٌ (alīmu barā'atun), yang menghilangkan aspek Tanwin dan menjadi kesalahan Tajwid yang besar.

Imam Ad-Dani (seorang ulama besar Qira'at) mencatat bahwa meskipun Washl secara teknis dibolehkan, ia jarang dipraktikkan oleh para Qari senior karena risiko kesalahan Tajwid dan preferensi untuk memisahkan kedua surah secara lebih eksplisit melalui Waqf atau Sakt.

XII. Studi Komparatif: Basmalah dalam Surah Lain

Untuk memperkuat argumen teologis mengenai pengecualian Surah At-Tawbah, sangat berguna untuk membandingkannya dengan dua kasus Basmalah lain yang juga memiliki keunikan:

1. Kasus Surah An-Naml (Ayat 30)

Surah An-Naml (Surah 27) adalah surah yang unik karena Basmalah disebutkan dua kali: sekali di awal surah (sebagai kaidah umum) dan sekali lagi di tengah surah, sebagai bagian dari perkataan Nabi Sulaiman AS dalam suratnya kepada Ratu Balqis: إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ.

Kehadiran Basmalah di An-Naml menunjukkan bahwa Basmalah memiliki status ayat penuh (berdasarkan pandangan ulama Kufah) dan juga berfungsi sebagai pembuka penting dalam komunikasi, menunjukkan Rahmat yang mendasari seruan Nabi Sulaiman. Kontras dengan At-Tawbah, yang sengaja meniadakan Basmalah pembuka, Surah An-Naml menekankan pentingnya Rahmat, bahkan dalam surat kenegaraan.

2. Kasus Khilafiyyah Status Basmalah

Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah Basmalah adalah ayat pertama dari setiap surah (kecuali At-Tawbah). Dalam Qira'at Imam Hafs 'an 'Ashim, Basmalah dianggap sebagai ayat tunggal dan pemisah antar-surah, tetapi bukan bagian dari ayat pertama surah berikutnya (kecuali Al-Fatihah, di mana Basmalah adalah ayat pertamanya menurut ulama Kufah). Perbedaan pandangan ini tidak mempengaruhi status At-Tawbah, karena semua pihak sepakat bahwa Basmalah tidak ditulis maupun dibaca di awal surah ini.

Jika Basmalah dianggap sebagai ayat, maka hilangnya Basmalah di At-Tawbah berarti satu ayat telah dihapus. Namun, konsensus para Sahabat dan ulama Qira'at menunjukkan bahwa Basmalah tidak pernah ada dalam resitasi awal Surah At-Tawbah, sehingga pengecualian ini adalah sunnah Qira'ah yang disahkan oleh Rasulullah ﷺ sendiri.

XIII. Implikasi Fiqih Terhadap Kesahihan Salat

Meskipun hukum Tajwid adalah teknis, kesalahan fatal dalam penerapannya dapat mempengaruhi kesahihan bacaan dalam salat. Bagaimana jika seorang imam secara tidak sengaja membaca Basmalah di awal Surah At-Tawbah?

Jika seorang imam memulai salat dengan membaca Surah At-Tawbah, ia harus membaca Ta'awwudz dan langsung ke بَرَاءَةٌ. Jika ia tersalah dan membaca Basmalah, hukumnya adalah sebagai berikut:

  1. Basmalah karena lupa (Nisyan): Jika imam lupa dan membaca Basmalah, salatnya tetap sah, namun ia disunnahkan untuk melakukan Sujud Sahwi (sujud karena lupa) jika ia sedang salat sendirian atau sebagai imam. Ini dianggap sebagai penambahan bacaan yang tidak semestinya.
  2. Basmalah karena Jahil (Ketidaktahuan): Jika ia melakukannya karena tidak tahu hukum, salatnya tetap sah, tetapi ia wajib belajar untuk memperbaiki bacaannya di masa depan.
  3. Basmalah karena Sengaja (Mut'ammid): Jika ia sengaja membaca Basmalah untuk memulai At-Tawbah (menolak sunnah Qira'ah), ini adalah dosa karena melanggar sunnah yang mutawatir. Namun, secara fiqih, sebagian ulama (terutama Mazhab Syafi'i yang menganggap Basmalah sebagai ayat) mungkin lebih lunak. Akan tetapi, dalam konteks Tajwid, ini adalah pelanggaran serius terhadap kaidah resitasi.

Kondisi ini menegaskan betapa pentingnya bagi setiap Muslim, terutama para imam dan pengajar Al-Qur'an, untuk menguasai kaidah khusus ini. Menghormati hukum bacaan sebelum At-Tawbah adalah bagian dari kesempurnaan ibadah Tilawah dan shalat.

XIV. Resitasi Qira'at Lain dan Konsensus Mutlak

Meskipun kita berfokus pada riwayat Hafs 'an 'Ashim, penting untuk dicatat bahwa konsensus peniadaan Basmalah ini berlaku untuk semua Qira'at Shahihah. Misalnya, riwayat Warsh 'an Nafi', riwayat Qalun 'an Nafi', atau riwayat Ad-Duri 'an Abi 'Amr. Tidak ada satupun jalur periwayatan yang Mutawatir yang mencatat adanya Basmalah di awal Surah At-Tawbah.

Bahkan dalam Qira'at yang memiliki kaidah khusus mengenai Basmalah antar-surah (seperti Qalun yang memiliki Basmalah yang wajib dibaca Sirr/pelan), At-Tawbah tetap menjadi pengecualian mutlak. Keseragaman ini adalah bukti definitif bahwa pengecualian ini berasal dari sumber ilahi (Tawqifi), dan bukan ijtihad ulama semata.

Keseragaman ini juga mencakup kaidah penyambungan. Sementara detail teknis Washl (seperti kaidah Idgham atau Iqlab) mungkin sedikit berbeda antar Qira'at, tiga pilihan utama (Waqf, Sakt, Washl tanpa Basmalah) tetap menjadi landasan utama bagi semua ahli Qira'at ketika menyambungkan Al-Anfal dengan At-Tawbah.

XV. Mengembangkan Pemahaman Tematik: Rahmat dan Keadilan

Kembali ke inti teologis, peniadaan Basmalah di Surah At-Tawbah adalah pelajaran spiritual yang mendalam tentang sifat Allah SWT, yang menggabungkan Rahmat dan Keadilan (Adl).

Terkadang, Keadilan menuntut ketegasan yang mutlak, yang untuk sementara waktu, didahulukan di atas manifestasi Rahmat yang diwakili oleh Basmalah. Dalam Surah At-Tawbah, peringatan keras adalah bagian dari Keadilan Allah kepada mereka yang telah melanggar perjanjian dan menzalimi diri sendiri. Bahkan dalam konteks perang dan hukuman, terdapat Rahmat yang tersembunyi, yaitu pintu taubat (At-Tawbah) yang tetap terbuka bagi mereka yang bersedia kembali kepada kebenaran, sebagaimana ditunjukkan oleh nama surah itu sendiri.

Oleh karena itu, surah ini mengajarkan bahwa meskipun permulaannya adalah ‘Bara’ah’ (pemutusan), inti dari surah ini adalah ‘Tawbah’ (pertobatan). Seolah-olah Basmalah yang ditiadakan di awal, ditekankan melalui nama surah itu sendiri, menunjukkan bahwa tujuan akhir dari Keadilan adalah selalu mengarah kembali pada Rahmat Ilahi bagi hamba-hamba-Nya yang beriman.

XVI. Penutup: Pesan untuk Pembaca

Setiap Muslim yang berinteraksi dengan Al-Qur'an dituntut untuk membacanya sesuai dengan apa yang diturunkan. Kaidah bacaan sebelum Surah At-Tawbah adalah sebuah pengingat abadi akan ketelitian dan kesempurnaan sistem transmisi wahyu. Tidak ada satu pun kata atau harakat yang diletakkan atau dihilangkan tanpa hikmah dan petunjuk dari Allah SWT melalui utusan-Nya.

Dengan mengamalkan metode Waqf, Sakt, atau Washl tanpa Basmalah pada transisi yang unik ini, kita tidak hanya melaksanakan kaidah Tajwid yang benar, tetapi juga berpartisipasi dalam melestarikan warisan Qira'at yang telah dijaga selama lebih dari seribu tahun. Marilah kita jadikan kekhususan Surah At-Tawbah ini sebagai motivasi untuk mendalami ilmu Tajwid dan Tafsir, sehingga bacaan kita menjadi ibadah yang sempurna dan diterima di sisi-Nya.

***

🏠 Homepage