Dasar Hukum Amandemen Undang-Undang Dasar 1945

KONSTITUSI Representasi visual dari proses perubahan konstitusi.

Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) merupakan salah satu tonggak sejarah penting dalam perjalanan bangsa Indonesia menuju reformasi dan pendewasaan demokrasi. Proses perubahan konstitusi ini tidak terjadi secara spontan, melainkan didasarkan pada landasan hukum yang sangat kuat dan terstruktur demi menjaga legitimasi dan kesinambungan negara.

Kebutuhan dan Mandat Reformasi

Latar belakang utama dilakukannya amandemen adalah tuntutan publik yang masif pada era Reformasi untuk membongkar struktur kekuasaan yang otoriter yang tertanam kuat dalam teks asli UUD 1945 pasca-Orde Baru. Terdapat kesepakatan nasional bahwa UUD 1945 perlu disesuaikan agar lebih mampu menampung aspirasi demokrasi, supremasi hukum, serta perlindungan hak asasi manusia.

Dasar hukum pertama dan paling fundamental yang memungkinkan perubahan ini adalah Pasal 37 UUD 1945 sebelum amandemen. Pasal ini mengatur prosedur bagaimana konstitusi dapat diubah. Namun, mengingat semangat perubahan yang radikal, amandemen pertama pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi titik awal legalisasi perubahan konstitusional secara keseluruhan.

Kewenangan MPR sebagai Lembaga Pemberi Kuasa

Secara konstitusional, MPR adalah satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengubah dan menetapkan UUD. Dasar hukum utama yang digunakan untuk memulai proses amandemen adalah Pasal 37 UUD 1945 (versi sebelum diubah), yang mensyaratkan prosedur tertentu. Namun, MPR menggunakan legitimasi politik yang tinggi sebagai representasi tertinggi kedaulatan rakyat untuk mengambil keputusan strategis ini.

Amandemen dilakukan secara bertahap dalam empat kali masa sidang MPR, dimulai dari Sidang Umum MPR Tahun 1999 hingga Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Keputusan untuk melakukan perubahan ini didasarkan pada konsensus politik yang luas, yang kemudian dituangkan dalam beberapa Ketetapan MPR.

Perubahan Ketentuan Mengenai Prosedur Amandemen

Ironisnya, prosedur untuk mengubah UUD pun ikut menjadi subjek amandemen. Pasal 37 mengalami perubahan signifikan. Sebelum diubah, Pasal 37 mensyaratkan bahwa usul perubahan harus diajukan oleh minimal sepertiga anggota MPR dan dihadiri oleh dua pertiga anggota, dengan persetujuan minimal dua pertiga suara dari seluruh anggota yang hadir.

Setelah amandemen keempat, Pasal 37 (yang kini menjadi Pasal 37 ayat 1 sampai 5) mengatur:

  1. Usul perubahan harus diajukan oleh minimal sepertiga anggota MPR.
  2. Usul harus disampaikan secara tertulis dan menunjukkan bagian yang diusulkan untuk diubah serta alasannya.
  3. Untuk mengubah UUD, Sidang MPR harus dihadiri oleh minimal dua pertiga anggota MPR.
  4. Keputusan untuk mengubah UUD diambil dengan persetujuan minimal lima puluh persen ditambah satu dari seluruh anggota MPR yang hadir.
Perubahan ini menunjukkan adanya relaksasi syarat persetujuan suara (walaupun tetap tinggi), namun yang paling krusial adalah batasan yang ditetapkan pada ayat (5): “Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbentuk Republik tidak boleh dilakukan perubahan.” Ini mengukuhkan prinsip bentuk negara sebagai norma dasar yang tidak dapat diubah melalui amandemen.

Implikasi Hukum dan Kelembagaan

Amandemen UUD 1945 secara keseluruhan bertujuan untuk menata ulang sistem ketatanegaraan Indonesia. Dasar hukum yang menjadi landasan setiap perubahan, misalnya pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diatur dalam Pasal 24C, merupakan implementasi langsung dari keputusan MPR yang didasarkan pada kebutuhan hukum baru.

Dengan selesainya amandemen keempat, landasan hukum bagi penyelenggaraan negara yang demokratis kini berpijak pada teks UUD NRI 1945 yang telah direvisi. Proses ini menegaskan bahwa konstitusi adalah dokumen hidup yang dapat diperbarui sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kedaulatan rakyat, selama tidak bertentangan dengan asas fundamental negara, yaitu bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

🏠 Homepage