Arisan, sebagai tradisi kolektif yang mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia, merupakan salah satu bentuk Rotating Savings and Credit Association (ROSCA). Meskipun sering dianggap sebagai aktivitas sosial biasa yang didasarkan pada kepercayaan dan kekeluargaan, secara fundamental, Arisan adalah sebuah bentuk perjanjian perdata yang menimbulkan hak dan kewajiban hukum yang mengikat para pesertanya.
Seiring berkembangnya zaman, Arisan telah bermetamorfosis, tidak lagi terbatas pada lingkup tetangga atau kantor, namun merambah ke platform daring (Arisan online), serta variasi dengan objek spesifik seperti Arisan emas, Arisan mobil, atau bahkan yang berpotensi menyerupai skema investasi. Perubahan ini menuntut pemahaman yang rigid mengenai batasan legalitasnya. Artikel ini akan mengupas tuntas status hukum Arisan, mulai dari landasan kontrak, mekanisme wanprestasi, hingga pembedaan kritis antara Arisan yang sah dan skema Ponzi yang ilegal.
Dalam konteks hukum Indonesia, Arisan diatur oleh prinsip-prinsip hukum perdata, khususnya yang termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Arisan adalah perjanjian tidak bernama (innominaat) atau perjanjian sui generis, yang sah berdasarkan asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUHPerdata).
Keabsahan sebuah Arisan sebagai perjanjian yang sah harus memenuhi empat syarat yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Apabila salah satu syarat ini tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut rentan dibatalkan atau bahkan batal demi hukum.
Setelah memenuhi syarat Pasal 1320 KUHPerdata, Arisan menciptakan perikatan yang bersifat wajib. Setiap peserta terikat untuk memenuhi kewajiban membayar iuran (prestasi) dan memiliki hak untuk menerima hasil kocokan (hak). Meskipun sering kali tidak tertulis, perjanjian Arisan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan kontrak tertulis, sesuai asas konsensualisme.
Namun, dalam Arisan modern, khususnya yang melibatkan pihak-pihak yang tidak saling kenal atau nominal yang besar, dokumentasi tertulis (baik dalam bentuk notulensi rapat, kesepakatan digital, atau perjanjian baku) sangat dianjurkan untuk mempermudah pembuktian jika terjadi sengketa.
Bandar (sering disebut sebagai ‘ketua’ atau ‘koordinator’) dalam Arisan memiliki peran ganda: fasilitator dan penanggung jawab administrasi. Secara hukum, posisi bandar dapat dikategorikan sebagai pihak yang mendapatkan kuasa (lastgever) dari para peserta, atau bahkan sebagai pihak ketiga yang mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian campuran (gabungan antara perjanjian kredit dan pemberian kuasa).
Wanprestasi adalah kondisi di mana salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian. Dalam konteks Arisan, wanprestasi paling umum terjadi ketika peserta yang telah menerima uang Arisan (atau gilirannya) berhenti membayar iuran selanjutnya.
Langkah hukum untuk menuntut wanprestasi harus diawali dengan peringatan resmi (somasi). Somasi berfungsi sebagai pemberitahuan resmi bahwa pihak yang bersangkutan telah melanggar perjanjian dan diberikan kesempatan untuk memperbaiki kelalaiannya.
Pasal 1243 KUHPerdata mengatur bahwa kerugian yang dapat dituntut akibat wanprestasi meliputi tiga unsur utama, yang harus dibuktikan di persidangan:
Perlu ditekankan bahwa dalam kasus wanprestasi Arisan, pembuktian sengketa sangat bergantung pada bukti-bukti pembayaran (transfer bank, kuitansi), daftar nama peserta, dan notulensi kesepakatan awal.
Maraknya Arisan yang diselenggarakan melalui media sosial atau aplikasi pesan (WhatsApp, Telegram) memunculkan isu pembuktian yang unik. Arisan online tetap tunduk pada KUHPerdata, namun aspek pembuktiannya diatur pula oleh Undang-Undang Nomor 11 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Menurut Pasal 5 UU ITE, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah. Dalam konteks Arisan online, hal-hal berikut dapat dijadikan bukti kuat di pengadilan:
Meskipun demikian, validitas bukti elektronik sering membutuhkan proses legalisasi forensik digital untuk memastikan keasliannya dan menghindari manipulasi. Pihak yang berperkara harus memastikan bukti digital yang diajukan memenuhi kriteria sebagai alat bukti yang sah sesuai peraturan perundang-undangan.
Jika Arisan online diorganisir oleh sebuah entitas (misalnya, admin yang mengelola ribuan anggota) dan melibatkan pengelolaan dana yang signifikan, status hukumnya dapat bergeser dari sekadar perjanjian perdata biasa menjadi entitas yang harus mematuhi regulasi tertentu. Jika penyelenggara menarik biaya administrasi atau menjanjikan imbal hasil tetap, ia harus waspada agar tidak dikategorikan sebagai kegiatan penghimpunan dana tanpa izin.
Isu terbesar dalam hukum Arisan kontemporer adalah bagaimana memisahkan Arisan tradisional (ROSCA murni) dari praktik investasi bodong yang berkedok Arisan, seringkali mengarah pada skema piramida atau Ponzi.
Arisan murni adalah mekanisme simpan pinjam bergilir yang bersifat zero sum game, artinya total uang yang dikeluarkan sama dengan total uang yang diterima. Tidak ada keuntungan (bunga) yang dihasilkan dari modal yang disetor. Fungsi Arisan adalah mengumpulkan dana secara kolektif untuk kemudian didistribusikan bergilir.
Apabila Arisan telah bermutasi menjadi skema ilegal, bandar atau penyelenggara dapat dijerat dengan berbagai pasal hukum pidana:
1. Penipuan (Pasal 378 KUHP)
Pelaku yang menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau nama palsu dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum, sehingga menyebabkan kerugian pada orang lain. Dalam kasus Arisan bodong, janji keuntungan fiktif atau penggelapan dana memenuhi unsur ini.
2. Penggelapan (Pasal 372 KUHP)
Apabila bandar Arisan telah menerima iuran secara sah namun kemudian menguasai dana tersebut secara melawan hukum, tidak menyerahkannya kepada pemenang yang berhak, dan menggunakan dana itu untuk kepentingan pribadi. Unsur kuncinya adalah dana tersebut berada dalam kekuasaannya karena hubungan kepercayaan (perjanjian Arisan).
3. Tindak Pidana Perbankan (UU No. 10/1998)
Jika kegiatan ‘Arisan’ tersebut melibatkan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyelenggara dapat dijerat dengan UU Perbankan. Batasan ini sangat tipis; Arisan tradisional dianggap bukan simpanan, tetapi skema yang menawarkan imbal hasil tetap atau yang menggunakan mekanisme operasional layaknya bank dapat dianggap melanggar UU ini.
4. Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
Dana hasil penipuan atau penggelapan (kejahatan asal/predicate crime) yang kemudian dicuci atau disamarkan asal-usulnya oleh bandar dapat menyebabkan penjeratan berlapis dengan UU TPPU. Hal ini memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyitaan aset yang diduga berasal dari dana Arisan ilegal.
OJK secara tegas menyatakan bahwa Arisan yang dijalankan secara tradisional di antara komunitas kecil, tanpa adanya penarikan keuntungan tetap yang eksplisit dan tanpa berbadan hukum, berada di luar pengawasan OJK. Namun, Arisan yang menawarkan janji keuntungan investasi atau yang memiliki struktur layaknya penawaran efek kepada publik, wajib memperoleh izin OJK. Jika tidak, OJK berwenang melakukan tindakan preventif melalui Satuan Tugas Waspada Investasi (SWI).
Ketika terjadi kegagalan pembayaran atau penggelapan dana Arisan, para pihak memiliki beberapa opsi penyelesaian, baik melalui jalur damai maupun jalur pengadilan.
Penyelesaian secara kekeluargaan atau mediasi adalah pilihan pertama yang paling umum, mengingat Arisan sering melibatkan hubungan personal. Mediasi dapat dilakukan dengan bantuan pihak ketiga netral (misalnya, tokoh masyarakat, RT/RW, atau mediator bersertifikat).
Mediasi memiliki keuntungan berupa proses yang lebih cepat, biaya yang lebih rendah, dan potensi menjaga hubungan baik di antara para pihak. Jika berhasil, hasil mediasi dituangkan dalam kesepakatan tertulis yang mengikat.
Jika tujuan utama adalah mendapatkan kembali dana yang tertunggak, gugatan perdata atas dasar wanprestasi adalah jalur yang tepat. Prosedur yang dapat ditempuh antara lain:
Pihak yang mengajukan gugatan wajib membuktikan adanya perjanjian Arisan yang sah dan adanya kegagalan prestasi oleh pihak tergugat. Putusan pengadilan perdata akan memerintahkan tergugat untuk membayar ganti rugi atau memenuhi sisa kewajiban.
Jika terdapat indikasi unsur pidana (niat jahat, tipu muslihat, atau penggelapan dana oleh bandar), korban dapat melaporkan kasus tersebut kepada Kepolisian. Laporan pidana bertujuan untuk menjerat pelaku ke penjara dan memberikan efek jera.
Penting untuk diingat bahwa proses pidana bertujuan membuktikan kesalahan dan menjatuhkan hukuman, bukan secara langsung mengembalikan kerugian finansial. Meskipun demikian, dalam proses pidana, dimungkinkan adanya penyitaan aset yang kemudian dapat digunakan untuk mengembalikan kerugian korban melalui mekanisme tuntutan ganti rugi dalam proses pidana (Pasal 98 KUHAP).
Jika bandar Arisan melarikan diri, proses hukum menjadi lebih rumit. Dalam kasus perdata, penggugat harus memastikan bahwa domisili tergugat masih jelas. Dalam kasus pidana, status bandar akan ditingkatkan menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO), memungkinkan penangkapan di mana pun ia berada. Kerugian yang dialami seringkali harus dituntut melalui mekanisme Sita Jaminan (Beslag) atas aset yang ditinggalkan oleh bandar.
Kompleksitas Arisan modern menuntut peninjauan terhadap beberapa isu khusus yang sering muncul dalam praktik masyarakat.
Ketika Arisan dimodifikasi dengan unsur investasi, misalnya, iuran yang disetor diinvestasikan terlebih dahulu ke bisnis fiktif, maka Arisan tersebut berpotensi melanggar:
Intinya, setiap skema Arisan yang menjanjikan pengembalian modal lebih besar daripada iuran yang disetor, tanpa adanya kegiatan usaha yang jelas dan legal, harus dicurigai sebagai skema ilegal dan rentan terhadap tuntutan pidana berlapis.
Arisan yang objeknya bukan uang tunai (misalnya, Arisan emas atau Arisan mobil) tetap tunduk pada prinsip KUHPerdata. Tantangan utamanya adalah penetapan nilai objek. Jika nilai objek (misalnya harga emas) berfluktuasi, perjanjian harus mengatur secara eksplisit apakah peserta yang mendapatkan giliran di awal membayar berdasarkan harga saat itu atau harga yang disepakati di awal kontrak. Ketidakjelasan ini bisa menjadi sumber sengketa wanprestasi.
Jika seorang peserta memutuskan mengundurkan diri sebelum gilirannya tiba, haknya atas iuran yang telah dibayarkan akan sangat bergantung pada kesepakatan awal Arisan.
Mengingat tingginya potensi sengketa dalam Arisan, terutama yang melibatkan nominal besar atau pihak yang tidak saling mengenal, upaya pencegahan dan perlindungan hukum harus diutamakan.
Perjanjian Arisan (meskipun hanya sekadar notulensi atau dokumen digital) harus mencakup poin-poin krusial berikut untuk meminimalisir sengketa:
Dalam Arisan skala besar atau Arisan online, verifikasi identitas (Know Your Customer/KYC) sangat penting. Bandar harus memastikan semua peserta adalah individu yang cakap hukum dan bertanggung jawab secara finansial. Peserta juga wajib memverifikasi reputasi dan rekam jejak bandar Arisan, terutama jika bandar bertindak sebagai pengelola dana yang signifikan.
Jika Arisan tersebut menjanjikan pengembalian modal yang melebihi total iuran peserta (misalnya, mendapatkan Rp 12 juta setelah menyetor total Rp 10 juta), hal ini adalah indikasi bahwa skema tersebut telah berubah menjadi investasi yang berisiko atau ilegal.
Setiap keuntungan harus dapat dipertanggungjawabkan asalnya. Jika keuntungan berasal dari penarikan anggota baru, ini adalah ciri khas skema Ponzi yang melanggar hukum.
Arisan harus dilihat sebagai instrumen simpan-pinjam dan bukan instrumen investasi yang menjanjikan imbal hasil pasti. Kekuatan hukum Arisan terletak pada kepatuhan terhadap kesepakatan dan kejujuran para pihak.
Memahami Arisan sebagai kontrak perdata memberikan landasan kuat bagi setiap peserta untuk menuntut haknya. Perlindungan hukum tidak hanya didapatkan dari KUHPerdata saat terjadi sengketa wanprestasi, tetapi juga melalui UU ITE untuk pembuktian digital, serta perlindungan berlapis dari hukum pidana jika Arisan tersebut terindikasi sebagai tindak penipuan atau penggelapan dana publik. Dengan kewaspadaan dan dokumentasi yang baik, Arisan tetap dapat menjadi solusi finansial kolektif yang aman dan legal di Indonesia.
Meskipun mayoritas kasus Arisan diselesaikan melalui jalur perdata, peran bandar sering kali menjadi sorotan ketika terjadi kerugian massal. Penetapan status hukum bandar sangat krusial, apakah ia hanya dianggap sebagai pihak yang wanprestasi (Perdata) atau justru sebagai pelaku tindak pidana (Pidana).
Secara perdata, wanprestasi timbul karena pelanggaran kontrak. Sementara Perbuatan Melawan Hukum (PMH, Pasal 1365 KUHPerdata) timbul karena tindakan yang melanggar hukum, merugikan orang lain, dan mengandung unsur kesalahan. Tindakan bandar yang menggelapkan dana dengan sengaja, meskipun bermula dari kontrak Arisan, dapat dikualifikasikan sebagai PMH sekaligus tindak pidana.
Dalam kasus bandar yang kabur membawa dana, unsur kesengajaan dan niat jahat untuk menguasai dana tersebut secara melawan hukum menjadi kunci untuk penetapan delik pidana penggelapan (Pasal 372 KUHP) atau penipuan (Pasal 378 KUHP). Niat jahat tersebut harus dibuktikan sejak awal atau selama berjalannya Arisan.
Jika bandar hanya lalai dalam pengelolaan dan tidak ada niat jahat (misalnya, ia juga menjadi korban peserta lain yang wanprestasi), maka kasus ini cenderung tetap berada di ranah perdata, di mana bandar harus bertanggung jawab atas kerugian akibat kelalaiannya (culpa) sesuai Pasal 1365 KUHPerdata.
Dalam beberapa skema Arisan, terdapat klausa tidak tertulis bahwa peserta menanggung risiko kolektif. Artinya, jika ada satu atau lebih peserta yang gagal bayar, kerugian ditanggung bersama. Secara hukum perdata, klausa ini sah jika disepakati di awal (prinsip kebebasan berkontrak).
Namun, dalam praktiknya, seringkali bandar mencoba membebankan kerugian ini kepada peserta lain padahal kerugian tersebut timbul karena kelalaian atau bahkan kecurangan bandar sendiri. Peserta yang dirugikan berhak menolak tanggung jawab kolektif jika dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan yang dilakukan oleh bandar.
Ketika sengketa Arisan sudah masuk ke ranah pengadilan, pemulihan aset (recovery) korban menjadi prioritas. Ada beberapa mekanisme yang dapat digunakan untuk memastikan kerugian korban dapat dikompensasi.
Dalam gugatan perdata, penggugat dapat mengajukan permohonan sita jaminan kepada pengadilan atas aset-aset milik tergugat (bandar atau peserta wanprestasi) yang diduga akan dipindahtangankan untuk menghindari kewajiban pembayaran.
Sita jaminan sangat penting karena mencegah tergugat melarikan asetnya selama proses persidangan berlangsung. Jika gugatan dimenangkan, aset yang disita jaminan tersebut dapat dieksekusi untuk melunasi kerugian korban.
Jika kasus Arisan tersebut melibatkan TPPU atau penipuan skala besar, Kejaksaan atau Kepolisian dapat melakukan penyidikan aset (asset tracing) untuk melacak ke mana dana Arisan dialihkan. Proses ini memungkinkan negara menyita aset yang terbukti berasal dari hasil kejahatan (asset forfeiture) dan menggunakannya untuk restitusi kepada para korban, sesuai putusan pengadilan.
Dalam skenario yang sangat ekstrem, jika bandar Arisan merupakan sebuah badan usaha yang resmi (meskipun aktivitas Arisan yang dijalankan ilegal) dan memiliki banyak utang kepada peserta, peserta dapat mengajukan permohonan Pailit atau PKPU melalui Pengadilan Niaga, berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Namun, opsi ini jarang digunakan untuk Arisan tradisional karena Arisan umumnya tidak melibatkan badan hukum formal.
Meskipun Arisan tradisional cenderung luput dari perhatian otoritas pajak, dalam konteks Arisan skala besar, terutama yang melibatkan pergerakan dana miliaran rupiah, aspek perpajakan perlu dipertimbangkan.
Arisan murni (zero sum game) pada dasarnya tidak menghasilkan ‘penghasilan’ dalam artian keuntungan modal, melainkan hanya memindahkan dana dari satu peserta ke peserta lain. Oleh karena itu, iuran Arisan biasanya tidak dikenakan PPh.
Namun, jika Arisan tersebut memiliki unsur bunga atau keuntungan yang diperoleh oleh bandar sebagai imbalan atas jasa pengelolaan (biaya admin) atau jika bandar menjanjikan keuntungan dari investasi, maka:
Oleh karena transaksi Arisan sering melibatkan transfer dana dalam jumlah besar, ini dapat memicu pengawasan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mencegah indikasi TPPU, terutama jika transaksi tersebut tidak memiliki landasan yang jelas dan dilakukan secara tunai.
Hukum tidak hanya membahas aspek hitam putih perdata dan pidana, tetapi juga implikasi sosial dari Arisan. Arisan dibangun atas dasar kepercayaan (good faith). Ketika kepercayaan itu dikhianati, dampaknya meluas ke hubungan sosial, kekeluargaan, dan stabilitas komunitas.
Dalam memutus perkara Arisan, hakim sering kali menggunakan prinsip kepatutan dan keadilan (Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, yang menyatakan perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik). Jika bandar atau peserta terbukti melanggar asas itikad baik (misalnya, membuat aturan yang sangat merugikan pihak lain setelah Arisan berjalan), pengadilan dapat membatalkan atau mengubah klausul tersebut demi keadilan.
Kasus-kasus Arisan seringkali menguji batas antara hukum tertulis dan hukum yang hidup di masyarakat (hukum adat/kebiasaan). Dalam konteks ini, kebiasaan yang berlaku dalam komunitas Arisan tertentu (misalnya, sistem denda yang telah turun-temurun disepakati) dapat diakui sebagai bagian dari perjanjian, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang.
Meskipun setiap kasus Arisan memiliki kekhasannya, terdapat pola-pola putusan pengadilan yang memberikan preseden penting mengenai bagaimana hukum Indonesia memandang sengketa ini.
Dalam kasus di mana bandar lalai mencatat jadwal pengocokan, menyebabkan salah satu peserta menerima giliran terlambat, pengadilan cenderung memutuskan bandar bersalah atas wanprestasi. Hukuman yang dijatuhkan biasanya berupa ganti rugi (kerugian waktu dan biaya) dan perintah untuk segera melaksanakan kewajibannya. Unsur pidana sulit dibuktikan karena tidak ada niat jahat untuk menggelapkan, hanya kelalaian.
Peserta yang telah menerima uang Arisan lalu menghilang dan menunggak pembayaran dapat dituntut secara perdata. Jika yang bersangkutan terbukti sengaja berencana tidak membayar sejak awal (misalnya, menggunakan identitas palsu), bandar atau peserta lain dapat melaporkannya atas dasar penipuan. Preseden menunjukkan bahwa jika ada bukti kuat niat jahat, penjeratan pidana lebih efektif untuk memaksa pengembalian dana.
Kasus-kasus besar Arisan yang menjanjikan profit 30-50% per bulan selalu dijerat dengan Pasal Penipuan dan TPPU. Dalam kasus-kasus ini, putusan pengadilan sering menjatuhkan hukuman penjara yang berat kepada penyelenggara, serta perintah penyitaan aset untuk dibagikan kepada korban. Fokus hukum bergeser dari sengketa perdata menjadi kejahatan ekonomi yang merugikan publik.
Penting bagi masyarakat untuk selalu memposisikan Arisan secara realistis: sebagai skema simpan-pinjam, bukan sarana investasi cepat kaya. Legalitas dan keamanan Arisan sangat bergantung pada transparansi dan kepatuhan semua pihak terhadap kesepakatan awal yang telah dirumuskan.
Oleh karena itu, setiap individu yang terlibat dalam Arisan, baik sebagai bandar maupun peserta, harus memahami sepenuhnya bahwa di balik nuansa sosial dan kepercayaan, terdapat kontrak perdata yang mengikat dan konsekuensi hukum yang serius jika terjadi pelanggaran.