Maag, atau secara medis dikenal sebagai gastritis, merupakan kondisi peradangan atau iritasi pada lapisan mukosa lambung. Ini adalah salah satu keluhan kesehatan pencernaan yang paling umum, menyerang jutaan orang di seluruh dunia. Meskipun gejalanya—seperti nyeri ulu hati, mual, dan kembung—sering kali dianggap ringan, pemahaman mendalam mengenai maag penyebab sangat penting, sebab gastritis yang dibiarkan tanpa penanganan dapat berujung pada komplikasi serius, termasuk tukak lambung (ulcer) atau bahkan peningkatan risiko kanker lambung.
Mencari tahu penyebab pasti dari gastritis merupakan langkah awal menuju pengobatan yang efektif. Peradangan lambung bukanlah penyakit tunggal dengan satu pemicu; ia merupakan respons kompleks tubuh terhadap berbagai agresi. Agresi ini bisa bersifat biologis (seperti infeksi bakteri), kimiawi (seperti obat-obatan), atau bahkan psikologis (seperti stres kronis). Artikel ini akan mengupas tuntas dan mendalam setiap faktor yang berperan sebagai maag penyebab, menjelaskan mekanisme kerjanya pada sistem pertahanan lambung, dan bagaimana interaksi antara pemicu tersebut dapat menciptakan kondisi inflamasi yang persisten.
Gambar: Ilustrasi peradangan pada lapisan mukosa lambung akibat agresi asam atau pemicu lainnya.
Jauh sebelum ditemukannya bakteri *Helicobacter pylori* (H. pylori) pada awal tahun 1980-an, gastritis dan tukak lambung sering dianggap sebagai akibat langsung dari gaya hidup, stres, dan kelebihan asam. Penemuan H. pylori oleh Barry Marshall dan Robin Warren merevolusi pemahaman medis, menetapkan bahwa penyebab utama gastritis kronis dan sebagian besar tukak peptik adalah infeksi bakteri persisten.
H. pylori adalah bakteri berbentuk spiral yang unik karena kemampuannya bertahan hidup di lingkungan yang sangat asam, yaitu di dalam lambung. Lingkungan yang sama ini biasanya mematikan bagi sebagian besar mikroorganisme. Keberhasilan H. pylori dalam menginfeksi didasarkan pada beberapa faktor adaptasi biologis yang luar biasa:
Setelah H. pylori berkoloni, ia mulai menyebabkan kerusakan tidak hanya melalui produksi amonia tetapi juga melalui pelepasan berbagai toksin dan memicu respons imun yang merusak. Kerusakan ini bertahap dan kronis:
Strain H. pylori yang paling virulen sering membawa gen yang mengkode protein seperti CagA (Cytotoxin-associated gene A) dan VacA (Vacuolating cytotoxin A). Ketika H. pylori menempel, ia dapat "menyuntikkan" CagA langsung ke sel lambung. CagA mengganggu fungsi sel normal, mengubah bentuk sel epitel, dan memicu peradangan yang intens. VacA, di sisi lain, dapat membentuk pori-pori di membran sel, menyebabkan vakuolisasi (pembentukan kantong cairan) dan akhirnya kematian sel (apoptosis).
Kehadiran H. pylori memicu respons imun yang hebat. Sel-sel kekebalan (neutrofil, limfosit, makrofag) berbondong-bondong menuju lokasi infeksi. Peradangan yang dihasilkan oleh respons imun ini—seperti pelepasan sitokin pro-inflamasi—sebenarnya adalah upaya tubuh untuk membersihkan infeksi, namun sayangnya, peradangan yang berlangsung lama justru menyebabkan kerusakan kolateral pada sel-sel lambung itu sendiri. Inilah yang menjadi dasar dari gastritis kronis, yang bisa bertahan puluhan tahun jika tidak diobati.
Lokasi kolonisasi H. pylori sangat menentukan dampaknya pada sekresi asam. Infeksi yang dominan di antrum (bagian bawah lambung) cenderung meningkatkan produksi asam karena mengganggu regulasi hormon gastrin. Peningkatan asam ini sangat terkait dengan pembentukan tukak usus dua belas jari. Sebaliknya, infeksi yang menyebar ke seluruh lambung (pangastritis) atau dominan di korpus (bagian utama) dapat menyebabkan atrofi lambung dan penurunan drastis sekresi asam, yang ironisnya juga meningkatkan risiko kondisi pra-kanker.
Infeksi H. pylori adalah maag penyebab yang paling sering didiagnosis dan memerlukan strategi pengobatan spesifik, biasanya berupa terapi kombinasi antibiotik untuk eradikasi total bakteri tersebut.
Selain infeksi biologis, agen kimiawi, terutama obat-obatan anti-inflamasi, merupakan penyebab utama kedua dari gastritis dan perdarahan saluran cerna bagian atas. Kelompok obat ini sering digunakan untuk mengatasi nyeri, demam, atau peradangan sendi, namun memiliki efek samping serius pada sistem pencernaan.
NSAID, yang meliputi Aspirin, Ibuprofen, Naproxen, dan Ketorolac, adalah kontributor terbesar gastritis kimiawi. Kerusakan yang ditimbulkan oleh NSAID bersifat ganda, melibatkan mekanisme topikal (kontak langsung) dan mekanisme sistemik (melalui aliran darah).
Banyak NSAID adalah asam lemah lipofilik (larut lemak). Ketika obat ditelan, dalam kondisi asam lambung, molekulnya tidak terionisasi, memungkinkannya melintasi membran mukosa lambung. Begitu memasuki sel epitel, molekul tersebut terionisasi dan terjebak, menyebabkan kerusakan langsung pada mitokondria sel dan mengganggu lapisan pelindung mukus.
Ini adalah mekanisme kerusakan yang paling berbahaya dan mendalam. NSAID bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase (COX). Meskipun menghambat COX-2 dapat mengurangi peradangan sistemik (efek yang diinginkan), NSAID tradisional (non-selektif) juga menghambat COX-1. Enzim COX-1 bertanggung jawab untuk menghasilkan prostaglandin yang berfungsi sebagai 'penjaga lambung':
Ketika COX-1 dihambat, perlindungan ini runtuh. Produksi mukus menurun, bikarbonat berkurang, dan aliran darah ke mukosa menurun, meninggalkan sel epitel sangat rentan terhadap agresi asam lambung dan pepsin. Bahkan NSAID dosis rendah, seperti Aspirin yang digunakan sebagai pengencer darah, dapat menyebabkan kerusakan signifikan pada lapisan pelindung lambung seiring waktu.
NSAID mengubah keseimbangan halus dalam lambung. Mereka menonaktifkan mekanisme pertahanan alami tubuh, membuat asam lambung yang seharusnya menjadi alat pencernaan berubah menjadi agen yang merusak dindingnya sendiri.
Konsumsi alkohol dalam jumlah besar dan akut adalah maag penyebab langsung yang menghasilkan gastritis erosif. Alkohol adalah iritan topikal yang kuat. Ia mengganggu dan melarutkan lemak di lapisan mukus, secara efektif merusak barrier pelindung. Kerusakan ini memungkinkan asam klorida dan pepsin berdifusi kembali ke dalam jaringan lambung, menyebabkan pendarahan superfisial dan erosi mukosa.
Paparan bahan kimia korosif (meskipun jarang dan biasanya akibat kecelakaan atau upaya bunuh diri) dapat menyebabkan gastritis korosif yang parah dan nekrosis (kematian jaringan) pada dinding lambung. Selain itu, terapi tertentu, seperti kemoterapi dan radiasi, juga dapat menyebabkan peradangan lambung sebagai efek samping yang signifikan.
Meskipun H. pylori dan NSAID adalah penyebab yang paling dapat diidentifikasi secara klinis, faktor gaya hidup dan diet memainkan peran yang sangat besar, terutama dalam gastritis non-erosif atau dispepsia fungsional, dan sering kali memperburuk kondisi yang sudah ada.
Stres kronis adalah maag penyebab yang kompleks, menghubungkan pikiran dan tubuh melalui poros Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal (HPA). Ketika seseorang mengalami stres berkepanjangan, tubuh melepaskan hormon stres, terutama kortisol dan adrenalin. Mekanisme ini berdampak langsung pada lambung:
Stres dapat mengaktifkan sistem saraf otonom parasimpatis (meskipun sistem simpatis dominan pada respons "fight or flight", disregulasi otonom kronis memengaruhi pencernaan). Stres diketahui meningkatkan sekresi asetilkolin dan gastrin, yang keduanya menstimulasi sel parietal untuk memproduksi lebih banyak asam klorida (HCl). Peningkatan produksi asam ini, ditambah dengan lapisan mukosa yang mungkin sudah terganggu, memperparah iritasi lambung.
Selama periode stres akut, tubuh mengalihkan aliran darah dari sistem pencernaan (termasuk mukosa lambung) ke otot-otot besar dan otak. Pengurangan aliran darah kronis ini menghambat kemampuan lambung untuk memperbaiki dirinya sendiri dan mempertahankan lapisan mukus, mirip dengan kerusakan yang disebabkan oleh NSAID.
Stres juga memengaruhi motilitas (pergerakan) saluran pencernaan. Ini dapat menyebabkan pengosongan lambung yang lambat atau, sebaliknya, mempercepatnya, yang keduanya dapat menyebabkan refluks empedu atau paparan yang lebih lama terhadap asam yang tidak dinetralkan.
Beberapa kebiasaan diet tidak menyebabkan gastritis sendiri, tetapi merupakan pemicu utama gejala dan memperparah kondisi inflamasi yang sudah ada:
Gambar: H. pylori, bakteri spiral yang memproduksi urease untuk bertahan dalam lingkungan asam lambung.
Selain pemicu umum, ada jenis gastritis yang disebabkan oleh respons abnormal sistem kekebalan tubuh atau masalah struktural pencernaan yang lebih spesifik dan kurang umum terjadi.
Gastritis autoimun adalah kondisi kronis yang disebabkan ketika sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang sel-sel parietal lambung. Sel parietal adalah sel yang bertanggung jawab memproduksi asam klorida dan Faktor Intrinsik (Intrinsic Factor).
Serangan autoimun ini secara bertahap menghancurkan sel parietal, yang menyebabkan dua konsekuensi utama:
Gastritis autoimun biasanya menyerang korpus dan fundus lambung. Kondisi ini dikaitkan dengan peningkatan risiko displasia dan kanker lambung karena perubahan yang terjadi pada sel-sel lambung (metaplasia intestinal) akibat kurangnya asam.
Refluks empedu terjadi ketika cairan empedu—yang seharusnya mengalir dari hati dan kantong empedu ke usus dua belas jari—justru mengalir kembali ke lambung. Ini sering terjadi setelah operasi lambung (seperti gastrektomi parsial) atau jika katup pilorus (penghubung lambung dan usus halus) tidak berfungsi dengan baik.
Empedu mengandung garam empedu dan lesitin yang, di lingkungan lambung yang seharusnya asam, bertindak sebagai deterjen yang sangat kuat. Garam empedu ini memecah lapisan mukus protektif dan merusak membran sel epitel, menyebabkan peradangan hebat dan kronis (gastritis refluks). Kerusakan ini bersifat kimiawi dan sangat iritatif.
Beberapa penyakit sistemik atau infeksi langka juga dapat memicu gastritis:
Untuk memahami mengapa penyebab-penyebab di atas menghasilkan gastritis, kita perlu memahami tiga komponen utama benteng pertahanan lambung, yang dikenal sebagai ‘Sawar Mukosa Lambung’ (Gastric Mucosal Barrier). Gastritis terjadi ketika agresi melampaui kemampuan pertahanan ini.
Lapisan paling luar adalah lapisan lendir kental (mukus) yang disekresikan oleh sel epitel permukaan. Di dalam lapisan mukus ini terperangkap ion bikarbonat (HCO3-), yang bersifat basa. Gabungan mukus-bikarbonat menciptakan lapisan pH netral atau mendekati netral (sekitar pH 7) yang melekat erat pada permukaan sel epitel, melindungi mereka dari asam klorida (HCl) yang memiliki pH 1-2 di lumen lambung. H. pylori dan NSAID adalah musuh utama garis pertahanan ini.
Sel-sel epitel yang melapisi lambung terhubung erat satu sama lain oleh ‘tight junctions’. Sambungan ketat ini mencegah asam, pepsin, dan bahan kimia berbahaya lainnya merembes ke antara sel dan masuk ke jaringan yang lebih dalam (lamina propria). Jika sambungan ini rusak—seperti yang terjadi karena alkohol atau NSAID—maka asam akan berdifusi balik, menyebabkan kerusakan sel, perdarahan mikro, dan memicu pelepasan histamin. Pelepasan histamin pada gilirannya menstimulasi lebih banyak asam, menciptakan lingkaran setan peradangan dan kerusakan.
Kemampuan lambung untuk memperbaiki dirinya sendiri bergantung pada aliran darah mukosa yang kaya. Darah membawa oksigen dan nutrisi untuk metabolisme sel dan, yang terpenting, membawa bikarbonat sistemik yang membantu menetralkan setiap asam yang berhasil berdifusi balik melewati lapisan mukosa. Faktor-faktor yang mengurangi aliran darah, seperti stres berat (vasokonstriksi), rokok (nikotin), atau efek samping NSAID (penghambatan prostaglandin), secara kritis mengurangi kemampuan lambung untuk sembuh dan bertahan. Kerusakan akibat iskemia (kekurangan darah) adalah maag penyebab yang sering terabaikan.
Meskipun bukan penyebab langsung, beberapa faktor risiko dan kebiasaan sehari-hari secara signifikan meningkatkan kemungkinan seseorang menderita gastritis atau memperburuk gejalanya hingga menjadi gastritis kronis.
Merokok memiliki dampak merugikan yang kompleks pada seluruh saluran cerna. Nikotin merangsang sekresi asam dan pepsin. Lebih jauh, merokok mengurangi produksi bikarbonat pankreas dan menghambat aliran darah ke mukosa lambung, mengurangi kemampuan perbaikan sel. Pada penderita H. pylori, merokok telah terbukti menghambat respons terhadap terapi eradikasi, membuat infeksi lebih sulit dihilangkan dan peradangan lebih persisten.
Orang yang lebih tua memiliki risiko lebih tinggi terhadap gastritis karena beberapa alasan. Seiring bertambahnya usia, lapisan mukosa cenderung menipis (atrofi), membuat pertahanan lambung secara inheren lebih lemah. Selain itu, lansia lebih sering menggunakan NSAID dan obat-obatan lain untuk kondisi kronis (seperti radang sendi atau penyakit kardiovaskular), yang secara langsung menginduksi gastritis.
Stres fisik yang parah, seperti trauma besar, luka bakar luas, syok septik, atau operasi besar, dapat memicu bentuk gastritis yang sangat serius yang disebut gastritis stres atau ulkus stres (seperti ulkus Curling atau Cushing). Kondisi ini disebabkan oleh iskemia parah (kekurangan suplai darah) pada mukosa lambung akibat respons vasokonstriksi sistemik terhadap stres, menyebabkan kerusakan luas dan cepat yang bisa berujung pada perdarahan masif.
Konsumsi garam yang sangat tinggi telah dikaitkan dengan peningkatan risiko gastritis dan kanker lambung. Garam dapat bertindak sebagai iritan pada mukosa, merusak lapisan sel epitel. Selain itu, diet tinggi garam diketahui memfasilitasi kolonisasi dan virulensi H. pylori, membuatnya lebih mudah bagi bakteri untuk menempel dan menyebabkan kerusakan kronis.
Untuk penanganan yang tepat, dokter mengklasifikasikan gastritis tidak hanya berdasarkan keparahan (akut atau kronis) tetapi juga berdasarkan penyebab yang mendasarinya (etiologi).
Gastritis akut adalah peradangan yang terjadi secara tiba-tiba dan biasanya sembuh dalam waktu singkat. Penyebab utamanya hampir selalu tunggal dan kuat:
Gastritis kronis berkembang perlahan selama bertahun-tahun dan cenderung menghasilkan perubahan permanen pada lapisan lambung. Sistem klasifikasi yang paling umum membagi gastritis kronis menjadi beberapa tipe:
Ini adalah jenis gastritis kronis yang paling umum. Peradangan terutama terlokalisasi di antrum (bagian bawah lambung) dan hampir selalu disebabkan oleh infeksi H. pylori. Peradangan Tipe B cenderung meningkatkan sekresi asam, yang merupakan prekursor umum untuk tukak duodenum.
Disebabkan oleh serangan autoimun pada sel parietal, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Ini menyebabkan atrofi mukosa dan penurunan asam, sering dikaitkan dengan anemia pernisiosa.
Jenis ini dihasilkan dari refluks empedu atau penggunaan NSAID yang berkepanjangan. Peradangan Tipe C menunjukkan sedikit bukti infeksi bakteri dan ditandai dengan perubahan reaktif pada sel epitel akibat paparan agen kimiawi yang merusak.
Pemahaman mengenai klasifikasi ini sangat penting karena penanganan untuk Tipe B (antibiotik) sangat berbeda dengan penanganan untuk Tipe A (suplemen B12) atau Tipe C (penghentian NSAID atau pengobatan refluks).
Sangat jarang gastritis hanya disebabkan oleh satu faktor saja. Sering kali, penyebab maag adalah hasil dari interaksi sinergis antara beberapa faktor risiko, menciptakan kondisi yang jauh lebih merusak daripada jumlah bagian-bagiannya.
Kombinasi infeksi H. pylori dan penggunaan NSAID secara bersamaan adalah maag penyebab yang sangat berbahaya. Meskipun NSAID sendiri dapat menyebabkan tukak, risiko tukak dan perdarahan saluran cerna meningkat hingga 20 kali lipat ketika NSAID dikonsumsi oleh individu yang juga terinfeksi H. pylori. H. pylori sudah melemahkan garis pertahanan mukosa, dan NSAID kemudian melucuti sisa-sisa pertahanan prostaglandin, meninggalkan lambung tanpa perlindungan sama sekali.
Stres kronis dapat memperburuk infeksi H. pylori. Peningkatan hormon stres, seperti kortisol, dapat menekan respons imun tubuh, membuat sistem kekebalan kurang efektif dalam mengendalikan kolonisasi H. pylori. Selain itu, stres meningkatkan produksi asam, yang meskipun dibenci oleh H. pylori, tetapi memperparah kerusakan yang ditimbulkan oleh bakteri pada lapisan mukosa yang sudah teriritasi.
Gastritis kronis yang tidak diobati bukanlah kondisi statis; ia dapat berkembang melalui urutan kerusakan progresif yang dikenal sebagai "Kaskade Correa":
Memahami penyebab maag bukan hanya tentang menghilangkan gejala, tetapi tentang memutus kaskade kerusakan ini, terutama pada kasus H. pylori atau gastritis autoimun yang membawa risiko jangka panjang.
Karena maag penyebab sangat beragam, pencegahan dan pengobatan harus disesuaikan dengan akar masalah. Penanganan yang berfokus hanya pada penekanan asam (misalnya, dengan obat PPI) tanpa mengatasi akar penyebab (misalnya, H. pylori) hanya akan memberikan bantuan sementara.
Gejala maag sering tumpang tindih dengan GERD, tukak, atau bahkan masalah pankreas. Diagnosis pasti memerlukan endoskopi, terutama jika ada 'red flags' (tanda bahaya) seperti penurunan berat badan, kesulitan menelan, anemia, atau muntah darah. Endoskopi memungkinkan dokter untuk mengambil biopsi (sampel jaringan) untuk mengidentifikasi apakah peradangan disebabkan oleh H. pylori, NSAID, atau proses autoimun, sehingga penanganan dapat ditujukan langsung ke maag penyebab yang sebenarnya.
Pada akhirnya, pemahaman holistik tentang maag penyebab memungkinkan pendekatan yang lebih proaktif terhadap kesehatan pencernaan. Gastritis bukanlah hanya tentang asam; ini adalah tentang keseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensif. Memperkuat pertahanan, menghilangkan agresi, dan mengobati akar infeksi adalah kunci untuk mencapai pemulihan jangka panjang dan mencegah komplikasi serius di masa depan.
Penting untuk menggarisbawahi bahwa setiap kasus gastritis unik, mencerminkan interaksi dinamis antara predisposisi genetik, lingkungan, dan gaya hidup pasien. Misalnya, meskipun infeksi H. pylori dapat menyebabkan gastritis, hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi yang benar-benar mengembangkan tukak atau kanker lambung. Perbedaan hasil ini menekankan peran penting faktor tambahan seperti diet tinggi garam, merokok, dan genetik inang dalam menentukan tingkat keparahan dan progresi penyakit.
Pengelolaan maag kronis sering membutuhkan perubahan gaya hidup yang mendalam dan berkelanjutan. Bukan hanya tentang menghindari makanan tertentu untuk sementara waktu, melainkan mengadopsi pola hidup yang mendukung integritas mukosa lambung, mengurangi paparan iritan, dan menyeimbangkan respons stres tubuh.
Misalnya, dalam konteks gastritis yang disebabkan oleh refluks empedu, fokus pengobatan bukan pada penekanan asam (karena asam bukan masalah utamanya), melainkan pada agen prokinetik yang mempercepat pengosongan lambung atau agen pengikat empedu. Ini adalah contoh nyata mengapa diagnosis akurat terhadap maag penyebab adalah fondasi dari semua strategi pengobatan yang berhasil. Tanpa identifikasi akar masalah, pengobatan hanyalah penanggulangan gejala yang bersifat sementara.
Demikianlah penjelasan mendalam mengenai berbagai aspek yang menjadi maag penyebab, mulai dari infeksi, obat-obatan, hingga faktor sistemik yang kompleks. Kesadaran akan pemicu-pemicu ini adalah langkah pertama menuju pencegahan dan penyembuhan total.