Manisan kundur, atau yang dikenal pula sebagai *tanghulu* di beberapa konteks kultural Asia Timur, merupakan sebuah karya seni kuliner pengawetan yang melintasi batas geografis dan generasi. Lebih dari sekadar camilan manis, manisan kundur adalah perwujudan kearifan lokal dalam memanfaatkan hasil bumi, mengubah buah yang umumnya hambar—labu air atau beligo (*Benincasa hispida*)—menjadi kristal transparan nan lezat dengan daya simpan yang luar biasa.
Di Indonesia, manisan kundur telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi, seringkali hadir dalam jamuan perayaan besar, khususnya di kawasan Jawa, Sumatera, dan Melayu pesisir. Teksturnya yang unik, kenyal namun renyah di luar, menjadikannya sajian favorit. Namun, proses di balik kesempurnaan tekstur tersebut jauh lebih kompleks daripada sekadar merebus buah dalam gula. Ini melibatkan kimia, waktu, dan kesabaran, yang telah diturunkan melalui resep-resep rahasia keluarga selama berabad-abad.
Artikel ini akan menelusuri seluk-beluk manisan kundur secara holistik, mulai dari sejarah kuno yang mengiringi migrasi rempah, botani buah kundur itu sendiri, hingga detail teknis yang sangat spesifik dalam proses pengawetan—termasuk peran penting kapur sirih dalam memelihara integritas struktural buah. Kami juga akan mengupas filosofi di balik penggunaannya dalam adat, variasi regional, serta tantangan modernisasi yang dihadapi oleh industri manisan tradisional ini.
Memahami manisan kundur berarti menyelami sejarah pengawetan pangan di Asia Tenggara, sebuah praktik yang lahir dari kebutuhan untuk menyimpan hasil panen di iklim tropis yang lembap. Proses kristalisasi gula yang intensif bukan hanya bertujuan untuk menciptakan rasa manis yang memikat, tetapi juga berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan mikroba paling efektif yang dikenal oleh para leluhur.
Buah kundur, yang juga dikenal sebagai beligo, labu bligu, atau labu lilin, adalah anggota keluarga Cucurbitaceae yang sangat khas. Tidak seperti labu atau melon lainnya yang seringkali memiliki rasa manis atau profil rasa yang kuat, kundur segar memiliki rasa yang sangat lembut, bahkan cenderung hambar. Karakteristik inilah yang membuatnya ideal untuk diubah menjadi manisan, karena buah ini mampu menyerap rasa sirup gula secara maksimal tanpa memberikan kontribusi rasa yang berlebihan.
Secara botani, kundur dikenal dengan kulit luarnya yang tebal dan seringkali dilapisi lapisan lilin atau "tepung" putih kebiruan saat matang, yang memberinya nama 'labu lilin'. Daging buahnya tebal, berair, dan berstruktur unik. Dalam keadaan mentah, dagingnya terdiri dari sel-sel yang rapuh. Jika langsung direbus dalam sirup gula tanpa perlakuan awal, sel-sel ini akan segera pecah, menghasilkan bubur yang tidak menarik. Inilah sebabnya mengapa tahapan persiapan awal menjadi penentu utama keberhasilan tekstur manisan kundur yang legendaris.
Pemanfaatan kundur meluas jauh melampaui manisan. Di berbagai budaya Asia, ia digunakan dalam sup, kari, atau tumisan sebagai penambah volume dan hidrasi. Namun, peran utamanya sebagai bahan baku manisan menempatkannya pada posisi yang istimewa dalam sejarah kuliner manis.
Manisan kundur, seperti banyak teknik pengawetan gula lainnya, memiliki akar yang sangat dalam di Asia. Praktik pengawetan buah dengan madu atau gula tebu telah ada sejak zaman kuno, namun penggunaan labu lilin sebagai bahan manisan khususnya terkait erat dengan migrasi budaya dan perdagangan, terutama dari daratan Tiongkok ke wilayah kepulauan Asia Tenggara.
Teknik pengawetan gula tebu menjadi efisien seiring berkembangnya perkebunan tebu di Asia Tenggara pada era pra-kolonial dan kolonial. Resep manisan kundur kemungkinan besar dibawa dan diperkenalkan oleh imigran Tiongkok yang menetap di berbagai pelabuhan dagang, seperti Malaka, Batavia, dan Semarang. Di Tiongkok, manisan kundur (dikenal sebagai *dong gua tang*) adalah camilan wajib selama perayaan Imlek, melambangkan kemakmuran dan umur panjang karena daya simpannya yang lama.
Ketika teknik ini berinteraksi dengan bahan baku lokal yang melimpah (kundur tumbuh subur di iklim tropis), ia diadopsi dan diintegrasikan ke dalam tradisi kuliner lokal. Di kalangan etnis Peranakan dan Tionghoa di Indonesia, manisan kundur memegang peran simbolis yang kuat. Kelembutan dan warna transparan manisan sering diartikan sebagai kemurnian dan niat baik.
Dalam budaya tradisional, manisan kundur tidak hanya berfungsi sebagai makanan penutup. Ia adalah simbol status dan kekayaan. Membuat manisan kundur yang sempurna membutuhkan jumlah gula yang signifikan—bahan yang dulunya mahal dan sulit didapat oleh masyarakat biasa. Oleh karena itu, menyajikan manisan kundur yang dibuat sendiri selama Idul Fitri, Imlek, atau perayaan pernikahan, menunjukkan kemurahan hati dan kemampuan finansial keluarga.
Transformasi kundur dari sayuran hambar menjadi manisan kristal juga mencerminkan filosofi adaptasi dan transformasi dalam kehidupan. Proses yang lama dan cermat diperlukan untuk mencapai hasil akhir yang indah, mengajarkan nilai kesabaran dan ketekunan.
Kualitas manisan sangat bergantung pada kualitas kundur yang dipilih. Kundur yang digunakan harus memenuhi kriteria tertentu agar mampu bertahan dalam proses pengapuran dan pemasakan gula yang agresif.
Kundur adalah tanaman rambat tahunan. Buahnya bisa tumbuh sangat besar, mencapai panjang hingga 80 cm dan berat puluhan kilogram. Dinding selnya, yang tersusun dari pektin dan selulosa, adalah kunci untuk tekstur manisan. Kundur yang tua dan matang penuh lebih disukai karena kandungan airnya yang lebih stabil dan dinding sel yang lebih tebal dan kuat dibandingkan kundur muda.
Lapisan lilin alami pada kulit kundur adalah mekanisme perlindungan yang memungkinkannya disimpan berbulan-bulan tanpa kulkas, sebuah faktor penting yang berkontribusi pada sejarahnya sebagai bahan pengawet.
Pemilihan buah harus dilakukan dengan cermat. Kundur yang ideal untuk manisan harus:
Kesalahan dalam memilih bahan baku akan sia-sia di tahap akhir; bahkan proses pengapuran yang sempurna tidak akan bisa menyelamatkan kundur yang terlalu muda atau yang sudah mulai layu.
Daging buah kundur kaya akan pektin, sejenis polisakarida yang berperan dalam kekakuan dinding sel. Namun, pektin ini mudah larut dalam air mendidih. Kunci sukses manisan kundur terletak pada langkah pra-perlakuan yang mencegah pektin larut, yaitu melalui proses pengapuran. Kalsium (dari air kapur) bereaksi dengan pektin, menciptakan matriks kalsium pektat yang sangat kuat. Matriks ini adalah yang memberikan tekstur "kristal" yang kokoh dan tembus pandang pada manisan yang telah jadi.
Pembuatan manisan kundur adalah salah satu proses pengawetan buah paling rumit dalam kuliner tradisional, membutuhkan minimal tiga hingga tujuh hari penuh. Langkah-langkahnya harus diikuti dengan presisi mutlak. Proses ini dapat dibagi menjadi lima fase kritis.
Langkah awal adalah mengupas dan menghilangkan biji. Kundur kemudian dipotong menjadi bentuk-bentuk yang seragam, biasanya balok tebal atau irisan melengkung. Ketebalan potongan sangat penting; potongan yang terlalu tebal memerlukan waktu pengapuran dan pemasakan yang jauh lebih lama, sementara yang terlalu tipis berisiko menjadi terlalu lembek.
Setelah dipotong, kundur harus "dilukai" atau ditusuk-tusuk dengan garpu atau alat khusus. Tujuan penusukan ini adalah menciptakan jalur bagi kalsium dari air kapur dan, yang lebih penting, bagi sirup gula untuk menembus ke inti daging buah. Penetrasi sirup gula yang merata menjamin proses kristalisasi yang seragam di seluruh potongan.
Ini adalah fase paling krusial dan membedakan manisan kundur dari manisan buah lainnya. Kundur yang telah ditusuk direndam dalam larutan air kapur sirih atau kalsium hidroksida (Ca(OH)₂) yang telah diendapkan. Larutan ini harus bening. Perendaman ini bisa berlangsung antara 6 hingga 12 jam, atau bahkan semalaman.
Fungsi air kapur adalah untuk mengeraskan dinding sel secara selektif. Ion kalsium (Ca²⁺) berinteraksi dengan rantai pektin dalam dinding sel kundur, membentuk jembatan yang menghasilkan struktur pektat kalsium yang tidak larut. Hasilnya adalah potongan kundur yang, meskipun telah direndam dan akan dimasak, tetap mempertahankan bentuknya, memiliki sedikit kegaringan (kekeritingan) saat digigit, dan tidak berubah menjadi lembek atau bubur.
Jika tahap ini dihilangkan, kundur akan menyusut drastis dan hancur berantakan segera setelah kontak dengan sirup gula panas. Setelah perendaman kapur, kundur harus dicuci berulang kali di bawah air mengalir hingga benar-benar bersih dari residu kapur. Pencucian yang tidak tuntas akan meninggalkan rasa getir yang merusak produk akhir.
Proses pengawetan inti melibatkan penggantian air di dalam buah dengan larutan gula pekat. Proses ini tidak bisa dilakukan dalam satu kali rebusan, karena perbedaan tekanan osmotik yang terlalu besar akan menyebabkan buah mengerut dan mengeras secara tidak merata (menjadi kaku seperti kayu). Oleh karena itu, pemasakan gula dilakukan secara bertahap:
Konsentrasi gula akhir harus mencapai minimal 70-75% (sekitar 70 derajat Brix) untuk menjamin daya awet yang efektif. Pada konsentrasi ini, aktivitas air (Aw) menjadi sangat rendah, menghambat pertumbuhan ragi, jamur, dan bakteri. Tingkat kekentalan ini juga penting untuk tahap kristalisasi akhir.
Setelah mencapai kekentalan gula yang tepat dan tekstur kundur yang kenyal, potongan-potongan manisan diangkat dan diletakkan di atas tampah untuk dikeringkan. Ada dua metode pengeringan utama:
Lapisan kristal putih inilah yang menjadi ciri khas manisan kundur kering (*manisan kundur kering*). Kristalisasi ini terjadi karena gula di permukaan mengalami supersaturasi saat air menguap, kembali ke bentuk padatnya.
Manisan kundur yang telah dikeringkan harus disimpan dalam wadah kedap udara. Kelemahan terbesar manisan ini adalah sifatnya yang higroskopis (mudah menyerap kelembapan) karena kandungan gulanya yang tinggi. Jika terpapar udara lembap, lapisan kristal akan mencair dan manisan menjadi lengket. Oleh karena itu, pengemasan vakum atau penggunaan desikan kini banyak diadopsi untuk mempertahankan kualitas renyah dan kristal putihnya.
Meskipun proses dasarnya sama, manisan kundur memiliki variasi signifikan di berbagai wilayah, terutama dalam hal pengeringan dan penambahan rasa.
Dua kategori utama manisan kundur adalah kering dan basah. Perbedaan utama terletak pada kandungan air akhir dan lapisan gula di permukaan.
Manisan kundur tradisional hanya menggunakan gula dan kundur. Namun, inovasi telah menghasilkan berbagai profil rasa:
Industri manisan kundur menghadapi dilema antara mempertahankan tradisi dan memenuhi standar modern. Tantangan utama meliputi:
Pengurangan Kadar Gula: Permintaan konsumen akan makanan dengan gula lebih rendah memaksa produsen mencari solusi. Mengurangi gula terlalu banyak akan mengurangi daya awet dan mengubah tekstur yang didapat dari kristalisasi. Solusinya sering melibatkan penggunaan kombinasi pemanis buatan yang aman atau teknik pengeringan vakum yang lebih intensif.
Standardisasi Kualitas: Proses tradisional seringkali menghasilkan produk yang bervariasi. Industri modern berupaya menstandarkan proses pengapuran (menggunakan kalsium klorida yang lebih murni daripada kapur sirih tradisional) dan mengontrol kelembapan selama pengeringan untuk menjamin konsistensi produk.
Manisan kundur juga mulai menemukan tempatnya di luar kotak camilan tradisional. Chef modern menggunakannya sebagai elemen tekstural yang unik:
Secara umum, manisan kundur dikenal sebagai camilan manis. Namun, penting untuk memisahkan nilai gizi kundur mentah dan kundur yang sudah diolah menjadi manisan.
Kundur mentah adalah buah yang sangat rendah kalori dan tinggi kadar air (lebih dari 90%). Ia juga mengandung serat, vitamin C, dan sejumlah kecil vitamin B kompleks serta mineral seperti zat besi dan kalsium. Dalam pengobatan tradisional Asia (TCM dan Ayurveda), kundur sering direkomendasikan karena sifatnya yang 'mendinginkan' tubuh, membantu detoksifikasi, dan mengatasi masalah pencernaan.
Pemanfaatan kundur dalam sup atau jus masih sangat dihargai karena kemampuannya untuk memberikan hidrasi tanpa menambah kalori atau gula yang signifikan.
Manisan kundur, karena proses osmotik dewatering dan penyerapan gula masif, secara substansial adalah karbohidrat murni (sukrosa). Kandungan gula dalam manisan kering bisa mencapai 70-80% dari total berat. Ini menjadikan manisan kundur sebagai sumber energi cepat yang sangat baik, tetapi juga harus dikonsumsi dengan bijak.
Meskipun demikian, beberapa manfaat asli kundur tetap ada, meski dalam jumlah yang berkurang:
Di luar nutrisi makro, manisan kundur sering dikaitkan dengan manfaat psikologis. Makanan yang disajikan dalam perayaan memiliki nilai emosional yang tinggi, berfungsi sebagai jembatan memori dan tradisi. Konsumsi manisan kundur pada momen tertentu merayakan warisan dan kebersamaan keluarga.
Penting untuk diingat bahwa manisan kundur harus dianggap sebagai makanan perayaan atau camilan energi, bukan sebagai sumber nutrisi harian utama, mengingat tingginya kandungan gula. Bagi penderita diabetes atau mereka yang menjalani diet rendah gula, variasi manisan kundur dengan pemanis alternatif menjadi pilihan yang lebih relevan.
Keindahan manisan kundur terletak pada fakta bahwa ia diawetkan secara alami, tanpa bahan kimia atau pengawet buatan (selain gula itu sendiri). Keberhasilan pengawetan ini adalah hasil langsung dari proses osmotik: gula bertindak sebagai pengawet, menarik semua air bebas yang dibutuhkan mikroorganisme untuk tumbuh. Jika dibuat dan disimpan dengan benar, manisan kundur dapat bertahan dalam kondisi baik selama lebih dari setahun, menjadikannya salah satu teknik pengawetan paling efektif yang dikembangkan secara tradisional.
Bagi produsen manisan yang serius, menguasai kristalisasi gula adalah batas antara produk biasa dan manisan kundur berkualitas premium. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan lapisan kristal putih di permukaan.
Dalam pembuatan manisan kering, setelah tahap pemasakan gula terakhir, sirup harus dibiarkan mendingin perlahan. Pendinginan yang terlalu cepat dapat menghasilkan kristal yang terlalu halus atau sirup yang justru menjadi lengket dan tidak mengkristal dengan baik (vitreous state).
Pemanasan sirup pada tahap akhir harus mencapai suhu antara 110°C hingga 115°C (tahap *thread stage*), memastikan konsentrasi gula optimal. Setelah api dimatikan, kundur harus diangkat dan segera diletakkan di permukaan yang bersih untuk memulai pengeringan. Saat air menguap di permukaan kundur yang hangat, gula menjadi supersaturasi, dan kristal pun mulai tumbuh.
Dalam skala industri, untuk memastikan kristalisasi yang seragam, terkadang digunakan teknik 'seed crystal'. Setelah kundur diangkat dari sirup, sedikit gula icing yang sangat halus ditaburkan ke permukaan manisan yang masih sedikit lengket. Kristal gula halus ini bertindak sebagai pusat nukleasi, memicu seluruh gula di permukaan untuk mengkristal secara cepat dan merata, menghasilkan lapisan salju putih yang sempurna.
Kegagalan paling umum dalam pembuatan manisan kundur adalah menghasilkan manisan yang lembek atau seperti jeli alih-alih renyah/kenyal. Ini hampir selalu disebabkan oleh kegagalan di Fase 2 (Pengapuran).
Jika kundur tidak direndam dalam air kapur dengan konsentrasi yang tepat, atau jika waktu perendaman tidak mencukupi, ion kalsium tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengikat semua pektin. Akibatnya, saat direbus dalam sirup, pektin larut, dan struktur sel ambruk. Solusi terbaik adalah menguji larutan kapur secara berkala dan memastikan kundur benar-benar terasa kaku setelah dicuci, sebelum masuk ke tahap pemasakan.
Studi mengenai umur simpan manisan kundur menunjukkan bahwa kelembaban relatif udara adalah musuh terbesarnya. Di iklim tropis dengan kelembaban tinggi (di atas 70% RH), manisan kundur kering rentan terhadap 'blooming' (gula mencair) dalam waktu singkat. Inovasi pengemasan mencakup:
Dengan kontrol kelembaban yang ketat, manisan kundur dapat dipertahankan tekstur dan kristalisasinya hingga dua tahun, membuka peluang ekspor ke pasar yang lebih jauh.
Di Vietnam, manisan kundur (*mứt bí*) adalah bagian penting dari perayaan Tết (Tahun Baru Imlek). Meskipun tekniknya serupa, mereka sering menekankan penggunaan air kapur yang berasal dari cangkang telur atau cangkang kerang yang dihancurkan (sumber kalsium karbonat), yang dianggap memberikan rasa yang lebih murni daripada kapur komersial. Sementara di Filipina, manisan kundur kadang digabungkan dengan manisan labu dan diberi sedikit bumbu pedas, menunjukkan adaptasi rasa lokal yang menarik.
Pengalaman komparatif ini menunjukkan bahwa meskipun teknik dasarnya kuno, setiap wilayah telah menyesuaikannya sedikit untuk memenuhi preferensi lokal, baik dalam hal kekenyalan, ketebalan lapisan kristal, maupun bumbu tambahan.
Di tengah gelombang makanan olahan modern, manisan kundur menghadapi tantangan besar untuk relevan, namun juga memiliki peluang emas sebagai makanan warisan (*heritage food*) yang diolah secara alami.
Generasi muda seringkali tidak memiliki waktu atau kesabaran untuk melakukan proses multi-hari yang dibutuhkan manisan kundur tradisional. Penting bagi institusi kuliner dan komunitas pelestari budaya untuk mendokumentasikan dan mengajarkan secara rinci seni pengapuran dan osmo-dewatering yang telah diturunkan secara lisan.
Mempertahankan proses tradisional penting karena ia menghasilkan tekstur unik yang tidak bisa ditiru oleh metode pabrik yang mempercepat proses pengawetan.
Langkah menuju keberlanjutan adalah masa depan bagi kundur. Dengan menyoroti bahwa kundur adalah tanaman yang tangguh dan mudah ditanam, produsen dapat memasarkan manisan kundur sebagai camilan yang bersumber lokal, berkelanjutan, dan organik. Sertifikasi organik pada gula tebu dan kundur itu sendiri dapat menarik perhatian konsumen premium yang mencari produk asli dan ramah lingkungan.
Promosi manisan kundur sebagai 'candy' alami, yang hanya menggunakan gula dan buah, merupakan strategi pemasaran yang kuat di pasar global yang semakin menjauhi aditif dan pengawet buatan.
Manisan kundur seringkali diproduksi oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dukungan terhadap UMKM ini melalui pelatihan pengemasan, branding, dan pemasaran digital dapat mengubah manisan kundur dari camilan lokal menjadi produk suvenir yang bernilai ekonomi tinggi. Pengemasan yang elegan dan penceritaan (storytelling) mengenai proses panjang pembuatannya akan meningkatkan nilai jual produk ini secara signifikan.
Selain manisan, penelitian ilmiah modern juga mulai mengonfirmasi klaim tradisional tentang manfaat kesehatan kundur. Ekstrak kundur sedang dipelajari karena potensi anti-oksidan dan sifatnya yang dapat membantu dalam manajemen berat badan. Meskipun manisan itu sendiri tinggi gula, pengakuan ilmiah terhadap buah dasarnya dapat meningkatkan citra keseluruhan produk.
Dalam konteks global, manisan kundur berdiri tegak sebagai contoh sempurna bagaimana kearifan lokal dalam pengawetan pangan dapat menghasilkan kuliner lezat yang bertahan melintasi zaman. Proses yang panjang dan cermat adalah bukti penghormatan terhadap bahan baku, sebuah warisan rasa yang layak untuk dilestarikan dan dinikmati oleh generasi mendatang.
Manisan kundur adalah lebih dari sekadar makanan manis; ia adalah kapsul waktu budaya, kimia terapan dalam skala rumahan, dan bukti keunggulan teknik pengawetan Asia Tenggara. Dari proses pengapuran yang menantang secara teknis hingga kristalisasi gula yang membutuhkan kesabaran, setiap langkah dalam pembuatannya menceritakan kisah adaptasi manusia terhadap lingkungan tropis.
Kehadirannya yang konstan dalam perayaan dan adat istiadat menegaskan posisinya sebagai simbol kemakmuran dan keharmonisan. Saat ini, sambil menghadapi tuntutan kesehatan dan pasar modern, manisan kundur terus beradaptasi, mempertahankan tekstur renyah dan kristal putihnya yang ikonik. Warisan rasa ini adalah pengingat akan kekayaan kuliner Indonesia yang tak lekang dimakan waktu.