Arah Sejati Pencarian Sang Arif
Perjalanan mencari hakikat, seringkali bermula dari sebuah mi ma arif—mimpi, makna, dan keinsafan yang harus dicapai oleh jiwa yang mendamba kebijaksanaan. Arif, dalam konteks ini, bukanlah sekadar nama diri, melainkan sebuah julukan bagi individu yang telah mencapai tingkat pemahaman mendalam, yang disebut *Ma'rifat*. Ini adalah perjalanan epik dari pengetahuan indrawi menuju pengetahuan intuitif dan spiritual, sebuah transformasi radikal dalam cara seseorang memandang semesta dan dirinya sendiri.
Kita hidup di era di mana informasi berlimpah, namun kebijaksanaan menjadi komoditas langka. Lembaga pendidikan seperti MA (Madrasah Aliyah) seringkali menjadi gerbang awal bagi para pencari ini, menawarkan fondasi yang kokoh antara ilmu duniawi dan ilmu agama. Namun, kurikulum formal hanyalah peta; perjalanan sesungguhnya harus ditempuh melalui kesadaran pribadi dan disiplin spiritual yang tak kenal lelah.
Ma'rifat, secara etimologis, berarti pengetahuan atau pengenalan. Namun, dalam tradisi sufistik dan filosofis, Ma'rifat melampaui data dan logika. Ini adalah pengenalan yang menyatu (gnosis), di mana subjek yang mengetahui (Sang Arif) dan objek yang diketahui (Hakikat Sejati) seolah melebur dalam pengalaman yang tak terucapkan. Ini adalah inti dari pencarian spiritual yang telah memandu jutaan jiwa sepanjang sejarah.
Untuk memahami perjalanan Sang Arif, kita harus membedakan tiga tingkatan epistemologis yang harus dilalui:
Perjalanan dari Ilmu al-Yaqin menuju Haqq al-Yaqin adalah inti dari transformasi diri. Ini menuntut bukan hanya kecerdasan intelektual, tetapi juga kejernihan hati dan ketahanan moral. Tanpa integritas, pengetahuan hanya akan menjadi beban yang memberatkan, bukan cahaya yang menerangi.
Konsep mi ma arif seringkali dimulai dari 'mimpi' (mi) — sebuah visi, aspirasi, atau panggilan jiwa yang mendesak. Mimpi di sini dapat diartikan dalam dua dimensi: mimpi profetik (ilham) dan mimpi psikologis (alam bawah sadar).
Mimpi adalah bahasa jiwa yang belum terartikulasi oleh rasio. Bagi Sang Arif, mimpi adalah laboratorium spiritual di mana realitas diuji sebelum diwujudkan.
Dalam tradisi spiritual, banyak penemuan besar, pencerahan, dan petunjuk datang melalui keadaan antara sadar dan tidak sadar. Tugas Sang Arif adalah mengolah mimpi ini menjadi 'makna' (ma) yang koheren, dan kemudian mengubah makna tersebut menjadi tindakan yang menghasilkan 'keinsafan/kearifan' (arif). Mimpi yang tidak diolah hanyalah fatamorgana; ia harus dibumikan melalui disiplin spiritual dan intelektual.
Madrasah Aliyah (MA) seringkali berfungsi sebagai institusi vital yang menjembatani ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama. Bagi calon Arif, lingkungan pendidikan formal ini menawarkan kerangka kerja penting. Namun, pendidikan di MA harus dipandang bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai persiapan alat (instrumentasi) untuk pencarian yang lebih besar.
Pendidikan sejati Sang Arif menuntut integrasi yang harmonis antara:
Proses pembelajaran di MA yang ideal adalah proses yang menanamkan kesadaran bahwa setiap disiplin ilmu adalah jalan menuju Ma'rifat. Seorang pelajar yang memahami fisika kuantum dengan kedalaman spiritual akan jauh lebih dekat pada kearifan dibandingkan mereka yang hanya menghafal hukum-hukumnya tanpa menyentuh hakikatnya.
Untuk mencapai gelar Arif yang sesungguhnya, ada proses internal yang harus dijalani, sering disebut *Tazkiyatun Nafs* (Penyucian Jiwa). Tahapan ini melampaui nilai akademik semata dan berfokus pada pembentukan karakter:
Meskipun akal (rasio) adalah alat yang sangat diperlukan, ia memiliki batasan. Ma'rifat menuntut instrumen kognitif yang lebih tinggi: hati (qalb) dan intuisi (bashirah). Hati, dalam pandangan filosofis, bukanlah organ pemompa darah, melainkan pusat kesadaran spiritual, tempat cahaya hikmah dapat bersinar.
Cahaya Hikmah dari Kedalaman Kitab Kehidupan
Intuisi (ilham atau bashirah) adalah kecepatan pemahaman tanpa melalui langkah-langkah logis yang panjang. Ini bukan sihir, melainkan hasil akumulasi disiplin dan kejernihan hati. Ketika hati Sang Arif telah dibersihkan dari keruh dan ego, ia menjadi cermin yang mampu menangkap pantulan kebenaran secara instan. Ini adalah manifestasi nyata dari mi ma arif: intuisi yang menangkap mimpi, akal yang mengolah makna, dan hati yang mencapai kearifan.
Intuisi Sang Arif memiliki karakteristik sebagai berikut:
Di abad modern, pengetahuan didominasi oleh positivisme yang hanya mengakui apa yang dapat diukur dan diamati secara empiris. Bagi Sang Arif, pandangan ini terlalu sempit. Positivisme hanya dapat mencapai Ilmu al-Yaqin, tetapi gagal menjangkau Ain al-Yaqin dan Haqq al-Yaqin. Realitas, menurut kearifan, jauh lebih kaya dan berlapis daripada yang bisa ditangkap oleh lima indra atau instrumen ilmiah.
Seorang Arif harus mampu menggunakan metode ilmiah (yang berasal dari ilmu aqli) untuk memahami dunia fisik, tetapi pada saat yang sama, ia harus mengakui keterbatasan alat tersebut dalam memahami dimensi metafisik dan spiritual. Keseimbangan ini adalah kunci untuk menjadi seorang Arif yang relevan di era teknologi tinggi.
Pencarian Ma'rifat adalah sebuah perjalanan yang panjang dan berliku, penuh dengan ujian internal dan eksternal. Perjalanan ini seringkali digambarkan sebagai pendakian gunung yang curam, di mana setiap langkah menuntut pengorbanan dan kesabaran yang luar biasa.
Hambatan terbesar bagi Sang Arif bukanlah dunia luar, melainkan dirinya sendiri. Proses penyucian jiwa melibatkan penaklukkan tiga manifestasi utama dari *Nafs* (Ego):
Perjuangan ini bukan terjadi sekali jalan, melainkan merupakan siklus berulang. Bahkan seorang Arif pun harus terus waspada terhadap kembalinya godaan Nafs al-Ammarah, yang sering muncul dalam bentuk kebanggaan spiritual atau arogansi intelektual.
Meskipun perjalanan Ma'rifat bersifat pribadi, peran seorang Guru (Mursyid) atau lingkungan belajar yang kondusif (seperti MA) tidak dapat diabaikan. Guru adalah pemandu jalan yang telah melewati jurang dan mengetahui perangkapnya. Mereka menyediakan peta dan kompas, tetapi kaki yang melangkah tetaplah kaki Sang Pencari.
Lingkungan pendidikan formal memberikan disiplin struktural: jam belajar, ujian, dan tanggung jawab sosial. Disiplin ini melatih ketahanan mental dan fisik yang dibutuhkan untuk riyadhah spiritual. Tanpa fondasi disiplin ini, pencarian spiritual dapat tersesat menjadi ilusi atau fantasi tanpa dasar realitas.
Jika Ma'rifat hanya relevan bagi pertapa di puncak gunung, maka ia tidak memiliki kekuatan transformatif sejati. Kearifan harus dapat diintegrasikan ke dalam kehidupan kontemporer yang didominasi oleh kecepatan informasi, kecerdasan buatan, dan disrupsi sosial. Tugas Sang Arif hari ini adalah menjadi jembatan antara tradisi dan inovasi.
Salah satu tantangan terbesar era ini adalah "Infobesitas" (kelebihan informasi). Akibatnya, banyak orang mengalami kelumpuhan analisis. Sang Arif memiliki kemampuan untuk memfilter suara bising dan fokus pada esensi. Kearifan berfungsi sebagai algoritma spiritual yang membedakan data (informasi mentah), pengetahuan (informasi terorganisir), dan kebijaksanaan (penerapan etis dari pengetahuan).
Lulusan MA modern harus diajarkan tidak hanya cara mencari informasi, tetapi juga cara menolaknya, menyaringnya, dan membumikannya dalam kerangka etika yang kokoh. Jika pengetahuan tidak menghasilkan kebaikan bagi diri dan masyarakat, maka itu hanyalah beban kognitif.
Saat ini, AI mampu mencapai Ilmu al-Yaqin dengan kecepatan dan volume yang tak tertandingi. Namun, AI tidak dapat mencapai Ain al-Yaqin (pengalaman) apalagi Haqq al-Yaqin (realisasi spiritual). AI tidak memiliki kesadaran, empati, atau jiwa. Di sinilah peran Sang Arif menjadi sangat krusial.
Tugas kita adalah memastikan bahwa teknologi, yang lahir dari akal (ilmu aqli), dipimpin oleh hati (Ma'rifat). Seorang Arif yang menjadi insinyur, politisi, atau pendidik akan membawa dimensi etika dan kemanusiaan ke dalam inovasi, mencegah teknologi menjadi kekuatan yang mendominasi dan mendehumanisasi. Ma'rifat adalah kompas moral di lautan inovasi yang tak terbatas.
Ma'rifat bukanlah pencapaian egois. Begitu seseorang mencapai tingkat kearifan tertentu, ia memiliki tanggung jawab untuk membagikannya. Kearifan sejati harus bermanifestasi dalam pelayanan sosial (*khidmat*). Ini berarti:
Proses mewujudkan visi (mimpi) menjadi realitas (kearifan) menuntut lebih dari sekadar harapan; ia menuntut metodologi. Sang Arif menggunakan disiplin spiritual dan intelektual untuk menambang makna (ma) dari setiap pengalaman, baik sukses maupun gagal.
Tafakur adalah proses kognitif tertinggi yang dilakukan Sang Arif. Ini melampaui berpikir biasa; ini adalah meditasi mendalam yang bertujuan mengungkap rahasia yang tersembunyi di balik fenomena. Jika ilmu rasional menggunakan metode induksi dan deduksi, tafakur menggunakan metode 'iluminasi' (isyraq).
Tafakur melibatkan langkah-langkah:
Melalui tafakur, mimpi yang samar (mi) diubah menjadi cetak biru makna yang jelas (ma), yang siap diimplementasikan oleh Sang Arif.
Kebenaran hakiki seringkali melampaui kemampuan bahasa verbal. Oleh karena itu, para Arif sepanjang sejarah sering menggunakan simbolisme, metafora, dan puisi untuk menyampaikan pengalaman mereka. Bahasa Ma'rifat adalah bahasa yang cair dan resonan, berbeda dengan bahasa ilmiah yang kaku dan denotatif.
Studi yang mendalam di MA tentang sastra, filsafat, dan bahasa agama sangat penting karena melatih pikiran untuk menerima ambiguitas dan kedalaman. Kemampuan menafsirkan simbol adalah kunci untuk membuka pintu rahasia eksistensi. Tanpa kemampuan ini, banyak ajaran spiritual akan dianggap literal dan kehilangan kekuatan transformatifnya.
Pencapaian Ma'rifat adalah puncak dari keselarasan antara tiga elemen fundamental dalam kehidupan: Ilmu, Jiwa, dan Tindakan. Jika ketiganya tidak selaras, maka pengetahuan yang didapat hanyalah ilusi yang memperkuat ego.
Seorang Arif sejati adalah individu yang telah berhasil menyatukan dimensi-dimensi ini. Mereka adalah hasil dari proses panjang yang bermula dari sebuah mi ma arif: sebuah panggilan spiritual yang diolah melalui pendidikan formal (MA) dan disiplin spiritual yang intens.
Kesatuan ini dapat dirangkum dalam prinsip-prinsip berikut:
Pencarian mi ma arif tidak hanya mengubah individu secara internal; ia juga mengubah cara individu tersebut berinteraksi dengan kosmos. Ma'rifat menghasilkan etika ekologis yang mendalam dan pemahaman kosmologis yang menyatukan.
Ketika Sang Arif mencapai Haqq al-Yaqin, ia menyadari bahwa seluruh alam semesta adalah manifestasi dari Hakikat Sejati. Konsekuensinya, merusak alam sama dengan merusak diri sendiri. Etika ekologis ini melampaui sekadar konservasi; ia adalah penghormatan terhadap kehidupan dalam segala bentuknya.
Pendidikan di MA harus menanamkan kesadaran ini, mengajarkan bahwa studi biologi dan geografi bukan hanya untuk ujian, melainkan untuk memahami mekanisme keteraturan alam yang mencerminkan kebijaksanaan tak terbatas. Kearifan menuntut tanggung jawab sebagai khalifah (wakil) di bumi, bukan sebagai pemilik tunggal.
Meskipun konsep Wahdat al-Wujud sering disalahpahami, bagi Sang Arif ia adalah realisasi bahwa semua eksistensi pada dasarnya berasal dari Sumber yang sama. Ini tidak berarti penyamaan pencipta dengan ciptaan, melainkan pengakuan bahwa segala sesuatu memancarkan esensi Ilahi.
Pemahaman kosmologis ini menghilangkan ketakutan, menghilangkan ego, dan menumbuhkan rasa persatuan dengan sesama manusia dan makhluk lain. Ini adalah fondasi dari toleransi dan empati universal yang menjadi ciri khas sejati dari Arif yang tercerahkan.
Jalan menuju Ma'rifat di era ini dipenuhi jebakan yang berbeda dari masa lalu. Kecenderungan untuk mencari kepuasan instan, kecanduan digital, dan relativisme moral adalah musuh modern bagi Sang Pencari.
Ma'rifat adalah hasil dari kesabaran (sabr) dan ketekunan (*istiqamah*). Budaya modern, yang didominasi oleh media sosial dan gratifikasi instan, mengajarkan bahwa hasil harus datang dengan cepat. Ini bertentangan langsung dengan disiplin spiritual yang menuntut proses bertahun-tahun.
Seorang Arif harus menanamkan kemampuan untuk menunda kenikmatan dan merangkul perjuangan yang panjang. Pembelajaran mendalam di MA, seperti penguasaan bahasa kuno atau pemahaman teks filosofis yang kompleks, berfungsi sebagai latihan untuk menahan godaan kemudahan dan kedangkalan.
Di era postmodern, banyak yang percaya bahwa semua kebenaran bersifat relatif. Ini menciptakan kekacauan moral dan spiritual. Sang Arif, dalam pencariannya, bertujuan untuk menemukan Kebenaran Mutlak (Haqq) yang mendasari semua realitas relatif.
Ma'rifat memberikan jangkar pada nilai-nilai yang universal dan abadi. Ini tidak berarti menolak keragaman budaya atau perspektif, tetapi menegaskan bahwa ada inti etika universal yang harus dipatuhi, terlepas dari tren atau opini populer. Kearifan adalah keberanian untuk berdiri teguh pada kebenaran yang telah disaksikan oleh hati.
Bagaimana institusi seperti MA dapat secara efektif menumbuhkan benih-benih kearifan, sehingga lulusannya tidak hanya cerdas, tetapi juga bijaksana dan Arif?
Kurikulum harus digeser dari 'apa yang harus kita tahu?' menjadi 'siapa diri kita?' dan 'mengapa kita di sini?'. Pendidikan Sang Arif berpusat pada pertanyaan-pertanyaan eksistensial. Setiap mata pelajaran—dari matematika hingga tasawuf—harus diarahkan untuk menjawab pertanyaan esensial ini.
Misalnya, pelajaran Sejarah harus dianalisis bukan sebagai rangkaian tanggal dan nama, tetapi sebagai studi tentang konsekuensi dari pilihan moral manusia—sebuah cermin untuk menghindari kesalahan masa lalu dan memahami mekanisme takdir.
Pembelajaran di MA harus mencakup praktik nyata dari prinsip-prinsip spiritual:
Hanya melalui keterlibatan diri yang mendalam dan pelayanan yang tulus, perjalanan dari mi ma arif dapat diwujudkan secara utuh. Ketika mimpi (mi) diolah menjadi makna (ma) melalui pendidikan yang terintegrasi (MA), hasilnya adalah kearifan (arif) yang menjadi berkah bagi semesta.
Pengalaman puncak Ma'rifat seringkali digambarkan dengan istilah yang tampaknya paradoks. Ini bukan karena ketidakmampuan Sang Arif untuk berbicara, melainkan karena kebenaran yang disaksikan melampaui kategori logis yang biasa kita gunakan. Fenomenologi ini adalah titik di mana teori yang dipelajari di MA bersentuhan dengan realitas spiritual yang tak terhingga.
Sebelum Ma'rifat, dunia dilihat dalam dualitas: baik dan buruk, sukses dan gagal, saya dan yang lain. Pandangan ini menyebabkan konflik dan penderitaan. Ketika Sang Arif mencapai kejernihan Haqq al-Yaqin, dualitas ini mulai meluntur. Bukan berarti perbedaan fisik hilang, tetapi makna esensial di balik perbedaan itu lenyap.
Sang Arif melihat bahwa konflik yang terjadi di dunia hanyalah riak permukaan dari kesatuan yang mendalam. Penglihatan ini melahirkan *ridha* (penerimaan), yang merupakan kekuatan spiritual tertinggi. Ridha tidak berarti pasif, melainkan bertindak dari tempat kedamaian, bukan dari reaksi emosional.
Dalam pengalaman spiritual murni, waktu dan ruang seringkali terasa berhenti atau melar. Keadaan ini disebut *daim* (keabadian). Sang Arif menyadari bahwa realitas tertinggi tidak terikat oleh jam atau kalender. Kesadaran ini membebaskan dari kecemasan masa lalu dan ketakutan masa depan.
Di level praktis, pemahaman ini memungkinkan Sang Arif untuk fokus sepenuhnya pada *saat ini* (hâl), menjadikannya efektif dalam setiap tindakan. Jika proses belajar di MA dilakukan dengan kesadaran penuh, tanpa terganggu oleh tekanan hasil, maka proses itu sendiri menjadi meditasi yang mengarah pada kearifan.
Masyarakat modern sedang mengalami krisis makna yang akut, yang dapat dilacak kembali pada kegagalan menghubungkan ketiga elemen kunci: mi ma arif. Kita memiliki impian teknologi (mi), kita menghasilkan banyak data (ma), tetapi kita jarang mencapai kearifan (arif).
Mimpi kolektif masyarakat saat ini sering kali terbatas pada ambisi materialistis: kekayaan, kekuasaan, dan pengakuan eksternal. Mimpi-mimpi ini, meskipun mendorong inovasi ekonomi, gagal memberikan pemenuhan jiwa. Mereka menciptakan kesuksesan eksternal yang rapuh, bukan kedamaian batin yang kokoh.
Tugas pendidikan spiritual, dimulai dari jenjang MA, adalah menanamkan kembali 'mimpi' yang mulia: mimpi pelayanan, mimpi keadilan, dan mimpi pengenalan diri yang sejati. Hanya ketika mimpi diubah dari ambisi ego menjadi panggilan jiwa, barulah ia dapat menghasilkan kearifan.
Makna (ma) di era digital sangat terfragmentasi. Informasi disajikan dalam potongan-potongan kecil, tanpa konteks yang koheren. Hal ini menyebabkan kesulitan besar bagi individu untuk membentuk pandangan dunia yang utuh dan bermakna.
Pendidikan Sang Arif menuntut sintesis. Semua potongan pengetahuan—fisika, sejarah, etika—harus disatukan kembali menjadi permadani makna yang tunggal dan indah. Proses ini adalah esensi dari filsafat dan teologi yang diajarkan dalam konteks Madrasah Aliyah yang berorientasi Ma'rifat.
Tanpa Ma'rifat, pengetahuan menjadi alat yang berbahaya. Sejarah membuktikan bahwa individu yang sangat cerdas tetapi tanpa kearifan spiritual seringkali menjadi sumber kehancuran terbesar.
Seseorang bisa menjadi ahli dalam bidangnya (Ilmu al-Yaqin), tetapi jika hatinya gelap, pengetahuannya akan digunakan untuk manipulasi atau eksploitasi. Ini adalah bahaya dari pendidikan yang hanya berfokus pada akal tanpa hati. Lembaga MA harus secara sadar menolak model ini dan memprioritaskan etika sebagai kerangka kerja yang tak terpisahkan dari pengetahuan.
Pencarian pengetahuan yang didorong oleh ego, tanpa tujuan spiritual, pada akhirnya mengarah pada isolasi. Sang Pencari merasa terasing dari masyarakat karena ia merasa lebih unggul. Sebaliknya, Sang Arif sejati merasa terhubung dengan semua, dan kearifannya menarik orang lain melalui kerendahan hati dan cahaya batin.
Pencarian mi ma arif adalah panggilan abadi yang tidak mengenal batas usia atau profesi. Ini adalah tugas seumur hidup untuk terus menggali kedalaman batin dan keluasan alam semesta. Institusi pendidikan formal memberikan alat; disiplin spiritual memberikan energi; tetapi keputusan untuk menjadi Arif sejati sepenuhnya berada di tangan individu.
Jangan puas hanya dengan pengetahuan yang diukur oleh lembar ijazah atau nilai ujian. Gunakan fondasi yang kuat dari MA sebagai landasan pacu. Terbanglah melampaui batas rasio, masukilah ruang hati yang murni, dan saksikanlah kebenaran yang telah menanti. Kearifan sejati bukanlah akhir dari pencarian, melainkan permulaan dari kehidupan yang sepenuhnya sadar, bermakna, dan bersinar.
Sang Arif: Berakar Kuat, Berpikir Luas
Ini adalah warisan yang harus kita jaga dan kembangkan: menumbuhkan generasi yang bukan hanya menguasai teknologi, tetapi juga memahami esensi kemanusiaan; generasi yang mewujudkan hakikat dari mi ma arif dalam setiap langkah dan hembusan napas mereka.
Untuk memahami kedalaman perjalanan Sang Arif, penting untuk meninjau akar historis bagaimana pengetahuan ini disalurkan. Institusi pendidikan Islam tradisional, yang kini diwakili oleh MA, bukanlah sekadar tempat belajar; ia adalah sebuah ekosistem spiritual. Pada masa keemasan Islam, Madrasah adalah pusat Ma'rifat, tempat ulama, sufi, dan ilmuwan duduk bersama, mengakui bahwa ilmu adalah satu kesatuan.
Ilmuwan seperti Al-Ghazali, dalam karyanya, secara eksplisit menekankan bahwa ilmu yang tidak menghasilkan perubahan etis atau peningkatan spiritual adalah ilmu yang mati. Ia menyerukan integrasi kurikulum, jauh sebelum istilah itu menjadi populer di era modern. Filosofi ini harus menjadi tulang punggung setiap MA yang bercita-cita mencetak Arif sejati.
Di madrasah tradisional, etika (adab) diajarkan sebelum ilmu. Seorang pelajar yang tidak memiliki adab, dikhawatirkan akan menggunakan pengetahuannya untuk kejahatan atau kesombongan. Adab adalah wadah, dan ilmu adalah isinya.
Adab mencakup:
Apabila fondasi adab ini kokoh, perjalanan mi ma arif akan berjalan lancar, karena hati Sang Pencari sudah siap menerima cahaya kebenaran tanpa filter ego.
Ironisnya, di zaman yang serba terhubung ini, tingkat kecemasan dan depresi justru meningkat. Ma'rifat menawarkan solusi yang mendalam terhadap krisis kesehatan mental ini. Ketika seseorang telah mencapai Ma'rifat, ia terbebas dari keterikatan terhadap hasil dan opini. Ia menemukan kedamaian yang berasal dari dalam, yang tidak dapat digoyahkan oleh keadaan eksternal.
Kearifan mengajarkan penerimaan (ridha), yang merupakan vaksin spiritual terhadap penderitaan psikologis. Pemahaman bahwa segala sesuatu terjadi dengan makna (ma) tertentu, sesuai dengan rencana kosmis, menghilangkan beban kontrol yang selama ini dipaksakan oleh ego.
Bagaimana MA dapat bertransformasi menjadi institusi yang relevan dan vital dalam mencetak generasi Arif yang dibutuhkan dunia? Visi masa depan harus mencakup:
Pembelajaran harus lebih berbasis pengalaman (eksperiensial) daripada sekadar teoritis. Misalnya, mengajarkan tentang kemiskinan tidak cukup melalui statistik; siswa harus terlibat langsung dalam proyek sosial untuk merasakan dan memahami kompleksitasnya. Ain al-Yaqin hanya bisa dicapai melalui pengalaman langsung.
Alih-alih melarang teknologi, MA harus mengajarkan siswa cara menggunakan teknologi (termasuk AI) sebagai alat untuk membebaskan waktu dari tugas-tugas mekanis, sehingga waktu yang tersisa dapat digunakan untuk tafakur, refleksi, dan pencarian makna yang lebih tinggi.
Integrasi dari mi ma arif—mimpi ideal, makna yang mendalam, dan kearifan yang tercerahkan—adalah cetak biru bagi pendidikan sejati. Ini adalah warisan kita, dan ini adalah masa depan yang kita bangun.