Penyebab Sakit Asam Lambung: Tinjauan Spiritual dan Islami
Kesehatan merupakan salah satu nikmat terbesar yang seringkali dilupakan. Dalam pandangan Islam, tubuh adalah amanah yang harus dijaga. Sakit, termasuk kondisi asam lambung tinggi (Gastroesophageal Reflux Disease atau GERD), tidak hanya dipandang sebagai masalah fisik semata, melainkan juga memiliki akar yang dalam, melibatkan spiritual, emosional, dan perilaku sehari-hari.
Artikel ini akan meninjau secara komprehensif mengapa seseorang dapat mengalami sakit asam lambung melalui lensa ajaran Islam. Fokusnya bukan hanya pada makanan yang dikonsumsi, tetapi pada kualitas hati, adab makan, manajemen stres Islami, dan pentingnya menjaga keseimbangan (Mizan) dalam seluruh aspek kehidupan.
I. Ketidakseimbangan Spiritual (Ghaflah dan Hubb Ad-Dunya)
Ajaran Islam menekankan bahwa ada hubungan timbal balik yang erat antara kesehatan hati (spiritual) dan kesehatan jasad (fisik). Penyakit fisik seringkali merupakan manifestasi eksternal dari kekacauan internal atau spiritual yang terjadi dalam diri seseorang. Asam lambung, dengan sensasi nyeri yang menusuk dan panas, dapat dihubungkan dengan beberapa penyakit hati.
A. Konsep Hubb Ad-Dunya (Cinta Dunia Berlebihan)
Salah satu penyakit spiritual utama yang dapat memicu ketidakseimbangan fisik adalah hubb ad-dunya, kecintaan yang melampaui batas terhadap hal-hal duniawi. Kecintaan yang berlebihan ini mendorong sifat rakus (tamak) dalam segala hal, termasuk makanan. Ketika seseorang terlalu terikat pada kenikmatan duniawi, ia cenderung melanggar batas-batas yang telah ditetapkan syariat, baik dalam kuantitas maupun kualitas konsumsi.
Keterikatan yang kuat pada pemenuhan keinginan sesaat ini menyebabkan pola makan yang tidak teratur, cepat saji, dan berlebihan (isyraf). Lambung yang terus-menerus dipaksa bekerja di luar kapasitasnya karena dorongan ketamakan fisik ini akan mengalami kelelahan kronis dan peningkatan produksi asam yang destruktif.
B. Dampak Ghaflah (Kelalaian) terhadap Manajemen Diri
Ghaflah, atau kelalaian dalam mengingat Allah, menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran diri dan tujuan hidup yang hakiki. Ketika seseorang lalai, ia juga lalai menjaga amanah tubuhnya. Kelalaian ini termanifestasi dalam kebiasaan buruk, seperti menunda makan hingga lapar ekstrem, atau makan tergesa-gesa tanpa memperhatikan adab.
Ghaflah memutuskan korelasi antara aktivitas fisik (makan) dan kesadaran spiritual (bersyukur). Makan menjadi sekadar rutinitas biologis tanpa kehadiran hati. Hal ini menciptakan kekosongan spiritual yang seringkali dicoba diisi dengan konsumsi makanan secara berlebihan, memicu hiperasiditas lambung.
Kelalaian ini juga mencakup abai terhadap kualitas makanan. Tidak hanya halal, tetapi harus thayyib (baik, bersih, bergizi). Kelalaian memilih makanan yang tayyib, penuh dengan bahan kimia atau pengawet yang merusak, merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah tubuh.
Ilustrasi Keseimbangan (Mizan) dalam Kehidupan
II. Pelanggaran Adab dan Etika Makan (Isyraf)
Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan adab makan yang sempurna, yang secara langsung berfungsi sebagai panduan kesehatan preventif. Banyak kasus asam lambung modern berakar pada pelanggaran etika makan ini, terutama prinsip Isyraf (berlebihan) dan I’jāl (tergesa-gesa).
A. Bahaya Isyraf (Sifat Berlebihan)
Islam melarang sikap berlebihan dalam segala hal, termasuk makan dan minum. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an, “Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31). Berlebihan dalam konteks asam lambung terjadi dalam beberapa dimensi:
1. Berlebihan dalam Kuantitas (Overeating)
Penyakit asam lambung seringkali dipicu oleh tekanan fisik pada sfingter esofagus bagian bawah (LES) yang disebabkan oleh perut yang terlalu penuh. Dalam Sunnah, diajarkan prinsip sepertiga perut: sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk udara. Rasulullah SAW bersabda:
“Anak Adam tidak mengisi wadah yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika harus berlebihan, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Tirmidzi)
Melanggar sepertiga ini menyebabkan lambung meregang secara berlebihan, memicu tekanan balik dan refluks asam ke kerongkongan. Pola makan rakus yang didorong oleh hawa nafsu fisik murni, bukan kebutuhan energi, adalah pemicu utama GERD.
2. Berlebihan dalam Variasi dan Kemewahan
Gaya hidup modern seringkali menyajikan hidangan yang terlalu kaya, asam, pedas, dan berminyak dalam satu waktu. Meskipun semua komponen itu halal, memadukan variasi yang membebani sistem pencernaan secara bersamaan termasuk dalam kategori isyraf. Ketika lambung harus memproduksi enzim untuk berbagai jenis makanan yang bertolak belakang, keseimbangan asam basa terganggu, menyebabkan iritasi kronis.
B. Prinsip I’jāl (Tergesa-gesa dalam Makan)
Tergesa-gesa saat makan adalah kebiasaan yang bertentangan dengan sunnah dan sangat merusak kesehatan lambung. Mengunyah makanan secara perlahan dan tuntas adalah adab yang menjaga pencernaan. Makan terburu-buru menyebabkan:
Udara ikut tertelan dalam jumlah banyak (aerofagia), menyebabkan perut kembung dan tekanan pada LES.
Makanan tidak terkunyah sempurna, memaksa lambung bekerja lebih keras untuk menghancurkan partikel besar, yang memerlukan produksi asam lebih tinggi.
Hilangnya rasa syukur dan kenikmatan (barakah) karena tidak adanya kesadaran saat mengonsumsi.
C. Pola Tidur dan Makan yang Salah
Sunnah mengajarkan tidur setelah Isya dan bangun di sepertiga malam terakhir. Pelanggaran ritme ini, terutama kebiasaan makan berat menjelang tidur, adalah pemicu klasik asam lambung. Posisi tidur horizontal segera setelah makan memungkinkan asam lambung naik tanpa hambatan gravitasi, yang merupakan penyebab utama esofagitis (peradangan kerongkongan) pada penderita GERD.
Dalam tinjauan Islam, menjaga waktu tidur yang baik (qailulah atau tidur siang singkat, dan tidur malam yang teratur) adalah bagian dari menjaga fitrah tubuh, yang berdampak langsung pada regulasi hormon dan asam lambung.
III. Hubungan Stres, Kecemasan, dan Kurangnya Tawakkal
Medis modern mengakui hubungan yang sangat kuat antara stres psikologis dan gangguan pencernaan, yang dikenal sebagai 'gut-brain axis'. Dalam Islam, kondisi mental ini seringkali disebabkan oleh kurangnya Tawakkal (berserah diri penuh) dan dominasi sifat Jaza' (kecemasan berlebihan).
A. Efek Kurangnya Tawakkal
Orang yang kurang tawakkal cenderung hidup dalam ketakutan dan kecemasan mengenai masa depan, rezeki, dan urusan duniawi yang berada di luar kendalinya. Kecemasan kronis ini memicu pelepasan hormon stres (kortisol) secara berkelanjutan. Secara fisiologis, kortisol dan adrenalin mengalihkan sumber daya tubuh dari fungsi 'istirahat dan cerna' (parasimpatis) ke mode 'bertarung atau lari' (simpatis).
Dalam mode simpatis, aliran darah dialihkan dari organ pencernaan. Meskipun demikian, sinyal stres seringkali memicu lambung untuk memproduksi asam berlebih sebagai respons terhadap tekanan internal. Lambung yang sensitif dan terus-menerus tertekan oleh kecemasan ini akhirnya mengalami iritasi dan gejala asam lambung yang akut.
Tiga Sumber Kecemasan yang Bertentangan dengan Iman:
Khawatir Rezeki (Tidak Yakin Rahmat Allah): Kecemasan finansial yang memicu begadang dan pola makan tak teratur.
Khawatir Masa Depan (Kurangnya Qadar): Gagal menerima takdir, menyebabkan keputusasaan yang menekan sistem saraf.
Khawatir Penilaian Manusia: Mencari validasi yang tidak pernah usai, menciptakan ketegangan emosional yang konstan.
Semua jenis kecemasan ini adalah manifestasi dari lemahnya keyakinan terhadap jaminan Allah SWT, yang secara langsung memicu reaksi biokimia stres yang merusak lambung.
B. Peran Dzikir dan Shalat dalam Ketenangan
Obat spiritual utama untuk kecemasan adalah Dzikrullah (mengingat Allah). "Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'd: 28). Praktik dzikir, shalat dengan khusyuk, dan membaca Al-Qur'an berfungsi sebagai mekanisme regulasi saraf yang kuat, mengaktifkan kembali sistem parasimpatis.
Ketika hati tenang melalui dzikir, tubuh merespons dengan mengurangi produksi hormon stres, yang pada gilirannya menstabilkan produksi asam lambung. Ketidakstabilan fisik, termasuk asam lambung, seringkali menjadi panggilan bagi seorang hamba untuk kembali memperkuat benteng spiritualnya (dzikir dan ibadah).
Koneksi Hati dan Lambung (Gut-Brain Axis)
IV. Kualitas Konsumsi: Prinsip Halal dan Thayib
Aspek penting lain dalam Islam yang sangat memengaruhi kesehatan pencernaan adalah perhatian terhadap sumber dan kualitas makanan (halal dan thayyib).
A. Konsep Thayyib (Kebaikan dan Kemurnian)
Makanan tidak hanya harus halal (diperbolehkan), tetapi juga harus thayyib (baik, murni, menyehatkan). Di era modern, banyak makanan yang secara zat hukumnya halal, tetapi diproses sedemikian rupa dengan bahan tambahan, pengawet, dan pewarna yang menghilangkan sifat thayyib-nya.
Konsumsi rutin makanan yang secara zat tidak murni (thayyib) merupakan beban kimiawi bagi tubuh. Lambung, yang merupakan garda terdepan sistem pencernaan, harus bekerja keras menetralkan zat-zat asing ini. Akumulasi racun dan beban kerja yang tinggi ini dapat menyebabkan peradangan kronis pada dinding lambung, yang dikenal sebagai gastritis, dan seringkali berujung pada refluks asam.
Kebaikan Makanan Mencakup:
Kebaikan Bahan Baku: Makanan alami, tidak dimodifikasi secara berlebihan.
Kebaikan Pengolahan: Tidak mengandung zat kimia berbahaya (pengawet, pemanis buatan) yang mengiritasi mukosa lambung.
Kebaikan Cara Memperoleh: Diperoleh dari rezeki yang halal dan barakah, yang membawa ketenangan batin saat dikonsumsi.
Jika sumber rezeki tidak halal, meskipun makanan itu sendiri terlihat sehat, keberkahan spiritualnya hilang. Ketidakberkahan ini menumbuhkan penyakit hati yang kemudian termanifestasi sebagai penyakit fisik, termasuk gangguan pencernaan.
B. Makanan Pemicu yang Dilarang Sunnah secara Tidak Langsung
Meskipun Islam tidak melarang secara eksplisit kopi, cokelat, atau makanan pedas yang sering memicu asam lambung, prinsip dharar (bahaya) berlaku. Jika suatu makanan yang halal secara zat terbukti merusak kesehatan individu, maka mengonsumsinya secara berlebihan atau ketika sakit menjadi dilarang berdasarkan kaidah fikih "La dharar wa la dhirar" (Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain).
Bagi penderita asam lambung, makanan yang bersifat iritan (pedas, asam tinggi, berlemak tinggi) melanggar prinsip menjaga amanah tubuh. Mengonsumsi zat-zat ini dalam kondisi rentan adalah bentuk ketidakpedulian terhadap amanah kesehatan.
V. Muhasabah (Introspeksi) sebagai Kunci Penyembuhan
Sakit dapat menjadi sarana kaffarah (penghapus dosa) dan panggilan untuk muhasabah (introspeksi diri). Asam lambung yang muncul berulang kali adalah sinyal bahwa ada ketidakselarasan yang harus diperbaiki, bukan hanya pada tingkat fisik, tetapi juga spiritual dan perilaku.
A. Introspeksi dalam Adab dan Kebiasaan
Muhasabah mendorong individu untuk mengkaji kembali kebiasaan sehari-hari yang melanggar Sunnah, yang mungkin secara perlahan telah merusak sistem pencernaan:
Apakah saya makan terburu-buru karena tergesa-gesa mencari duniawi? (I’jāl).
Apakah sumber makanan saya diragukan kehalalan atau kemurniannya? (Halal & Thayyib).
Apakah hati saya dipenuhi kekhawatiran yang seharusnya hanya diserahkan pada Allah? (Kurangnya Tawakkal).
Dengan jujur mengevaluasi pertanyaan-pertanyaan ini, seseorang dapat mengidentifikasi akar masalah spiritual dan perilaku yang memicu stres fisik pada lambung.
B. Tazkiyatun Nafs: Membersihkan Jiwa dari Penyakit Hati
Penyembuhan total dari asam lambung, khususnya yang memiliki komponen psikosomatis yang kuat, memerlukan Tazkiyatun Nafs (pembersihan jiwa). Sifat-sifat negatif seperti hasad (iri), dendam, dan kemarahan yang tidak terkontrol adalah racun spiritual yang menciptakan ketegangan fisik yang konstan.
Rasa marah, misalnya, secara medis terbukti meningkatkan sekresi asam lambung dan mempersulit proses penyembuhan ulkus. Dalam Islam, menahan amarah (kadzm al-ghayzh) adalah tanda ketakwaan yang tinggi. Praktik spiritual seperti puasa, yang melatih pengendalian diri dan mengurangi beban pencernaan, adalah alat utama dalam tazkiyatun nafs dan penyembuhan fisik.
VI. Menegakkan Prinsip Al-Mizan (Keseimbangan)
Inti dari ajaran Islam adalah keseimbangan (Al-Mizan), antara urusan dunia dan akhirat, antara hak tubuh dan hak ruh. Asam lambung seringkali merupakan alarm dari tubuh bahwa mizan tersebut telah rusak.
A. Keseimbangan Antara Haqqun Nafs dan Haqqu Rabb
Tubuh memiliki haknya (istirahat, makanan bergizi, olahraga), dan Rabb (Tuhan) memiliki haknya (ibadah, dzikir). Ketika seseorang terlalu fokus pada pekerjaan duniawi (mengejar harta) hingga mengabaikan makan dan istirahat, ia melanggar hak tubuh. Sebaliknya, ketika ia terlalu berlebihan dalam makan dan bersenang-senang hingga lalai ibadah, ia melanggar hak Rabb.
Ketidakseimbangan ini menghasilkan stres internal. Stres akibat bekerja berlebihan dan kurang tidur melemahkan kemampuan tubuh untuk memperbaiki dirinya sendiri, meninggalkan lambung dalam kondisi rentan terhadap serangan asam.
B. Integrasi Konsep Kesehatan Islami
Penyembuhan asam lambung menurut tinjauan Islam harus mencakup pendekatan holistik yang menyatukan semua aspek ini:
Perbaikan Adab Makan: Makan sebelum lapar, berhenti sebelum kenyang, mengunyah perlahan, dan tidak langsung tidur setelah makan.
Penyucian Hati: Mengganti kecemasan dengan tawakkal, dan kerakusan dengan qana’ah (merasa cukup).
Pola Hidup Sunnah: Menjaga shalat pada waktunya, Dzikir pagi dan petang, dan tidur yang teratur.
Keseimbangan ini, ketika diterapkan secara konsisten, menciptakan lingkungan internal yang harmonis. Ketika jiwa tenang dan tubuh dijaga sesuai fitrahnya, produksi asam lambung akan teregulasi secara alami, dan proses penyembuhan dapat terjadi lebih efektif.
VII. Eksplorasi Lebih Jauh: Fenomena Isyraf Kontemporer dan Efeknya
Fenomena isyraf (berlebihan) di era modern memiliki bentuk-bentuk yang lebih kompleks daripada sekadar makan terlalu banyak. Ia adalah budaya konsumsi yang terus-menerus menuntut stimulasi dan kepuasan instan, yang berdampak serius pada mekanisme pencernaan.
A. Isyraf dalam Ketergesaan (Fast-Paced Lifestyle)
Gaya hidup serba cepat (fast-paced) adalah bentuk isyraf waktu dan energi. Seseorang yang hidup dalam ritme yang tergesa-gesa cenderung makan sambil bekerja, di depan layar, atau saat mengemudi. Kondisi ini membuat sistem saraf tetap dalam mode waspada (simpatis), menghambat pelepasan enzim pencernaan yang cukup dan menekan LES (Lower Esophageal Sphincter) agar tidak menutup sempurna.
Akibatnya, makanan tidak tercerna optimal di perut, fermentasi terjadi, tekanan gas meningkat, dan asam lambung mudah kembali ke kerongkongan. Ketergesaan ini, yang merupakan lawan dari tuma'ninah (ketenangan) dalam shalat maupun kehidupan, adalah pemicu utama GERD pada usia produktif.
B. Isyraf dalam Stimulan
Masyarakat kontemporer sangat bergantung pada stimulan, seperti kafein dosis tinggi, minuman berenergi, dan gula rafinasi. Konsumsi stimulan yang berlebihan adalah bentuk isyraf. Zat-zat ini tidak hanya memicu peningkatan produksi asam secara langsung, tetapi juga menciptakan ketergantungan energi semu yang mengabaikan kebutuhan istirahat alami tubuh.
Ketika tubuh dipaksa bekerja terus-menerus di bawah pengaruh stimulan, ia kehabisan cadangan energi dan daya tahan, termasuk daya tahan mukosa lambung terhadap asam. Kerusakan kronis pada lapisan pelindung lambung adalah hasil langsung dari kebiasaan stimulan berlebihan ini.
C. Isyraf dalam Kebisingan Mental
Isyraf tidak hanya fisik, tetapi juga mental. Paparan informasi yang berlebihan, kecanduan media sosial, dan multi-tasking yang konstan menciptakan "kebisingan mental" yang menyebabkan otak tidak pernah beristirahat total. Kecemasan mental ini secara langsung dihubungkan dengan hiperaktifnya saraf vagus yang mengendalikan pencernaan, memicu gelombang asam lambung secara acak.
Kemampuan untuk mencapai khusyuk (fokus total) dalam ibadah dan tafakkur (perenungan) di luar ibadah adalah penawar bagi isyraf mental ini. Tanpa ketenangan mental yang diajarkan Islam, lambung akan terus-menerus menerima sinyal bahaya dari otak.
VIII. Solusi Islami dan Thibbun Nabawi untuk Pemulihan
Pengobatan asam lambung dalam kerangka Islam tidak hanya berfokus pada penghilangan gejala, tetapi pada pemulihan harmoni fisik dan spiritual, seringkali melalui praktik Thibbun Nabawi (Pengobatan Nabi).
A. Peran Puasa (Shaum)
Puasa adalah praktik spiritual dan fisik yang paling efektif untuk menyembuhkan sistem pencernaan. Dengan menahan diri dari makan dan minum selama periode tertentu, puasa memberikan waktu istirahat total bagi lambung untuk memulihkan diri, mengurangi produksi asam berlebihan, dan memungkinkan perbaikan mukosa yang rusak.
Puasa juga mendidik jiwa untuk mengontrol nafsu (isyraf) dan melatih kesabaran (tawakkal), secara otomatis mengurangi kecemasan yang memicu GERD.
B. Penggunaan Bahan Alam yang Dianjurkan
Beberapa bahan yang dianjurkan dalam Thibbun Nabawi memiliki manfaat langsung untuk sistem pencernaan:
Madu Murni: Disebut sebagai obat bagi manusia dalam Al-Qur'an. Madu memiliki sifat anti-inflamasi dan dapat melapisi mukosa lambung, mengurangi iritasi akibat asam.
Habbatussauda (Jintan Hitam): Dikenal sebagai obat untuk segala penyakit. Habbatussauda membantu menyeimbangkan fungsi pencernaan dan mengurangi peradangan.
Zaitun (Minyak Zaitun): Dipercaya dapat menguatkan sistem pencernaan dan melancarkan buang air besar, membantu mengurangi tekanan di perut.
C. Istighfar dan Taubat sebagai Terapi Emosional
Ketika penyakit dipandang sebagai ujian atau akibat dari dosa, maka obat spiritualnya adalah Istighfar (memohon ampunan) dan Taubat. Tindakan ini membebaskan beban emosional dan spiritual yang menjadi pemicu stres kronis. Dengan membersihkan hati dari rasa bersalah dan kekhawatiran melalui taubat, tubuh dapat mencapai ketenangan yang diperlukan untuk proses penyembuhan fisik.
IX. Pendalaman Teologis atas Konsep Sakit dan Keseimbangan
Untuk memahami kedalaman penyebab asam lambung menurut Islam, kita harus kembali pada prinsip fundamental penciptaan manusia (fitrah). Manusia diciptakan dalam bentuk yang paling seimbang (ahsani taqwim), dan setiap penyakit adalah indikasi penyimpangan dari fitrah tersebut.
A. Penyimpangan dari Fitrah (Al-Fitrah Al-Saliimah)
Lambung adalah organ yang dirancang untuk berfungsi dalam batas-batas tertentu. Ketika manusia melanggar batasan alamiah (misalnya makan larut malam, makan berlebihan), ia menyimpang dari fitrah. Penyimpangan ini bukan hanya masalah kedokteran, tetapi masalah ketaatan terhadap sistem ilahi yang telah ditetapkan untuk keberlangsungan hidup yang sehat.
Asam lambung adalah respons tubuh yang "protes" terhadap penyimpangan kebiasaan. Jika seseorang terus memaksa tubuh melampaui batasnya dengan stres, makanan iritan, dan kurangnya istirahat, maka tubuh akan merespon dengan kerusakan dan rasa sakit yang bertujuan menghentikan perilaku merusak tersebut. Rasa sakit adalah guru, dan dalam konteks Islam, ia adalah peringatan keras dari Allah untuk kembali ke jalan yang lurus.
B. Prinsip Qana'ah vs. Tamak
Penyebab paling dalam dari isyraf dan makan berlebihan adalah kurangnya Qana'ah (rasa puas atau kecukupan). Sifat tamak (greedy) tidak hanya berlaku pada harta, tetapi juga pada makanan. Seseorang yang tamak merasa bahwa kepuasan tidak pernah tercapai, sehingga terus mencari pemenuhan melalui konsumsi yang lebih banyak atau lebih mewah, bahkan setelah kenyang.
Rasa tamak ini memicu pelepasan hormon kebahagiaan sesaat saat makan, namun meninggalkan kerusakan fisik yang abadi. Melawan asam lambung berarti melatih qana’ah, yang berarti berhenti makan bukan karena takut sakit, tetapi karena menyadari batasan fisik dan mensyukuri nikmat yang telah ada.
Qana'ah mengajarkan kita untuk menghargai setiap suap, mengunyah perlahan, dan merasakan keberkahan dalam porsi yang sederhana. Praktik ini secara langsung mengurangi beban fisik pada lambung dan beban mental pada jiwa.
X. Komitmen Diri Menuju Kesehatan Holistik
Memahami penyebab sakit asam lambung melalui perspektif Islam adalah menyadari bahwa kesehatan adalah produk dari integrasi antara ketaatan spiritual dan disiplin fisik. Penyakit ini mengajarkan kita pentingnya moderasi (tawazun) dan pengendalian diri (mujahadah an-nafs).
Penyembuhan yang berkelanjutan datang dari komitmen untuk mengintegrasikan Sunnah Nabi dalam setiap sendi kehidupan, bukan hanya sebagai ritual keagamaan, tetapi sebagai gaya hidup yang paling optimal untuk menjaga amanah tubuh. Ini mencakup disiplin dalam waktu shalat, dzikir untuk menenangkan hati, dan adab makan yang menghormati kerja organ pencernaan.
Asam lambung, dalam tinjauan Islami, bukanlah sekadar gejala kekurangan obat, melainkan indikasi kuat bahwa terdapat ketidakseimbangan dalam hubungan kita dengan pencipta, dengan diri sendiri, dan dengan makanan yang kita konsumsi. Dengan kembali kepada Mizan, Tawakkal, dan Adab, insya Allah kesembuhan fisik dan ketenangan jiwa dapat diraih.
Oleh karena itu, langkah pertama dalam mengobati asam lambung adalah Muhasabah: membersihkan hati dari segala penyakit yang memicu stres, membersihkan mulut dari makanan yang tidak tayyib, dan membersihkan kebiasaan dari sifat isyraf dan ketergesa-gesaan.