Ilustrasi tentang proses penciptaan dan penglihatan
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur." (QS. An-Nahl: 78)
Ayat ke-78 dari Surah An-Nahl ini merupakan pengingat mendalam dari Allah SWT mengenai fase awal kehidupan manusia dan karunia fundamental yang dianugerahkan-Nya sebelum manusia memiliki kesadaran penuh.
Ayat ini diawali dengan penegasan bahwa proses pengeluaran manusia dari rahim ibu adalah murni atas kehendak dan kekuasaan Allah. Pada momen krusial tersebut, manusia berada dalam kondisi "tidak mengetahui sesuatu pun" (لَا تَعْلَمُوْنَ). Ini menekankan ketidakberdayaan total manusia pada saat lahir. Ia tidak memiliki pengetahuan, kemampuan untuk memilih, atau kekuatan untuk menolong dirinya sendiri. Seluruh proses—mulai dari pembentukan di dalam rahim hingga proses kelahiran—diatur sepenuhnya oleh Sang Pencipta.
Kondisi 'ketidaktahuan' ini bukan sekadar deskripsi fisik, tetapi juga filosofis. Ia adalah metafora akan ketergantungan mutlak kita kepada Allah sejak detik pertama keberadaan kita. Sebelum akal mulai bekerja dan panca indra berfungsi penuh, rahmat Ilahi telah mendahului dengan menyediakan sarana kelangsungan hidup.
Setelah menegaskan fase awal yang penuh ketidakberdayaan, ayat ini beralih pada anugerah yang langsung diberikan Allah untuk memandu manusia dalam perjalanan hidupnya di dunia: pendengaran (الْاَسْمَعَ), penglihatan (وَالْاَبْصَارَ), dan hati (وَالْاَفْـِٔدَةَ).
Pendengaran adalah gerbang pertama untuk menerima informasi. Melalui pendengaran, manusia menyerap suara, bahasa, dan yang terpenting, mendengarkan seruan kebenaran (wahyu). Tanpa pendengaran yang berfungsi, proses belajar dan menerima petunjuk Ilahi menjadi terhambat secara signifikan.
Penglihatan memberikan manusia kemampuan untuk menyaksikan keindahan dan keteraturan alam semesta. Dalam konteks Al-Qur'an, penglihatan sangat ditekankan sebagai alat untuk merenungkan ayat-ayat Allah (ayat kauniyah) yang tersebar di cakrawala dan dalam diri sendiri. Melihat adalah cara untuk memahami kebesaran Sang Pencipta.
Kata Al-Af'idah (bentuk jamak dari Fu'ad) sering diartikan sebagai hati atau akal budi yang berfungsi untuk memahami, menalar, dan merasakan. Ini adalah pusat kesadaran, tempat di mana informasi yang diterima melalui telinga dan mata diproses menjadi pengetahuan, kebijaksanaan, dan iman. Hati adalah karunia tertinggi yang membedakan manusia dari makhluk lain; ia adalah tempat timbulnya rasa syukur.
Seluruh rangkaian peristiwa—dari dikeluarkan tanpa daya dari rahim hingga dianugerahi tiga indra utama—bermuara pada satu tujuan akhir yang ditekankan oleh Allah: agar kamu bersyukur. Rasa syukur (syukur) adalah respons alami dan kewajiban spiritual atas segala nikmat yang telah diberikan.
Syukur dalam ayat ini tidak hanya terbatas pada ucapan "Alhamdulillah." Syukur yang sejati di sini adalah menggunakan karunia tersebut sesuai dengan maksud Penciptanya. Syukur berarti:
Jika seseorang menggunakan pendengaran, penglihatan, dan hatinya untuk keburukan, maka ia telah gagal memenuhi tujuan utama dari anugerah tersebut, yang pada dasarnya adalah undangan untuk bersyukur kepada Allah SWT.
Ayat ini mengingatkan bahwa fondasi iman harus dibangun di atas kesadaran akan ketergantungan diri kepada Allah. Kita seringkali lupa akan kelemahan kita saat lahir karena kini kita merasa mampu. Namun, mengingat bahwa seluruh kemampuan kita saat ini adalah pinjaman dan anugerah yang diberikan secara bertahap, menumbuhkan kerendahan hati. Surah An-Nahl ayat 78 berfungsi sebagai koreksi ilahiah yang mengarahkan pandangan kita dari kesombongan diri menuju keagungan Sang Pemberi nikmat.