Ilustrasi: Simbol Tawakkal (Hasbiyallah)
Ayat ke-129 dari Surat At-Taubah adalah penutup yang agung bagi salah satu surat terpanjang dalam Al-Qur’an. Surat At-Taubah, yang dikenal dengan ketegasannya dan tidak diawali dengan Basmalah, ditutup dengan sebuah deklarasi keyakinan yang fundamental, sebuah proklamasi tauhid murni yang menjadi landasan bagi setiap mukmin: pengakuan bahwa cukuplah Allah sebagai sandaran dan penolong. Ayat ini bukan hanya sekedar kalimat penutup, melainkan sebuah ringkasan filosofis tentang hubungan antara hamba dan Penciptanya, menetapkan batas-batas mutlak kebergantungan, dan mengukuhkan kekuasaan tertinggi di alam semesta.
Dalam konteks wahyu yang turun di periode Madinah, Surat At-Taubah berurusan dengan perjanjian, pengkhianatan, dan perjuangan. Di tengah gejolak politik dan militer tersebut, ketika kaum Muslimin dihadapkan pada tantangan berat dan potensi pengabaian dari sebagian manusia, Allah memberikan penawar spiritual yang abadi. Ayat ini adalah benteng pertahanan terakhir, sebuah instruksi ilahiah kepada Rasulullah ﷺ dan seluruh umatnya untuk kembali kepada sumber kekuatan yang tak terbatas ketika semua dukungan duniawi sirna.
Fa in tawallaw fa qul ḥasbiyallāh, lā ilāha illā huw, 'alaihi tawakkaltu wa huwa rabbul 'arsyil 'aẓīm.
Analisis struktural ayat ini menunjukkan urutan logis dari respons ilahiah terhadap penolakan manusia. Ayat ini memuat empat pilar tauhid dan keyakinan yang saling menguatkan, yang membentuk totalitas keimanan seorang hamba. Setiap frase di dalamnya mengandung implikasi teologis yang mendalam, mulai dari penolakan terhadap entitas fana, penegasan keesaan, hingga pengakuan terhadap kedaulatan universal Allah.
Untuk memahami sepenuhnya kekuatan ayat ini, kita perlu membedah setiap komponennya, sebagaimana yang dilakukan oleh para mufassir klasik seperti Imam Ath-Thabari dan Ibnu Katsir.
Frase ini merujuk pada penolakan terhadap kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah ﷺ. Ini adalah skenario yang paling menantang dalam dakwah. Kata tawallaw (berpaling) bukan sekadar menolak, tetapi berbalik sepenuhnya, mengabaikan ajakan tauhid. Ayat ini memberikan arahan bahwa penolakan dari manusia—baik dari kaum munafik di Madinah atau dari kaum musyrikin—tidak boleh menggoyahkan fondasi keimanan. Kegagalan dakwah secara kuantitas atau penolakan sosial tidak boleh menyebabkan putus asa, karena sandaran bukanlah pada penerimaan manusia, melainkan pada Allah.
Ini adalah inti dari perlindungan spiritual. Hasbiya (cukup bagiku) berasal dari kata hasba yang berarti mencukupi, melindungi, dan menjadi penjamin. Ketika dunia menolak, memusuhi, atau mengabaikan, respons yang diajarkan adalah deklarasi kemandirian spiritual dari makhluk. Ungkapan ini menyatakan bahwa segala daya upaya manusia dan segala dukungan dari makhluk fana tidaklah penting jika dibandingkan dengan kecukupan dan perlindungan dari Sang Khaliq. Ini adalah manifestasi tertinggi dari kepuasan hati (qana'ah) dan kekuatan batin yang tak tergoyahkan.
Setelah menyatakan kecukupan Allah sebagai pelindung, ayat ini menyusulnya dengan deklarasi tauhid yang paling murni, yang merupakan inti dari syahadat. Frase ini memperkuat klaim sebelumnya. Kecukupan Allah (Ḥasbiyallāh) hanya valid karena Dia adalah satu-satunya entitas yang layak disembah. Jika Dia bukan satu-satunya Tuhan yang benar, maka perlindungan-Nya pun akan rapuh. Oleh karena itu, pengakuan tauhid ini adalah fondasi filosofis bagi setiap tawakkal. Kekuatan Allah tidak terbagi, dan karena itu, perlindungan-Nya pun tak tertandingi.
Tawakkal berarti menyerahkan urusan sepenuhnya setelah melakukan ikhtiar yang maksimal. Ini adalah tindakan hati yang mengikatkan diri kepada Allah dalam segala hal, baik yang besar maupun yang kecil. Penempatan kata ‘Alaihi (hanya kepada-Nya) di awal kalimat (struktur qasr atau pembatasan) memberikan penekanan yang kuat: tawakkal harus eksklusif. Tidak boleh ada sedikit pun keraguan atau harapan yang disandarkan kepada selain Allah. Tawakkal adalah buah dari tauhid, dan ia menjadi bukti nyata dari keyakinan bahwa Allah adalah Yang Maha Cukup.
Frase ini merupakan puncak dari argumen teologis. Setelah menyatakan tawakkal, Allah memperkenalkan Diri-Nya dengan atribut kekuasaan dan kedaulatan mutlak—sebagai Tuhan pemilik Arasy yang Agung. Penyebutan Arasy (Singgasana) dalam konteks ini sangat krusial. Arasy sering dipahami sebagai ciptaan terbesar Allah, yang mencakup dan mengatasi seluruh alam semesta. Mengaitkan tawakkal dengan Rabbul 'Arsyil 'Aẓīm berarti: tawakkalku disandarkan kepada Penguasa dari segala sesuatu yang paling agung dan luas. Ini menunjukkan bahwa entitas yang disandari itu adalah Dzat yang kekuasaan-Nya tak terbatas dan meliputi segala eksistensi.
Para mufassir memberikan perhatian khusus pada kedudukan istimewa ayat ini. Dalam tradisi tafsir, Qs. At-Taubah 129 seringkali digolongkan sebagai ayat yang mengandung keutamaan besar dalam perlindungan.
Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa ayat ini merupakan perintah langsung kepada Nabi ﷺ dan seluruh umatnya untuk menyerahkan segala urusan kepada Allah. Ketika manusia berpaling dan menolak, ini adalah ujian. Ayat ini menegaskan bahwa kekuatan dan tipu daya musuh tidak akan pernah bisa melampaui keagungan dan perlindungan dari Rabbul 'Arsyil 'Aẓīm. Menurut Al-Qurtubi, penegasan Arasy Agung di akhir ayat berfungsi untuk menenangkan hati mukmin, menunjukkan bahwa yang menjadi penolong adalah Pemilik Kerajaan Tertinggi, yang kedaulatan-Nya melampaui semua kerajaan dunia.
Ibnu Katsir menekankan bahwa ayat ini adalah salah satu dalil yang paling tegas mengenai kewajiban tawakkal. Ia meriwayatkan hadis yang menguatkan bahwa siapa pun yang membaca ayat ini dengan keyakinan yang tulus, maka Allah akan mencukupinya dari segala hal yang merisaukannya, baik urusan dunia maupun akhirat. Ayat ini adalah kunci menuju ketenangan batin, karena ia menghilangkan kekhawatiran terhadap makhluk, dan memfokuskan hati hanya kepada Sang Khaliq.
Dalam banyak riwayat dan praktik ulama salaf, ayat ini dikenal sebagai salah satu Dzikir Al-Hifzh (dzikir perlindungan). Keyakinan ini didasarkan pada kata Ḥasbiyallāh. Mengulang-ulang ayat ini dengan penuh kesadaran dan kehadiran hati adalah sarana untuk membangun benteng spiritual dari rasa takut, kerugian, dan tipu daya makhluk. Pengulangan ini bukan sekadar rutinitas lisan, melainkan penegasan ulang janji diri untuk bergantung sepenuhnya hanya kepada Allah, Dzat yang memiliki kekuasaan atas alam semesta.
Ketiga konsep—tauhid, tawakkal, dan janji kecukupan—berjalan secara simetris dalam ayat 129. Ayat ini mengajarkan sebuah formula spiritual yang sempurna. Ketika manusia mencapai tingkatan tauhid yang murni (lā ilāha illā huw), secara otomatis ia akan mencapai tingkatan tawakkal yang benar ('alaihi tawakkaltu). Hasil dari kedua hal ini adalah janji kecukupan dan perlindungan Allah (ḥasbiyallāh).
Jika seseorang masih khawatir secara berlebihan terhadap rezeki yang luput, kekuasaan musuh, atau penilaian manusia, maka tawakkalnya dianggap belum sempurna. Kekhawatiran adalah indikasi adanya sandaran hati kepada selain Allah. Ayat ini memaksa mukmin untuk melakukan pemeriksaan batin: sejauh mana aku benar-benar meyakini bahwa hanya Dia lah yang berhak disembah? Jika keyakinan ini utuh, maka hati akan tenang karena tahu bahwa Dzat yang mengatur segala urusan telah menjadi penjamin.
Konsep ḥasbiyallāh adalah pembebasan dari perbudakan makhluk. Manusia secara naluriah mencari sandaran. Dalam sistem duniawi, sandaran berupa uang, jabatan, popularitas, atau kekuatan fisik. Ayat ini membalikkan piramida sandaran tersebut. Ketika seseorang dideklarasikan oleh Allah bahwa "cukuplah Aku bagimu," maka semua sandaran duniawi menjadi aksesoris, bukan fondasi. Keterbatasan sumber daya, penolakan sosial, dan ancaman fisik tidak lagi memiliki daya gertak yang substansial di hadapan kecukupan Allah.
Seorang mukmin yang menghayati ayat ini menyadari bahwa keridhaan manusia bukanlah tujuan, dan kemarahan mereka pun tidak merusak substansi perlindungan ilahi. Ini memberikan kekuatan moral yang luar biasa bagi para dai, pemimpin, dan individu yang menghadapi tekanan besar dalam menegakkan kebenaran, sebagaimana yang dihadapi Rasulullah ﷺ ketika ayat ini diwahyukan.
Frase "wa huwa rabbul 'arsyil 'aẓīm" adalah penutup ayat yang paling kuat dan deskriptif. Pemilihan Arasy sebagai penegasan kedaulatan Allah memiliki makna kosmik dan metafisik yang mendalam, dan hal ini memerlukan elaborasi yang luas untuk memahami implikasi tawakkal yang sebenarnya.
Arasy, atau Singgasana, adalah ciptaan Allah yang paling besar dan termulia. Dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Arasy adalah wujud hakiki, batas tertinggi dari segala sesuatu yang diciptakan, dan tempat di mana kekuasaan Allah yang Maha Agung termanifestasi secara sempurna (tanpa menentukan bentuk atau cara yang menyerupai makhluk). Penamaannya sebagai Al-'Aẓīm (Yang Agung) menegaskan kebesaran dan keluasan dimensinya yang tak terbayangkan oleh akal manusia.
Para ulama tafsir kontemporer dan klasik sepakat bahwa Arasy melambangkan totalitas kedaulatan, manajemen, dan pengaturan atas seluruh alam. Semua galaksi, planet, hukum fisika, takdir manusia, hingga detail terkecil dalam kehidupan semut, semuanya berada di bawah naungan dan pengaturan Pemilik Arasy.
Mengapa ayat yang mengajarkan tawakkal ditutup dengan menyebutkan Arasy? Jawabannya terletak pada pemaknaan skala. Jika seseorang hanya bertawakkal kepada "Allah," mungkin dalam benak sebagian orang Dia dianggap hanya sebagai Pencipta lokal. Namun, ketika Allah ditegaskan sebagai Rabbul 'Arsyil 'Aẓīm, Dia adalah Penguasa mutlak yang mengendalikan semua dimensi, di luar batasan waktu dan ruang yang dikenal manusia.
Penyebutan ini memberikan keyakinan absolut bagi orang yang bertawakkal: Sandaranmu bukanlah Dzat yang kekuasaan-Nya terbatas, melainkan Dzat yang kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu, hingga Arasy yang merupakan puncak dari ciptaan. Dengan demikian, tidak ada kekuatan di alam semesta yang mampu melawan perlindungan-Nya.
Arasy adalah representasi dari Rububiyah (ketuhanan dalam aspek pemeliharaan dan pengurusan). Dalam ayat-ayat lain, disebutkan bahwa Allah bersemayam di atas Arasy (Istawa 'alal 'Arsy) dan mengatur segala urusan. Ketika mukmin mengucapkan "Hanya kepada-Nya aku bertawakkal," dan langsung diikuti dengan pengakuan kedaulatan Arasy, ia menyadari bahwa ia meletakkan kepercayaannya pada pusat kendali semesta.
Apabila segala urusan dikendalikan dari Arasy, maka setiap persoalan yang dihadapi manusia di bumi (entah itu sakit, kemiskinan, ketakutan, atau ancaman) adalah bagian dari urusan yang dikelola oleh Rabbul 'Arsyil 'Aẓīm. Konsekuensinya, jika Dia berkehendak melindungi hamba-Nya, tidak ada kekuatan yang dapat menolaknya, karena semua kekuatan berada di bawah Arasy-Nya.
Meskipun diturunkan dalam konteks peperangan dan konflik sosial di Madinah, relevansi Qs. At-Taubah 129 tetap abadi dan universal. Ayat ini berfungsi sebagai panduan hidup dalam menghadapi kompleksitas dan ketidakpastian dunia modern.
Di era yang didominasi oleh fluktuasi pasar, PHK massal, dan ketidakamanan finansial, frasa Ḥasbiyallāh menjadi penangkal kecemasan. Konsep ini tidak mengajarkan kemalasan, melainkan mengajarkan pelepasan beban psikologis setelah berikhtiar maksimal. Tawakkal yang disandarkan pada Penguasa Arasy berarti meyakini bahwa rezeki dan hasil akhir adalah ketentuan Dzat yang mengatur seluruh kosmos. Kekalahan saham atau kerugian bisnis tidak berarti akhir dari segalanya, karena kecukupan sejati berasal dari sumber yang tak pernah kering.
Ketika seseorang merasa terisolasi, diintimidasi, atau ditolak karena kebenaran yang ia yakini (sesuai dengan konteks Fa in tawallaw), ayat ini memberikan stabilitas moral. Seringkali, tekanan sosial, fitnah, atau pengucilan dapat meruntuhkan semangat. Ayat ini mengingatkan bahwa bahkan jika seluruh dunia berpaling, kecukupan Allah (Ḥasbiyallāh) sudah lebih dari cukup. Ini membentuk karakter yang berani, jujur, dan teguh pada prinsip, tanpa takut kehilangan dukungan makhluk.
Bagi para ilmuwan, profesional, dan pemikir, tawakkal bukanlah antitesis dari kerja keras dan penelitian. Sebaliknya, tawakkal adalah dorongan motivasi terbesar. Ketika seorang ahli bedah melakukan operasi yang kompleks, ia akan melakukan persiapan terbaik (ikhtiar). Namun, hasil akhirnya—kesembuhan total atau komplikasi—diserahkan kepada Rabbul 'Arsyil 'Aẓīm. Penyerahan diri ini menghilangkan kesombongan ketika sukses dan keputusasaan ketika gagal, karena hasil ada dalam genggaman-Nya.
Ayat ini mengajarkan keseimbangan sempurna: Ikhtiarlah seolah-olah semua hasil bergantung pada usahamu, tetapi tawakkallah seolah-olah usahamu tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kehendak Allah. Ini adalah paradoks yang membebaskan.
Untuk mencapai bobot teologis yang sangat mendalam dari ayat ini, kita perlu merenungkan bagaimana konsep keagungan Arasy ('Aẓīm) menyatu dengan Tauhid (lā ilāha illā huw) dalam menciptakan makna Tawakkal yang multidimensional.
Sifat Al-'Aẓīm (Yang Maha Agung) yang dilekatkan pada Arasy, secara refleksif, merujuk pada keagungan Dzat Allah sendiri. Keagungan-Nya menuntut ketaatan mutlak dan tawakkal yang tak terbatas. Keagungan ini bukan hanya berarti besar secara fisik (walaupun Arasy adalah ciptaan terbesar), tetapi juga agung dalam kehendak, pengetahuan, kebijaksanaan, dan kekuasaan-Nya. Ketika kita bertawakkal kepada Yang Maha Agung, kita menempatkan harapan kita pada Dzat yang sifat-sifat-Nya sempurna tanpa cela atau kekurangan.
Jika Allah Maha Agung, maka rencana-Nya pun agung, dan pertolongan-Nya pun agung. Hal ini memastikan bahwa janji ḥasbiyallāh adalah janji yang pasti terpenuhi, karena dikeluarkan oleh Dzat yang tidak mungkin melanggar janji atau dikalahkan oleh makhluk manapun.
Seluruh takdir (qada dan qadar) makhluk telah tertulis di Lauhul Mahfuzh, yang dalam beberapa riwayat dan interpretasi, dikaitkan dengan kedekatannya dengan Arasy. Dengan mengakui bahwa Allah adalah Pemilik Arasy, kita mengakui bahwa Dia adalah penulis dan pelaksana dari seluruh takdir yang telah ditetapkan.
Ini mengubah perspektif mukmin terhadap musibah. Musibah bukanlah kegagalan sistem, melainkan bagian dari skenario agung yang dikelola dari Pusat Kendali Kosmik (Arasy). Menghayati hal ini memampukan seseorang menerima hasil yang tidak diinginkan dengan hati yang damai, karena ia tahu bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendak dan kebijaksanaan Pemilik Arasy yang Agung. Tidak ada takdir yang terjadi tanpa izin-Nya, dan oleh karena itu, penolakan dan ujian adalah bagian dari rencana-Nya yang harus dihadapi dengan tawakkal.
Qs. At-Taubah 129 adalah momen puncak kesadaran spiritual, sebuah klimaks. Ayat ini mengharuskan seseorang melepaskan semua ego, semua klaim kekuatan pribadi, dan semua ketergantungan pada makhluk. Proses pelepasan ini menciptakan kekosongan spiritual yang hanya dapat diisi oleh pengakuan mutlak: "Cukuplah Allah bagiku." Kekosongan ini menjadi wadah sempurna untuk menerima ketenangan ilahiah yang hanya dapat diberikan oleh Rabbul 'Arsyil 'Aẓīm. Inilah makna terdalam dari pembebasan spiritual yang ditawarkan oleh Islam.
Surat At-Taubah ditutup dengan pemandangan yang menakjubkan: di tengah hiruk pikuk perjuangan dunia, Nabi ﷺ dan umatnya diajarkan untuk mengangkat pandangan hati mereka jauh melampaui konflik-konflik fana, menuju Dzat yang memiliki Arasy yang Agung. Ayat 129 ini berfungsi sebagai penutup yang kokoh, mengikat seluruh ajaran surat tersebut ke dalam satu prinsip fundamental: Kedaulatan adalah milik Allah semata.
Warisan ayat ini adalah warisan ketahanan (sumud) dan keyakinan (yaqin). Ia merupakan formula pertolongan diri yang paling ampuh, yang tidak bergantung pada kekuatan materi, jumlah pasukan, atau opini publik. Kekuatan sejati berasal dari interioritas, dari hati yang mengucapkan ḥasbiyallāh dengan kesadaran penuh bahwa Dzat yang dijadikan sandaran adalah Dzat yang Menguasai segala dimensi, Penguasa Arasy yang Agung.
Dalam setiap tantangan yang kita hadapi—seberat apapun penolakan, sekecil apapun harapan duniawi—respon kita sebagai mukmin haruslah selalu sama, yang terangkum dalam lima pilar teologis ini:
Ayat ini memastikan bahwa selama kita memegang teguh tali tawakkal ini, meskipun kita merasa sendirian di dunia ini, kita sesungguhnya berada dalam perlindungan Dzat yang kedaulatan-Nya melampaui segala batasan. Ini adalah janji ketenangan abadi bagi hati yang beriman.
Pengulangan dan pendalaman makna dari setiap frase dalam ayat ini adalah jalan menuju kesempurnaan iman. Ketika seorang hamba menyadari bahwa seluruh makhluk, mulai dari atom terkecil hingga Arasy yang paling agung, semuanya tunduk di bawah perintah Allah, maka ia akan menemukan kedamaian yang melampaui segala pemahaman, dan ia akan benar-benar merasakan bahwa cukuplah Allah baginya sebagai penolong yang terbaik.
Pilar keyakinan ini, yang terukir dalam Qs. At-Taubah 129, harus menjadi nafas kehidupan sehari-hari, sebuah mantra spiritual yang mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada apa yang kita miliki, tetapi pada Dzat yang kita sandari. Penegasan terhadap keesaan Allah, yang diikuti dengan pengakuan atas Arasy-Nya, adalah penegasan bahwa tidak ada entitas yang bisa menandingi rencana dan kehendak-Nya.
Maka, biarlah manusia berpaling, biarlah tantangan datang silih berganti, dan biarlah dunia menawarkan sandaran yang rapuh. Jawaban mukmin tetap teguh dan abadi: Ḥasbiyallāh, lā ilāha illā huw, 'alaihi tawakkaltu wa huwa rabbul 'arsyil 'aẓīm.