Pendahuluan: Ayat Pondasi Gerak dan Akuntabilitas
Dalam khazanah Al-Qur'an, Surah At-Taubah (Pengampunan) memuat banyak ajaran fundamental mengenai keimanan, jihad, dan pemurnian niat. Di antara sekian banyak ayat yang membentuk karakter muslim yang utuh, Ayat 105 memiliki posisi yang sangat sentral, terutama dalam menentukan bagaimana seorang mukmin seharusnya menjalani kehidupannya di dunia. Ayat ini bukan sekadar perintah untuk bergerak, melainkan sebuah formula spiritual dan sosial yang menyandingkan kerja keras, pengawasan, dan pertanggungjawaban di hari akhir.
Ayat ini diturunkan pada periode ketika masyarakat Muslim di Madinah sedang menghadapi tantangan berat, baik dari musuh luar maupun dari golongan munafik di dalam. Konteks historis ini memberikan kedalaman pada pesan ayat tersebut, menuntut kejelasan dan ketulusan dalam setiap tindakan, terutama setelah Allah mengizinkan taubat bagi mereka yang mengakui kesalahan dan beramal saleh (seperti yang diceritakan di ayat-ayat sebelumnya). Ayat ini berfungsi sebagai penutup sekaligus penegasan: taubat yang hakiki harus diiringi dengan tindakan nyata dan konsisten.
Tiga komponen utama yang terkandung dalam ayat ini—perintah untuk bekerja (amal), dimensi pengawasan (ru’yah), dan kepastian akuntabilitas (hisab)—menjadikannya landasan bagi etika kerja Islam (etos kerja). Untuk memahami kedalaman makna ini, kita perlu membedah setiap frasa, melihat implikasinya dalam kehidupan spiritual, profesional, dan sosial seorang mukmin, serta bagaimana ayat ini menjadi penangkal utama terhadap kemalasan, kemunafikan, dan ketidakjujuran.
Pentingnya Kontinuitas dan Konsistensi: Perintah ‘Bekerjalah’ (اعْمَلُوا - I'malū) menggunakan bentuk imperatif jamak, menekankan bukan hanya urgensi tindakan, tetapi juga perlunya tindakan tersebut dilakukan secara kolektif dan berkelanjutan. Ini adalah seruan universal yang berlaku bagi setiap individu, terlepas dari status sosial atau jenis profesinya. Kerja di sini tidak dibatasi hanya pada ibadah ritual, melainkan mencakup seluruh aspek kehidupan yang bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
II. Tafsir Mendalam Lafazh Kunci dan Konteks Historis
A. Analisis Lafazh: Tujuh Pilar Ayat 105
Ayat yang ringkas ini memuat struktur yang sangat padat dan logis, membangun argumen teologis dari aksi (kerja) menuju reaksi (pengawasan) dan diakhiri dengan konsekuensi (hisab). Memahami setiap kata adalah kunci untuk menangkap pesan utuhnya.
1. وَقُلِ اعْمَلُوا (Wa Quli I'malū): Perintah Aksi
Ini adalah inti dari ayat tersebut, berupa perintah tegas dari Allah melalui Nabi Muhammad SAW. Kata ‘I’malū’ berasal dari akar kata ‘amal’, yang merujuk pada segala bentuk perbuatan yang dilakukan secara sadar, baik hati, maupun fisik. Dalam terminologi Islam, amal memiliki cakupan yang jauh lebih luas daripada sekadar ‘bekerja’ dalam arti ekonomi. Ia mencakup: melaksanakan shalat, mencari nafkah, berdakwah, menuntut ilmu, membantu sesama, hingga bertani dan berdagang. Perintah ini menolak konsep fatalisme atau pasifisme yang keliru, di mana seseorang hanya menunggu takdir tanpa usaha. Islam adalah agama tindakan, dan ayat ini adalah manifestasi paling jelas dari prinsip tersebut. Amal yang dimaksud haruslah sesuai dengan syariat (amal saleh), dilakukan dengan itqan (profesionalisme), dan dilandasi oleh niat yang tulus (ikhlas).
2. فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ (Fasayara Allāhu 'Amalakum): Pengawasan Ilahi
Frasa ini mengandung jaminan absolut bahwa tidak ada satu pun perbuatan, sekecil apa pun, yang luput dari pandangan Allah. Huruf 'Fa' (ف) menunjukkan hubungan sebab-akibat: karena kamu diperintahkan bekerja, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat. Penglihatan Allah di sini tidak sekadar melihat hasil atau gerakan fisik, tetapi juga menembus ke dalam niat (niyyah) dan kualitas hati pelakunya. Ini adalah konsep teologis yang paling penting dalam mendorong keikhlasan. Jika seorang mukmin yakin bahwa Sang Pencipta melihat niat di balik tindakan, ia akan terdorong untuk menjauhi riya’ (pamer) dan menjaga kualitas amalannya secara maksimal. Tafsir klasik, termasuk Ibnu Katsir, menekankan bahwa pengetahuan Allah adalah sempurna, mencakup dimensi batin dan lahiriah.
3. وَرَسُولُهُ (Wa Rasūluhu): Pengawasan Kenabian
Pada masa hidup Nabi Muhammad SAW, ini berarti bahwa Nabi secara fisik akan menyaksikan dan menilai amalan umatnya, memberikan bimbingan dan koreksi jika diperlukan. Setelah wafatnya Rasulullah, para ulama berbeda pendapat mengenai mekanisme pengawasan ini. Mayoritas ulama Ahlussunnah berpendapat bahwa pengawasan ini bersifat spiritual atau melalui penyampaian amalan umat kepada Rasulullah di alam barzakh, atau melalui Sunnah beliau yang menjadi standar penilaian. Intinya, amal kita harus sejalan dengan petunjuk dan teladan yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
4. وَالْمُؤْمِنُونَ (Wal-Mu’minūn): Pengawasan Sosial
Dimensi ini memperkenalkan aspek tanggung jawab sosial dan transparansi. Kerja kita tidak boleh tersembunyi dalam kerahasiaan total, terutama jika kerja tersebut memiliki dampak publik atau sosial. Para mukmin (orang-orang beriman) akan melihat pekerjaan kita. Ini mendorong moralitas publik, menjauhkan seseorang dari kemunafikan yang disembunyikan. Jika seorang mukmin melakukan kebaikan, hal itu akan memotivasi mukmin lainnya. Jika ia melakukan keburukan, ia akan menerima nasihat atau teguran. Ayat ini secara implisit mewajibkan adanya sistem kontrol sosial yang sehat, di mana umat memiliki hak dan tanggung jawab untuk saling mengawasi dan menasihati dalam kebaikan (amar ma’ruf nahi munkar).
5. وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ (Wa Satuuraddūna Ilā 'Ālimil-Ghaibi Wash-Shahādah): Kepastian Kembali
Ini adalah pengingat akan Hari Kiamat. Kata ‘Satuuraddūna’ berarti ‘kamu pasti akan dikembalikan’. Ini adalah janji yang tidak mungkin dilanggar. Pengembalian ini bukan kepada entitas yang terbatas, melainkan kepada ‘Ālimil-Ghaibi Wash-Shahādah (Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata). ‘Gaib’ adalah segala sesuatu yang tersembunyi dari indra manusia (niat, masa depan, alam kubur, dll.), sementara ‘Syahādah’ adalah segala sesuatu yang terlihat dan dialami (amal lahiriah, pergerakan, hasil kerja). Sifat Allah yang meliputi keduanya menjamin bahwa tidak ada alasan apa pun yang dapat digunakan untuk menyembunyikan kebenaran di hari perhitungan.
6. فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (Fayunabbi'ukum Bimā Kuntum Ta'malūn): Pemberitaan Penuh
Allah SWT akan memberitahukan (menyingkapkan) secara detail segala sesuatu yang telah kita kerjakan. 'Yunabbi'ukum' (Dia akan memberitakan kepadamu) mengandung makna pengungkapan yang menyeluruh, tidak hanya perbuatan itu sendiri, tetapi juga motif, konteks, dan dampaknya. Akuntabilitas ini bersifat total dan final. Hal ini memberikan dorongan kuat bahwa kualitas amal (keikhlasan) jauh lebih penting daripada kuantitas amal, karena yang diungkap adalah kebenaran sejati di balik tirai hati.
III. Pilar Pertama: Etos Kerja sebagai Manifestasi Iman (I'malū)
A. Konsep Amal Saleh yang Universal
Dalam memahami perintah 'I'malū', penting untuk membebaskan diri dari pemahaman sempit bahwa kerja hanya sebatas mencari nafkah. Amal saleh mencakup segala aktivitas positif yang selaras dengan tujuan penciptaan manusia (kekhalifahan di bumi). Mencari nafkah, mengurus keluarga, berinteraksi sosial, menuntut ilmu, dan beribadah, semuanya terangkum dalam definisi amal jika dilakukan dengan niat yang benar dan cara yang sesuai syariat. Imam Al-Ghazali, dalam pandangannya, menegaskan bahwa pekerjaan dunia yang diniatkan untuk menopang kehidupan akhirat adalah ibadah itu sendiri, bahkan lebih utama daripada ibadah sunnah yang dilakukan dengan meninggalkan tanggung jawab duniawi.
Etos kerja yang muncul dari Ayat 105 adalah etos yang berorientasi ganda: Dunia dan Akhirat. Seorang mukmin bekerja bukan hanya untuk menghasilkan keuntungan materi, tetapi untuk memenuhi tanggung jawab (amanah) kepada Allah, keluarga, dan masyarakat. Produktivitas tinggi, kualitas (itqan), dan integritas adalah ciri-ciri utama etos kerja ini.
B. Itqan dan Profesionalisme
Perintah untuk bekerja menuntut kualitas, yang dalam Islam dikenal sebagai itqan. Itqan berarti melakukan sesuatu dengan sempurna, teliti, dan profesional. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah menyukai apabila salah seorang dari kalian melakukan suatu pekerjaan, ia melakukannya dengan itqan (sempurna)." Penerapan itqan dalam konteks modern sangat relevan, menuntut setiap muslim—baik ia seorang insinyur, dokter, guru, maupun petugas kebersihan—untuk memberikan kontribusi terbaiknya. Kualitas kerja yang rendah bukan hanya kerugian ekonomi, tetapi juga dianggap sebagai pengkhianatan terhadap amanah dan bertentangan langsung dengan semangat ‘I’malū’.
Konteks profesionalisme ini juga menuntut kesesuaian antara lisan dan perbuatan. Jika Surah At-Taubah diturunkan dalam konteks membedakan antara mukmin sejati dan munafik, maka amal yang profesional dan berintegritas adalah alat pembeda tersebut. Orang munafik banyak berjanji tetapi buruk dalam perbuatan; sebaliknya, mukmin sejati menguatkan janji dengan kualitas kerja yang prima. Ketidakjujuran dalam takaran, korupsi waktu, atau pengabaian tanggung jawab pekerjaan, semua itu termasuk dalam kategori amal yang buruk yang akan dilihat dan dihisab oleh Allah SWT.
C. Bekerja sebagai Pilar Kedaulatan Umat
Amal yang produktif dan berkualitas adalah fondasi bagi kekuatan dan kedaulatan umat Islam. Jika setiap individu menjalankan perintah ‘I’malū’ dengan kesadaran penuh akan pengawasan Ilahi, maka secara kolektif, umat akan mencapai kemandirian dalam segala bidang, mulai dari pangan, teknologi, hingga pertahanan. Kemalasan dan ketergantungan adalah musuh dari etos yang ditanamkan oleh ayat ini. Sejarah peradaban Islam menunjukkan bahwa pada masa kejayaannya, umat sangat menekankan pada pengembangan ilmu pengetahuan dan profesionalisme, menjadikannya bukti nyata penerapan Ayat 105 secara masif.
IV. Pilar Kedua: Dimensi Pengawasan (Ru'yah) dan Pemurnian Niat
Frasa "Maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin" memperkenalkan tiga lapisan pengawasan yang harus disadari oleh setiap pelaku amal. Lapisan ini tidak hanya berfungsi sebagai ancaman, tetapi terutama sebagai mekanisme untuk memastikan keikhlasan (sincerity).
A. Lapisan Pertama: Pengawasan Allah (Ru’yah Ilahiyah)
Ini adalah pengawasan yang paling absolut dan bersifat internal. Kesadaran bahwa Allah Maha Melihat segala hal—termasuk niat yang tersembunyi di balik perbuatan—menghasilkan tingkat keikhlasan tertinggi. Para ulama tasawuf menekankan bahwa kesadaran akan Ru’yah Ilahiyah adalah esensi dari Ihsan, yaitu beribadah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak mampu, yakinilah bahwa Dia melihatmu.
Dalam konteks Ayat 105, pengawasan Allah berfungsi sebagai penjaga terhadap riya’ dan sum'ah (mencari popularitas). Jika seseorang bekerja hanya untuk pujian manusia, ia mungkin bekerja keras saat dilihat, tetapi bermalas-malasan saat sendirian. Namun, jika ia sadar bahwa Allah melihatnya 24 jam sehari, 7 hari seminggu, maka kualitas kerjanya akan tetap terjaga, baik di ruang publik maupun di ruang privat. Keikhlasan yang dituntut oleh ayat ini menempatkan nilai amal pada hati, bukan pada mata manusia.
B. Lapisan Kedua: Pengawasan Rasul (Ru’yah Nabawiyah)
Seperti yang telah dibahas, pengawasan Rasulullah setelah wafatnya mengacu pada standar kenabian. Amal kita harus terukur dan sesuai dengan manhaj (metode) yang diajarkan oleh beliau. Jika pekerjaan duniawi dilakukan dengan cara yang melanggar syariat atau tidak etis, ia tidak akan mendapatkan restu (pengawasan positif) dari Rasulullah. Pengawasan ini memastikan bahwa kerja keras tidak dilakukan secara serampangan, tetapi terikat pada koridor hukum dan etika Islam. Seseorang mungkin sukses besar di mata dunia, tetapi jika kesuksesan itu diraih melalui kecurangan, penipuan, atau menzalimi orang lain, maka amal tersebut gagal memenuhi standar pengawasan Rasulullah.
C. Lapisan Ketiga: Pengawasan Mukmin (Ru’yah Ijtimā'iyah)
Lapisan ini menuntut transparansi dan akuntabilitas sosial. Ketika amal kita dilihat oleh sesama mukmin, hal ini menciptakan komunitas yang saling mendukung dan mengoreksi. Pengawasan sosial mencegah lahirnya kejahatan terorganisir dan korupsi yang tersembunyi, sebab kebenaran pada akhirnya akan terungkap. Dalam pandangan hukum Islam (Fiqh), pengawasan sosial ini menjadi landasan bagi Hisbah (fungsi pengawasan pasar dan moral) dan konsep kesaksian dalam peradilan.
Namun, pengawasan oleh mukmin ini harus disikapi dengan bijaksana:
- Mendorong Kebaikan: Keberhasilan seorang mukmin harus menjadi inspirasi, bukan sumber iri hati.
- Mencegah Kemungkaran: Jika terlihat kemungkaran atau ketidakjujuran dalam pekerjaan, mukmin lain wajib melakukan nasihat (tabligh) secara santun.
- Membedakan Riya’ dan Syiar: Melakukan amal yang baik secara terbuka bukan selalu riya’. Jika niatnya adalah untuk memberikan syiar dan motivasi, maka itu adalah amal yang dianjurkan. Ayat ini membedakan niat tulus yang dilihat orang lain dengan niat pamer yang ditujukan untuk orang lain.
Tiga lapisan pengawasan ini membentuk sistem yang komprehensif: Allah mengawasi hati, Rasulullah mengawasi metode, dan Mukmin mengawasi manifestasi di lapangan. Tidak ada jalan keluar dari pertanggungjawaban.
V. Pilar Ketiga: Kepastian Akuntabilitas dan Hisab di Hari Akhir
A. Kembalinya kepada 'Ālimil-Ghaibi Wash-Shahādah
Puncak dari Ayat 105 adalah kepastian kembali kepada Allah SWT (Sayuraddūna). Perjalanan hidup di dunia hanyalah persinggahan singkat sebelum kembali ke hadapan Dzat Yang Maha Mengetahui segala rahasia (Al-Ghaib) dan segala yang nampak (As-Syahādah). Penggabungan dua sifat ini ('Ālimul-Ghaib dan As-Syahādah) memberikan penekanan luar biasa pada totalitas pengetahuan Allah. Tidak ada berkas yang hilang, tidak ada niat yang salah tafsir, dan tidak ada kebohongan yang bisa menutupi fakta. Jika Allah hanya mengetahui yang nyata (As-Syahādah), manusia masih bisa menyembunyikan niat buruk. Tetapi karena Dia juga mengetahui yang gaib, maka seluruh dimensi amal akan dibuka.
Kesadaran akan hisab ini berfungsi sebagai mesin internal yang menggerakkan moralitas. Manusia modern sering kali hanya takut pada hukum positif (hukum buatan manusia) yang mudah direkayasa atau dihindari. Ayat 105 menawarkan hukum yang tidak dapat dihindari, yang menjangkau ke domain spiritual dan batin. Inilah yang membedakan etika kerja Islam dari etika sekuler; motivasi utamanya adalah keridhaan Ilahi dan keselamatan di akhirat, bukan hanya keuntungan duniawi atau reputasi sosial.
B. Mekanisme Pemberitaan: Fayunabbi'ukum
Akuntabilitas di hari kiamat bukan sekadar penghakiman, tetapi juga proses pemberitaan atau penyingkapan kebenaran. Kata ‘Yunabbi'ukum’ (Dia akan memberitakan kepadamu) mengandung unsur personalisasi. Setiap individu akan diberitahu secara langsung mengenai apa yang telah ia kerjakan. Pemberitaan ini akan mencakup seluruh detail pekerjaan, niat, cara pelaksanaan, dan dampaknya terhadap orang lain.
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa penyingkapan ini akan mencakup:
- Amal yang Diniatkan Riya’: Walaupun amal tersebut terlihat baik di mata manusia, Allah akan menyingkap niat bathil yang tersimpan di hati.
- Amal yang Tersembunyi: Kebaikan rahasia yang tidak diketahui siapa pun selain Allah akan diumumkan dan dibalas. Ini memotivasi orang untuk melakukan sedekah sembunyi-sembunyi dan ibadah malam.
- Dampak Jangka Panjang (Amal Jariyah): Hasil dari pekerjaan (baik atau buruk) yang terus mengalir setelah kematian (seperti ilmu yang bermanfaat atau yayasan yang baik) akan dihisab secara proporsional.
Kesadaran akan penyingkapan ini mendorong introspeksi diri (muhasabah) secara teratur di dunia. Seorang mukmin yang menerapkan Ayat 105 akan selalu mengoreksi diri sebelum tidur: Apakah amal hari ini sudah sejalan dengan niat tulus? Apakah sudah dilakukan secara profesional? Karena hari perhitungan pasti akan datang, sebaiknya perhitungan dimulai sejak sekarang.
VI. Implementasi Kontemporer Ayat 105 dalam Kehidupan Modern
Prinsip-prinsip yang tertanam dalam Surah At-Taubah Ayat 105 adalah abadi dan sangat relevan untuk mengatasi masalah-masalah kontemporer, mulai dari krisis etika di tempat kerja hingga disintegrasi moral sosial.
A. Menangkal Krisis Etika dan Korupsi
Di era modern, krisis etika profesional, seperti korupsi, nepotisme, dan manipulasi data, merajalela. Fenomena ini muncul karena adanya keyakinan bahwa tindakan jahat dapat disembunyikan dari pengawasan manusia (sistem hukum yang lemah). Ayat 105 adalah antidote teologis terhadap korupsi. Jika seorang pejabat atau profesional benar-benar menginternalisasi bahwa 'Allah akan melihat pekerjaannya', maka ia tidak akan berani melakukan tindakan koruptif, meskipun tidak ada kamera atau pengawas di sekitarnya. Pengawasan Ilahi menjadi auditor yang paling ketat dan tidak dapat disuap.
Penerapan Ayat 105 secara kolektif di suatu lembaga akan menciptakan budaya kerja yang didasarkan pada rasa takut (khauf) dan harapan (raja') kepada Allah. Rasa takut mencegah kecurangan, sementara harapan mendorong profesionalisme karena amal yang baik dijanjikan pahala abadi.
B. Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)
Bagi pelajar dan akademisi, perintah ‘I’malū’ dimaknai sebagai perintah untuk belajar dan meneliti dengan sungguh-sungguh (itqan). Kecurangan akademik (plagiarisme, menyontek) adalah bentuk pengkhianatan terhadap perintah ini. Jika ilmu adalah alat untuk membangun peradaban (amal), maka ilmu yang diperoleh secara tidak jujur akan menghasilkan amal yang rusak, yang pada akhirnya akan dihisab oleh Allah. Kurikulum pendidikan Islam harus menekankan bahwa mencari ilmu adalah pekerjaan utama (amal) yang wajib dilihat kualitasnya oleh Allah, Rasul, dan para guru (mukmin).
C. Keseimbangan Hidup (Work-Life Balance) dalam Konteks Amal
Meskipun ayat ini menyeru untuk bekerja, ia juga secara implisit mengajarkan keseimbangan. Amal yang dihisab adalah seluruh perbuatan. Ini berarti kerja keras di kantor (duniawi) harus diimbangi dengan kerja keras di rumah (keluarga) dan ibadah (ukhrawi). Seorang yang sukses secara karier tetapi menelantarkan tanggung jawabnya sebagai orang tua atau anggota masyarakat telah melakukan ‘amal’ yang tidak seimbang dan cacat di hadapan Allah. Keseimbangan ini memastikan bahwa definisi 'amal saleh' tetap holistik, mencakup hak Allah, hak diri sendiri, dan hak makhluk lainnya.
Para sarjana kontemporer sering membahas bagaimana tekanan kapitalisme modern dapat mengikis etika kerja. Ayat 105 menyediakan mekanisme pertahanan: pekerjaan bukan hanya alat akumulasi kekayaan, tetapi arena ujian spiritual. Jika pekerjaan merusak spiritualitas atau mengorbankan hak-hak asasi, maka ia tidak lagi tergolong 'amal saleh' yang dikehendaki oleh ayat ini.
D. Mengelola Keberhasilan dan Kegagalan
Ayat 105 memberikan perspektif unik tentang keberhasilan dan kegagalan. Keberhasilan yang hakiki bukanlah pengakuan dari manusia atau akumulasi kekayaan, melainkan kualitas amalan di mata Allah. Jika seseorang telah bekerja keras (I’malū) dengan niat tulus, tetapi hasil duniawinya tidak maksimal, ia tetap telah memenuhi perintah Ilahi dan pahalanya tidak berkurang. Sebaliknya, orang yang gagal secara etis meski sukses secara material, pada akhirnya akan diungkap keburukannya di hadapan ‘Ālimul-Ghaibi Wash-Shahādah.
Kesadaran ini menenangkan hati mukmin dalam menghadapi kompetisi dunia. Ia tidak perlu panik mengejar pengakuan, melainkan fokus pada itqan dan keikhlasan. Keberhasilan sejati adalah ketika di Hari Kiamat, Allah memberitakan (Yunabbi'ukum) bahwa amalnya diterima.
VII. Refleksi Spiritual: Menghidupkan Ayat 105 dalam Harian
Surah At-Taubah Ayat 105 adalah cerminan dari dinamika Islam sebagai agama yang menuntut aksi (dinul harakah) sekaligus menuntut kesadaran batin yang mendalam (dinul batin). Ayat ini mengakhiri perdebatan tentang peran takdir dan usaha manusia. Takdir telah ditetapkan, tetapi manusia tetap diperintahkan untuk berbuat, karena usaha itulah yang akan dihisab.
A. Prinsip Kekuatan Internal (Muhasabah)
Fondasi utama pelaksanaan ayat ini adalah muhasabah (introspeksi diri) yang berkelanjutan. Imam Hasan Al-Bashri menekankan pentingnya seorang mukmin menjadi hakim bagi dirinya sendiri di dunia, sebelum ia dihakimi oleh Hakim yang Maha Adil di akhirat. Setiap kali memulai pekerjaan, seorang mukmin harus bertanya: Apa niatku? Apakah pekerjaan ini bermanfaat? Apakah aku melakukannya dengan standar itqan tertinggi? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah praktik Muhasabah yang didasarkan pada kesadaran Ru’yah Ilahiyah.
Praktik muhasabah ini menciptakan kekuatan internal yang tidak terpengaruh oleh opini publik semata. Seseorang yang amalannya hanya bergantung pada pujian manusia akan rapuh. Tetapi seseorang yang amalannya dipersembahkan kepada Yang Maha Melihat akan memiliki ketahanan spiritual yang kokoh, menjadikannya pribadi yang konsisten, berintegritas, dan tidak mudah menyerah pada godaan duniawi.
B. Mengintegrasikan Iman, Ilmu, dan Amal
Ayat 105 mewajibkan integrasi total antara tiga elemen kunci: iman (keyakinan akan adanya hisab), ilmu (pengetahuan tentang bagaimana amal harus dilakukan sesuai syariat), dan amal (aksi nyata). Iman tanpa amal adalah fatamorgana. Amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Ilmu tanpa amal adalah kemunafikan. Ayat ini menegaskan bahwa ketiga pilar ini harus berjalan serentak, menghasilkan output berupa amal saleh yang berkualitas tinggi, baik secara spiritual maupun profesional.
Konsep bekerja (I’malū) dalam ayat ini memposisikan muslim bukan sebagai konsumen pasif peradaban, melainkan sebagai produsen aktif peradaban yang berlandaskan moralitas. Dari sekadar bekerja untuk hidup, menjadi bekerja untuk membangun, untuk mengabdi, dan untuk mempersiapkan pertemuan abadi dengan Sang Pencipta. Transformasi mentalitas ini adalah kunci untuk membebaskan umat dari kemunduran dan kembali kepada peran kekhalifahan yang sejati.
Sebagai penutup, Surah At-Taubah Ayat 105 bukan hanya sekedar ajakan. Ia adalah peringatan, jaminan, dan peta jalan. Peringatan tentang hisab yang pasti; jaminan bahwa setiap usaha tulus pasti dilihat dan dihargai; dan peta jalan menuju kesuksesan abadi, yang dicapai melalui aksi nyata yang dibalut dengan keikhlasan total di bawah pengawasan Ilahi yang tak terhindarkan. Kesadaran ini harus meresap ke dalam setiap tarikan napas dan gerakan tangan kita, menjadikan hidup di dunia ini sebagai ladang amal yang subur, siap dipanen di hari perhitungan yang agung.
Pesan utama yang tersisa adalah urgensi. ‘I’malū’ adalah perintah yang mendesak. Tidak ada waktu untuk menunda atau bermalas-malasan. Karena waktu terus berjalan, amal terus dicatat, dan setiap detik dari pekerjaan kita, yang terlihat maupun tersembunyi, sedang disaksikan oleh Allah, Rasul-Nya, dan para mukmin. Dan pada akhirnya, kita semua akan kembali untuk dipertanggungjawabkan atas segala yang telah kita lakukan.
VIII. Perspektif Filosofis dan Teologis tentang Hisab
Kedalaman Ayat 105 juga terletak pada implikasi filosofis tentang keadilan dan kedaulatan Tuhan. Dalam teologi Islam, pertanyaan tentang mengapa Allah harus melihat pekerjaan kita padahal Dia Maha Mengetahui, sering muncul. Jawabannya terletak pada konsep keadilan sempurna (Al-Adl). Allah melihat pekerjaan kita dan mencatatnya bukan karena Dia perlu mengetahui, melainkan agar proses hisab nanti menjadi bukti yang tak terbantahkan. Penglihatan Allah, Rasul, dan Mukmin menjadi saksi yang memperkuat legitimasi penghakiman di Hari Kiamat.
Ayat ini mengajarkan bahwa Allah tidak menghisab manusia berdasarkan potensi yang ia miliki, melainkan berdasarkan usaha (amal) yang ia kerahkan. Ini memberikan harapan bagi setiap orang, terlepas dari latar belakang atau kemampuan bawaan mereka. Siapa pun yang berjuang keras dan beramal dengan ikhlas, meskipun hasilnya kecil di mata dunia, akan mendapatkan ganjaran yang adil. Ini adalah sistem meritokrasi yang paling sempurna, di mana nilai sesungguhnya dari manusia terletak pada upaya dan niatnya.
Ketegasan Qur'ani dalam Ayat 105 mengenai kepastian perhitungan berfungsi sebagai penyeimbang terhadap ajaran yang mungkin cenderung menekankan aspek rahmat tanpa memperhatikan aspek keadilan. Rahmat Allah sangat luas, namun ia tidak menghapuskan tanggung jawab manusia untuk berbuat. Rahmat dan keadilan berpadu: Allah memberi kesempatan untuk bekerja (I'malū) dan juga menjamin akuntabilitas (Sayuraddūna). Kedua janji ini membentuk motivasi paripurna bagi kehidupan yang bermakna dan bertanggung jawab di bawah naungan syariat Islam. Seorang mukmin harus hidup di antara dua sayap: Sayap takut (khauf) akan hisab yang ketat, dan Sayap harapan (raja’) akan rahmat yang luas melalui amal saleh yang telah ia kerjakan.
Oleh karena itu, Ayat 105 adalah manual operasional (S.O.P.) bagi setiap mukmin: Bekerja dengan kualitas tertinggi, jaga keikhlasan dari pengawasan Ilahi, dan bersiaplah untuk presentasi total di hadapan Pencipta Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi. Inilah hakikat dari kehidupan yang produktif dan bertaqwa.