Perintah Zakat, Pembersihan Jiwa, dan Ketenangan Ilahi
Ilustrasi fungsi Zakat sebagai pembersih dan penyucian.
Surah At-Taubah (Pengampunan) adalah surah yang diturunkan di Madinah, seringkali disebut juga sebagai Al-Bara’ah (Pemutusan Hubungan). Surah ini unik karena tidak diawali dengan lafaz Basmalah, menandakan ketegasan dan pengumuman perang terhadap kaum musyrikin yang melanggar perjanjian. Namun, di antara ayat-ayat yang keras mengenai jihad dan munafik, terdapat pula ayat-ayat yang sangat lembut dan penuh harapan bagi mereka yang tulus bertaubat.
Ayat ke-103 dari Surah At-Taubah datang sebagai penutup bagi kisah sekelompok orang, termasuk Tiga Orang yang Ditangguhkan (Ka'b bin Malik dan dua sahabat lainnya), yang mengakui kesalahan mereka karena tidak ikut serta dalam Perang Tabuk. Setelah Allah menerima taubat mereka (disebutkan dalam ayat 102), ayat 103 turun membawa perintah spesifik yang menegaskan pengakuan taubat tersebut melalui aksi nyata: Zakat dan Sedekah, yang berfungsi sebagai alat pembersihan dan penyucian spiritual.
Ayat ini adalah fondasi utama dalam memahami hubungan interaksi antara kepemimpinan (Nabi Muhammad SAW saat itu, dan kemudian para ulil amri atau amil zakat) dan umat (muzakki). Ayat ini menetapkan tiga pilar utama dalam proses penyucian seorang hamba yang bertaubat: perintah pengambilan zakat, fungsi zakat sebagai penyucian, dan kekuatan doa sang pemimpin.
Ayat ini sarat makna. Untuk mencapai pemahaman komprehensif, kita harus membedah setiap frasa kunci dan implikasinya dalam konteks syariat dan spiritual.
Perintah "Khudz" (Ambillah) adalah perintah tegas dari Allah kepada Rasulullah SAW. Ini menunjukkan bahwa zakat bukanlah pilihan sukarela murni, tetapi kewajiban yang harus diambil atau dikumpulkan oleh negara atau pihak berwenang. Ini menetapkan legalitas dan otoritas institusi amil zakat dalam Islam.
Fungsi perintah ini sangat krusial. Dalam sejarah Islam awal, perintah ini menjadi dasar operasional Baitul Mal (kas negara) dan manajemen harta sosial. Ketika ayat ini diturunkan, khususnya bagi mereka yang baru bertaubat, membayar zakat adalah manifestasi nyata dan fisik dari perubahan spiritual mereka. Mereka yang sebelumnya menyimpan harta dan ragu berjuang di jalan Allah, kini menyerahkan sebagian harta mereka sebagai bukti taubat yang murni.
Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa perintah 'Ambillah' ini adalah dasar bagi penguasa Muslim untuk mengambil paksa zakat dari orang-orang yang enggan membayarnya. Zakat adalah hak Allah dan hak fakir miskin, bukan sekadar sumbangan sukarela. Jika seseorang tidak mau bayar, penguasa berhak mengambilnya, bahkan jika perlu melalui peperangan, sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar Ash-Shiddiq terhadap kaum murtad yang menolak membayar zakat.
Inilah jantung spiritual dari ayat ini, merujuk pada dua proses berbeda namun saling terkait yang dihasilkan oleh zakat:
Kata ini berasal dari *Thaharah*, yang merujuk pada pembersihan dari kotoran atau dosa material. Zakat membersihkan harta benda yang tersisa dari hak orang lain. Dalam pandangan ulama, setiap harta yang belum dikeluarkan zakatnya dianggap bercampur dengan kotoran (dosa) karena hak fakir miskin melekat padanya. Dengan dikeluarkan zakat, harta itu menjadi halal dan suci kembali.
Kata ini berasal dari *Tazkiyah* (penyucian, pertumbuhan, peningkatan). Tazkiyah adalah proses spiritual. Zakat mensucikan jiwa dari penyakit-penyakit hati, yang paling utama adalah:
Tazkiyah tidak hanya berlaku pada individu (muzakki) tetapi juga pada masyarakat. Zakat menciptakan pertumbuhan sosial-ekonomi, mengurangi kesenjangan, dan menyuburkan rasa persaudaraan. Ini adalah konsep komprehensif; zakat membersihkan kotoran di harta (*tuthahhiruhum*) agar hati dapat disucikan dan tumbuh (*tuzakkihim*).
Setelah memerintahkan pengambilan harta, Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk mendoakan orang-orang yang telah menunaikan zakat. Kata *shalli* di sini, yang biasanya merujuk pada shalat, dalam konteks ini berarti mendoakan mereka. Ini adalah tugas pastoral yang penting bagi seorang pemimpin. Nabi Muhammad SAW biasa mendoakan: "Ya Allah, berikanlah rahmat kepada keluarga si Fulan."
Doa ini adalah pengakuan resmi dan spiritual dari pemimpin bahwa taubat dan pembayaran zakat mereka telah diterima, memberikan validasi yang sangat kuat bagi orang-orang yang berusaha kembali ke jalan yang benar.
Ini menjelaskan efek langsung dari doa pemimpin/Rasulullah SAW. Kata Sakanun berarti ketenangan, kedamaian, atau ketenteraman. Bagi mereka yang bertaubat, kepastian bahwa amal mereka diterima dan mereka didoakan oleh Nabi adalah sumber ketenangan yang menghilangkan kegelisahan dan rasa bersalah yang masih tersisa di hati mereka.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kepastian dari doa Nabi itu memberikan ketenangan yang jauh lebih berharga daripada harta yang telah mereka keluarkan. Ketenangan spiritual adalah imbalan tertinggi atas pengorbanan material.
Penutup ini berfungsi sebagai penegasan. Allah mendengar permohonan doa dari pemimpin dan mengetahui niat tulus dari mereka yang membayar zakat. Ini adalah jaminan bahwa proses Tazkiyah dan pemberian zakat tidak luput dari perhatian Ilahi.
Ayat 103 adalah salah satu ayat *hukmiyah* (penetapan hukum) terpenting terkait zakat. Perintah "Ambillah" menciptakan landasan hukum bagi pendirian institusi zakat (Baitul Mal) yang otonom dan berwenang penuh.
Ayat ini menunjukkan bahwa Zakat Mal (zakat harta) memiliki dua aspek: aspek ibadah (hubungan pribadi dengan Allah) dan aspek sosial-kenegaraan (hubungan dengan masyarakat). Kewajiban pengambilan (Khudz) menunjukkan bahwa zakat harus diatur dan didistribusikan secara terpusat oleh otoritas yang sah. Tugas amil zakat (pengumpul) sangat ditekankan, tidak hanya sebagai juru pungut tetapi juga sebagai perwakilan spiritual yang membawa doa ketenangan.
Dalam fiqih kontemporer, penafsiran perintah ini diperluas untuk mencakup badan-badan amil zakat resmi (BAZNAS, LAZ, dll.). Mereka tidak hanya berfungsi mengumpulkan, tetapi juga bertanggung jawab memastikan bahwa proses tersebut membawa fungsi pembersihan dan penyucian yang ditetapkan Allah SWT.
Meskipun Al-Quran sering menggunakan kata *shadaqah* untuk sedekah sunnah, mayoritas mufassirin dan fuqaha sepakat bahwa dalam konteks At-Taubah 103, *shadaqah* merujuk pada Zakat Wajib. Alasannya:
Penting untuk dipahami bahwa zakat yang diambil adalah syarat mutlak bagi pembersihan harta dan jiwa. Tanpa pembersihan ini, proses taubat bisa jadi belum sempurna. Harta yang dikeluarkan zakatnya kemudian menjadi dasar bagi keberkahan harta yang tersisa.
Zakat memastikan bahwa kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang kaya (*kay laa yakuuna duulatan baynal aghniyaa' minkum* - agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu, QS. Al-Hasyr [59]: 7). Melalui proses *tazkiyah* secara kolektif, zakat membantu menciptakan stabilitas ekonomi yang didasarkan pada empati dan distribusi yang adil.
Ibnu Taimiyyah menekankan bahwa zakat adalah kewajiban yang berhubungan dengan dua hak: hak Allah (sebagai ibadah) dan hak manusia (sebagai jaminan sosial). Fungsi *tazkiyah* menunjukkan bahwa kesejahteraan spiritual dan material tidak dapat dipisahkan dalam Islam; keduanya adalah hasil dari ketaatan terhadap perintah zakat.
Istilah Tazkiyatun Nafs, yang berarti penyucian jiwa, adalah tujuan tertinggi dari banyak ibadah dalam Islam, termasuk zakat. Ayat 103 secara eksplisit menyebutkan bahwa zakat berfungsi untuk *tuzakkihim* (mensucikan mereka). Proses penyucian ini adalah perjuangan abadi melawan sifat-sifat tercela.
Kekikiran adalah penyakit hati yang paling berbahaya yang diserang oleh zakat. Kekikiran adalah ketidakmauan untuk mengeluarkan harta karena kecintaan yang berlebihan terhadap materi. Al-Quran memperingatkan keras tentang bahaya kekikiran (QS. Ali Imran [3]: 180). Zakat berfungsi sebagai terapi kejiwaan, memaksa individu untuk melepaskan sebagian harta mereka demi ketaatan, sehingga meruntuhkan benteng kekikiran dalam hati.
Penyucian ini adalah kunci. Seorang muzakki, setelah menunaikan zakat dengan ikhlas, akan merasakan ringan dan bahagia, karena ia telah melepaskan belenggu materialistik yang memberatkan jiwanya. Rasa memiliki diubah menjadi rasa amanah (titipan).
Zakat tidak hanya membersihkan dari yang buruk, tetapi juga menumbuhkan yang baik. Ia menumbuhkan sifat dermawan (*sakha'*) dan empati sosial. Ketika seseorang sadar bahwa di dalam hartanya terdapat hak orang lain, ia akan lebih peka terhadap penderitaan kaum dhuafa. Ini adalah manifestasi nyata dari ketakwaan sosial.
Proses tazkiyah melalui zakat memastikan bahwa setiap kali muzakki melihat hartanya, ia tidak melihatnya sebagai hasil jerih payah semata, tetapi sebagai sumber kewajiban sosial yang menghubungkannya dengan saudara-saudaranya yang membutuhkan. Dengan demikian, harta yang tersisa menjadi berkat yang murni.
Dalam pandangan spiritual, harta yang dizakati akan mendapatkan keberkahan (*barakah*). Walaupun secara kuantitas harta berkurang, secara kualitas dan manfaatnya harta itu akan meningkat. Zakat memproteksi harta dari kerusakan fisik dan spiritual. Allah berfirman: *“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah (zakat)...”* (QS. Al-Baqarah [2]: 276). Penyuburan inilah yang dimaksud dengan salah satu aspek *tazkiyah*.
Melalui Tazkiyah, Zakat mengubah paradigma kemakmuran. Kemakmuran sejati bukanlah kuantitas aset yang dimiliki, melainkan seberapa besar aset tersebut mampu membersihkan jiwa dan membawa manfaat bagi umat. Inilah rahasia mengapa seorang yang membayar zakat akan mendapatkan *sakanun* (ketenangan) batin.
Bagian kedua ayat 103 adalah unik, menekankan bahwa kewajiban material (zakat) harus diikuti dengan dukungan spiritual (doa). Rasulullah SAW diperintahkan untuk mendoakan umat yang telah menunaikan zakat: *“Wa shalli ‘alaihim inna shalataka sakanun lahum.”*
Kontekstualisasi ayat ini terkait dengan orang-orang yang terlambat bertaubat setelah Perang Tabuk. Mereka membawa harta mereka ke hadapan Nabi SAW. Nabi menolak mengambil harta mereka pada awalnya sampai turun ayat yang menyatakan bahwa Allah menerima taubat mereka. Ketika ayat 103 turun, Nabi mengambil harta itu, dan yang terpenting, ia mendoakan mereka.
Doa ini merupakan semacam sertifikat penerimaan taubat dari otoritas tertinggi saat itu. Bagi seorang mukmin, mengetahui bahwa Rasulullah SAW telah mendoakannya adalah penghormatan spiritual yang luar biasa, menghilangkan segala keraguan dan kegelisahan tentang status ibadahnya di hadapan Allah.
Ketenangan (Sakanun) yang dijanjikan oleh doa Nabi adalah ketenangan yang komprehensif:
Dalam konteks modern, meskipun tidak ada Nabi, para ulama menafsirkan bahwa amil zakat atau pemimpin yang menerima zakat seharusnya tetap memberikan dukungan spiritual. Amil harus memperlakukan muzakki dengan hormat dan mendoakan keberkahan atas harta yang mereka keluarkan. Perlakuan baik ini menciptakan rasa *sakanun* yang serupa, mendorong muzakki untuk terus beramal dan merasa terhubung secara spiritual dengan institusi keagamaan.
Al-Jassas dalam kitab Ahkamul Quran mengatakan bahwa doa ini bukan hanya sekedar formalitas, melainkan inti dari interaksi antara pemimpin dan rakyat. Doa berfungsi sebagai pengakuan publik terhadap kesalehan, yang sangat penting untuk memperkuat moral masyarakat.
Meskipun ayat 103 diturunkan dalam konteks spesifik taubat setelah Tabuk, perintah di dalamnya bersifat universal dan berlaku bagi seluruh umat Islam hingga akhir zaman. Setiap muslim yang menunaikan zakat diharapkan mencapai derajat pembersihan dan penyucian yang sama.
Ayat 103 menyediakan antidote (penawar) terhadap materialisme berlebihan yang menuhankan harta. Dalam sistem kapitalis modern, harta adalah tujuan akhir. Dalam sistem Islam, harta adalah sarana yang harus dibersihkan secara periodik (zakat) agar tidak menjadi penghalang antara hamba dan Tuhannya. Zakat adalah pengingat konstan bahwa manusia hanyalah pemegang amanah.
Jika Tazkiyah tidak terjadi, maka zakat hanya menjadi transfer dana belaka, kehilangan fungsi spiritualnya. Oleh karena itu, kesadaran tentang *tuthahhiruhum wa tuzakkihim* harus selalu menjadi motivasi utama di balik pembayaran zakat.
Meskipun konteksnya adalah Zakat Wajib, banyak mufassir juga melihat dorongan untuk Sedekah Sunnah di dalam ayat ini. Jika zakat wajib memberikan penyucian dasar, maka sedekah sunnah memberikan penyucian tambahan dan berkelanjutan. Sedekah sunnah menjadi jembatan antara kewajiban (yang minimal) dan kesempurnaan iman (yang maksimal).
Semakin sering seseorang mengeluarkan harta, semakin terbiasa jiwanya dengan sifat dermawan, yang pada gilirannya akan memperkuat proses Tazkiyah. Harta yang dikeluarkan, baik wajib maupun sunnah, berfungsi sebagai perisai dari api neraka dan pembersih dosa.
Perintah kepada Rasulullah SAW untuk mendoakan (memberikan sakanun) menunjukkan bahwa tugas kepemimpinan tidak berhenti pada administrasi. Pemimpin harus juga berperan sebagai pendidik spiritual. Institusi zakat modern seharusnya tidak hanya efisien secara finansial, tetapi juga efektif secara spiritual, memastikan bahwa para muzakki merasakan ketenangan dan kedamaian sebagai imbalan ketaatan mereka.
Ketika sebuah negara atau lembaga mampu mengelola zakat secara transparan dan profesional, sambil juga memberikan apresiasi spiritual dan moral kepada para muzakki, maka akan tercipta sinergi antara kewajiban material dan ketenangan spiritual yang dijanjikan dalam ayat 103.
Untuk benar-benar memahami kedalaman fungsi Tazkiyah yang terkandung dalam Ayat 103, kita perlu menelusuri bagaimana Islam memandang hubungan antara manusia dan harta. Harta (mal) dalam pandangan Islam adalah fitnah (ujian) dan sekaligus nikmat. Zakat memastikan bahwa fitnah harta diubah menjadi nikmat ibadah.
Syahwat terhadap harta adalah salah satu syahwat terkuat yang dapat merusak iman. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Dua serigala lapar yang dilepaskan ke segerombolan kambing tidaklah lebih merusak dibandingkan kerusakan yang ditimbulkan oleh ketamakan seseorang terhadap harta dan kehormatan terhadap agamanya.” (HR. Tirmidzi). Zakat adalah disiplin yang secara periodik memotong ketamakan ini.
Setiap pembayaran zakat adalah deklarasi penyerahan diri: "Ya Allah, Engkaulah Pemilik sejati. Harta ini tidak menahanku dari ketaatan kepada-Mu." Ini adalah latihan spiritual yang melatih jiwa untuk tidak bergantung pada harta, tetapi bergantung sepenuhnya pada Allah SWT.
Kebalikan dari *tazkiyah* adalah stagnasi dan kerusakan (*fasad*). Jika zakat tidak dikeluarkan, harta menjadi *mal khabith* (harta yang kotor). Kotoran ini tidak hanya merusak harta itu sendiri (mengurangi keberkahannya), tetapi juga merusak pemakannya, yang pada akhirnya mematikan hati.
Dalam tafsir Ibnu Katsir, ditekankan bahwa perintah zakat ini ditujukan untuk membebaskan jiwa dari beban dosa. Jika dosa-dosa kaum bertaubat terkait dengan kelalaian finansial dan kekikiran, maka pembersihannya harus melalui pengeluaran harta. Ketiadaan zakat sama dengan membiarkan noda dosa melekat pada jiwa.
Tazkiyah bukanlah sekali jadi, melainkan proses berkelanjutan. Zakat yang wajib harus diulang setiap tahun (pada haul harta) untuk memastikan bahwa jiwa selalu berada dalam kondisi sadar dan tunduk. Siklus tahunan zakat memastikan bahwa umat Islam secara kolektif tidak pernah jatuh ke dalam lubang materialisme ekstrem.
Penyucian yang dihasilkan oleh zakat juga menciptakan efek domino dalam masyarakat. Ketika orang kaya bersih hartanya, mereka akan membelanjakannya dengan cara yang lebih bermakna dan bertanggung jawab. Ketika orang miskin menerima zakat, kebutuhan dasar mereka terpenuhi, memungkinkan mereka untuk fokus pada ibadah dan pengembangan diri, sehingga meningkatkan moralitas kolektif.
Zakat, oleh karena itu, adalah mekanisme penyucian yang beroperasi di tiga tingkatan: individu, harta, dan masyarakat. Fungsi *tuthahhiruhum* membersihkan kotoran eksternal (harta), dan *tuzakkihim* membersihkan kotoran internal (hati), menghasilkan ketenangan total (*sakanun*).
Mengapa doa Nabi begitu penting hingga ia disebut sebagai *sakanun*? Karena ini adalah penegasan bahwa taubat diterima. Bagi manusia, menerima pengakuan dari pemimpin spiritual yang diutus Allah adalah hal yang menghilangkan was-was (keraguan). Dalam ilmu tasawuf, ketenangan batin adalah fondasi untuk mencapai derajat iman yang lebih tinggi. Zakat memberikan fondasi material, sementara doa memberikan fondasi spiritual, keduanya wajib dilakukan secara sinergis.
Ketenangan (*sakanun*) yang dimaksud di sini adalah anti-tesis dari kegelisahan. Orang-orang yang menyimpan harta karena khawatir miskin selalu hidup dalam kegelisahan. Orang yang mengeluarkan zakat karena yakin akan janji Allah hidup dalam kepastian dan ketenangan.
Mengingat pentingnya ayat 103, para ulama tafsir klasik memberikan penekanan luar biasa pada hubungan antara harta dan jiwa yang tercermin dalam perintah ini.
At-Thabari menjelaskan bahwa perintah *khudz* (ambil) adalah perintah kewajiban yang tidak dapat ditawar. Dia menekankan bahwa *shadaqah* di sini adalah hak yang wajib bagi orang miskin dan berfungsi sebagai pembersih dosa bagi pembayarnya. At-Thabari mengaitkan ayat ini erat dengan kisah orang-orang yang terlambat bertaubat, di mana penerimaan taubat mereka baru sempurna setelah mereka menyerahkan harta yang mencemari mereka.
At-Thabari: "Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk mengambil bagian dari harta orang-orang yang bertaubat itu sebagai penyucian dari noda yang telah menimpa mereka akibat kelalaian mereka, dan sebagai penyuci jiwa mereka dari kekikiran dan kerakusan dunia. Dan perintah doa oleh Rasul adalah untuk meneguhkan hati mereka dalam keimanan."
Ar-Razi memfokuskan pada dikotomi *tuthahhiruhum* (membersihkan) dan *tuzakkihim* (mensucikan). Ia menjelaskan bahwa pembersihan (*thaharah*) adalah menghilangkan unsur yang buruk, sementara penyucian (*tazkiyah*) adalah menumbuhkan kebaikan. Zakat adalah satu-satunya ibadah yang secara simultan melakukan kedua fungsi ini terhadap harta dan jiwa.
Ar-Razi juga melihat implikasi teologis dari *sakanun lahum*. Ketenangan ini berasal dari kepastian bahwa mereka telah menjalankan perintah Allah, dan bahwa pemimpin mereka telah menjadi perantara spiritual. Kepastian ini adalah puncak dari keimanan yang lurus.
Sayyid Qutb melihat ayat ini dari sudut pandang sosial dan pergerakan. Ia menekankan bahwa perintah *khudz* menunjukkan bahwa Islam adalah sistem yang mengatur totalitas kehidupan. Ia menolak gagasan bahwa zakat adalah urusan pribadi murni. Zakat adalah tulang punggung sistem keuangan Islam yang dipimpin oleh otoritas yang memiliki wewenang moral dan material.
Qutb berpendapat bahwa Tazkiyah hanya bisa sempurna jika terjadi interaksi antara pengorbanan material (muzakki) dan pengakuan spiritual (pemimpin). Tanpa peran aktif pemimpin (doa dan pengumpulan), fungsi Tazkiyah dalam masyarakat akan terhenti.
Ayat ini mengajarkan akhlak kepemimpinan yang tinggi. Seorang pemimpin Muslim tidak hanya menjadi administrator; ia harus menjadi sumber rahmat dan kasih sayang. Perintah untuk mendoakan menunjukkan bahwa pemimpin harus memiliki kepedulian spiritual terhadap setiap anggota masyarakat, terutama mereka yang rentan atau baru kembali kepada ketaatan.
Keterkaitan antara zakat dan doa menciptakan model masyarakat di mana kewajiban formal (hukum) selalu dibungkus dengan kasih sayang spiritual (doa), memastikan bahwa hukum dijalankan dengan hati dan jiwa yang hidup.
Penyucian yang dihasilkan oleh Zakat (Tazkiyah) bukan hanya tentang melepaskan harta, tetapi melepaskan ikatan jiwa terhadap harta. Seseorang yang telah mencapai tahap Tazkiyah melalui zakat akan melihat dunia sebagai ladang amal, bukan sebagai tujuan akhir. Inilah inti filosofis dari ayat 103.
Jika kita merenungkan lebih dalam, *Tazkiyah* mencakup pula pembersihan lingkungan kerja dan bisnis. Harta yang diperoleh harus bersih dari unsur riba, gharar, dan spekulasi tidak etis. Zakat kemudian menjadi penutup bagi kekurangan-kekurangan kecil yang mungkin terjadi dalam proses mencari rezeki. Oleh karena itu, Zakat adalah mekanisme perlindungan harta dan penguatan etika bisnis yang integral dalam Islam.
Kewajiban untuk membersihkan dan mensucikan ini juga bersifat resiprokal. Sebagaimana harta dibersihkan, maka masyarakat penerima zakat pun mendapatkan penyucian melalui perbaikan nasib, yang pada akhirnya mengurangi kemiskinan dan kejahatan sosial. Dengan demikian, ayat ini adalah cetak biru untuk menciptakan masyarakat yang suci secara moral dan adil secara ekonomi.
Sangat penting untuk menggarisbawahi bahwa *Sakanun* (ketenangan) adalah kebutuhan primer manusia. Dalam masyarakat modern yang penuh tekanan finansial, kegelisahan seringkali terkait dengan kekayaan. Ayat 103 mengajarkan bahwa jalan menuju ketenangan finansial sejati bukan melalui penimbunan, melainkan melalui pengorbanan dan pelepasan yang ikhlas, disempurnakan dengan dukungan spiritual dari ulil amri.
Setiap detail dalam ayat 103, mulai dari perintah tegas *khudz* hingga penegasan sifat Allah *Sami’un ‘Alim*, menunjukkan betapa seriusnya Islam memandang integrasi antara dimensi material dan dimensi spiritual dalam ketaatan. Zakat bukan sekadar transfer uang, tetapi sebuah transformasi jiwa yang menyeluruh.
Surah At-Taubah ayat 103 adalah salah satu ayat paling fundamental yang menjelaskan fungsi Zakat secara spiritual dan sosial. Ayat ini menetapkan tiga pilar utama bagi setiap mukmin: kewajiban material yang diatur (Zakat), hasil spiritual yang pasti (Tazkiyah dan Tahrir), dan kebutuhan akan kepemimpinan yang memberikan dukungan spiritual (Doa dan Sakanun).
Bagi setiap Muslim, ayat ini adalah pengingat bahwa harta adalah alat untuk membersihkan diri, bukan tujuan hidup. Ketenangan sejati tidak ditemukan dalam akumulasi kekayaan, melainkan dalam kepastian bahwa kita telah menunaikan hak Allah dan hak sesama, dan bahwa kita didoakan oleh mereka yang berjuang menegakkan agama-Nya. Proses penyucian ini adalah jalan menuju ketenangan jiwa abadi, sebuah ketenangan yang hanya dapat dicapai melalui kepatuhan total kepada perintah-perintah Allah.
Marilah kita senantiasa menjadikan Zakat bukan sekadar kewajiban tahunan, tetapi sebagai proses berkelanjutan untuk membersihkan jiwa kita dari kekikiran, demi mencapai derajat Tazkiyah yang sempurna dan mendapatkan *sakanun* (ketenangan) di dunia maupun di akhirat.