Raden Banterang: Tragedi Cinta, Fitnah Istana, dan Air Beraroma Harum dari Bumi Blambangan

Legenda mengenai Raden Banterang bukan sekadar kisah romansa tragis biasa; ia adalah fondasi mitologis yang mengikat sejarah panjang Kerajaan Blambangan dengan lahirnya sebuah nama tempat yang kini dikenal sebagai Banyuwangi. Kisah ini sarat dengan intrik politik, kesetiaan yang tak teruji, serta pengorbanan luar biasa yang melampaui batas logika, menjadikannya salah satu narasi paling berharga dalam khazanah budaya Jawa Timur.

Di balik aroma wangi yang mengalir dari sungai, tersembunyi tragedi seorang pangeran yang dibakar cemburu dan fitnah, serta kesucian seorang istri yang harus menanggung beban pengkhianatan saudara. Kisah Banterang adalah cerminan kompleksitas moral yang abadi, sebuah epik tentang bagaimana kesucian dapat teruji dan membuktikan diri di hadapan keraguan yang paling dalam.

Latar Belakang Historis: Blambangan di Pusaran Kekuasaan

Untuk memahami kedalaman kisah Raden Banterang, kita harus terlebih dahulu menengok konteks historis Blambangan, sebuah kerajaan yang terletak di ujung timur Pulau Jawa. Blambangan, yang sering disebut sebagai Bumi Wilis atau Bumi Blambangan Timur, adalah entitas politik yang unik. Ia berdiri sebagai benteng terakhir tradisi Hindu-Jawa setelah runtuhnya kekuasaan Majapahit. Periode di mana Banterang hidup adalah era transisi, ditandai dengan gejolak kekuasaan, pergeseran agama, dan ancaman invasi dari berbagai pihak, baik dari Mataram di barat maupun dari kekuatan maritim di selatan.

Blambangan sering kali berada di bawah bayangan kekuatan-kekuatan besar, namun berhasil mempertahankan otonomi budayanya yang khas. Raden Banterang sendiri, sebagai salah satu putra mahkota atau tokoh penting dari garis keturunan istana Blambangan, mewakili simbol kedaulatan yang rapuh namun berwibawa di tengah pergolakan tersebut. Ia adalah seorang figur yang dididik dalam tradisi keprajuritan, memegang teguh kehormatan kerajaan, sekaligus memiliki naluri sebagai seorang penguasa yang mencintai rakyat dan wilayahnya.

Istana Blambangan pada masa itu dipenuhi dengan dinamika yang pekat. Ada faksi-faksi yang pro terhadap mempertahankan tradisi lama, dan ada pula yang cenderung mencari aliansi baru untuk mengamankan wilayah dari gempuran. Lingkungan istana yang kompleks ini menjadi panggung sempurna bagi tumbuhnya benih-benih kecurigaan dan ambisi, yang pada akhirnya berperan besar dalam tragedi pribadi Raden Banterang.

Kehidupan Raden Banterang tidak hanya dihabiskan dalam dinding keraton. Sebagai seorang pangeran, ia dikenal memiliki kegemaran berburu, sebuah kegiatan yang melambangkan kekuasaan, keberanian, dan penguasaan atas alam. Kegiatan inilah yang pada akhirnya membawa takdirnya bertemu dengan peristiwa yang akan mengubah hidupnya, dan yang terpenting, mengubah toponimi wilayah yang ia kuasai selamanya.

Dalam konteks sosial, masyarakat Blambangan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai satya (kesetiaan), dharma (kebenaran), dan kehormatan. Prinsip-prinsip inilah yang akan diuji secara ekstrem dalam klimaks cerita, di mana Dewi Surati memilih jalur kehormatan tertinggi demi membersihkan nama baiknya di mata suaminya dan di mata publik istana.

Raden Banterang: Sang Pangeran Pemburu

Raden Banterang digambarkan sebagai sosok ksatria muda yang berwibawa, penuh semangat, dan memiliki keterampilan berburu yang luar biasa. Namanya, "Banterang," sendiri menyiratkan kecepatan dan kegagahan. Ia sering kali memimpin rombongan perburuan hingga jauh melampaui batas-batas kota kerajaan, menembus hutan belantara yang masih perawan di lereng-lereng gunung Timur Jawa.

Ilustrasi Raden Banterang saat Berburu Raden Banterang memimpin perburuan
Visualisasi Raden Banterang, Pangeran Blambangan, yang gagah berani dalam kegiatan perburuan di hutan. Kegiatan ini merupakan simbolisasi kekuatan dan kepemimpinan di era tersebut.

Pada suatu hari, perburuan membawanya ke dalam hutan yang jauh, sebuah kawasan yang sunyi dan jarang terjamah. Di sana, ia tidak menemukan mangsa berupa kijang atau rusa, melainkan sebuah pertemuan tak terduga yang mengubah jalan hidupnya: pertemuannya dengan Dewi Surati. Dewi Surati bukanlah wanita sembarangan. Ia adalah putri dari seorang pertapa atau raja kecil di wilayah seberang, namun saat Banterang menemukannya, ia tengah dalam keadaan yang sangat rentan, menyembunyikan diri dari ancaman bahaya.

Kecantikan Dewi Surati yang memukau dan kelemahlembutannya segera menawan hati Raden Banterang. Sang Pangeran, tanpa banyak berpikir panjang, langsung jatuh cinta dan mengajukan pinangan. Dewi Surati, melihat ketulusan dan kekuasaan yang dimiliki Banterang, menerima pinangan itu. Pernikahan mereka dilangsungkan dengan meriah, menandai persatuan antara pangeran Blambangan dengan seorang putri dari daerah pinggiran, sebuah aliansi yang seharusnya memperkuat kedudukan kerajaan.

Namun, yang tidak diketahui oleh Raden Banterang adalah latar belakang tragis yang dibawa oleh istrinya. Dewi Surati sesungguhnya adalah putri dari Raja Kertabumi, penguasa Kerajaan Sindurejo, yang wilayahnya telah dihancurkan oleh ekspansi Blambangan—atau setidaknya, oleh faksi yang berkuasa di bawah ayah Banterang. Ia memiliki seorang kakak laki-laki, yang kemudian dikenal dalam beberapa versi legenda sebagai Reksagada atau Patih Sidopekso (nama yang kelak menjadi bagian dari narasi yang lebih luas), yang menyimpan dendam membara atas kematian ayah mereka.

Benih Fitnah dan Kecurigaan

Kakak Dewi Surati, yang berhasil meloloskan diri, kemudian menyusun rencana balas dendam yang rumit. Ia tahu bahwa membalas dendam kepada Blambangan secara frontal adalah bunuh diri. Cara yang paling efektif adalah melalui penghancuran moral dan emosional sang pangeran. Ia berhasil menyelinap ke lingkungan istana, menyamar sebagai seorang abdi atau pejabat, atau setidaknya berhasil mendapatkan akses kepada Banterang pada saat yang tepat.

Suatu ketika, saat Raden Banterang kembali dari kunjungan kerajaan, ia bertemu dengan kakak Dewi Surati. Dengan licik, sang kakak menceritakan kisah yang diputarbalikkan. Ia mengatakan bahwa Dewi Surati menikahi Banterang hanya untuk membalas dendam, bahwa ia menyimpan keris pusaka di balik kainnya, dan bahwa ia telah berencana untuk membunuh Banterang pada malam yang telah ditentukan. Kakak Surati menggunakan semua kepandaian retorikanya untuk menanamkan benih kecurigaan yang sangat dalam di hati pangeran yang gagah itu.

Fitnah ini menancap kuat karena Banterang, yang terbiasa dengan intrik politik istana, merasa bahwa tindakan istrinya terlalu sempurna dan tiba-tiba. Cintanya yang besar kepada Dewi Surati berbalik menjadi kecemburuan dan kemarahan yang membara. Ia melihat kesempurnaan Surati sebagai topeng. Ia tidak sanggup menerima kenyataan bahwa wanita yang ia cintai dengan sepenuh hati mungkin adalah mata-mata yang berniat membunuhnya.

Puncak Tragedi: Pembuktian di Tepi Sungai

Emosi Raden Banterang memuncak. Ia tidak lagi mampu berpikir jernih. Tanpa melakukan penyelidikan yang mendalam, ia menghadapi Dewi Surati dengan tuduhan keji. Ia menuduh istrinya sebagai pengkhianat dan pembunuh berencana, menyebutkan dengan detail rencana yang disampaikan oleh sang kakak yang licik.

Dewi Surati terkejut luar biasa. Ia adalah wanita yang tulus dan sangat mencintai suaminya. Meskipun ia tahu bahwa keluarganya telah dihancurkan oleh kerajaan Banterang, cintanya kepada sang pangeran adalah murni. Ia berusaha keras meyakinkan Banterang, memohon agar suaminya percaya pada kesetiaannya yang tak tergoyahkan. Namun, api cemburu yang disulut oleh fitnah telah membutakan mata hati Banterang.

Dalam keputusasaan dan rasa terhina yang amat sangat, Dewi Surati menyadari bahwa kata-kata tidak akan pernah cukup untuk menghilangkan keraguan yang telah disuntikkan ke dalam pikiran suaminya. Ia memahami bahwa hanya dengan pengorbanan yang ekstrem, yang melampaui batas hidup dan mati, ia dapat membuktikan kesucian jiwanya.

Ia kemudian mengajukan permintaan terakhir. Ia meminta agar Banterang membawanya ke tepi sungai besar. Di sana, ia berjanji akan membuktikan bahwa tuduhan tersebut adalah kebohongan yang keji.

"Wahai Kakanda, jika memang hamba ini berkhianat dan berniat jahat, biarkan darah hamba mengalirkan bau busuk yang menyengat ketika hamba menceburkan diri ke sungai ini. Tetapi, jika hamba tulus dan setia kepada Kakanda, maka biarlah air sungai ini mengeluarkan aroma wangi yang semerbak, sebagai tanda bahwa jiwa hamba adalah suci."

Raden Banterang, yang hatinya telah mengeras dan pikirannya dipenuhi amarah, menyanggupi permintaan aneh ini. Ia membawa istrinya ke tepi sungai, yang kini diperkirakan sebagai bagian dari aliran Sungai Kalilo atau beberapa sungai historis lainnya di wilayah Banyuwangi. Di hadapan Banterang dan beberapa pengawal istana, Dewi Surati mengucapkan ikrar kesuciannya untuk yang terakhir kali.

Dengan langkah yang tenang namun penuh martabat, ia menjatuhkan dirinya ke dalam pusaran air yang dingin. Air sungai segera berubah warna menjadi merah, darah Surati mewarnai aliran air tersebut. Raden Banterang, meskipun masih didera amarah, merasakan gejolak penyesalan yang samar melihat tubuh istrinya ditelan arus.

Beberapa saat kemudian, terjadi keajaiban. Dari sungai yang baru saja menjadi kuburan bagi Dewi Surati, mulai tercium aroma yang luar biasa. Aroma itu bukanlah bau anyir darah atau bau lumpur sungai. Itu adalah wangi yang semerbak, harumnya bunga-bunga surga yang menyebar ke seluruh pelosok lembah, bahkan hingga ke telinga Banterang dan para pengikutnya.

Visualisasi Sungai Beraroma Harum Air yang Mengeluarkan Bau Wangi
Sungai yang mengeluarkan aroma wangi, bukti kesucian Dewi Surati, dan asal-usul nama Banyuwangi.

Bau harum yang menyentuh indera Raden Banterang adalah pukulan telak yang menyadarkannya dari kebutaan amarah. Ia menyadari kengerian tindakannya. Ia telah membunuh istrinya yang paling setia hanya karena termakan fitnah keji. Tubuh Dewi Surati mungkin telah tiada, tetapi jiwanya telah memberikan bukti yang tak terbantahkan. Sungai itu, dengan airnya yang harum, adalah saksi abadi dari kesucian Dewi Surati.

Dalam penyesalan yang mendalam dan tangisan yang memilukan, Raden Banterang berseru, "Banyu Wangu! Banyu Wangu!" yang berarti Air yang Harum (Banyu = Air, Wangi/Wangu = Harum/Semerbak). Sejak saat itu, tempat tersebut, dan lambat laun seluruh wilayah yang berpusat di lokasi tragedi ini, dikenal dengan nama Banyuwangi. Nama ini bukan hanya sekadar penanda geografis; ia adalah monumen atas sebuah pengorbanan besar dan penyesalan abadi seorang pangeran.

Analisis Moral dan Filosofis dalam Legenda

Kisah Raden Banterang dan Dewi Surati, meskipun berakar pada mitos dan legenda, menawarkan pelajaran filosofis yang sangat kaya mengenai nilai-nilai kemanusiaan, terutama dalam konteks kepemimpinan dan hubungan pribadi. Legenda ini melampaui sekadar cerita cinta; ia adalah studi kasus tentang dampak buruk fitnah, kegagalan dalam berprasangka baik, dan kekuatan spiritual yang dihasilkan dari kesetiaan murni.

Konsep Satya (Kesetiaan) yang Diuji

Dewi Surati mewakili puncak dari konsep satya dalam tradisi Jawa. Kesetiaan seorang istri (atau rakyat) diuji bukan hanya saat senang, tetapi saat tuduhan terberat dilontarkan. Pengorbanannya adalah bentuk satyagraha (kekuatan kesetiaan) ekstrem. Ia memilih kematian yang tragis demi menyelamatkan kehormatan dirinya dan, ironisnya, menyelamatkan nama baik suaminya dari kemungkinan hidup bersama seorang "pengkhianat." Pengorbanannya membersihkan nama baiknya dari dunia fana, memindahkannya ke dimensi spiritual yang lebih tinggi, di mana keharuman abadi menjadi buktinya.

Jika Dewi Surati hanya berusaha membela diri dengan kata-kata, mungkin Raden Banterang tetap akan hidup dalam keraguan. Namun, tindakan bunuh diri suci yang dilakukan Surati ini menutup semua ruang untuk interpretasi lain. Air yang berbau wangi memaksa Banterang untuk menghadapi fakta bahwa ia telah melakukan kesalahan fatal yang disebabkan oleh egonya sendiri.

Kegagalan Nalar dan Dampak Fitnah

Raden Banterang, meskipun seorang ksatria yang gagah, menunjukkan kelemahan mendasar manusia: kegagalan nalar di hadapan emosi. Cinta yang besar terhadap Dewi Surati, ketika dihadapkan pada informasi yang menakutkan, berubah menjadi ketakutan kehilangan dan amarah yang menghancurkan. Ia gagal menerapkan prinsip praduga tak bersalah dan membiarkan bisikan pihak ketiga mengendalikan keputusannya. Kelemahan ini menjadi pelajaran penting bagi para pemimpin: bahwa keputusan yang didasarkan pada emosi dan sumber informasi yang tidak terverifikasi dapat membawa kehancuran besar, baik bagi pribadi maupun bagi kerajaan.

Fitnah yang dilancarkan oleh kakak Dewi Surati adalah senjata yang mematikan. Ia tidak memerlukan kekuatan militer; ia hanya perlu meracuni hubungan paling intim dalam istana. Kisah ini menegaskan bagaimana intrik dalam keraton selalu lebih berbahaya daripada serangan dari luar, karena ia menghancurkan kepercayaan yang menjadi pilar utama sebuah institusi kerajaan.

Penyesalan dan Penebusan

Penyesalan Raden Banterang setelah menyadari kebenaran adalah elemen penting dalam legenda ini. Jeritan penyesalannya, "Banyu Wangu!", adalah momen penebusan. Meskipun ia tidak dapat menghidupkan kembali istrinya, ia mengabadikan nama istrinya melalui nama wilayah yang ia pimpin. Ini adalah upaya untuk menyembuhkan luka batinnya sendiri sekaligus memberikan kehormatan abadi kepada Dewi Surati.

Nama Banyuwangi, oleh karena itu, adalah simbol ganda: simbol kesucian yang teruji (karena wanginya) dan simbol penyesalan mendalam (karena ia lahir dari tragedi). Setiap kali nama Banyuwangi disebut, kisah pengorbanan dan kesalahan Banterang ikut terulang, mengajarkan generasi berikutnya tentang pentingnya kepercayaan dan konsekuensi dari kesembronoan dalam mengambil keputusan.

Warisan Budaya dan Toponimi Banyuwangi

Legenda Raden Banterang adalah roh yang meresapi seluruh kebudayaan dan identitas masyarakat Osing, suku asli Banyuwangi. Identitas ini unik karena merupakan hasil perpaduan budaya Hindu-Jawa Majapahit yang kuat (yang dipertahankan Blambangan) dengan pengaruh Bali dan sedikit sentuhan Islam yang datang belakangan. Kisah Banterang tidak hanya hidup dalam dongeng pengantar tidur, tetapi termanifestasi dalam berbagai aspek kehidupan modern.

Banyuwangi: Kota Harum

Secara harfiah, toponimi Banyuwangi adalah warisan paling nyata dari legenda ini. Nama ini memberikan identitas spiritual bagi wilayah tersebut. Banyuwangi tidak hanya dikenal sebagai kota di ujung timur Jawa, tetapi sebagai "Air Harum" yang mengingatkan pada kesucian dan pengorbanan. Identitas ini sering diangkat dalam acara-acara kebudayaan dan pariwisata, menjadi nilai jual historis yang tak ternilai.

Petilasan dan Tempat Keramat

Meskipun lokasi pasti dari peristiwa tragedi ini mungkin telah bercampur dengan mitos, terdapat beberapa tempat yang diyakini masyarakat sebagai petilasan atau situs bersejarah yang terkait erat dengan Raden Banterang atau Dewi Surati. Situs-situs ini sering dikunjungi untuk ritual penghormatan atau sekadar mengenang sejarah. Sungai-sungai di wilayah tersebut sering kali dianggap memiliki aura spiritual yang terkait dengan air wangi yang menjadi penentu takdir Surati.

Kisah ini juga memberikan legitimasi historis bagi dinasti-dinasti Blambangan selanjutnya. Meskipun Banterang mengalami kegagalan pribadi yang fatal, ia tetap dihormati sebagai penguasa awal yang meletakkan dasar bagi nama besar wilayah tersebut. Keturunan Banterang, yang kemudian berjuang melawan ekspansi Mataram dan Belanda, sering kali merujuk pada kesetiaan dan keberanian yang diwarisi dari kisah leluhur mereka, bahkan jika itu harus dibayar dengan harga yang mahal.

Manifestasi dalam Seni Pertunjukan

Di Banyuwangi, legenda Raden Banterang sering diangkat dalam seni pertunjukan, seperti drama tari (sendratari) atau wayang kulit. Kisah ini menjadi materi utama untuk mengajarkan nilai-nilai moral kepada generasi muda. Sendratari yang menampilkan adegan perburuan, pertemuan, fitnah, dan klimaks di sungai menjadi daya tarik kultural yang menampilkan kekayaan gerak tari dan musik khas Osing. Melalui seni, narasi yang kompleks ini dipertahankan dan ditransformasikan menjadi bentuk yang lebih mudah dicerna dan dihayati oleh masyarakat luas.

Kehadiran legenda ini dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa Raden Banterang dan Dewi Surati bukanlah sekadar karakter masa lalu; mereka adalah arketipe yang hidup, mewakili perjuangan abadi antara kebenaran dan kepalsuan, antara cinta dan cemburu, yang terus relevan bagi masyarakat Blambangan hingga kini.

Perkembangan Kerajaan Blambangan Pasca-Tragedi Banterang

Tragedi Raden Banterang tidak hanya meninggalkan nama baru bagi wilayah tersebut, tetapi juga memengaruhi dinamika politik Blambangan selanjutnya. Setelah kematian Dewi Surati dan penyesalan Banterang, kerajaan tersebut memasuki fase yang lebih turbulen. Kerugian moral dan kesedihan yang dialami Banterang diperkirakan memengaruhi keputusannya dalam memerintah, membuatnya mungkin lebih introspektif namun juga lebih rentan terhadap manuver politik dari dalam dan luar.

Blambangan pada periode pasca-Banterang terus menjadi incaran. Letaknya yang strategis, kaya akan sumber daya alam, menjadikannya kunci penting dalam jalur perdagangan. Namun, yang paling krusial adalah posisinya sebagai benteng Hindu-Jawa yang terus didesak oleh kekuatan Islam dari barat, khususnya Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung.

Banyak sejarawan percaya bahwa konflik internal yang terekspos melalui fitnah terhadap Dewi Surati adalah gejala dari perpecahan yang lebih besar di dalam istana Blambangan. Ada pihak-pihak yang berusaha menggoyahkan kekuasaan Banterang demi ambisi pribadi atau demi mengamankan kepentingan faksi mereka sendiri. Kisah Banterang menunjukkan betapa rentannya pilar kerajaan ketika kepercayaan antar anggota keluarga dan penguasa telah runtuh.

Meskipun demikian, semangat keprajuritan yang diwarisi Raden Banterang terus menginspirasi generasi pemimpin Blambangan berikutnya. Mereka dikenal sebagai pejuang yang gigih, yang mempertahankan tradisi dan kedaulatan mereka dengan segala cara. Perlawanan heroik Blambangan terhadap Mataram, dan kemudian pertempuran sengit melawan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Belanda, menunjukkan bahwa tanah yang lahir dari air wangi dan penyesalan itu memiliki darah perlawanan yang kuat.

Para penguasa Blambangan selanjutnya, yang terkadang harus berganti nama dan gelar untuk mengakomodasi perubahan politik, selalu membawa beban sejarah Banterang. Mereka diingatkan bahwa kekuatan sejati bukan hanya terletak pada pedang dan prajurit, tetapi pada kejujuran dan kepercayaan yang harus dijaga dengan sungguh-sungguh.

Makna Keharuman Abadi

Mengapa air wangi menjadi puncak pembuktian? Dalam kosmologi Jawa, aroma atau ganda sering kali dikaitkan dengan dimensi spiritual dan kesucian. Benda-benda atau tempat yang suci biasanya memancarkan bau harum alami (misalnya, dupa atau bunga sesajen). Dalam konteks ini, bau busuk melambangkan kejahatan, dosa, atau pengkhianatan yang kotor, yang harus dibuang dari hadapan Tuhan dan manusia.

Sebaliknya, keharuman semerbak yang muncul dari air yang telah dicemari oleh darah Dewi Surati adalah manifestasi supranatural yang tak terbantahkan. Ini bukan hanya fenomena kimiawi biasa, melainkan intervensi kosmis yang menyatakan: meskipun tubuh ini mati secara fisik, jiwanya adalah murni. Keharuman itu adalah cap persetujuan Ilahi atas kesuciannya, sebuah komunikasi langsung dari alam semesta kepada Raden Banterang bahwa ia telah keliru.

Maka, Banyuwangi adalah lebih dari sekadar nama. Ia adalah sebuah pesan abadi tentang spiritualitas yang diyakini masyarakat Jawa. Ia mengajarkan bahwa kebenaran sejati akan selalu menemukan jalannya untuk terungkap, bahkan jika harus melalui jalan penderitaan dan pengorbanan yang paling pahit. Air yang harum itu berfungsi sebagai jembatan antara dunia legenda dan realitas sejarah, mengabadikan momen krusial di mana sebuah tragedi pribadi melahirkan identitas kolektif.

Kisah Raden Banterang mengingatkan kita bahwa kekuasaan, kecemburuan, dan amarah adalah racun yang dapat menghancurkan ikatan terkuat. Namun, ia juga memberikan harapan bahwa bahkan dari kehancuran dan penyesalan yang mendalam, dapat lahir sesuatu yang indah, suci, dan abadi. Pengorbanan Dewi Surati yang melahirkan Banyuwangi adalah warisan paling berharga dari Blambangan, sebuah kisah yang terus diucapkan dan dihayati hingga hari ini, menjadikannya salah satu permata naratif Nusantara yang tak lekang oleh waktu.

Penutup: Refleksi atas Warisan Raden Banterang

Kisah Raden Banterang dan terciptanya Banyuwangi menawarkan refleksi mendalam mengenai hakikat kepemimpinan, pentingnya kehati-hatian dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada informasi yang bias, serta kekuatan kesetiaan sejati. Tragedi ini menjadi peringatan keras bahwa bahkan pangeran yang paling gagah pun bisa menjadi korban dari fitnah dan kecurigaan yang disebarkan oleh musuh terdekat.

Nama Banyuwangi akan selalu membawa serta gema penyesalan Banterang dan keharuman kesucian Dewi Surati. Setiap hembusan angin yang membawa aroma dari tanah ujung timur Jawa ini seolah membawa pesan dari masa lalu: Hargailah kepercayaan, pertahankanlah kesucian hati, karena sekali hilang, kehilangannya mungkin hanya bisa dibayar dengan pengorbanan yang tak terbayangkan.

Dalam konteks modern, legenda ini terus relevan. Ia mengajarkan tentang pentingnya tabayyun (klarifikasi dan verifikasi) sebelum mengambil tindakan. Bagi masyarakat Banyuwangi, cerita ini adalah tali pengikat sejarah yang memberikan makna dan kedalaman pada tanah tempat mereka berpijak, memastikan bahwa warisan Raden Banterang, sang pangeran pemburu yang belajar tentang arti kesetiaan melalui tragedi, tidak akan pernah sirna.

šŸ  Homepage