Memahami sejarah ketatanegaraan Indonesia tidak lengkap tanpa meninjau fondasi hukum tertulis yang pertama kali disahkan: sebelum amandemen UUD 1945. Naskah asli Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang disahkan pada 18 Agustus 1945, mencerminkan semangat proklamasi kemerdekaan dan cita-cita negara yang baru lahir. Konstitusi ini bersifat singkat, hanya terdiri dari 37 Pasal, 4 Pasal Aturan Peralihan, dan 2 Aturan Tambahan.
UUD 1945 sebelum amandemen UUD 1945 dirancang dalam suasana darurat. Para pendiri bangsa menyadari perlunya sebuah kerangka hukum yang cepat namun dapat menampung kedaulatan rakyat. Salah satu ciri khasnya adalah adanya beberapa pasal yang bersifat fleksibel, bahkan terkesan terbuka terhadap interpretasi, yang tujuannya adalah memberi ruang bagi pemerintahan transisi untuk berkembang.
Struktur kekuasaan pada masa awal sangat menekankan peran lembaga kepresidenan. Presiden, yang pada masa itu diangkat oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), memegang kekuasaan yang cukup besar. Pasal-pasal mengenai lembaga negara, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), belum memiliki mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) sekuat yang dikembangkan kemudian.
Secara formal, UUD 1945 menyatakan Indonesia adalah negara hukum dan demokrasi. Namun, dalam praktiknya, terutama selama periode Demokrasi Terpimpin, interpretasi terhadap Pasal 4 ayat (1) mengenai kekuasaan presiden seringkali diperluas. Presiden tidak hanya sebagai kepala negara, tetapi juga memegang kekuasaan eksekutif tertinggi. Hal ini berbeda dengan konsep Trias Politika yang ideal, di mana terjadi pemisahan kekuasaan yang jelas antarlembaga.
Salah satu poin penting yang sangat berubah pasca-reformasi adalah mengenai hak asasi manusia (HAM). Dalam naskah sebelum amandemen UUD 1945, bab mengenai HAM belum ada secara eksplisit dan terperinci seperti yang kita kenal sekarang. Perlindungan warga negara lebih banyak tersirat dalam pasal-pasal kewarganegaraan dan kebebasan beragama, namun belum mencakup jaminan HAM yang komprehensif seperti yang diamanatkan oleh Konvensi Internasional.
MPR pada masa awal memiliki kedudukan yang sangat sentral. MPR dianggap sebagai pemegang kedaulatan tertinggi rakyat, yang berwenang menetapkan UUD dan GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara). DPR, pada masa tersebut, lebih berfungsi sebagai lembaga legislatif yang menyalurkan aspirasi, namun kekuasaannya seringkali berada di bawah bayang-bayang kebijakan eksekutif.
Selain itu, terdapat Dewan Pertimbangan Agung (DPA), yang dalam konstitusi asli bertugas memberikan pertimbangan kepada Presiden. Keberadaan DPA ini, bersamaan dengan struktur lainnya, menunjukkan bahwa para perumus konstitusi tahun 1945 masih mencoba menyeimbangkan antara keinginan untuk memiliki sistem presidensial yang kuat dengan kebutuhan untuk adanya wadah musyawarah yang representatif. Namun, seiring waktu dan perubahan rezim politik, keseimbangan kekuasaan ini cenderung timpang, yang akhirnya mendorong lahirnya kebutuhan untuk reformasi konstitusi.
Karakteristik UUD 1945 sebelum amandemen UUD 1945, yang fleksibel dan sentralistik pada kepresidenan, terbukti efektif untuk konsolidasi negara di masa revolusi. Namun, ketika negara memasuki era stabilitas dan tuntutan demokratisasi yang lebih tinggi, kekakuan dalam pembatasan kekuasaan eksekutif menjadi masalah krusial. Kekurangan mekanisme pertanggungjawaban dan pengawasan yang eksplisit memicu akumulasi kekuasaan di tangan Presiden selama periode-periode tertentu dalam sejarah Indonesia. Oleh karena itu, Amandemen UUD 1945 adalah sebuah respons historis untuk mengoreksi interpretasi dan memperkuat prinsip negara hukum serta hak-hak warga negara sesuai dengan perkembangan zaman.
Artikel ini membahas kerangka dasar konstitusi Indonesia sebelum perubahan besar yang terjadi pada akhir abad.