Kisah Stefanus adalah salah satu narasi paling inspiratif yang tercatat dalam Alkitab, khususnya dalam kitab Kisah Para Rasul. Stefanus bukan hanya seorang tokoh penting dalam gereja mula-mula, tetapi juga teladan iman, keberanian, dan pengampunan yang luar biasa. Perjalanan hidupnya, yang berakhir dengan kemartiran, meninggalkan jejak yang mendalam bagi generasi Kristen sepanjang masa. Memahami kisahnya memberikan wawasan berharga tentang tantangan yang dihadapi oleh para pengikut Kristus di masa awal dan kekuatan transformatif dari keyakinan yang teguh.
Stefanus pertama kali diperkenalkan dalam Kisah Para Rasul pasal 6 sebagai salah satu dari tujuh orang yang dipilih untuk melayani sebagai diakon. Tugas utama mereka adalah memastikan bahwa kebutuhan sehari-hari para janda dalam komunitas Kristen terpenuhi, sehingga para rasul dapat fokus pada pelayanan firman dan doa. Pemilihan Stefanus bukanlah kebetulan. Lukas mencatat bahwa ia adalah "seorang yang penuh iman dan Roh Kudus" (Kisah Para Rasul 6:5). Penekanan pada "penuh Roh Kudus" ini sangat penting, karena menggambarkan karakter dan kemampuannya yang berasal dari sumber ilahi. Ia tidak hanya memiliki semangat pelayanan, tetapi juga diberikan hikmat dan kekuatan dari Tuhan untuk melaksanakan tugasnya.
Sebagai seorang diakon, Stefanus menunjukkan dedikasi yang luar biasa. Ia tidak hanya mengurus pembagian makanan, tetapi juga aktif memberitakan Injil. Kuasa Allah bekerja melalui dia, terbukti dari banyaknya mukjizat dan tanda ajaib yang Ia lakukan di tengah-tengah umat. Tindakannya yang penuh kasih dan pelayanannya yang efektif menarik perhatian banyak orang, namun juga menimbulkan kecemburuan dan permusuhan dari kelompok-kelompok tertentu, terutama dari sinagoge-sinagoge yang terdiri dari orang-orang Yahudi diaspora.
Kegenapan Stefanus dalam memberitakan kebenaran membuat para penentangnya gerah. Mereka tidak dapat membantah hikmat dan Roh yang berbicara melalui Stefanus. Alih-alih menerima kebenaran, mereka justru berusaha menjatuhkannya. Kisah Para Rasul 6:10 menyatakan, "Tetapi mereka tidak dapat melawan hikmatnya dan Roh yang berbicara di dalamnya." Karena tidak mampu menang dalam adu argumen, mereka kemudian menggunakan cara-cara licik. Mereka menghasut orang banyak, para tua-tua, dan ahli-ahli Taurat untuk menuduh Stefanus mengucapkan kata-kata hujat terhadap Musa dan Allah. Tuduhan ini sangat serius pada masa itu, karena Musa dan hukum Taurat dianggap suci dan tidak boleh dicemarkan.
Stefanus kemudian dibawa ke hadapan Mahkamah Agama (Sanhedrin). Di sinilah kesaksiannya yang paling terkenal dan monumental terjadi. Ketika diminta untuk membela diri, Stefanus tidak gentar. Sebaliknya, ia menggunakan kesempatan itu untuk memberikan khotbah yang panjang dan kuat tentang sejarah bangsa Israel, menyoroti bagaimana umat pilihan Allah sering kali menolak nabi-nabi yang diutus-Nya, bahkan membunuh mereka. Ia secara implisit namun jelas menunjukkan bahwa para pemimpin agama yang menuduhnya kini sedang mengulangi kesalahan leluhur mereka dengan menolak Yesus Kristus, Mesias yang dijanjikan.
Dalam khotbahnya yang menggebu-gebu, Stefanus mencapai puncak pada Kisah Para Rasul 7, di mana ia menunjuk langsung kepada para penuduhnya dan berkata, "Hai orang-orang yang keras kepala dan yang tidak bersunat hati dan telinga! Kamu selalu melawan Roh Kudus, sama seperti nenek moyangmu, demikian juga kamu." Ia kemudian mengungkapkan visi surgawi yang luar biasa: "Lihatlah, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah." (Kisah Para Rasul 7:55-56). Visi ini adalah pengakuan iman tertinggi, menyatakan keilahian Kristus dan keberadaan-Nya yang mulia di surga.
Reaksi para pendengarnya sangat brutal. Mereka menutup telinga, menyerbu Stefanus, dan menyeretnya keluar kota untuk merajamnya. Di tengah serangan batu yang menghantam tubuhnya, Stefanus menunjukkan ketenangan dan kasih yang luar biasa. Ia berseru, "Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku!" (Kisah Para Rasul 7:59). Dan yang paling mengherankan, ketika ia hendak menghembuskan nafas terakhirnya, ia berdoa, "Tuhan, jangan tanggungkan dosa ini kepada mereka." (Kisah Para Rasul 7:60). Doa pengampunan ini mencerminkan karakter Kristus sendiri, yang mengampuni mereka yang menyalibkan-Nya.
Kemartiran Stefanus bukanlah akhir dari segala sesuatu, melainkan awal dari sesuatu yang baru. Kematiannya memicu penganiayaan yang lebih luas terhadap gereja di Yerusalem, memaksa banyak orang percaya untuk melarikan diri. Namun, justru pelarian inilah yang menyebabkan penyebaran Injil ke wilayah-wilayah baru, termasuk Samaria dan Antiokhia. Salah satu orang yang menyaksikan dan menyetujui kematian Stefanus adalah seorang pemuda bernama Saulus, yang kemudian menjadi Rasul Paulus. Pertobatan Saulus di kemudian hari, yang kemungkinan dipengaruhi oleh kesaksian dan kematian Stefanus, merupakan salah satu peristiwa paling transformatif dalam sejarah gereja.
Kisah Stefanus dalam Alkitab mengajarkan kita tentang pentingnya iman yang teguh di hadapan kesulitan, keberanian untuk bersaksi tentang Kristus meskipun diancam, dan kekuatan pengampunan yang melampaui kebencian. Ia mengingatkan kita bahwa pelayanan yang tulus, yang dipimpin oleh Roh Kudus, dapat membawa dampak besar, bahkan dalam menghadapi perlawanan. Stefanus, sang diakon pertama yang mati syahid, tetap menjadi mercusuar iman bagi semua orang percaya.