Dalam ajaran Islam, Al-Qur'an merupakan sumber hukum dan pedoman utama bagi umat Muslim dalam menjalani kehidupan. Salah satu ayat yang sangat jelas memberikan batasan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi adalah Surah An Nahl ayat 115. Ayat ini berfungsi sebagai penegasan prinsip dasar kehalalan (tayyib) dan pengharaman (haram) dalam mencari rezeki dan makanan.
Ilustrasi: Membedakan yang diizinkan (kiri) dan dilarang (kanan)
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
(Hanya saja Dia mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih dengan menyebut selain nama Allah; tetapi barangsiapa terpaksa memakannya, tanpa menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.)
Ayat 115 dari Surah An Nahl ini menegaskan secara eksplisit empat jenis makanan utama yang diharamkan oleh Allah SWT. Pembatasan ini bukan semata-mata untuk menyulitkan umat, melainkan sebagai bentuk penjagaan terhadap kesehatan fisik, spiritual, dan etika dalam mengolah sumber daya alam.
Bangkai adalah hewan yang mati tanpa disembelih secara syar'i (sesuai tuntunan agama). Hukum ini berlaku bagi hewan yang seharusnya disembelih, seperti sapi, kambing, atau ayam. Islam menekankan bahwa kehidupan makhluk hidup harus dihormati, dan proses kematian yang sesuai syariat bertujuan agar darah kotor keluar maksimal, sehingga dagingnya lebih higienis dan baik untuk dikonsumsi.
Darah yang mengalir (darah kental) diharamkan. Meskipun banyak makanan modern yang mengandung unsur darah (seperti sosis atau hati yang tidak dimasak sempurna), larangan utama di sini adalah mengonsumsi darah murni sebagai minuman atau bahan utama, karena darah membawa zat-zat sisa metabolisme yang jika dikonsumsi dalam jumlah besar bisa berbahaya bagi tubuh.
Babi merupakan hewan yang secara tegas diharamkan dalam banyak ayat Al-Qur'an, termasuk dalam ayat ini. Alasan pengharaman babi bersifat komprehensif, meliputi aspek kebersihan (babi dikenal sebagai pemakan segala kotoran), moralitas, dan aspek spiritual. Keharaman daging babi adalah keharaman yang mutlak dan tidak ada pengecualian dalam kondisi normal.
Ini berkaitan dengan aspek tauhid. Makanan yang dihalalkan dalam Islam harus melalui proses penyembelihan yang diniatkan semata-mata karena Allah. Jika penyembelihan dilakukan untuk sesajen, persembahan kepada berhala, atau menyebut nama selain Allah, maka hasil sembelihan tersebut menjadi haram karena mengandung unsur syirik (menyekutukan Allah).
Meskipun batasan di atas tegas, Surah An Nahl ayat 115 juga menunjukkan sifat rahmat Allah yang luar biasa melalui klausul pengecualian: "tetapi barangsiapa terpaksa memakannya, tanpa menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas..."
Kondisi darurat (dlarurat) adalah pengecualian yang membolehkan hal yang haram demi menjaga kelangsungan hidup (hifzhun nafs). Namun, ada dua syarat ketat yang harus dipenuhi:
Ayat ditutup dengan jaminan keampunan: "maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." Ini menegaskan bahwa kemudahan ini diberikan atas dasar kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya ketika mereka berada dalam situasi yang benar-benar di luar kendali mereka.
Ayat ini mengajarkan bahwa konsumsi makanan bukan hanya urusan perut, tetapi juga urusan iman. Memilih makanan yang halal dan tayyib (baik) adalah bentuk ketaatan kepada perintah Allah. Hal ini mencerminkan keyakinan bahwa apa yang masuk ke dalam tubuh akan memengaruhi pikiran dan amal perbuatan seseorang. Dengan membatasi konsumsi hal-hal yang kotor atau disembelih secara tidak benar, seorang Muslim berusaha menjaga kesucian dirinya dari pengaruh negatif yang mungkin dibawa oleh unsur-unsur tersebut.
Surah An Nahl 115 menjadi fondasi hukum yang kokoh mengenai etika pangan dalam Islam, menekankan keseimbangan antara kepatuhan total terhadap syariat dan pemahaman akan rahmat universal Allah di saat-saat kesulitan.