Ilustrasi: Konsep hijrah dan kehidupan baru.
Surah An Nisa, yang berarti "Wanita", merupakan salah satu surah Madaniyah yang diturunkan setelah hijrah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ke Madinah. Surah ini membahas berbagai aspek hukum dan sosial dalam masyarakat Islam, termasuk hak-hak wanita, pernikahan, perceraian, warisan, dan kewajiban serta tanggung jawab seorang Muslim. Di antara ayat-ayatnya yang kaya akan makna, Surah An Nisa ayat 97 memiliki kedudukan yang istimewa, memberikan penekanan pada mereka yang berjuang di jalan Allah, terutama dalam konteks hijrah.
إِنَّ ٱلَّذِينَ تَوَفَّىٰهُمُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ ظَالِمِىٓ أَنفُسِهِمْ قَالُوٓاْ أَفِينَ كُنتُمْ ۖ قَالُواْ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِى ٱلْأَرْضِ ۚ قَالُوٓاْ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيهَا ۚ فَأُو۟لَٰٓئِكَ مَأْوَىٰهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: 'Dalam keadaan bagaimana kamu ini?' Mereka menjawab: 'Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).' Malaikat berkata: 'Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?' (Setelah mengetahui hakikatnya) mereka itu tempatnya adalah neraka Jahanam, dan amat buruklah ia menjadi tempat tinggal."
Ayat ini diturunkan untuk menjelaskan kondisi sebagian kaum Muslimin yang tertinggal di Mekah saat terjadi hijrah besar-besaran ke Madinah. Mereka beralasan bahwa keadaan mereka di Mekah adalah karena tertindas dan tidak memiliki kemampuan untuk berhijrah. Ayat ini memberikan peringatan keras dan menjelaskan konsekuensi dari sikap pasif tersebut. Allah SWT mengingatkan bahwa bumi-Nya luas, dan bagi mereka yang mampu, hijrah adalah sebuah kewajiban jika memang tidak memungkinkan untuk menegakkan agama di tempat asalnya.
Istilah "menganiaya diri sendiri" (ظَالِمِىٓ أَنفُسِهِمْ - *zhaalimi anfusihim*) dalam ayat ini memiliki makna yang sangat luas. Ini tidak hanya merujuk pada dosa-dosa besar, tetapi juga mencakup kelalaian dalam menjalankan perintah Allah dan menghindari larangan-Nya. Dalam konteks ayat ini, "menganiaya diri sendiri" adalah ketika seseorang tidak mau mengambil langkah untuk menyelamatkan diri dari lingkungan yang menghalanginya untuk taat kepada Allah, terutama jika lingkungan tersebut memaksa atau mendorongnya untuk melakukan kemaksiatan.
Bagi mereka yang mampu secara fisik dan finansial, namun tetap memilih untuk tinggal di tempat yang jelas-jelas menghalangi dakwah dan pelaksanaan ajaran Islam, berarti mereka secara sadar atau tidak sadar telah menganiaya diri sendiri. Keengganan untuk berhijrah, ketika ada kesempatan untuk mencari lingkungan yang lebih kondusif untuk beribadah dan beramal shaleh, adalah bentuk penganiayaan diri yang serius.
Hijrah bukan sekadar perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain. Dalam Islam, hijrah memiliki makna yang lebih dalam, yaitu meninggalkan segala bentuk keburukan, kemaksiatan, dan kemusyrikan, menuju ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Hijrah fisik seringkali menjadi sarana untuk mencapai hijrah maknawi ini, yaitu hijrah hati dan amal.
Ayat ini menegaskan bahwa bumi Allah itu luas. Pernyataan ini adalah pengingat bahwa selalu ada alternatif dan solusi bagi orang yang beriman. Jika satu tempat terasa sempit dan menghalangi kebaikan, maka carilah tempat lain yang lebih lapang untuk mengabdikan diri kepada Allah. Konsep ini relevan tidak hanya pada masa Nabi, tetapi juga bagi umat Islam di setiap zaman dan tempat. Ketika seorang Muslim dihadapkan pada situasi yang mengancam keimanannya atau menghalanginya untuk berbuat baik secara maksimal, maka hijrah patut dipertimbangkan.
Ayat ini juga menyajikan peringatan tegas mengenai konsekuensi bagi mereka yang enggan berhijrah padahal memiliki kemampuan. Tempat kembali mereka digambarkan sebagai neraka Jahanam, tempat yang paling buruk. Ini menunjukkan betapa pentingnya perjuangan dan pengorbanan dalam menegakkan agama Allah. Keengganan untuk mengambil langkah yang diperlukan, meskipun terasa berat, dapat berujung pada penyesalan yang mendalam di akhirat kelak.
Namun, perlu dicatat bahwa ayat ini berbicara kepada mereka yang memiliki kemampuan namun memilih untuk tidak berhijrah karena kelalaian atau alasan yang dibuat-buat. Bagi mereka yang benar-benar tidak mampu, karena uzur syar'i, lemah, sakit, atau terpaksa, tentu saja Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Penilaian akhir tetap berada di tangan Allah SWT, yang mengetahui segala isi hati dan keadaan setiap hamba-Nya.
Meskipun konteks utama ayat ini adalah hijrah fisik ke Madinah, semangat dan pelajaran dari Surah An Nisa ayat 97 tetap relevan hingga kini. Dalam era modern, "hijrah" bisa diartikan sebagai perpindahan dari lingkungan yang buruk ke lingkungan yang baik, dari kebiasaan yang maksiat ke kebiasaan yang taat, dari sikap apatis ke sikap aktif dalam kebaikan.
Seorang Muslim mungkin perlu "berhijrah" dari pergaulan yang buruk, dari profesi yang mengharuskannya berbuat curang, atau dari cara hidup yang jauh dari nilai-nilai Islam. Keputusan untuk "berhijrah" ini, sebagaimana hijrah fisik di masa lalu, mungkin memerlukan pengorbanan, perjuangan, dan meninggalkan zona nyaman. Namun, janji Allah adalah pasti bagi mereka yang bersungguh-sungguh di jalan-Nya.
Surah An Nisa ayat 97 mengajarkan kita untuk senantiasa introspeksi diri, mengevaluasi keadaan kita, dan berani mengambil langkah terbaik demi keridhaan Allah. Jangan sampai kita menjadi golongan yang menganiaya diri sendiri dengan kelalaian atau keengganan untuk berjuang di jalan kebaikan, karena bumi Allah itu luas dan kesempatan untuk beramal shaleh selalu ada bagi hamba-Nya yang mau berusaha.