Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita perlu membedah setiap frasa dan kata kunci yang terkandung di dalamnya, sebagaimana ditafsirkan oleh ulama klasik seperti Imam At-Tabari, Imam Al-Qurtubi, dan Imam Ibnu Kathir.
A. Perintah 'Khudz' (Ambillah)
Kata kerja ‘خُذْ’ (Khudz) adalah perintah imperatif. Ini adalah penegasan otorisasi dan kewajiban. Dalam konteks fiqh (hukum Islam), penggunaan kata ‘Ambillah’ ini mengukuhkan bahwa Zakat bukanlah sekadar sumbangan sukarela yang diserahkan atas kemauan individu (meskipun istilah yang digunakan adalah *sadaqah*, yang secara literal berarti sedekah), melainkan kewajiban yang harus ditarik oleh penguasa sah dari umat Islam yang mampu.
Imam At-Tabari menjelaskan bahwa perintah ini menunjukkan bahwa jika seseorang enggan membayar Zakat wajib, penguasa memiliki hak, bahkan kewajiban, untuk memungutnya secara paksa. Ini membedakan Zakat dari sedekah sunnah. Zakat adalah pilar negara Islam dan sistem keuangan masyarakat, dan ketaatan dalam membayarnya adalah tanda keimanan yang sejati.
Konteks historisnya, ayat ini diturunkan berkaitan dengan mereka yang terlambat taubat, yang menyerahkan sebagian harta mereka sebagai kompensasi atas kelalaian mereka. Namun, jumhur ulama sepakat bahwa perintah ‘Khudz’ berlaku umum untuk seluruh Zakat wajib (Zakat Maal dan Zakat Fitr) setelah periode Madinah.
B. 'Min Amwalihim' (Dari Harta Mereka)
Frasa ‘مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ’ (Min Amwalihim) menunjukkan bahwa Zakat diambil dari jenis harta tertentu, bukan seluruhnya, dan bukan dari diri (kecuali Zakat Fitr, yang juga terkait dengan kemampuan ekonomi). Kata ‘Amwal’ (harta) mencakup emas, perak, hasil pertanian, ternak, dan harta perdagangan, sesuai dengan ketentuan fiqh yang rinci mengenai nisab dan haul. Ulama fikih menggunakan frasa ini sebagai dasar bahwa Zakat hanya wajib pada harta yang telah mencapai ambang batas (nisab) dan telah dimiliki selama setahun (haul), kecuali untuk hasil panen yang dibayarkan saat panen.
C. 'Sadaqatan' (Sedekah/Zakat)
Meskipun kata yang digunakan adalah ‘صَدَقَةً’ (Sadaqah), dalam konteks syariah dan penegasan perintah wajib, yang dimaksud di sini adalah Zakat wajib. Di masa awal Islam, istilah ‘Sadaqah’ sering digunakan untuk merujuk pada Zakat wajib. Penyebutan sebagai ‘Sadaqah’ menekankan aspek kebenaran (dari akar kata ‘shidq’) iman seseorang. Pembayaran Zakat adalah bukti jujur dan benarnya keimanan seorang Muslim kepada Allah SWT. Ini memverifikasi bahwa ketaatan batinnya diterjemahkan menjadi amal lahiriah yang memberdayakan masyarakat.
D. 'Tuthahhiruhum wa Tuzakkiihim Biha' (Membersihkan dan Menyucikan Mereka)
Ini adalah inti spiritual dari ayat 103, sebuah tujuan ganda yang fundamental. Ayat ini menggunakan dua kata kerja yang hampir serupa namun memiliki nuansa makna yang berbeda: ‘تُطَهِّرُهُمْ’ (Tuthahhiruhum) dan ‘تُزَكِّيهِمْ’ (Tuzakkiihim). Kedua kata ini membahas proses ‘Tazkiyah’.
1. Tuthahhiruhum (Membersihkan/Mencuci)
Ini merujuk pada penyucian dari kotoran atau noda. Dalam konteks harta, ia berarti membersihkan harta dari hak orang lain (hak fakir miskin yang menempel pada harta). Jika hak tersebut tidak dikeluarkan, harta yang tersisa menjadi kotor dan tidak berkah. Secara spiritual, ia membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela seperti kikir (bukhil), tamak, dan cinta dunia yang berlebihan. Zakat berfungsi sebagai deterjen spiritual.
Menurut Tafsir Ibnu Kathir, pembersihan ini juga mencakup dosa-dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh para penitent yang menjadi subjek utama ayat ini. Dengan mengeluarkan Zakat, mereka berharap dosa-dosa mereka, terutama dosa penundaan taubat, akan terhapus.
2. Tuzakkiihim (Menyucikan/Menumbuhkan)
‘Tazkiyah’ memiliki arti ganda: penyucian dan pertumbuhan/perkembangan. Setelah dibersihkan (tathir), harta dan jiwa akan tumbuh (tazkiyah). Harta yang dizakati akan diberkahi oleh Allah, berkembang secara kualitatif, meskipun secara kuantitatif berkurang. Lebih penting lagi, jiwa yang dizakati akan tumbuh subur dengan sifat-sifat terpuji seperti kedermawanan, empati, dan keyakinan kepada rezeki Allah. Ini adalah proses yang meningkatkan kualitas keimanan dan kepribadian seseorang. Ini menegaskan bahwa Zakat adalah investasi, bukan kerugian.
E. 'Wa Shalli 'Alayhim' (Dan Doakanlah Mereka)
Setelah memerintahkan pengambilan Zakat, Allah memerintahkan Nabi SAW untuk mendoakan para pembayar Zakat. Ini adalah hak spiritual yang luar biasa bagi mereka yang menunaikan Zakat. ‘صَلِّ عَلَيْهِمْ’ (Shall ‘alayhim) secara harfiah berarti ‘curahkanlah salawat (doa) atas mereka’.
Para mufasir menjelaskan bahwa doa Rasulullah SAW di sini adalah bentuk pujian, permohonan ampunan, dan permohonan keberkahan dari Allah SWT bagi para pembayar Zakat. Ini menunjukkan bahwa Zakat harus dikumpulkan dengan penuh keramahan dan apresiasi, dan pemimpin spiritual memiliki peran untuk memberikan dukungan moral dan spiritual kepada komunitasnya.
F. 'Inna Shalawataka Sakanun Lahum' (Sesungguhnya Doa Kamu Itu Ketenangan Jiwa Bagi Mereka)
Frasa ‘سَكَنٌ لَّهُمْ’ (Sakanun Lahum) berarti ketenteraman, kedamaian, dan ketenangan jiwa. Doa Nabi SAW berfungsi sebagai penawar keresahan dan kegelisahan batin, khususnya bagi mereka yang telah melakukan kesalahan (seperti dalam konteks Tabuk). Doa dari pemimpin yang saleh meyakinkan mereka bahwa taubat mereka telah diterima dan bahwa tindakan mereka (membayar Zakat) telah diakui oleh otoritas spiritual tertinggi. Ketenangan batin (sakinah) ini adalah hadiah Allah yang mengikuti tindakan ketaatan yang tulus.