Surah At-Taubah Ayat 103

Kewajiban Zakat, Tazkiyah, dan Doa Rasulullah

I. Pengantar: Konteks Ayat 103 dalam Surah At-Taubah

Surah At-Taubah (Pengampunan) adalah salah satu surah Madaniyah yang membahas secara detail mengenai hukum-hukum perang, perjanjian, penanggulangan kemunafikan, dan fondasi masyarakat Islam. Ayat 103 ini hadir sebagai bagian dari rangkaian ayat yang menjelaskan penerimaan taubat dari sekelompok sahabat yang tertinggal dalam Perang Tabuk karena kemalasan dan kelalaian, namun kemudian menyesalinya dengan tulus. Kisah ini berfungsi sebagai latar belakang yang mendalam, menunjukkan bahwa taubat harus disertai dengan tindakan nyata, salah satunya adalah pengorbanan harta melalui Zakat dan sedekah.

Ayat ini menetapkan prinsip fundamental dalam Islam: bahwa harta, sebagaimana jiwa, memerlukan proses penyucian. Allah SWT berfirman kepada Nabi Muhammad SAW:

خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah dari harta mereka sedekah (zakat), dengan sedekah itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan doakanlah mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103)

Ayat 103 ini bukan hanya perintah spesifik yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW pada zamannya, tetapi juga merupakan landasan hukum (dalil syar’i) bagi kewajiban Zakat, mekanisme pengumpulan Zakat oleh negara atau pemimpin (Ulil Amri), dan penegasan bahwa Zakat memiliki dimensi ganda: ekonomi dan spiritual (Tazkiyah).

II. Analisis Lafziyah dan Tafsir Mufasirin

Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita perlu membedah setiap frasa dan kata kunci yang terkandung di dalamnya, sebagaimana ditafsirkan oleh ulama klasik seperti Imam At-Tabari, Imam Al-Qurtubi, dan Imam Ibnu Kathir.

A. Perintah 'Khudz' (Ambillah)

Kata kerja ‘خُذْ’ (Khudz) adalah perintah imperatif. Ini adalah penegasan otorisasi dan kewajiban. Dalam konteks fiqh (hukum Islam), penggunaan kata ‘Ambillah’ ini mengukuhkan bahwa Zakat bukanlah sekadar sumbangan sukarela yang diserahkan atas kemauan individu (meskipun istilah yang digunakan adalah *sadaqah*, yang secara literal berarti sedekah), melainkan kewajiban yang harus ditarik oleh penguasa sah dari umat Islam yang mampu.

Imam At-Tabari menjelaskan bahwa perintah ini menunjukkan bahwa jika seseorang enggan membayar Zakat wajib, penguasa memiliki hak, bahkan kewajiban, untuk memungutnya secara paksa. Ini membedakan Zakat dari sedekah sunnah. Zakat adalah pilar negara Islam dan sistem keuangan masyarakat, dan ketaatan dalam membayarnya adalah tanda keimanan yang sejati.

Konteks historisnya, ayat ini diturunkan berkaitan dengan mereka yang terlambat taubat, yang menyerahkan sebagian harta mereka sebagai kompensasi atas kelalaian mereka. Namun, jumhur ulama sepakat bahwa perintah ‘Khudz’ berlaku umum untuk seluruh Zakat wajib (Zakat Maal dan Zakat Fitr) setelah periode Madinah.

B. 'Min Amwalihim' (Dari Harta Mereka)

Frasa ‘مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ’ (Min Amwalihim) menunjukkan bahwa Zakat diambil dari jenis harta tertentu, bukan seluruhnya, dan bukan dari diri (kecuali Zakat Fitr, yang juga terkait dengan kemampuan ekonomi). Kata ‘Amwal’ (harta) mencakup emas, perak, hasil pertanian, ternak, dan harta perdagangan, sesuai dengan ketentuan fiqh yang rinci mengenai nisab dan haul. Ulama fikih menggunakan frasa ini sebagai dasar bahwa Zakat hanya wajib pada harta yang telah mencapai ambang batas (nisab) dan telah dimiliki selama setahun (haul), kecuali untuk hasil panen yang dibayarkan saat panen.

C. 'Sadaqatan' (Sedekah/Zakat)

Meskipun kata yang digunakan adalah ‘صَدَقَةً’ (Sadaqah), dalam konteks syariah dan penegasan perintah wajib, yang dimaksud di sini adalah Zakat wajib. Di masa awal Islam, istilah ‘Sadaqah’ sering digunakan untuk merujuk pada Zakat wajib. Penyebutan sebagai ‘Sadaqah’ menekankan aspek kebenaran (dari akar kata ‘shidq’) iman seseorang. Pembayaran Zakat adalah bukti jujur dan benarnya keimanan seorang Muslim kepada Allah SWT. Ini memverifikasi bahwa ketaatan batinnya diterjemahkan menjadi amal lahiriah yang memberdayakan masyarakat.

D. 'Tuthahhiruhum wa Tuzakkiihim Biha' (Membersihkan dan Menyucikan Mereka)

Ini adalah inti spiritual dari ayat 103, sebuah tujuan ganda yang fundamental. Ayat ini menggunakan dua kata kerja yang hampir serupa namun memiliki nuansa makna yang berbeda: ‘تُطَهِّرُهُمْ’ (Tuthahhiruhum) dan ‘تُزَكِّيهِمْ’ (Tuzakkiihim). Kedua kata ini membahas proses ‘Tazkiyah’.

1. Tuthahhiruhum (Membersihkan/Mencuci)

Ini merujuk pada penyucian dari kotoran atau noda. Dalam konteks harta, ia berarti membersihkan harta dari hak orang lain (hak fakir miskin yang menempel pada harta). Jika hak tersebut tidak dikeluarkan, harta yang tersisa menjadi kotor dan tidak berkah. Secara spiritual, ia membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela seperti kikir (bukhil), tamak, dan cinta dunia yang berlebihan. Zakat berfungsi sebagai deterjen spiritual.

Menurut Tafsir Ibnu Kathir, pembersihan ini juga mencakup dosa-dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh para penitent yang menjadi subjek utama ayat ini. Dengan mengeluarkan Zakat, mereka berharap dosa-dosa mereka, terutama dosa penundaan taubat, akan terhapus.

2. Tuzakkiihim (Menyucikan/Menumbuhkan)

‘Tazkiyah’ memiliki arti ganda: penyucian dan pertumbuhan/perkembangan. Setelah dibersihkan (tathir), harta dan jiwa akan tumbuh (tazkiyah). Harta yang dizakati akan diberkahi oleh Allah, berkembang secara kualitatif, meskipun secara kuantitatif berkurang. Lebih penting lagi, jiwa yang dizakati akan tumbuh subur dengan sifat-sifat terpuji seperti kedermawanan, empati, dan keyakinan kepada rezeki Allah. Ini adalah proses yang meningkatkan kualitas keimanan dan kepribadian seseorang. Ini menegaskan bahwa Zakat adalah investasi, bukan kerugian.

E. 'Wa Shalli 'Alayhim' (Dan Doakanlah Mereka)

Setelah memerintahkan pengambilan Zakat, Allah memerintahkan Nabi SAW untuk mendoakan para pembayar Zakat. Ini adalah hak spiritual yang luar biasa bagi mereka yang menunaikan Zakat. ‘صَلِّ عَلَيْهِمْ’ (Shall ‘alayhim) secara harfiah berarti ‘curahkanlah salawat (doa) atas mereka’.

Para mufasir menjelaskan bahwa doa Rasulullah SAW di sini adalah bentuk pujian, permohonan ampunan, dan permohonan keberkahan dari Allah SWT bagi para pembayar Zakat. Ini menunjukkan bahwa Zakat harus dikumpulkan dengan penuh keramahan dan apresiasi, dan pemimpin spiritual memiliki peran untuk memberikan dukungan moral dan spiritual kepada komunitasnya.

F. 'Inna Shalawataka Sakanun Lahum' (Sesungguhnya Doa Kamu Itu Ketenangan Jiwa Bagi Mereka)

Frasa ‘سَكَنٌ لَّهُمْ’ (Sakanun Lahum) berarti ketenteraman, kedamaian, dan ketenangan jiwa. Doa Nabi SAW berfungsi sebagai penawar keresahan dan kegelisahan batin, khususnya bagi mereka yang telah melakukan kesalahan (seperti dalam konteks Tabuk). Doa dari pemimpin yang saleh meyakinkan mereka bahwa taubat mereka telah diterima dan bahwa tindakan mereka (membayar Zakat) telah diakui oleh otoritas spiritual tertinggi. Ketenangan batin (sakinah) ini adalah hadiah Allah yang mengikuti tindakan ketaatan yang tulus.

Ilustrasi Tazkiyah dan Kebaikan Dua tangan yang saling memberi dan menerima koin, dengan simbol pertumbuhan dan keberkahan di atasnya, melambangkan Zakat dan Tazkiyah (penyucian).

Ilustrasi: Zakat (Sadaqah) sebagai proses Tazkiyah dan pertumbuhan spiritual.

III. Implikasi Fiqh dan Hukum Zakat dari Ayat 103

Ayat 103 Surah At-Taubah berfungsi sebagai dalil utama dalam hukum (fiqh) mengenai peran negara dalam pengelolaan Zakat. Prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam ayat ini telah menjadi landasan bagi sistem keuangan Islam selama berabad-abad.

A. Otoritas Penguasa (Ulil Amri) dalam Pengumpulan Zakat

Perintah ‘Khudz’ (Ambillah) menegaskan bahwa pengumpulan Zakat adalah tanggung jawab kolektif yang dipimpin oleh otoritas pemerintahan yang sah (Baitul Maal atau lembaga Zakat resmi). Zakat tidak diserahkan langsung oleh muzakki (pembayar) kepada mustahik (penerima) secara pribadi, meskipun ini diperbolehkan dalam keadaan tertentu, namun sistem kolektif lebih diutamakan untuk menjamin distribusi yang adil dan efisien.

Para fuqaha (ahli fikih) menegaskan bahwa jika penguasa yang sah menuntut Zakat, seorang Muslim wajib menyerahkannya kepada mereka. Imam Ahmad bin Hanbal dan Mazhab Hanbali secara umum menekankan pentingnya peran imam (pemimpin) dalam penarikan Zakat untuk mencapai tujuan sosio-ekonomi yang lebih luas. Tanpa peran sentral ini, sistem Zakat bisa menjadi kacau dan gagal mencapai tujuan tazkiyah masyarakat secara menyeluruh.

B. Status Hukum Zakat sebagai Rukun Islam

Meskipun ayat ini secara spesifik terkait dengan sedekah penyesalan (kafarah), penempatannya dan penggunaan terminologi yang kuat menjadikannya penegasan terhadap Zakat sebagai Rukun Islam. Zakat adalah hak Allah yang harus dipenuhi. Konsekuensi menolak Zakat (setelah kewajibannya ditetapkan dengan jelas) sangatlah berat, sebagaimana tercermin dalam tindakan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq yang memerangi kaum yang menolak membayar Zakat kepada Baitul Maal setelah wafatnya Nabi SAW.

Tindakan Abu Bakar didasarkan pada pemahaman ayat ini, bahwa Zakat adalah perintah yang diambil oleh pemimpin (khudz), dan jika perintah ini diabaikan, itu berarti penolakan terhadap otoritas syariat. Dalam risalahnya, Abu Bakar menyatakan bahwa Zakat dan salat tidak dapat dipisahkan; keduanya adalah tanda ketaatan yang tak terpisahkan.

C. Klasifikasi Harta Zakat (Amwal)

Ayat ini menggunakan kata ‘Amwalihim’ (harta mereka). Para ulama mengklasifikasikan harta yang wajib dizakati menjadi empat kategori utama, didasarkan pada sunnah Nabi SAW dan interpretasi lanjutan dari ayat-ayat Al-Qur'an:

  1. An’am (Ternak): Unta, sapi, dan kambing/domba, dengan nisab dan haul yang ditetapkan.
  2. Naqdain (Dua Mata Uang): Emas dan perak (yang kini mencakup mata uang kertas modern dan aset likuid lainnya).
  3. Zuru’ wa Tsimar (Hasil Pertanian): Gandum, kurma, dan hasil panen pokok lainnya, yang dibayarkan saat panen (bukan haul).
  4. ‘Urudh At-Tijarah (Barang Dagangan): Harta yang diperdagangkan, dengan haul dan nisab menggunakan nilai moneter.

Setiap harta memiliki persentase (kadar) yang berbeda, namun prinsip dasarnya tetap sama: mengeluarkan bagian tertentu dari harta yang tumbuh dan produktif untuk tujuan penyucian (tathir) dan pertumbuhan (tazkiyah).

D. Hubungan Doa Pemimpin dengan Penerimaan Zakat

Perintah 'wa shalli 'alayhim' menetapkan sebuah etika kepemimpinan yang tinggi. Pemimpin bukan hanya penarik pajak, tetapi juga pembimbing spiritual. Ketika Zakat diambil, pemimpin wajib mendoakan berkah dan ketenangan bagi pembayar. Dalam sistem Zakat modern, peran ini diemban oleh para amil (petugas Zakat), yang sebaiknya menampakkan rasa syukur dan doa bagi muzakki, memastikan bahwa proses pembayaran Zakat dijalankan dalam suasana keimanan dan ketenangan, bukan sekadar birokrasi.

Ketenangan (Sakinah) yang dibawa oleh doa ini adalah elemen spiritual yang seringkali terabaikan. Ini menegaskan bahwa amal saleh harus selalu diiringi oleh pengakuan spiritual, di mana komunitas saling mendoakan keberkahan.

IV. Dimensi Tazkiyah (Penyucian) dalam Konteks Harta dan Jiwa

Konsep Tazkiyah adalah jantung dari ayat 103. Ayat ini secara eksplisit menyatakan bahwa Zakat bukanlah beban, melainkan alat ilahi untuk mencapai kesempurnaan spiritual dan moral. Jika Zakat hanya dilihat dari sudut pandang ekonomi (distribusi kekayaan), kita akan kehilangan makna terdalam yang diinginkan Allah SWT.

A. Penyucian Harta dari Hak Lain (Tathir Mal)

Para ulama sepakat bahwa sebelum Zakat dikeluarkan, ada semacam ‘kotoran’ yang melekat pada harta seorang Muslim. Ini adalah hak fakir miskin yang telah ditetapkan oleh Allah. Jika kotoran ini tidak dikeluarkan, seluruh harta tersebut, bahkan hasil penggunaannya, akan membawa dampak negatif (kurangnya berkah) bagi pemiliknya. Zakat membersihkan harta dari hak ini, menjadikannya halal, murni, dan penuh berkah. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menekankan bahwa harta yang dizakati adalah harta yang ‘baik’ (*tayyib*), yang diizinkan untuk dikembangkan lebih lanjut.

Penyucian harta ini juga terkait dengan penghilangan syubhat (keraguan) atau potensi bercampurnya harta dengan sumber yang kurang bersih, baik karena kelalaian dalam transaksi atau karena kekuranghati-hatian dalam mencari rezeki. Zakat berfungsi sebagai penebus dosa minor yang terkait dengan urusan harta benda.

B. Penyucian Jiwa dari Penyakit Hati (Tathir Nafs)

Dampak Zakat pada jiwa jauh lebih transformatif. Dua penyakit hati utama yang diobati oleh Zakat adalah:

  1. Syuhh (Kekikiran/Ketamakan): Zakat memaksa individu untuk melepaskan sebagian harta yang dicintai demi ketaatan. Ini melatih jiwa untuk mengalahkan kekikiran. Kekikiran adalah penyakit yang merusak hubungan seseorang dengan Allah dan sesama manusia. Ayat ini memberikan obat praktis: kedermawanan wajib yang menghilangkan akar keserakahan.
  2. Hubb ad-Dunya (Cinta Dunia Berlebihan): Ketika seorang Muslim dengan rela hati menunaikan Zakat, ia menunjukkan bahwa ia memahami bahwa harta hanyalah pinjaman dan alat, bukan tujuan akhir. Ini membebaskan hati dari keterikatan duniawi, sehingga ia dapat fokus pada akhirat.

Proses Tazkiyah ini menghasilkan peningkatan iman, rasa syukur, dan empati. Seseorang yang rutin menunaikan Zakat merasakan ikatan persaudaraan yang lebih kuat dengan komunitasnya, karena ia telah berperan langsung dalam mengurangi penderitaan sesama.

C. Pertumbuhan dan Keberkahan (Tazkiyah Ruh)

Konsep pertumbuhan (Tazkiyah) bukan hanya pertumbuhan harta di dunia, tetapi juga pertumbuhan pahala di akhirat. Allah menjanjikan peningkatan bagi mereka yang berinfak (QS. Al-Baqarah: 261). Zakat menjamin bahwa amalan seseorang tidak berhenti pada harta, tetapi meluas menjadi pertumbuhan spiritual yang berkesinambungan. Pertumbuhan spiritual ini mencakup peningkatan ketakwaan (*taqwa*) dan kedekatan dengan Allah SWT.

Ketenangan (*sakinah*) yang disebutkan di akhir ayat (hasil dari doa Nabi) adalah manifestasi tertinggi dari Tazkiyah. Ketika hati bersih dan harta suci, jiwa mencapai kedamaian yang tak ternilai harganya, yang jauh lebih berharga daripada jumlah harta yang dikeluarkan.

V. Perbedaan Zakat Wajib dan Sedekah Sunnah dalam Perspektif Tazkiyah

Meskipun ayat 103 menggunakan kata ‘sadaqah’, penting untuk membedakan antara Zakat wajib (yang merupakan bagian dari Rukun Islam) dan sedekah sunnah (infak). Kedua-duanya memiliki tujuan penyucian, namun mekanisme dan dampaknya berbeda secara hukum dan spiritual.

A. Sadaqah (Zakat) Wajib: Pilar Tazkiyah Struktural

Zakat wajib (yang dimaksud dalam ayat 103) adalah kewajiban yang terstruktur, terikat oleh nisab dan haul. Fungsinya adalah *tathir* (pembersihan) wajib yang menghilangkan hak orang lain dari harta. Zakat adalah hak fakir miskin yang harus dipenuhi, bukan kemurahan hati semata. Kegagalan menunaikannya adalah dosa besar yang menghalangi diterimanya amal lain.

Zakat ini menjamin bahwa hak dasar orang miskin terpenuhi, menciptakan jaring pengaman sosial minimal. Ini adalah Tazkiyah yang bersifat sistemik, membersihkan masyarakat dari disparitas ekstrem dan ketidakadilan yang merusak solidaritas sosial.

B. Sadaqah Sunnah (Infak): Akselerator Tazkiyah Individual

Sedekah sunnah adalah infak sukarela yang dilakukan kapan saja, tanpa nisab dan haul. Ini adalah bentuk *tazkiyah* (pertumbuhan) tambahan. Jika Zakat membersihkan dari kotoran wajib, sedekah sunnah adalah pemupuk dan akselerator pertumbuhan spiritual.

Dalam Tafsir Al-Qurtubi, dijelaskan bahwa Rasulullah SAW mendorong umatnya untuk memperbanyak sedekah sunnah setelah menunaikan Zakat, untuk menambal kekurangan yang mungkin terjadi dalam Zakat wajib dan untuk mencapai derajat ihsan (kesempurnaan ibadah). Sedekah sunnah melawan kekikiran secara lebih radikal, karena ia diberikan tanpa paksaan hukum, murni didorong oleh cinta kepada Allah SWT.

C. Konsistensi dalam Pemberian

Ayat 103 menekankan konsistensi dan peran pemimpin. Dalam masyarakat yang ideal, Zakat wajib harus menjadi dasar dari seluruh sistem sosial, dan sedekah sunnah menjadi pelengkap yang memperkuat ikatan emosional dan spiritual antara anggota masyarakat. Kedua bentuk infak ini saling melengkapi dalam mencapai tujuan akhir Tazkiyah: jiwa yang damai, harta yang berkah, dan masyarakat yang adil.

Proses Tazkiyah yang utuh hanya tercapai ketika seorang Muslim menunaikan kewajiban Zakat dengan tulus (menghilangkan kekikiran) dan kemudian secara sukarela memperkaya keimanannya dengan sedekah dan infak, menyadari bahwa setiap pemberian adalah jalan menuju kedamaian batin (sakinah) yang dijanjikan oleh doa Rasulullah SAW.

Penolakan terhadap Zakat, meskipun dilakukan oleh seseorang yang mengaku Muslim, dapat dianggap sebagai penolakan terhadap prinsip Tazkiyah itu sendiri, sebab ia menahan pembersihan wajib yang diperintahkan Allah. Oleh karena itu, hukumannya sangat berat, sebagaimana diperingatkan dalam ayat-ayat lain Surah At-Taubah yang mengancam mereka yang menimbun emas dan perak tanpa mengeluarkan hak Allah di dalamnya.

VI. Hikmah Perintah Doa Nabi: Sakinah (Ketenangan) dan Kepemimpinan Spiritual

Bagian akhir ayat 103, yaitu ‘وَّصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ’ (dan doakanlah mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka), memberikan pelajaran penting mengenai peran kepemimpinan dalam Islam yang melampaui urusan administratif dan militer.

A. Kepemimpinan yang Inklusif dan Menguatkan

Perintah kepada Nabi SAW untuk mendoakan menunjukkan bahwa pemimpin sejati harus menjadi sumber ketenangan dan dukungan moral. Ketika seorang Muslim menunaikan kewajiban finansialnya, terutama Zakat yang mungkin terasa berat, pengakuan dan doa dari pemimpin spiritual adalah kompensasi non-materi yang sangat berharga.

Doa ini adalah bentuk pengesahan ilahi dan pengakuan sosial atas kebaikan yang dilakukan. Hal ini membangun kepercayaan antara rakyat dan pemimpin, di mana rakyat merasa bahwa pengorbanan mereka dihargai bukan hanya oleh sistem, tetapi juga oleh figur yang menjadi perantara spiritual mereka.

B. Ketenangan (Sakinah) sebagai Tujuan Akhir

Ketenangan (Sakinah) adalah buah dari ketaatan yang sempurna. Dalam konteks ayat ini, Sakinah adalah ketenangan yang dirasakan oleh hati yang telah melakukan taubat sejati dan membersihkan hartanya. Mereka yang menyesal atas kelalaian (seperti kaum yang tertinggal dalam Perang Tabuk) memerlukan jaminan bahwa mereka telah diampuni. Doa Rasulullah SAW adalah jaminan tersebut.

Sakinah ini membersihkan hati dari rasa bersalah, cemas akan masa depan finansial (karena keyakinan akan berkah Allah), dan ketakutan akan hukuman. Ini adalah ketenangan yang hanya bisa diberikan oleh Allah melalui perantara yang diizinkan-Nya (dalam hal ini, doa Nabi SAW). Meskipun Nabi SAW telah wafat, ulama menafsirkan bahwa amil Zakat yang saleh dan pemimpin yang adil masih perlu mendoakan muzakki sebagai bagian dari sunnah yang ditetapkan ayat ini, untuk melanjutkan fungsi spiritual Tazkiyah.

C. Peran Doa dalam Kehidupan Sosial

Praktik doa timbal balik ini menciptakan iklim sosial yang positif. Muzakki didoakan, dan mustahik (penerima Zakat) juga didorong untuk mendoakan para dermawan mereka. Ini memperkuat ukhuwah (persaudaraan) dan memastikan bahwa hubungan antara pemberi dan penerima didasarkan pada rasa saling menghormati dan kasih sayang, bukan hanya transaksi ekonomi. Doa menghilangkan potensi mustahik merasa rendah diri atau muzakki merasa sombong.

Fungsi doa yang melegakan jiwa ini sangat penting dalam konteks Surah At-Taubah yang membahas masalah munafik dan mereka yang imannya lemah. Pemberian Zakat adalah ujian keimanan; doa Nabi adalah hadiah yang menguatkan keimanan mereka yang lulus ujian tersebut. Doa ini memisahkan mereka yang tulus dari mereka yang hanya membayar Zakat karena terpaksa atau riya.

VII. Tazkiyah sebagai Program Hidup dan Relevansi Ayat 103 Masa Kini

Ayat 103 Surah At-Taubah bukan hanya relik sejarah yang berlaku bagi para sahabat yang menyesal. Ayat ini adalah panduan abadi tentang bagaimana seorang Muslim harus menjalani kehidupan finansial dan spiritualnya. Tazkiyah adalah program hidup yang harus diupayakan secara berkelanjutan.

A. Zakat sebagai Disiplin Diri (Riyadhah)

Menunaikan Zakat secara rutin, dengan perhitungan yang cermat, mengajarkan disiplin diri yang tinggi. Ini adalah latihan rohani (riyadhah) yang membersihkan mentalitas ‘kepemilikan’ mutlak. Seorang Muslim dididik untuk selalu menyadari bahwa kekayaan mereka adalah amanah dan bahwa sebagian kecil dari kekayaan tersebut selalu berada di luar hak miliknya.

Disiplin ini meluas ke seluruh aspek kehidupan, mendorong Muslim untuk mencari rezeki yang halal (thayyib) karena mereka tahu harta tersebut akan menjadi subjek dari kewajiban Tazkiyah. Jika sumber rezeki kotor, Zakat tidak dapat membersihkannya sepenuhnya, karena Tazkiyah harus dimulai dari hulu.

B. Relevansi Otoritas Zakat Modern

Dalam konteks modern, perintah ‘Khudz’ (Ambillah) memberikan legitimasi syariah bagi lembaga-lembaga Zakat resmi (Badan Amil Zakat Nasional/Lembaga Amil Zakat). Lembaga ini bertanggung jawab untuk memastikan bahwa Zakat ditarik, dikelola secara profesional, dan didistribusikan sesuai dengan delapan asnaf (penerima Zakat) yang ditetapkan Allah SWT (QS. At-Taubah: 60).

Jika lembaga Zakat berfungsi dengan baik, mereka memenuhi dua tujuan ayat 103: pertama, menjalankan fungsi administratif ‘pengambilan’ (Khudz); kedua, mereka berfungsi sebagai perwakilan pemimpin dalam mencapai ‘Tathir’ (pembersihan) dan ‘Tazkiyah’ (pertumbuhan) masyarakat. Kegagalan lembaga Zakat dalam fungsi ini akan merusak aspek Tazkiyah yang bersifat kolektif.

C. Tazkiyah Harta dan Pembangunan Peradaban

Ketika Tazkiyah harta dilakukan secara massal dan sistemik, dampaknya bukan hanya pada individu, tetapi pada peradaban. Zakat memastikan adanya transfer kekayaan yang konstan dari yang kaya kepada yang miskin, mengurangi kesenjangan ekonomi. Hal ini mencegah konsentrasi kekayaan hanya di tangan segelintir orang (sebagaimana dilarang dalam QS. Al-Hasyr: 7).

Dengan kata lain, ayat 103 memberikan cetak biru bagi pembangunan peradaban yang berlandaskan keadilan sosial, di mana sistem ekonomi didirikan di atas prinsip kemanusiaan dan penyucian, bukan hanya akumulasi modal. Peradaban Islam yang kuat selalu ditopang oleh sistem Zakat yang efektif, yang menjamin ketenangan (sakinah) bagi seluruh warganya, baik pemberi maupun penerima.

D. Konsep Zakat Mal Lisan (Zakat Lidah) dan Zakat Ilmu

Meskipun Zakat dalam ayat 103 merujuk pada harta (‘Amwalihim’), prinsip Tazkiyah dan Sadaqah memiliki perluasan makna dalam spiritualitas Islam. Konsep Tazkiyah mengajarkan bahwa setiap nikmat harus dizakati. Jika harta dizakati dengan uang, maka ilmu dizakati dengan mengajarkannya, dan kekuatan dizakati dengan membela kebenaran. Ini adalah perluasan makna dari perintah penyucian: setiap pemberian Allah harus digunakan untuk mensucikan diri dan lingkungan.

Zakat ini, dalam arti luas, adalah bentuk tertinggi dari rasa syukur. Orang yang bersyukur adalah orang yang menggunakan karunia (harta, waktu, ilmu) sesuai dengan kehendak Pemberi karunia, sehingga karunia tersebut suci dan membawa pertumbuhan (Tazkiyah).

Kewajiban Zakat yang ditegaskan dalam Surah At-Taubah 103 ini, dengan segala implikasi Tazkiyah-nya, adalah salah satu pondasi utama yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem lainnya. Sistem ini tidak hanya bertujuan untuk menyeimbangkan neraca keuangan, tetapi lebih mendasar lagi, bertujuan untuk menyeimbangkan neraca spiritual umat manusia.

Oleh karena itu, setiap Muslim yang menunaikan Zakat harus merenungkan ayat ini, menyadari bahwa mereka bukan hanya memenuhi kewajiban hukum, tetapi sedang menjalani proses penyucian ilahi yang paling mendalam, yang puncaknya adalah ketenangan jiwa di dunia dan kebahagiaan abadi di akhirat.

Ketika perintah ‘Ambillah’ (Khudz) dipenuhi, baik oleh otoritas Zakat maupun oleh hati yang tulus, maka janji Allah untuk ‘membersihkan dan menyucikan’ (Tuthahhiruhum wa Tuzakkiihim) serta karunia ‘ketenangan jiwa’ (Sakanun) akan terwujud sepenuhnya. Ini adalah janji yang kekal, relevan bagi setiap generasi Muslim yang berkomitmen pada Rukun Islam.

Zakat adalah pemenuhan janji kepada Allah dan kepada sesama manusia. Ia adalah sarana untuk menghilangkan sifat buruk dan menumbuhkan kebaikan. Proses ini memerlukan kesabaran, keyakinan (iman), dan kepatuhan mutlak terhadap perintah Allah. Tazkiyah melalui Zakat adalah bukti bahwa Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur bukan hanya ibadah ritual, tetapi juga interaksi sosial dan ekonomi, semuanya demi kemaslahatan hamba-Nya dan kedamaian hati mereka.

🏠 Homepage