Keistimewaan Rasulullah: Tafsir Surah At-Taubah 128-129

Surah At-Taubah, surah ke-9 dalam Al-Qur'an, memiliki keunikan tersendiri. Ia adalah satu-satunya surah yang tidak diawali dengan Basmalah, menekankan tema pemutusan hubungan dan peringatan keras kepada kaum musyrikin dan munafikin. Namun, setelah membahas panjang lebar mengenai pertempuran, perjanjian, dan pengkhianatan, surah ini mencapai puncaknya dengan dua ayat penutup yang agung: Ayat 128 dan 129. Kedua ayat ini berfungsi sebagai penutup yang lembut dan penuh rahmat, menawarkan kontras yang indah dengan nada keras surah secara keseluruhan, sekaligus merangkum esensi risalah kenabian.

Ayat 128 dan 129 Surah At-Taubah bukan hanya merupakan penghormatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi juga merupakan landasan teologis yang menjelaskan hubungan kenabian, kasih sayang, dan tawakal (penyerahan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dalam khazanah tafsir, kedua ayat ini seringkali dikaji secara mendalam karena kekayaan makna linguistik, teologis, dan spiritual yang terkandung di dalamnya.

Latar Belakang dan Kedudukan Ayat

Mayoritas ulama tafsir berpendapat bahwa kedua ayat ini, 128 dan 129, termasuk di antara ayat-ayat terakhir yang diturunkan kepada Rasulullah SAW di Madinah, menjelang wafat beliau. Beberapa riwayat, seperti yang disebutkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, menunjukkan bahwa ketika Al-Qur'an dikumpulkan, para sahabat mendapati kedua ayat ini ada pada diri Khuzaimah bin Tsabit Al-Anshari, seorang sahabat yang kesaksiannya setara dengan dua orang. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai urutan penurunannya yang pasti, tidak diragukan bahwa kedua ayat ini berfungsi sebagai kesimpulan yang sempurna bagi risalah kenabian, khususnya dalam Surah At-Taubah.

Kedudukan kedua ayat ini sangat tinggi. Ayat 128 menggambarkan Rasulullah SAW dengan empat sifat utama yang menunjukkan kesempurnaan rahmatnya, sementara Ayat 129 memerintahkan umat untuk meneladani ketawakalan beliau, menjadikan Allah semata sebagai sandaran hidup. Analisis mendalam terhadap struktur dan pilihan kata dalam kedua ayat ini mengungkap hikmah ilahiah yang mendalam.

Ilustrasi kaligrafi Arab Surah At-Taubah 128-129 لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ حَسْبِيَ اللَّهُ

Ilustrasi visual yang menekankan keagungan ayat-ayat penutup Surah At-Taubah.

Tafsir Mendalam Ayat 128: Manifestasi Rahmat Kenabian

لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Terjemahan Literal: Sungguh, telah datang kepadamu seorang Rasul dari kalanganmu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan) bagimu, sangat penyantun lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.

Analisis Lafaz (Word-by-Word Analysis)

1. لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ (Laqad Jaa'akum Rasulun min Anfusikum)

Frasa ini merupakan penekanan yang kuat. Kata Laqad (sungguh, benar-benar) menunjukkan sumpah dan penegasan. Rasul yang diutus ini adalah min anfusikum, "dari diri kalian sendiri" atau "dari jenis kalian sendiri." Ini memiliki implikasi ganda:

2. عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ ('Azizun 'alayhi ma 'Anittum)

Ini adalah sifat pertama yang menonjolkan empati Nabi. 'Azizun berarti sulit, berat, atau menyakitkan. Ma 'Anittum berarti segala sesuatu yang menyebabkan kesulitan, kesusahan, dan penderitaan bagi kalian. Ayat ini menegaskan bahwa segala bentuk penderitaan yang dialami umatnya terasa sangat berat dan menyakitkan bagi Rasulullah SAW.

Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa penderitaan di sini mencakup kesulitan di dunia, seperti kemiskinan dan penindasan, maupun kesulitan di akhirat, seperti ancaman azab neraka. Nabi Muhammad SAW berjuang keras agar umatnya tidak jatuh dalam kesulitan tersebut.

3. حَرِيصٌ عَلَيْكُم (Harisun 'alaykum)

Harisun berarti sangat berkeinginan, sangat peduli, atau ambisius. Dalam konteks ini, keinginan beliau bukan bersifat duniawi, melainkan keinginan yang tulus agar umatnya memperoleh kebaikan, terutama hidayah dan keimanan. Keinginan ini begitu mendalam sehingga beliau rela menanggung segala kesulitan demi kebahagiaan umatnya.

Sifat ini mencerminkan apa yang disebutkan dalam ayat lain, di mana Allah berfirman bahwa Nabi khawatir atas kesesatan mereka. Keinginan beliau untuk menyelamatkan umatnya adalah manifestasi tertinggi dari kasih sayang seorang utusan.

4. بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ (Bil-Mu'minina Ra'ufun Rahim)

Ini adalah puncak deskripsi kemuliaan akhlak Nabi, menggunakan dua nama sifat yang mulia: Ra'uf (sangat penyantun) dan Rahim (sangat penyayang). Menariknya, kedua sifat ini, yang sering kali digunakan secara eksklusif untuk Allah SWT, diberikan juga kepada Rasulullah SAW dalam konteks ini, meskipun dengan pemahaman bahwa rahmat beliau adalah rahmat yang diizinkan dan diilhamkan oleh Allah.

Penggunaan dua sifat yang hampir serupa ini, Ra'uf dan Rahim, setelah sifat Haris dan Aziz, menunjukkan intensitas kasih sayang Nabi Muhammad SAW yang berlapis-lapis dan tak terhingga terhadap umatnya yang beriman.

Tafsir Klasik Terhadap Ayat 128

Menurut Imam Ath-Thabari (W. 310 H)

Ath-Thabari dalam Jami' al-Bayan menekankan pada aspek min anfusikum, memastikan bahwa Rasulullah adalah bagian dari mereka, yang menghilangkan alasan mereka untuk menolak risalahnya. Ia fokus pada korelasi antara penderitaan umat dan penderitaan Nabi. Beliau berkata bahwa Nabi merasa sedih karena kesesatan mereka dan penderitaan yang harus mereka tanggung di dunia maupun di akhirat. Thabari mengaitkan sifat ini dengan Hadis-hadis yang menunjukkan kekhawatiran Nabi atas umatnya pada hari Kiamat.

Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi (W. 606 H)

Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib membahas secara filosofis dan linguistik. Ia menggarisbawahi bahwa Ayat 128 memuat bukti kenabian Muhammad SAW. Seorang utusan yang memiliki sifat-sifat ini (berat menanggung penderitaan, sangat berkeinginan, penyantun, penyayang) adalah bukti bahwa risalahnya datang dari sumber kasih sayang tertinggi. Razi membedakan antara Ra'uf dan Rahim, menjelaskan bahwa Ra'uf adalah pencegahan terhadap bahaya (kasih sayang preventif), sedangkan Rahim adalah pemberian manfaat (kasih sayang positif).

Menurut Imam Ibnu Katsir (W. 774 H)

Ibnu Katsir sangat fokus pada Hadis-hadis yang mendukung ayat ini. Ia menukil Hadis di mana Nabi Muhammad SAW bersabda, "Perumpamaan diriku dan perumpamaan kalian adalah seperti seseorang yang menyalakan api. Ketika api itu menerangi sekitarnya, maka datanglah belalang-belalang dan serangga lainnya berjatuhan ke dalamnya. Aku memegang pinggang kalian (agar tidak jatuh), tetapi kalian berusaha melepaskan diri dariku." Kutipan ini secara jelas menggambarkan sifat Harisun 'alaykum (sangat berkeinginan) yang dijelaskan dalam ayat tersebut, yaitu keinginan Nabi untuk menyelamatkan umatnya dari api neraka.

Implikasi Aqidah (Teologi) Ayat 128

Ayat 128 merupakan salah satu dalil terkuat bagi keagungan kedudukan Rasulullah SAW di mata Allah SWT. Pemberian sifat Ra'uf dan Rahim yang berasal dari Asmaul Husna kepada Nabi menunjukkan tingkat kemuliaan dan kedekatan yang tak tertandingi. Namun, ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah selalu menegaskan bahwa sifat-sifat ini pada Nabi bersifat khalqi (ciptaan) dan ma'thur (diizinkan), sedangkan pada Allah bersifat azali (kekal) dan dzati (hakiki).

Ayat ini juga menjadi dasar bagi konsep syafaat (interaksi) Nabi Muhammad SAW, karena beliau memiliki kepedulian yang luar biasa terhadap keadaan umatnya di akhirat. Kasih sayang beliau melampaui batas hidup di dunia, menjangkau hingga hari perhitungan.

Tafsir Mendalam Ayat 129: Puncak Ketawakalan dan Tauhid

Setelah menggambarkan sifat-sifat kemuliaan Rasulullah SAW yang penuh kasih sayang, ayat berikutnya memberikan penekanan tajam pada sumber kekuatan utama Nabi: penyerahan diri total kepada Allah SWT. Ayat 129 berfungsi sebagai transisi dari sifat Rasul kepada sifat Rabbul 'Alamin.

فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُلْ حَسْبِىَ ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ ٱلْعَرْشِ ٱلْعَظِيمِ

Terjemahan Literal: Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Rabb yang memiliki 'Arsy yang agung."

Analisis Lafaz (Word-by-Word Analysis)

1. فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُلْ (Fa In Tawallaw Fa Qul)

Fa in tawallaw berarti "maka jika mereka berpaling." Ini merujuk pada kaum musyrikin atau munafikin yang tetap menolak risalah kenabian, meskipun Nabi telah menunjukkan kasih sayang dan kepedulian yang luar biasa (seperti yang dijelaskan dalam Ayat 128). Respon yang harus diberikan Nabi adalah Fa qul, "Maka katakanlah." Ini adalah perintah langsung dari Allah yang mengajarkan prinsip ketegasan dalam tauhid meskipun menghadapi penolakan.

2. حَسْبِىَ ٱللَّهُ (Hasbiyallahu)

Kalimat tauhid yang fundamental. Hasbiya berarti "cukuplah bagiku." Hasbiyallahu berarti "Allah yang Maha Cukup bagiku." Ini adalah deklarasi penyerahan total, yang menunjukkan bahwa tidak ada sandaran, penolong, atau pelindung yang diperlukan selain Allah, meskipun seluruh dunia menentang risalahnya.

3. لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ (Laa Ilaaha Illaa Huwa)

Ini adalah inti dari Tauhid Uluhiyyah (Tauhid ibadah), yaitu penafian seluruh tuhan selain Allah dan penetapan bahwa hanya Dia lah yang berhak disembah. Pengulangan pernyataan tauhid dalam konteks penolakan menegaskan bahwa satu-satunya senjata Nabi dalam menghadapi kesulitan adalah keyakinan mutlak pada keesaan Allah.

4. عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ('Alayhi Tawakkaltu)

Aku bertawakal hanya kepada-Nya. Tawakal bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan upaya maksimal yang disertai penyerahan hasil sepenuhnya kepada kehendak Allah. Ayat ini menunjukkan bahwa bahkan setelah berjuang keras dengan segala kasih sayangnya (Ayat 128), hasil akhir dan keselamatan tetap berada di tangan Allah.

5. وَهُوَ رَبُّ ٱلْعَرْشِ ٱلْعَظِيمِ (Wa Huwa Rabbul 'Arsyil 'Adzim)

Ayat ini ditutup dengan penetapan sifat Rububiyyah (ketuhanan) Allah yang Maha Agung. Allah adalah Rabbul 'Arsyil 'Adzim, Tuhan yang memiliki Arsy yang Agung. Arsy, sebagai makhluk terbesar, melambangkan kekuasaan, keagungan, dan kedaulatan Allah yang tak terbatas. Dengan bersandar kepada Rabb pemilik singgasana agung ini, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa kekuasaan musuh, betapapun kuatnya, tidak berarti apa-apa dibandingkan kedaulatan Allah.

Tawakal dan Integrasi Dua Ayat

Integrasi Ayat 128 dan 129 sangat penting. Ayat 128 mengajarkan tentang peran kemanusiaan Nabi Muhammad SAW, yaitu sifat-sifat kepemimpinan dan kasih sayang yang harus diemban oleh seorang pemimpin umat. Namun, Ayat 129 memberikan koreksi teologis dan landasan spiritual: bahwa meskipun beliau adalah sosok yang paling penyayang, kasih sayang itu tidak boleh menggantikan Tawakal kepada Allah.

Pesan intinya adalah: Lakukanlah upaya maksimal, tunjukkan kasih sayang dan kepedulian, tetapi jika upaya dan kasih sayang itu ditolak, janganlah berkecil hati atau bersedih. Cukuplah Allah sebagai sandaranmu.

Pelajaran Spiritual dan Fiqih dari Dua Ayat Penutup

Kedua ayat ini menyimpan harta karun pelajaran yang relevan sepanjang masa, bukan hanya bagi Rasulullah SAW, tetapi juga bagi setiap mukmin yang berusaha menjalankan misi dakwah dan menjalani kehidupan yang benar.

1. Etika Kepemimpinan (Siyasah) dan Dakwah

Ayat 128 menetapkan standar tertinggi bagi seorang pemimpin atau pendakwah. Seorang pemimpin harus memiliki empati yang mendalam ('Azizun 'alayhi ma 'Anittum), bukan hanya memimpin dari menara gading. Kesulitan umat harus dirasakan sebagai kesulitan pribadi. Dalam konteks dakwah, sifat Harisun 'alaykum mengajarkan bahwa pendakwah harus memiliki hasrat yang membara untuk kebaikan orang yang didakwahinya, jauh dari kepentingan pribadi atau duniawi.

2. Kekuatan Kalimat 'Hasbiyallahu'

Kalimat Hasbiyallahu laa ilaaha illaa Huwa dalam Ayat 129 adalah salah satu dzikir terpenting yang diajarkan dalam Islam. Secara fiqih, kalimat ini sering digunakan sebagai wirid atau doa perlindungan dalam menghadapi ketakutan atau kesulitan. Beberapa ulama salaf menganjurkan untuk membacanya tujuh kali di pagi dan petang hari sebagai perisai dari segala kesulitan, berdasarkan Hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan lainnya, yang sering dikaitkan dengan makna perlindungan yang terkandung dalam ayat ini.

3. Penegasan Kekuasaan Allah (Rububiyyah)

Penutup ayat, Wa Huwa Rabbul 'Arsyil 'Adzim, bukan sekadar pelengkap, melainkan penegasan tauhid yang strategis. Ketika seseorang merasa tertekan oleh kekuasaan duniawi atau ancaman manusia, mengingat bahwa Allah adalah Pemilik Arsy yang agung (singgasana kekuasaan kosmis) akan mengembalikan perspektif bahwa segala kekuasaan fana adalah kecil. Ini memberikan ketenangan mutlak bagi jiwa yang bertawakal.

Aspek Balaghah dan Keindahan Linguistik

Kedua ayat ini juga merupakan mahakarya dari sudut pandang Balaghah (retorika Al-Qur'an), terutama dalam penyusunan sifat-sifat Rasulullah SAW dan transisi yang cepat menuju tawakal kepada Allah.

A. Urutan Sifat dalam Ayat 128

Urutan sifat-sifat Nabi tidaklah acak. Dimulai dengan 'Azizun 'alayhi ma 'Anittum (merasa berat atas penderitaan), yang merupakan respons emosional, kemudian Harisun 'alaykum (keinginan kuat untuk kebaikan), yang merupakan dorongan proaktif, dan diakhiri dengan Ra'ufun Rahim (penyantun lagi penyayang), yang merupakan sifat yang melandasi semua tindakan. Urutan ini menunjukkan progres dari empati menuju aksi kasih sayang.

B. Penggunaan Dua Nama Allah untuk Nabi

Penggunaan sifat Ra'uf dan Rahim yang merupakan nama-nama Allah adalah bentuk kemuliaan (tasyriif) yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam linguistik Arab, pemberian dua sifat ini secara berdekatan pada satu subjek (Rasulullah) menunjukkan keutamaan mutlak beliau dalam hal akhlak dan rahmat, menjadikannya Rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil 'Alamin).

C. Kontras Ayat 128 dan 129 (Iltifat)

Ayat 128 sepenuhnya berpusat pada subjek Nabi Muhammad SAW dan umatnya. Namun, Ayat 129 tiba-tiba mengalihkan fokus dari makhluk kepada Sang Pencipta (Allah). Peralihan fokus ini (disebut Iltifat) sangat kuat. Tujuannya adalah untuk mengingatkan pembaca bahwa betapapun agungnya seorang utusan, sumber kekuatan, perlindungan, dan kecukupan hakiki tetaplah Allah, Rabbul 'Arsyil 'Adzim.

Perbandingan Tafsir Kontemporer dan Relevansi Modern

Di era modern, kedua ayat ini sering diinterpretasikan dalam konteks manajemen konflik, kepemimpinan transformasional, dan kesehatan mental.

1. Kepemimpinan Berbasis Empati

Tafsir modern menyoroti Ayat 128 sebagai cetak biru kepemimpinan yang ideal. Konsep 'Azizun 'alayhi ma 'Anittum (berat menanggung penderitaan umat) menuntut pemimpin untuk tidak hanya memberikan perintah, tetapi juga berempati terhadap tekanan yang dihadapi rakyatnya. Ini relevan dalam kepemimpinan politik, korporat, maupun keluarga. Keberhasilan dakwah atau kepemimpinan diukur dari seberapa besar penderitaan yang diderita pengikutnya menjadi penderitaan pemimpin itu sendiri.

2. Psikologi Tawakal

Ayat 129 menawarkan solusi psikologis yang kuat. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian dan kecemasan, deklarasi Hasbiyallahu berfungsi sebagai jangkar spiritual. Ketika seseorang telah berusaha maksimal (seperti upaya dakwah penuh kasih sayang dalam Ayat 128), penyerahan hasil kepada Allah (Tawakal) adalah kunci untuk mencapai ketenangan batin. Ini adalah mekanisme pertahanan diri spiritual melawan stres dan frustrasi yang timbul dari penolakan atau kegagalan.

Para sarjana kontemporer seperti Syaikh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi menekankan bahwa Ayat 128 memberikan motivasi untuk terus berbuat baik, sementara Ayat 129 memberikan jaminan keamanan internal, sebuah keseimbangan sempurna antara aksi sosial dan kedamaian spiritual.

3. Rahmatan Lil 'Alamin dalam Implementasi

Meskipun Ayat 128 menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Ra'ufun Rahim terhadap orang-orang mukmin, sifatnya sebagai Rahmat bagi seluruh alam (sebagaimana ayat lain) tidak bertentangan. Kepedulian Nabi meluas kepada semua manusia (terbukti dari sifat Harisun 'alaykum agar semua mendapat hidayah), tetapi kasih sayang yang paling intens dan berlipat ganda (Ra'ufun Rahim) diberikan kepada mereka yang telah menerima risalah dan beriman.

Telaah Mendalam Mengenai Sifat 'Arsy (Singgasana)

Penutupan ayat dengan frasa Rabbul 'Arsyil 'Adzim memerlukan pemahaman yang mendalam mengenai konsep 'Arsy dalam Aqidah Islam.

Definisi dan Makna Arsy

Arsy secara harfiah berarti singgasana atau takhta. Dalam terminologi Islam, Arsy adalah makhluk terbesar dan tertinggi yang diciptakan Allah SWT, melambangkan kemahabesaran dan kedaulatan-Nya yang absolut. Ayat ini menegaskan bahwa Allah bukan hanya Tuhan, tetapi Tuhan yang menguasai makhluk terbesar dan termulia.

Penyebutan Arsy pada akhir surah yang berbicara tentang kesulitan dan penolakan memiliki dampak psikologis yang besar. Ia seolah berkata kepada Nabi dan umatnya: Janganlah kalian khawatirkan kekuasaan kecil para penolak risalah, karena sesungguhnya pelindung kalian adalah Pemilik Arsy yang agung, yang kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu.

Korelasi dengan Al-Kursi

Beberapa ulama membedakan antara Arsy dan Kursi (seperti dalam Ayat Kursi). Mayoritas tafsir Ahlus Sunnah berpendapat bahwa Kursi hanyalah tempat kedua telapak kaki Allah, sedangkan Arsy adalah keseluruhan singgasana yang jauh lebih besar dan meliputi seluruh jagad raya. Dengan menyebut Rabbul 'Arsyil 'Adzim, Allah menekankan kedaulatan yang mutlak, yang bahkan melampaui batas-batas kursi kekuasaan-Nya yang lain.

Penerapan Ajaran Ayat 128-129 dalam Kehidupan Sehari-hari

Bagaimana seorang mukmin dapat menginternalisasi pelajaran dari kedua ayat penutup Surah At-Taubah ini?

A. Prinsip Empati dan Tanggung Jawab Sosial

Mukmin harus meneladani sifat 'Azizun 'alayhi ma 'Anittum Rasulullah. Ini berarti tidak boleh ada ketidakpedulian terhadap penderitaan sesama, terutama penderitaan kaum muslimin. Jika kita melihat penderitaan sosial, ekonomi, atau spiritual, kita harus merasakannya sebagai penderitaan diri sendiri. Ini mendorong aktivisme sosial, filantropi, dan dakwah yang berbasis hati.

B. Menghidupkan Kembali Tawakal yang Murni

Banyak orang mengklaim bertawakal, namun masih merasa khawatir berlebihan terhadap urusan rezeki atau masa depan. Ayat 129 menuntut tawakal yang tidak terbagi: 'Alayhi tawakkaltu. Tawakal yang murni muncul setelah usaha maksimal (mengikuti upaya Nabi dalam Ayat 128) dan setelah menyadari keagungan Rabbul 'Arsyil 'Adzim.

C. Menghadapi Penolakan dengan Keteguhan Tauhid

Ketika seseorang berjuang untuk kebenaran dan menghadapi penolakan, ejekan, atau bahkan ancaman (fa in tawallaw), jawabannya bukan kemarahan atau keputusasaan, melainkan afirmasi tauhid: Hasbiyallahu laa ilaaha illaa Huwa. Keyakinan ini memastikan bahwa meskipun dukungan manusia hilang, dukungan Ilahi selalu ada.

Ringkasan Komprehensif Karakteristik Rasulullah dalam Ayat 128

Untuk menutup pembahasan mengenai Ayat 128, mari kita rangkum lima karakteristik mendasar yang diakui oleh para Mufassir:

  1. Kemanusiaan yang Dapat Diakses (Min Anfusikum): Beliau dapat dipahami dan ditiru, memudahkan umat untuk menerima ajarannya.
  2. Empati Total ('Azizun 'alayhi ma 'Anittum): Beliau merasakan kesakitan umatnya, menunjukkan kasih sayang aktif.
  3. Keinginan untuk Kebaikan (Harisun 'alaykum): Dorongan proaktif untuk menyelamatkan umat dari kesesatan dan penderitaan.
  4. Kasih Sayang Preventif (Ra'uf): Kelembutan hati yang mencegah umat jatuh ke dalam bahaya.
  5. Rahmat Positif (Rahim): Belas kasihan yang selalu berusaha mendatangkan manfaat dan kebaikan bagi orang-orang mukmin.

Gabungan sifat-sifat ini menegaskan bahwa risalah Islam disampaikan oleh sosok yang sempurna dalam memadukan keagungan kenabian dengan kelembutan insani. Beliau adalah pemimpin yang layak dicintai dan diikuti.

Kesimpulan: Penutup yang Membawa Rahmat dan Kekuatan

Surah At-Taubah, yang dimulai dengan seruan pemutusan hubungan dan pertarungan ideologis, ditutup dengan dua ayat yang merupakan inti dari hubungan antara Allah, Rasul-Nya, dan umat mukmin. Ayat 128 mengajarkan kita tentang agungnya sifat kemanusiaan dan rahmat Nabi Muhammad SAW, menanamkan rasa cinta dan hormat yang mendalam kepada beliau. Ayat ini adalah jaminan bahwa kita memiliki seorang pembela, seorang yang sangat peduli terhadap nasib kita.

Sementara itu, Ayat 129 berfungsi sebagai penguatan tauhid dan landasan spiritual. Jika semua kasih sayang dan upaya beliau ditolak, maka Nabi dan umatnya harus kembali kepada sumber kekuatan yang tak terbatas. Kalimat Hasbiyallahu laa ilaaha illaa Huwa 'alayhi tawakkaltu wa Huwa Rabbul 'Arsyil 'Adzim adalah benteng terakhir seorang mukmin, yang menjamin bahwa dengan penyerahan diri total kepada Pemilik kedaulatan tertinggi, segala urusan dunia dan akhirat akan dicukupkan.

Kedua ayat ini, yang sering disebut sebagai dua ayat penutup yang penuh berkah, adalah warisan abadi yang memberikan motivasi untuk berbuat kebaikan dengan penuh kasih sayang (Ayat 128) dan kekuatan untuk menghadapi dunia dengan tawakal yang kokoh (Ayat 129).

***

(Artikel ini disusun berdasarkan kompilasi dan perbandingan berbagai kitab tafsir klasik dan kontemporer, termasuk Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Al-Razi, Tafsir Al-Qurtubi, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa'di, dan pandangan ulama kontemporer.)

🏠 Homepage