Surah At-Taubah (Pengampunan) menempati posisi unik dalam Al-Qur'an karena ia adalah satu-satunya surah yang tidak diawali dengan Basmalah, sebuah isyarat kuat tentang perintah ilahi yang tegas, terutama terkait dengan perjanjian, peperangan, dan hukum-hukum fundamental. Di antara berbagai ketentuan yang diuraikan dalam surah ini, Ayat 36 menyajikan sebuah prinsip kosmik yang fundamental, mengatur penetapan waktu oleh Allah SWT sejak penciptaan alam semesta, sekaligus menekankan pentingnya moralitas dan keadilan, khususnya di dalam empat bulan yang disucikan.
Ayat ini bukan sekadar penetapan kalender; ia adalah deklarasi ketetapan ilahi (sunnatullāh) yang menautkan sistem waktu duniawi dengan takdir yang telah tertulis di Lauh Mahfuzh, memberikan landasan syariat yang kokoh bagi penentuan ibadah, terutama haji dan pelaksanaan hukum-hukum Allah lainnya. Pemahaman yang komprehensif terhadap ayat ini memerlukan penyelaman ke dalam ilmu tafsir, fiqih, dan konteks sejarah kenabian.
Terjemah Standar Kementerian Agama RI:
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (QS. At-Taubah [9]: 36)
Ayat ini terdiri dari empat bagian utama yang saling berkaitan erat, membentuk sebuah kesatuan hukum dan etika: (1) Penetapan kalender ilahi, (2) Pengkhususan empat bulan haram, (3) Larangan berbuat zalim, dan (4) Perintah berjihad melawan kaum musyrikin secara kolektif.
Bagian pertama ayat ini, "Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan," menegaskan bahwa sistem waktu yang sah dan diakui oleh syariat adalah kalender lunar (Qamariah) yang terdiri dari dua belas bulan. Ayat ini secara tegas menolak penambahan atau pengurangan bulan yang dilakukan oleh manusia, yang dikenal dalam sejarah sebagai praktik An-Nasi'.
Frasa "fī kitābillāh" memiliki makna yang mendalam. Para ulama tafsir sepakat bahwa "Kitab Allah" di sini merujuk pada Lauh Mahfuzh, tempat segala sesuatu telah dicatat sebelum penciptaan alam semesta. Ini berarti bahwa sistem dua belas bulan bukanlah inovasi yang muncul setelah Nabi Muhammad SAW, melainkan sebuah hukum kosmik yang bersifat abadi dan tidak dapat diubah oleh evolusi sosial atau intervensi manusia. Ini menunjukkan bahwa penghitungan waktu Qamariah memiliki otoritas ilahi yang melampaui segala bentuk sistem penanggalan buatan manusia.
Penghitungan dua belas bulan ini telah ditetapkan "yauma khalaqas samāwāti wal ardh" (di waktu Dia menciptakan langit dan bumi). Pernyataan ini menghubungkan sistem waktu dengan penciptaan semesta, menempatkan waktu sebagai salah satu ciptaan fundamental Allah, setara dengan langit dan bumi. Implikasi teologisnya adalah bahwa waktu tidak sekadar alat ukur, tetapi sebuah entitas terstruktur yang berfungsi sesuai kehendak Pencipta. Kalender Qamariah, yang dimulai dan diakhiri dengan pergerakan bulan, adalah manifestasi dari tatanan kosmik ini.
Ayat ini berfungsi sebagai penutup bagi praktik jahiliyah yang disebut An-Nasi'. Masyarakat Arab pra-Islam menggunakan sistem kalender lunar, tetapi untuk menyelaraskannya dengan musim (dan menghindari haji jatuh pada bulan-bulan yang tidak sesuai untuk perdagangan atau perjalanan), mereka sering kali menunda atau memajukan bulan haram, bahkan menambahkan bulan ke-13 (interkalasi) untuk menyinkronkan kalender mereka dengan matahari (mirip kalender luni-solar).
Praktik ini, yang dibahas lebih lanjut di Ayat 37, merusak kesakralan bulan-bulan haram dan mendistorsi hukum Allah. Ayat 36 mengembalikan kalender ke bentuknya yang murni, menegaskan bahwa 12 bulan adalah angka tetap, dan penetapan bulan haram harus sesuai dengan hukum penciptaan, bukan kepentingan sosial atau ekonomi. Ketika Nabi Muhammad SAW melaksanakan Haji Wada', beliau menyatakan bahwa waktu telah kembali ke bentuk aslinya sejak hari Allah menciptakan langit dan bumi, merujuk langsung pada penegasan yang sama dalam ayat ini.
Dari dua belas bulan tersebut, Allah mengkhususkan empat bulan yang disebut "arba'atun hurum" (empat bulan haram). Kata حُرُم (Hurum) berarti suci, terlarang, atau dihormati. Kesucian ini bersifat ganda: kesucian ibadah dan larangan melakukan kezaliman yang diperberat.
Meskipun ayat ini tidak menyebutkan nama-nama bulan tersebut secara eksplisit, hadis-hadis sahih dan ijma' (konsensus) ulama menetapkan keempat bulan tersebut adalah:
Tiga bulan pertama berurutan (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram), sedangkan Rajab berada di tengah tahun. Urutan ini memiliki fungsi strategis yang luar biasa: Dzulqa'dah memungkinkan jamaah melakukan perjalanan menuju Makkah dengan aman; Dzulhijjah adalah waktu pelaksanaan Hajj; Muharram adalah waktu kembali yang aman. Rajab, yang terpisah, memungkinkan orang-orang berziarah ke Ka’bah di tengah tahun tanpa konflik.
Tujuan utama penetapan empat bulan haram adalah untuk menciptakan masa damai, stabilitas, dan keamanan, terutama bagi mereka yang ingin melaksanakan haji dan umrah. Dalam masyarakat yang sering dilanda perang suku, periode ini menjadi katup pengaman sosial dan spiritual. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai kehidupan dan ketertiban sosial, menetapkan periode wajib damai sebagai landasan peradaban.
Selain tujuan sosial, terdapat tujuan spiritual: Bulan-bulan ini adalah waktu di mana amal saleh dilipatgandakan pahalanya, tetapi sebaliknya, perbuatan dosa (kezaliman) juga diperberat sanksi dan azabnya. Kesucian ini menuntut kewaspadaan spiritual yang lebih tinggi dari kaum mukminin.
Ini adalah jantung etika dari Ayat 36. Setelah menetapkan hukum kosmik dan temporal, Allah memberikan perintah moral yang ketat: "Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu."
Kata ظلم (Zulm) dalam bahasa Arab berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Dalam konteks syariat, zalim adalah segala bentuk ketidakadilan, penyimpangan, dan dosa. Di bulan-bulan haram, larangan berbuat zalim ini diintensifkan.
Para mufassir membagi makna kezaliman di sini menjadi tiga tingkatan, yang semuanya diperberat dosanya jika dilakukan pada bulan haram:
Ibn Abbas RA menafsirkan bahwa larangan berbuat zalim di bulan haram mencakup segala bentuk kejahatan, karena hukuman (siksa) diperberat di dalamnya. Demikian pula Qatadah, yang menekankan bahwa meskipun kezaliman selalu buruk, ia menjadi lebih buruk dan lebih besar dosanya apabila dilakukan di bulan haram. Oleh karena itu, umat Islam didorong untuk meningkatkan ketaatan, karena pahala pun dilipatgandakan.
Larangan ini memunculkan beberapa hukum fiqih penting:
Allah SWT menyatakan bahwa penetapan kalender dan pengkhususan bulan haram adalah "Dzālikad Dīnul Qayyim" (Itulah ketetapan agama yang lurus). Frasa ini memiliki bobot yang sangat besar, menunjukkan bahwa sistem waktu yang sahih adalah bagian integral dari kesempurnaan agama Islam.
Mengapa penetapan waktu Qamariah yang lurus dianggap sebagai 'agama yang lurus'? Karena agama Islam dibangun di atas waktu. Kewajiban-kewajiban utama seperti shalat, puasa, zakat, dan haji semuanya terikat pada siklus waktu, khususnya siklus lunar dan solar. Jika sistem waktu ini dirusak (seperti yang dilakukan oleh An-Nasi'), maka seluruh pilar ibadah bisa runtuh atau bergeser dari tujuan aslinya.
Oleh karena itu, mengamalkan kalender yang ditetapkan Allah, termasuk menjaga kesucian empat bulan haram, adalah bentuk kepatuhan total kepada syariat. Ia adalah pengakuan bahwa manusia tidak berhak mengubah batasan ilahi, baik itu terkait dengan ruang (tempat suci) maupun waktu (bulan suci).
Penafsiran lain dari 'Dīnul Qayyim' adalah bahwa penetapan ini bukanlah hukum baru, melainkan pengembalian kepada syariat asli yang dipegang oleh Nabi Ibrahim AS dan para nabi sebelumnya. Masyarakat Arab pra-Islam masih menghormati bulan haram, tetapi praktik An-Nasi' telah merusaknya. Islam datang untuk meluruskan penyimpangan ini, menegaskan bahwa hukum dasar ini telah ada sejak Penciptaan.
Ayat 36 diakhiri dengan dua perintah yang tampaknya kontradiktif jika dipisahkan dari konteksnya, tetapi sebenarnya saling melengkapi:
"Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa."
Secara tradisional, para ulama fiqih menyatakan bahwa memulai peperangan di bulan haram adalah terlarang (haram). Lalu, bagaimana Ayat 36, yang merupakan ayat tegas dari Surah At-Taubah (sering disebut surah pedang), memerintahkan memerangi musyrikin?
Terdapat dua pandangan utama dalam tafsir terkait hukum memerangi di bulan haram:
Intinya, ayat ini memberikan izin untuk melakukan tindakan balasan yang setimpal dan memastikan bahwa kesiapan Muslimin harus menyeluruh (kāffatan—semuanya), sebagaimana kesiapan musuh. Ayat ini mengajarkan bahwa menjaga keamanan dan keutuhan komunitas lebih diutamakan daripada menahan diri pasif ketika diserang, meskipun dalam waktu yang disucikan.
Ayat ini ditutup dengan penegasan: "dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa." Ini adalah penutup yang berfungsi sebagai penghubung antara penetapan waktu, larangan kezaliman, dan perintah jihad.
Bertakwa (muttaqin) dalam konteks ayat ini berarti:
Kehadiran Allah (ma'iyyatullah) diberikan kepada mereka yang berpegang teguh pada semua ketentuan ini. Ini adalah jaminan kemenangan dan perlindungan bagi mereka yang menjaga batas-batas ilahi, baik dalam ibadah, moralitas, maupun peperangan.
Untuk memahami kekuatan Surah At-Taubah Ayat 36, penting untuk memahami praktik An-Nasi' (penundaan atau penambahan bulan) yang dihapuskan oleh ayat ini. Praktik ini adalah manifestasi kezaliman sosial dan keagamaan yang ditujukan oleh larangan 'fālā tadhlimū fīhinna anfusakum'.
Masyarakat Arab Jahiliyah sangat menghormati bulan haram karena pentingnya perdagangan dan haji. Namun, mereka juga sering berperang. Jika bulan haram tiba saat perang sedang memanas, mereka akan melakukan Nasi', yaitu menukar kesucian bulan. Misalnya, mereka akan menyatakan Muharram sebagai bulan biasa dan menunda kesuciannya ke bulan Safar. Praktik ini dipimpin oleh keluarga Kinanah (disebut juga Qalammas). Mereka mengumumkan perubahan ini setiap tahun saat musim haji.
Motivasi utama mereka adalah:
Allah mengecam keras Nasi' (dalam At-Taubah Ayat 37) karena ia adalah:
"Sesungguhnya pengunduran (bulan haram) itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan (mengubah-ubah) itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah haramkan dan (sekaligus) menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (QS. At-Taubah: 37)"
Nasi' adalah kezaliman karena ia: (1) Mengubah hukum Allah, (2) Mempermainkan kesucian agama, dan (3) Menciptakan ketidakpastian sosial. Ayat 36 mengembalikan otoritas waktu sepenuhnya kepada Allah, menetapkan sistem 12 bulan yang murni lunar, yang menjadi dasar bagi semua ibadah fundamental Islam.
Penetapan 12 bulan "sejak penciptaan langit dan bumi" membawa kita pada perenungan kosmologi Islam tentang waktu (az-zaman). Ayat ini menyiratkan bahwa waktu, sebagaimana kita pahami, memiliki struktur yang telah diatur sebelumnya, bukan sekadar siklus acak.
Penciptaan langit dan bumi adalah titik awal bagi segala hukum fisik dan metafisik. Allah SWT menautkan kalender lunar dengan permulaan penciptaan untuk menunjukkan bahwa sistem kalender ini adalah bagian dari fitrah (sifat dasar) alam semesta. Sistem Qamariah (Lunar) adalah sistem yang paling mudah diamati oleh manusia universal tanpa memerlukan alat canggih, menjadikannya sistem yang adil dan dapat diakses oleh semua peradaban.
Ini membedakannya dari sistem penanggalan lain yang mungkin terlalu bergantung pada perhitungan ilmiah kompleks atau adat istiadat lokal. Sistem 12 bulan lunar adalah kesaksian atas keteraturan dan kesempurnaan ciptaan-Nya.
Jika waktu adalah ciptaan ilahi yang sempurna, maka menggunakannya dengan benar adalah amanah. Penetapan bulan haram mengingatkan umat manusia bahwa waktu memiliki kualitas moral dan spiritual. Ada waktu-waktu yang menuntut kehati-hatian ekstra, waktu-waktu untuk introspeksi, dan waktu-waktu yang melarang konflik.
Umat Islam diajari bahwa keberkahan waktu tidak terletak pada kuantitasnya (berapa jam bekerja), tetapi pada kualitasnya (bagaimana waktu itu diisi sesuai ketaatan). Bulan-bulan haram adalah titik-titik fokus tahunan untuk mengkalibrasi ulang kualitas spiritual kita, menjauhkan diri dari kezaliman, dan mendekatkan diri kepada Allah.
Kajian terhadap Surah At-Taubah Ayat 36 tidak lengkap tanpa melihat interpretasi para ulama tafsir yang masyhur.
Imam Al-Tabari fokus pada aspek hukum dan sejarah. Beliau menegaskan bahwa ayat ini adalah penolakan mutlak terhadap praktik Nasi'. Al-Tabari mengumpulkan riwayat-riwayat yang menyebutkan penentuan empat bulan haram secara pasti (Rajab, Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram) dan menekankan bahwa perintah larangan berbuat zalim di bulan-bulan ini bersifat khusus, meskipun perbuatan zalim dilarang setiap saat. Beliau melihat kezaliman di sini terutama merujuk pada pelanggaran kesucian bulan dengan berperang atau menunda bulan.
Ibn Kathir sangat menekankan dimensi "sejak penciptaan langit dan bumi." Beliau menjelaskan bahwa syariat penetapan 12 bulan selalu ada di Lauh Mahfuzh, dan Islam hanya mengembalikan hukum ini ke keasliannya. Ibn Kathir juga membahas panjang lebar mengenai keutamaan amal di bulan haram. Beliau mengutip riwayat dari Qatadah bahwa dosa di bulan haram adalah lebih berat, dan ketaatan di bulan haram juga lebih besar pahalanya.
Rasyid Ridha, dalam tafsirnya yang modern, menghubungkan penetapan kalender ini dengan independensi umat Islam. Dengan menolak sistem interkalasi (Nasi'), umat Islam menegaskan bahwa mereka tidak tunduk pada kepentingan duniawi yang memaksa perubahan hukum agama demi kepentingan perang atau pasar. Beliau melihat ayat ini sebagai deklarasi kedaulatan syariat atas hukum-hukum duniawi, menjadikannya 'Dīnul Qayyim'—agama yang mampu berdiri tegak dan mandiri.
Imam Al-Qurthubi fokus pada aspek fiqih, terutama terkait dengan hukum berperang. Beliau mencatat adanya perselisihan ulama mengenai apakah larangan memulai perang telah mansukh atau tidak. Namun, beliau memperkuat argumen bahwa minimal, larangan memulai serangan tetap sangat dilarang, dan izin berperang hanyalah sebagai balasan. Beliau juga membahas secara rinci bagaimana kezaliman, terutama perampasan hak dan pembunuhan, dihitung lebih berat sanksinya oleh sebagian fuqaha jika terjadi di waktu suci.
Meskipun ayat ini diturunkan dalam konteks peperangan dan kalender Jahiliyah, ajarannya tentang waktu, etika, dan keadilan tetap relevan bagi Muslim modern.
Di era modern, di mana waktu sering dipandang hanya sebagai komoditas ekonomi, ayat ini mengingatkan kita bahwa waktu adalah anugerah dan harus digunakan secara spiritual. Bulan haram (seperti Dzulhijjah yang di dalamnya ada Arafah, atau Muharram yang di dalamnya ada Asyura) adalah peluang besar untuk meningkatkan kualitas ibadah dan mengendalikan diri dari perilaku destruktif.
Perintah "janganlah kamu menganiaya diri kamu" meluas dari kezaliman individu hingga kezaliman struktural. Dalam konteks modern, ini mencakup larangan korupsi, eksploitasi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Kezaliman di bulan suci memperburuk dosa karena melanggar batasan ilahi di masa damai yang telah ditetapkan.
Ayat ini mengajarkan perlunya kontrol diri yang ekstrem. Jika seorang Muslim mampu menahan diri dari kezaliman di bulan-bulan yang disucikan, ia akan lebih mudah mempraktikkan keadilan dan kejujuran di sepanjang tahun. Ini adalah latihan spiritual kolektif bagi umat untuk mewujudkan masyarakat yang adil (umatul wasath).
Penutupan ayat yang berbicara tentang memerangi musyrikin "sebagaimana mereka memerangi kamu" menetapkan prinsip keadilan dan resiprositas dalam konflik. Tindakan harus setimpal, bukan berlebihan, dan harus didasarkan pada respons yang sah. Ini adalah landasan etika Islam dalam perang (Jihad), yang melarang agresi dan menuntut pembelaan diri yang proporsional, bahkan ketika harus melampaui batasan waktu suci jika diserang.
Surah At-Taubah Ayat 36 berdiri sebagai sebuah pilar hukum Islam yang menautkan takdir kosmik dengan tuntutan etika harian. Ia bukan hanya mengatur kalender, melainkan membentuk kesadaran umat Muslim tentang bagaimana mereka harus berinteraksi dengan waktu—sebuah ciptaan yang suci—dan bagaimana mereka harus mempertahankan keadilan dan takwa di setiap detik kehidupan mereka. Dengan memahami ayat ini, seorang Muslim tidak hanya menghitung bulan, tetapi juga menghitung setiap amalan yang ia lakukan di hadapan Tuhannya.
Mengingat penekanan ayat pada larangan kezaliman, para fuqaha (ahli hukum Islam) menyusun daftar amalan yang dianjurkan dan ditinggalkan secara khusus di empat bulan haram ini, sebagai manifestasi nyata dari ketakwaan yang ditutup dalam ayat 36.
Sebagaimana dosa diperberat, begitu pula pahala kebaikan dilipatgandakan. Amalan yang sangat dianjurkan meliputi:
Karena bulan haram awalnya bertujuan untuk menghentikan konflik dan memungkinkan perjalanan yang aman, menjaga persatuan (ukhuwah) di kalangan Muslimin menjadi prioritas. Segala bentuk perpecahan, fitnah, atau permusuhan antar Muslim dapat dikategorikan sebagai kezaliman yang diperberat sanksinya di masa suci ini. Ayat 36 menyiratkan bahwa kekuatan Muslim terletak pada persatuan dan ketakwaan mereka.
Surah At-Taubah Ayat 36 adalah landasan teologis bagi kalender Islam, menanamkan kesadaran bahwa waktu—dengan segala siklus dan kesuciannya—adalah saksi bisu atas perbuatan manusia. Ketika Allah menetapkan bahwa hukum waktu ini telah ada sejak Penciptaan, Ia menegaskan bahwa sistem nilai ini tidak pernah berubah dan tidak akan pernah berubah.
Kewajiban untuk tidak menzalimi diri sendiri di bulan-bulan haram adalah seruan abadi untuk hidup dalam integritas, menaati batasan yang ditarik oleh Sang Pencipta. Baik dalam keadaan damai (meningkatkan ibadah) maupun dalam menghadapi konflik (jihad yang adil), umat Islam diperintahkan untuk selalu berada di bawah panji ketakwaan, karena janji Allah adalah: Allah beserta orang-orang yang bertakwa.