Pendahuluan: Kontroversi dan Keputusan Mutlak
Surah At-Taubah (Pengampunan) adalah salah satu surah Madaniyah yang diturunkan pada periode kritis dalam sejarah Islam, terutama setelah peristiwa Perang Tabuk. Surah ini dikenal sebagai al-Fādiḥah (Pembongkar) karena sifatnya yang tanpa tedeng aling-aling mengungkapkan identitas, niat jahat, dan tipu daya kaum munafik yang selama ini bersembunyi di balik penampilan keislaman. Ayat 84 dari surah ini merupakan puncak dari peringatan dan pemisahan yang tegas antara barisan orang beriman sejati dengan mereka yang munafik.
Ayat ini tidak hanya mengandung larangan praktis, tetapi juga menetapkan prinsip akidah yang fundamental mengenai siapa yang berhak mendapatkan doa dan penghormatan terakhir dari komunitas Muslim. Keputusan yang disampaikan dalam ayat ini bersifat mutlak dan abadi, membedakan secara definitif antara kesudahan orang mukmin dan kesudahan orang fasik yang mati dalam kekufuran terselubung.
Teks Ayat 84 Surah At-Taubah
Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)
Pemahaman konteks historis turunnya ayat ini adalah kunci untuk memahami kekuatannya. Mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa ayat 84 ini diturunkan berkaitan dengan kematian tokoh utama dan pemimpin kaum munafik di Madinah, yaitu Abdullah bin Ubay bin Salul.
Kisah Abdullah bin Ubay bin Salul
Abdullah bin Ubay adalah figur yang sangat berpengaruh sebelum kedatangan Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Ia nyaris diangkat sebagai raja Madinah, namun kedatangan Nabi mengubah peta politik dan sosial, menyebabkan Bin Ubay menyimpan kedengkian yang mendalam. Meskipun secara lahiriah ia menampakkan diri sebagai Muslim, sepanjang hidupnya ia aktif merencanakan intrik, menyebarkan desas-desus, dan merongrong kekuatan Muslim dari dalam (misalnya dalam Perang Uhud dan peristiwa Ifk).
Ketika Abdullah bin Ubay meninggal dunia, putranya, Abdullah bin Abdullah bin Ubay (yang merupakan seorang sahabat yang saleh dan mukmin sejati), datang kepada Rasulullah ﷺ memohon agar beliau menyalatkan jenazah ayahnya. Rasulullah, atas dasar kemuliaan akhlak dan harapan agar Bin Ubay mendapat rahmat terakhir, bersedia untuk memenuhi permintaan tersebut. Dalam riwayat yang masyhur, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu sempat menarik baju Rasulullah ﷺ sambil mengingatkan bahwa orang ini adalah musuh Islam yang jelas-jelas munafik.
Namun, Rasulullah ﷺ menjawab bahwa beliau diberi pilihan oleh Allah (merujuk pada QS. At-Taubah: 80, yang mengizinkan Nabi memohonkan ampunan bagi mereka atau tidak, sebanyak 70 kali pun). Ketika Rasulullah ﷺ hendak melaksanakan salat jenazah atau berdiri di sisi kuburnya, Ayat 84 ini turun sebagai perintah ilahi yang mutlak dan menghentikan tindakan tersebut. Ayat ini menghapus pilihan yang sebelumnya ada, dan menetapkan larangan keras yang berlaku bagi Nabi Muhammad ﷺ dan, sebagai landasan syariat, bagi umat Islam setelahnya.
Simbol Larangan Mutlak (Jangan sekali-kali menyalatkan)
Larangan yang bersifat permanen dan mutlak, memisahkan secara jelas antara iman dan kemunafikan.
Analisis Linguistik dan Fiqih Ayat
Ayat 84 ini terdiri dari tiga komponen larangan dan satu komponen pembenaran (justifikasi) yang sangat kuat. Memahami makna setiap kata dan frasa dalam konteks tata bahasa Arab akan mengungkapkan kekerasan dan keabadian hukum ini.
1. Larangan Pertama: وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰ أَحَدٍ مِّنْهُم مَّاتَ أَبَدًا (Dan janganlah engkau sekali-kali menyalatkan jenazah seorang pun di antara mereka yang mati, selama-lamanya)
- تُصَلِّ (Tushalli): Secara harfiah berarti 'melaksanakan salat'. Dalam konteks jenazah, ini merujuk pada Salat al-Janazah (salat jenazah). Salat ini adalah doa permohonan ampunan dan rahmat bagi si mati.
- أَبَدًا (Abadan): Kata ini menegaskan sifat larangan yang mutlak dan permanen. Ini bukan larangan sementara, melainkan hukum syariat yang berlaku sepanjang masa. Dengan kata lain, tidak ada kesempatan sedikitpun bagi kaum munafik, baik di masa Nabi maupun sesudahnya, untuk mendapatkan permohonan ampunan publik melalui salat jenazah Muslim.
- Implikasi Fiqih: Larangan ini menjadi dasar utama dalam Fiqih bahwa Salat Jenazah hanya boleh dilakukan untuk seorang Muslim, meskipun ia seorang pendosa (fasik), selama dosanya tidak mencapai batas kekufuran. Bagi orang yang diketahui kafir atau munafik sejati (yang menampakkan Islam tapi menyembunyikan kekufuran), salat jenazah haram hukumnya.
2. Larangan Kedua: وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِ (Dan janganlah engkau berdiri di atas kuburnya)
Larangan kedua ini melengkapi larangan pertama. Jika salat jenazah (doa bersama) dilarang, maka mendoakan secara pribadi di sisi kubur juga dilarang.
- تَقُمْ (Taqum): Berarti 'berdiri'. Dalam konteks ini, ia merujuk pada tradisi Rasulullah ﷺ berdiri di kuburan setelah pemakaman untuk berdoa bagi si mayit agar diberi keteguhan saat ditanya malaikat.
- Makna Larangan: Larangan ini meluas hingga mencakup segala bentuk pengagungan, penghormatan, atau permohonan rahmat bagi si munafik setelah ia dikuburkan. Ini adalah penegasan bahwa tidak ada lagi hubungan spiritual atau keagamaan antara umat Islam dengan kaum munafik yang telah mati dalam kekufuran.
- Perluasan Tafsir: Beberapa ulama menafsirkan larangan "berdiri di atas kuburnya" juga mencakup larangan untuk berziarah ke kubur mereka dengan tujuan memintakan ampunan atau berbelasungkawa secara Islami, karena itu menyiratkan pengakuan terhadap keimanan mereka.
3. Justifikasi Ilahi (Al-I'lal): إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ (Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik)
Bagian terakhir ayat ini memberikan alasan yang jelas mengapa larangan di atas ditetapkan. Ini adalah kaidah hukum (al-illah) yang bersifat permanen.
- كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ (Kafaru billahi wa Rasulih): Mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini adalah inti dari kemunafikan. Kemunafikan tingkat tertinggi (nifaq i’tiqadi) dianggap sebagai kekufuran yang tersembunyi, yang bahkan lebih buruk daripada kekufuran yang terang-terangan.
- مَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ (Mati dalam keadaan fasik): Fasik di sini tidak hanya merujuk pada dosa besar biasa, tetapi pada keluar dari ketaatan total kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu kekufuran. Frasa ini menegaskan bahwa mereka meninggal dalam keadaan kekufuran, tanpa sempat bertaubat. Kematian mereka dalam kondisi ini menjamin hukuman kekal di neraka, sehingga permohonan ampunan dari manusia menjadi sia-sia.
Tafsir Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer
Para mufassir telah mengupas tuntas ayat ini, menegaskan bahwa hukum yang dikandungnya adalah salah satu penanda utama dalam pemurnian barisan umat Islam.
Imam At-Tabari (W. 310 H)
At-Tabari dalam Jami' al-Bayan menekankan bahwa ayat ini bersifat universal. Meskipun konteksnya adalah Abdullah bin Ubay, perintah "Janganlah engkau menyalatkan seorang pun di antara mereka" mencakup seluruh kaum munafik yang telah diidentifikasi oleh Allah. At-Tabari fokus pada fakta bahwa Allah telah menyingkap hati mereka, dan begitu hati mereka diketahui kafir, maka perlakuan jenazah mereka harus berbeda dari orang mukmin.
Imam Al-Qurtubi (W. 671 H)
Al-Qurtubi dalam Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an membahas detail fiqih larangan ini. Beliau menekankan bahwa larangan ini berfungsi ganda: sebagai penghinaan bagi orang yang mati dalam kemunafikan, dan sebagai penghormatan bagi Salat Jenazah itu sendiri, yang harus tetap suci dari niat permohonan ampunan bagi orang yang telah ditetapkan sebagai penduduk neraka.
Al-Qurtubi juga mengangkat isu kapan larangan ini berlaku. Larangan ini berlaku jika status kemunafikan seseorang diketahui secara pasti (seperti yang ditunjukkan Allah kepada Nabi), atau jika seseorang meninggal dalam kondisi kekufuran yang jelas (seperti non-Muslim). Jika status seseorang tidak jelas, maka hukum dasarnya adalah Islam, dan salat jenazah tetap dilaksanakan.
Sayyid Qutb (Kontemporer)
Dalam Fi Zilalil Qur'an, Sayyid Qutb melihat ayat ini sebagai bagian dari proses pembentukan masyarakat Islam yang ideologis. Beliau berpendapat bahwa larangan ini bukan hanya masalah ritual, tetapi masalah pemisahan barisan (fasl al-saf). Komunitas Muslim harus bebas dari kotoran kemunafikan, bahkan dalam hal kematian. Salat jenazah adalah ikatan terakhir yang menyatukan orang beriman; memutuskan ikatan ini dengan si munafik adalah penegasan bahwa nilai-nilai akidah lebih tinggi daripada ikatan darah atau sosial.
Simbol Pemisahan Akidah (Garis batas antara Mukmin dan Munafik)
Ayat ini menarik garis tegas, memisahkan dua kelompok yang takkan pernah bersatu di akhirat.
Implikasi Fiqih dan Hukum Kontemporer
Ayat 84 Surah At-Taubah memiliki konsekuensi yang luas dalam hukum Islam, khususnya yang berkaitan dengan tata cara jenazah dan hubungan antarumat beragama.
1. Status Salat Jenazah Bagi Non-Muslim
Berdasarkan keumuman larangan ini, para fuqaha (ahli fiqih) menetapkan ijmak (konsensus) bahwa haram hukumnya melaksanakan salat jenazah bagi non-Muslim, termasuk orang Yahudi, Nasrani, Majusi, maupun ateis. Salat jenazah adalah ibadah yang bertujuan memohon rahmat dan ampunan, yang mana hanya Allah yang berhak memberikannya, dan Dia telah menyatakan bahwa Dia tidak mengampuni dosa syirik (yang merupakan esensi kekufuran).
2. Batasan Mendoakan Non-Muslim
Meskipun mendoakan non-Muslim yang masih hidup agar mendapat hidayah adalah diperbolehkan (bahkan dianjurkan), mendoakan orang kafir atau munafik yang telah meninggal dunia agar diampuni dosanya adalah dilarang, sebagaimana ditegaskan dalam QS. At-Taubah: 113, yang melarang Nabi dan orang mukmin memohonkan ampunan bagi kaum musyrikin, meskipun mereka kerabat dekat.
Ayat 84 secara spesifik melarang dua bentuk ritual penting: salat jenazah (ritual publik) dan berdiri di atas kubur (ritual mendoakan pribadi/familial). Keduanya menyiratkan permohonan rahmat ilahi yang telah ditolak bagi mereka yang meninggal dalam keadaan fasik/kafir.
3. Hukum Terhadap Jenazah Munafik yang Tidak Diketahui
Di masa kini, sulit untuk mengidentifikasi seseorang dengan pasti sebagai munafik sejati (nifaq i’tiqadi) kecuali jika terdapat bukti yang sangat kuat atau jika ia terang-terangan meninggalkan Islam (murtad). Oleh karena itu, hukum dasar (al-asl) adalah memperlakukan setiap orang yang menampakkan syahadat dan rukun Islam sebagai Muslim. Salat jenazah tetap wajib dilaksanakan untuk mereka, karena kita dihukumi berdasarkan apa yang tampak (al-hukmu bi al-dhahir).
Ayat ini adalah kasus khusus yang melibatkan Wahyu Ilahi kepada Nabi ﷺ mengenai status batin seseorang (Abdullah bin Ubay). Dalam Fiqih umum, jika ada keraguan tentang keimanan seseorang yang menampakkan Islam, salat jenazah tetap didahulukan, karena menghindari kesalahan dalam menghukum seseorang sebagai kafir lebih utama daripada kekhawatiran adanya munafik.
Dimensi Akidah dan Keimanan
Ayat 84 bukan sekadar instruksi hukum, tetapi juga pelajaran penting mengenai prinsip Al-Wala' wal-Bara' (Loyalitas dan Pelepasan Diri).
Loyalitas kepada Allah Melampaui Ikatan Duniawi
Kisah Abdullah bin Ubay menunjukkan betapa kuatnya ikatan sosial dan familial di masa itu. Rasulullah ﷺ, sebagai seorang manusia yang lembut hati, sempat tergoda untuk memenuhi permintaan anak Bin Ubay, yang merupakan seorang sahabat mulia. Namun, wahyu turun untuk menegaskan bahwa loyalitas utama haruslah kepada kebenaran (tauhid), bukan kepada ikatan darah atau simpati pribadi.
Ayat ini mengajarkan bahwa batas antara iman dan kufur adalah garis tak terlihat yang tidak boleh dilanggar, bahkan setelah kematian. Jika Allah telah menetapkan seseorang kafir, tidak ada doa atau ritual manusia yang dapat mengubah takdirnya di akhirat.
Bahaya Kemunafikan
Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras tentang bahaya kemunafikan. Munafik menempati derajat terendah di neraka (QS. An-Nisa: 145), karena kejahatan mereka adalah khianat terhadap agama dari dalam. Mereka tidak hanya merusak diri sendiri, tetapi juga melemahkan komunitas beriman. Larangan pemakaman dan doa ini adalah hukuman sosial dan spiritual bagi mereka, menegaskan bahwa komunitas Muslim mencampakkan mereka secara total.
Kekuasaan Mutlak Allah Atas Pengampunan
Penting untuk dicatat bahwa ayat ini diturunkan setelah QS. At-Taubah: 80, yang mengizinkan Nabi memohonkan ampunan (dengan catatan jika diulang 70 kali pun tidak akan diampuni). Ayat 84 ini datang untuk membatalkan izin tersebut dan menjadikannya larangan mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa dalam perkara kekufuran yang disengaja dan diakhiri dengan kematian tanpa taubat, pintu pengampunan telah ditutup, bahkan bagi Nabi Muhammad ﷺ, yang merupakan makhluk termulia.
Perbandingan dengan Ayat-ayat Terkait
Hukum dalam At-Taubah 84 diperkuat oleh konteks umum Surah At-Taubah:
- Penghancuran Masjid Ad-Dirar (Ayat 107-110): Masjid Ad-Dirar dibangun oleh kaum munafik sebagai basis untuk merencanakan makar. Allah memerintahkan Nabi ﷺ untuk menghancurkannya. Ayat 84 adalah hukuman spiritual, sementara penghancuran masjid adalah hukuman fisik terhadap institusi kemunafikan. Keduanya menunjukkan pembersihan total dari sisa-sisa kemunafikan dalam masyarakat.
- Larangan Bersahabat (Ayat 73): Perintah untuk memerangi kaum kafir dan munafik. Ini menunjukkan perpisahan total, baik dalam peperangan (fisik) maupun dalam ritual (spiritual).
Ayat 84 adalah penutup yang kuat, memastikan bahwa tidak ada kompromi dalam masalah akidah dan keimanan, bahkan ketika berhadapan dengan kematian seseorang yang memiliki hubungan sosial di tengah masyarakat Muslim.
Kesimpulan Akhir dan Hikmah
Surah At-Taubah ayat 84 menetapkan hukum ilahi yang kekal: haram hukumnya menyalatkan atau mendoakan orang yang meninggal dalam keadaan munafik sejati (kafir batin). Hikmah dari larangan ini sangat mendalam:
- Menjaga kesucian Salat Jenazah sebagai ibadah khusus bagi orang-orang yang beriman.
- Menegaskan prinsip Al-Wala' wal-Bara' sebagai landasan identitas Muslim sejati.
- Peringatan keras bagi siapa pun yang mencoba merusak Islam dari dalam.
- Penekanan bahwa kelembutan hati Nabi Muhammad ﷺ tidak boleh melanggar batasan-batasan syariat yang ditetapkan oleh Allah SWT.
Hukum yang tegas ini merupakan perlindungan bagi umat Islam dari segala bentuk kemunafikan, memastikan bahwa komunitas Muslim selalu berada di atas landasan iman yang murni dan tanpa cela.
Dalam cakupan yang lebih luas, pesan ayat ini adalah ajakan untuk introspeksi diri secara berkelanjutan. Setiap Muslim wajib memeriksa hatinya agar jangan sampai ia termasuk golongan yang dikubur dengan penampilan Islam, namun hati dan amalannya ditolak karena terinfeksi penyakit kemunafikan. Karena di mata Allah, yang tersembunyi jauh lebih penting daripada yang tampak.
Pemahaman menyeluruh terhadap ayat 84 ini memerlukan kajian terus-menerus terhadap konteks sejarah, hukum fiqih, dan implikasi teologisnya, memastikan bahwa batas-batas iman dan kufur tetap jelas dan dihormati dalam semua aspek kehidupan, hingga pada penghormatan terakhir di liang kubur.
Oleh karena itu, surah At-Taubah ayat 84 tetap relevan sebagai fondasi hukum Islam mengenai pemisahan ritual antara Mukmin dan Kafir/Munafik. Ia mengajarkan tentang pentingnya kejujuran iman dan konsekuensi abadi dari kemunafikan yang disembunyikan.
Artikel ini disajikan sebagai kajian mendalam mengenai teks dan konteks Surah At-Taubah Ayat 84 berdasarkan referensi utama tafsir klasik dan kontemporer.