Pendahuluan: Memahami Surah Bara'ah
Surah At-Tawbah, atau yang juga dikenal sebagai Surah Bara'ah (Pemutusan Hubungan), merupakan salah satu surah yang paling unik dan mendalam dalam Al-Qur'an. Keunikannya terletak pada ketiadaan Basmalah di awal surah, sebuah indikasi teologis bahwa surah ini dimulai dengan pernyataan keras dan tegas mengenai pemutusan perjanjian. Surah ini diturunkan pada periode kritis dalam sejarah Islam, yaitu setelah penaklukan Makkah, menjelang Perang Tabuk, ketika kekuasaan politik Islam di Jazirah Arab mulai mapan.
Konteks turunnya surah ini sangat spesifik. Masyarakat Muslim dihadapkan pada kelompok-kelompok pagan dan suku-suku yang, meskipun telah mengadakan perjanjian damai, secara berulang kali melanggar janji-janji tersebut, berkhianat, dan berkomplot melawan kaum Muslimin. Oleh karena itu, Surah At-Tawbah, khususnya ayat-ayat awal, berfungsi sebagai deklarasi politik dan militer untuk menghadapi pengkhianatan yang sistematis ini.
Ayat ke-5 dari surah ini sering kali menjadi fokus utama perdebatan, baik di kalangan teolog Muslim maupun kritikus non-Muslim, karena dianggap sebagai ‘Ayat Pedang’ (Ayat al-Sayf), yang konon menasakh (mengganti) semua ayat-ayat yang menyerukan toleransi dan perdamaian. Namun, penafsiran yang benar dan komprehensif, sebagaimana yang dipegang oleh mayoritas ulama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, mengharuskan kita untuk menempatkan ayat ini dalam bingkai konteks historis, hukum, dan teologis yang sangat ketat.
Ayat 5: Teks Arab dan Terjemahan Literal
Ayat kelima dari Surah At-Tawbah ini berbunyi:
Terjemahan Populer
Maka apabila telah berakhir bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui mereka, tangkaplah mereka, kepunglah mereka, dan intailah mereka di setiap tempat pengintaian. Namun, jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka biarkanlah jalan mereka (jangan diganggu). Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Konteks Historis dan Sebab Nuzul (Asbabun Nuzul)
Memahami Ayat 5 tanpa konteksnya adalah kesalahan metodologis yang fatal. Ayat ini tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari serangkaian deklarasi yang dimulai dari Ayat 1 hingga Ayat 15, yang secara spesifik merujuk pada pemutusan perjanjian dengan kelompok-kelompok musyrik tertentu di Jazirah Arab yang telah menunjukkan pengkhianatan berulang kali.
Kisah Pengkhianatan Berantai
Perjanjian Hudaibiyah (628 M) telah menetapkan perdamaian selama sepuluh tahun antara Muslimin dan Quraisy. Namun, setelah Quraisy berkhianat (dengan melanggar janji terhadap sekutu Muslim), Makkah ditaklukkan (630 M). Meskipun demikian, Nabi Muhammad SAW memberikan tenggat waktu (moratorium) kepada suku-suku yang tersisa untuk memutuskan apakah mereka akan memeluk Islam, meninggalkan Jazirah Arab, atau menghadapi konsekuensi hukum perang.
Ayat 1-4 dari At-Tawbah menjelaskan kondisi perjanjian tersebut. Ada dua kategori musyrik:
- Kelompok yang Melanggar Janji: Kelompok yang bersekongkol melawan kaum Muslimin, membantu musuh, dan berkhianat. Kepada kelompok inilah Ayat 5 diarahkan.
- Kelompok yang Menepati Janji: Kelompok yang tidak melanggar perjanjian damai mereka sedikit pun. Ayat 4 secara eksplisit menyatakan bahwa perjanjian dengan kelompok ini harus dihormati sampai batas waktunya berakhir.
Oleh karena itu, ketika Ayat 5 menyebutkan, فَإِذَا ٱنْسَلَخَ ٱلْأَشْهُرُ ٱلْحُرُمُ (Maka apabila telah berakhir bulan-bulan haram itu), ia merujuk pada moratorium empat bulan yang diberikan kepada para pengkhianat, dimulai dari 10 Dzulhijjah (setelah Haji Wada') dan berakhir pada 10 Rabi'ul Akhir. Moratorium ini adalah kesempatan terakhir bagi mereka untuk berbenah dan bertaubat sebelum segala perlindungan hukum dicabut.
Ayat 5 dan Bukan Perintah Serangan Tanpa Syarat
Ayat ini adalah perintah eksekusi hukum terhadap musuh yang dinyatakan perang (harbiyyin) setelah mereka diberi kesempatan damai selama empat bulan penuh namun memilih untuk melanjutkan permusuhan. Ini bukanlah perintah untuk menyerang non-Muslim secara acak atau di seluruh dunia, tetapi adalah sanksi hukum yang sangat spesifik dalam konteks peperangan yang sudah dimulai oleh pihak lawan.
Analisis Tafsir Klasik (Tafsir al-Qur’an)
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus menelusuri penafsiran para ulama klasik yang hidup dekat dengan masa turunnya wahyu, yang memahami konteks linguistik dan historis secara paripurna.
1. Tafsir Ibn Kathir (Imaduddin Abul Fida Ismail bin Kathir)
Ibn Kathir menekankan bahwa Ayat 5 harus dibaca bersama Ayat 6. Ia menjelaskan bahwa perintah memerangi orang musyrik pada Ayat 5 hanya berlaku setelah masa tenggang empat bulan berakhir bagi mereka yang tidak memiliki perjanjian atau yang telah melanggar perjanjian mereka. Namun, penekanannya adalah pada persyaratan akhir kalimat:
“...jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka biarkanlah jalan mereka.”
Menurut Ibn Kathir, ini adalah bukti bahwa tujuan utama perintah tersebut adalah menghentikan permusuhan dan mengajak kepada Islam, bukan pembunuhan massal. Jika mereka kembali kepada tauhid (bertaubat) dan melaksanakan rukun Islam (shalat dan zakat), maka peperangan harus dihentikan seketika. Hal ini menunjukkan bahwa perintah tersebut bersifat kondisional dan bertujuan untuk menegakkan kedaulatan Tuhan dan mengakhiri pengkhianatan politik.
2. Tafsir Al-Tabari (Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari)
Al-Tabari, salah satu mufassir paling awal, juga berfokus pada sifat kondisional ayat tersebut. Beliau menjelaskan bahwa istilah ٱلْمُشْرِكِينَ (orang-orang musyrik) dalam konteks ini merujuk kepada mu'ahidīn nākidīn (orang-orang yang terikat perjanjian tetapi kemudian melanggarnya) dari suku-suku tertentu. Al-Tabari menegaskan bahwa perintah ini merupakan perintah perang setelah deklarasi pembatalan perjanjian, bukan serangan mendadak.
Lebih lanjut, Al-Tabari menggarisbawahi empat tindakan yang diperintahkan dalam ayat tersebut (membunuh, menangkap, mengepung, mengintai), yang semuanya merupakan taktik militer yang sah dalam perang yang dideklarasikan, bukan tindakan kriminal di luar konteks perang. Ini adalah langkah militer yang terstruktur untuk mengamankan wilayah yang sebelumnya terancam oleh pengkhianatan.
3. Tafsir Al-Qurtubi (Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Qurtubi)
Al-Qurtubi memberikan perhatian khusus pada perdebatan mengenai naskh (abrogasi). Beberapa ulama berpendapat bahwa Ayat 5 menasakh lebih dari seratus ayat perdamaian (ayat-ayat yang menyerukan toleransi dan perdamaian). Ini adalah pandangan yang sering dikutip oleh kelompok ekstremis.
Namun, Al-Qurtubi menyajikan pandangan yang lebih moderat dan berpegangan teguh pada konteks. Ia berpendapat bahwa Ayat 5 tidak menasakh ayat perdamaian secara total, melainkan membatasi pelaksanaannya hanya pada kondisi-kondisi tertentu, yaitu ketika permusuhan telah mencapai puncaknya setelah upaya damai gagal dan perjanjian dilanggar. Al-Qurtubi membedakan antara musuh yang harus diperangi (musyrik yang berkhianat) dan non-Muslim yang hidup damai (Ahlul Dhimmah), yang dijamin keamanannya oleh hukum Islam.
Inti dari perintah ini adalah pemutusan hubungan dan pembersihan Jazirah Arab dari musuh politik yang terus-menerus berkhianat, sehingga umat Islam dapat menjalankan agama mereka dengan aman tanpa ancaman internal yang konstan. Ini bukan perang global melawan semua non-Muslim.
Kontroversi Naskh dan Mansukh (Abrogasi)
Perdebatan terbesar seputar Ayat 5 adalah apakah ia menasakh ayat-ayat damai lainnya dalam Al-Qur'an. Pemahaman tentang naskh sangat menentukan bagaimana hukum Jihad dipraktikkan.
Pandangan ‘Naskh Total’ (Minoritas Klasik, Populer oleh Ekstremis)
Sejumlah kecil ulama klasik, termasuk sebagian dari mazhab Hanafi, menyatakan bahwa Ayat 5 (Ayat al-Sayf) adalah ayat terakhir yang berbicara tentang hubungan dengan non-Muslim dalam konteks peperangan, dan oleh karena itu, ia menasakh atau membatalkan semua ayat yang sebelumnya menyerukan perdamaian, pemaafan, atau dialog (misalnya, Surah Al-Kafirun 109:6 dan Al-Baqarah 2:256).
Pandangan ini menghasilkan interpretasi bahwa peperangan (Jihad) adalah keadaan default, dan perdamaian hanya bersifat sementara. Pandangan ini sering digunakan oleh kelompok-kelompok radikal modern untuk membenarkan serangan tanpa pandang bulu.
Pandangan ‘Takhshish’ (Pengkhususan) dan Konteks (Mayoritas Ulama)
Mayoritas ulama, termasuk ulama kontemporer dan pemikir modern, menolak konsep naskh total ini. Mereka berpendapat bahwa Ayat 5 tidak menasakh ayat-ayat perdamaian, melainkan melakukan takhshish (pengkhususan) terhadap subjek yang diperangi.
- Ayat 5 adalah Hukum Kasuistik: Perintah memerangi hanya berlaku pada kasus spesifik: musyrikin yang melanggar perjanjian di Jazirah Arab pada masa tertentu.
- Kelanjutan Ayat Damai: Ayat-ayat seperti
Lā ikrāha fiddīn(Tidak ada paksaan dalam agama) (Al-Baqarah 2:256) tetap berlaku universal karena berkaitan dengan akidah (keimanan), bukan hukum militer. - Ayat 6 Membatasi Ayat 5: Ayat 6 Surah At-Tawbah secara langsung membatasi Ayat 5:
Wa in aḥadum minal musyrikīnas tajāraka fa ajirhu ḥattā yasma'a kalāmallāhi thumma abliġhu ma'manahū(Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia sampai dia mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya).
Ayat 6 adalah bukti kuat bahwa Ayat 5 tidak bersifat universal. Jika seseorang musyrik meminta suaka atau perlindungan (aman), seorang Muslim wajib memberikannya, bahkan setelah masa moratorium berakhir, dan harus mengantarnya ke tempat yang aman, bukan membunuhnya. Ini menunjukkan bahwa perintah pada Ayat 5 hanya berlaku di medan perang terbuka melawan musuh yang memilih untuk melanjutkan permusuhan, dan bukan terhadap individu yang mencari keselamatan.
Kesimpulan Naskh
Kesimpulan yang diterima luas adalah bahwa hukum peperangan dalam Islam bersifat berlapis:
a. Jihad defensif adalah wajib.
b. Jihad ofensif (yang dibahas dalam konteks 9:5) hanya diizinkan melawan musuh yang melanggar perjanjian, setelah deklarasi perang, dan setelah adanya kesempatan bertaubat/berdamai.
c. Ayat-ayat perdamaian berlaku pada kondisi damai atau terhadap non-Muslim yang netral.
Analisis Linguistik Mendalam terhadap Frasa Kunci
Penting untuk membedah beberapa istilah kunci dalam Ayat 5 untuk memahami maksud hukumnya:
1. Insalakha (انْسَلَخَ) - Terlepas/Terkelupas
Kata kerja ini secara harfiah berarti "terkelupas" atau "melepaskan diri," seperti ular melepaskan kulitnya. Penggunaan kata ini untuk menggambarkan berakhirnya empat bulan haram (ٱلْأَشْهُرُ ٱلْحُرُمُ) menyiratkan bahwa moratorium perlindungan telah sepenuhnya dicabut dan tidak ada lagi sisa kekebalan. Ini bukan hanya akhir waktu, tetapi pemutusan total status aman.
2. Faqtulū (فَٱقْتُلُوا) - Maka Bunuhlah/Perangilah
Perintah ini adalah imperatif, tetapi dalam konteks militer. Dalam hukum Islam (Fiqih Jihad), perintah faqtulū terhadap ٱلْمُشْرِكِينَ harus dipahami sebagai pelaksanaan hukum perang (qitāl) terhadap combatants (orang-orang yang mengangkat senjata), bukan pembunuhan sembarangan. Mufassir menekankan bahwa ini tidak termasuk wanita, anak-anak, orang tua, atau mereka yang tidak terlibat dalam pertempuran, kecuali jika mereka secara aktif berpartisipasi dalam pertempuran.
3. Haytsu Wajadtumūhum (حَيْثُ وَجَدْتُّمُوهُمْ) - Di Mana Saja Kamu Temui Mereka
Frasa ini sering disalahgunakan. Dalam konteks militer, ini berarti mengejar musuh yang dinyatakan perang ke wilayah-wilayah persembunyian mereka, karena mereka adalah ancaman keamanan. Ini adalah perintah untuk memastikan keamanan negara Islam dengan membersihkan ancaman internal yang telah melanggar janji secara fatal. Ini bukan izin untuk membunuh di masjid, pasar, atau tempat damai lainnya, melainkan di medan pertempuran atau tempat persembunyian musuh yang sah.
4. Fakhallū Sabīlahum (فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ) - Biarkanlah Jalan Mereka
Ini adalah bagian krusial yang mengakhiri perintah militer. Jika musuh (orang musyrik yang melanggar perjanjian) memenuhi syarat minimal (bertaubat, shalat, zakat), maka semua permusuhan harus dihentikan, dan mereka kembali menjadi warga negara yang dilindungi. Ini menunjukkan bahwa seluruh perintah perang didasarkan pada tujuan menghentikan pengkhianatan dan mengintegrasikan mereka dalam komunitas (melalui Islam) atau memaksa mereka keluar dari wilayah kedaulatan, bukan pada pemusnahan rasial atau etnis.
Relevansi Hukum Modern dan Konsep Jihad
Dalam teologi dan hukum Islam kontemporer, penafsiran Ayat 5 harus sejalan dengan norma-norma internasional dan tujuan syariah (maqashid syari’ah) secara keseluruhan, yang memprioritaskan pelestarian kehidupan (hifz an-nafs) dan perdamaian.
Jihad Akbar vs. Jihad Ashghar
Ayat 5 berbicara tentang Jihad Ashghar (jihad kecil), yaitu perjuangan militer. Namun, ulama modern selalu menempatkan ini di bawah naungan Jihad Akbar (jihad besar) – perjuangan melawan hawa nafsu dan menegakkan kebenaran.
Penafsiran modern menolak pandangan yang menyatakan bahwa 9:5 adalah perintah abadi untuk perang tak terbatas. Mereka berpendapat bahwa kondisi peperangan yang dijelaskan dalam 9:5 – pengkhianatan perjanjian, moratorium empat bulan, dan pilihan untuk bertobat – hampir mustahil untuk direproduksi sepenuhnya di dunia modern, kecuali jika suatu negara Muslim secara resmi diserang oleh pihak yang telah melanggar perjanjian secara sistematis.
Syarat-Syarat Perang Menurut Syariah
Ayat 9:5, ketika dibaca bersama ayat-ayat lain, menetapkan syarat-syarat yang sangat ketat untuk memulai permusuhan (yang hanya berlaku setelah batas waktu ultimatum berakhir):
- Proklamasi Jelas: Surat At-Tawbah itu sendiri adalah proklamasi perang.
- Tujuan Jelas: Menghentikan pengkhianatan dan melindungi kedaulatan.
- Batasan Jelas: Perang harus dihentikan jika musuh bertaubat (memeluk Islam) atau jika mereka mencari perlindungan (Ayat 6).
- Prinsip Proporsionalitas: Hanya combatants yang diperangi, sesuai dengan kaidah Nabi Muhammad SAW yang melarang membunuh non-combatant.
Tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh, Rashid Rida, dan Yusuf Al-Qaradawi menegaskan bahwa hukum perang Islam pada dasarnya adalah defensif dan represif terhadap kezaliman. 9:5 hanya menjadi pengecualian ketika seluruh upaya diplomatik dan peringatan telah gagal total terhadap musuh yang secara eksklusif terlibat dalam pengkhianatan berulang.
Peran Ayat 6 sebagai Penyeimbang Kontekstual
Tidak mungkin membahas 9:5 tanpa 9:6. Ayat 6 berfungsi sebagai penyeimbang moral dan hukum yang ketat:
Dan jika seseorang dari orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka berilah perlindungan kepadanya hingga ia sempat mendengar Kalamullah (Al-Qur'an), kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya. Itu adalah karena mereka kaum yang tidak mengetahui.
Ayat ini menunjukkan belas kasih yang luar biasa bahkan di tengah-tengah deklarasi perang. Jika seorang musuh meminta suaka (aman), kewajiban Muslim adalah tidak hanya mengamankan hidupnya, tetapi juga memberinya kesempatan untuk belajar tentang Islam, dan jika ia tetap memilih agamanya, ia harus diantar dengan selamat ke wilayah netral. Hal ini membuktikan bahwa tujuan perintah militer di 9:5 bukanlah penghancuran musuh, tetapi penegakan keadilan dan keamanan negara.
Implikasi Teologis dan Pemurnian Makna Sejati Jihad
Penafsiran Ayat 5 sering kali menjadi titik tolak bagi gerakan-gerakan yang ingin melegitimasi kekerasan. Oleh karena itu, teologi Islam kontemporer harus secara tegas memurnikan makna ayat ini dari penyimpangan.
Menghindari Takhfif (Pemaknaan Ringan)
Ulama harus menghindari takhfif (pemaknaan yang terlalu longgar) yang mengabaikan konteks sejarah. 9:5 adalah ayat yang keras, yang mencerminkan kekerasan dan pengkhianatan yang dihadapi umat Islam pada masa itu, dan hukum yang dihasilkannya adalah serius. Namun, kekerasan ini harus dilihat sebagai respon hukum yang dibatasi, bukan inisiasi tanpa syarat.
Hukum Perang Terhadap Musyrikin Jazirah Arab
Sebagian besar ulama sepakat bahwa salah satu tujuan utama Surah At-Tawbah adalah pemurnian Jazirah Arab (saat itu) dari agama politeistik yang bersekutu dengan musuh. Setelah Ayat 5, orang-orang musyrik yang melanggar janji di Jazirah Arab diberi tiga pilihan: masuk Islam, meninggalkan wilayah, atau diperangi. Hukum ini, menurut banyak ahli fikih, bersifat lokal dan temporal, terkait dengan status Jazirah Arab sebagai pusat pewahyuan dan kedaulatan Islam.
Prinsip Dar’ul Mafasid Muqaddam ‘ala Jalbil Mashalih
Prinsip Fiqih (Hukum Islam) yang berlaku di sini adalah 'Mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil manfaat.' Perintah memerangi musyrik dalam Ayat 5 adalah tindakan pencegahan kerusakan besar (pengkhianatan berkelanjutan, destabilisasi negara) yang harus dihentikan demi menjaga keamanan dan ketertiban. Perintah ini adalah manifestasi dari penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan politik dan militer yang terorganisir.
Syaikh Muhammad Abu Zahrah menegaskan bahwa:
“Ayat ini tidak dapat dipahami kecuali sebagai bagian dari deklarasi kedaulatan dan keamanan di tanah Hijaz, di mana perjanjian terus-menerus dilanggar, sehingga stabilitas mustahil dicapai tanpa pemutusan total dengan kelompok pengkhianat ini.”
Detail Konsep Al-Ashhurul Hurum (Bulan-Bulan Haram)
Pentingnya ٱلْأَشْهُرُ ٱلْحُرُمُ (Bulan-Bulan Haram) dalam Ayat 5 tidak dapat diremehkan, karena ia berfungsi sebagai penentu waktu dan sebagai kesempatan terakhir untuk rekonsiliasi.
Identitas Empat Bulan Haram
Secara tradisional, terdapat empat bulan yang dianggap suci dalam kalender Islam: Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Namun, dalam konteks Surah At-Tawbah, frasa "bulan-bulan haram" merujuk secara spesifik pada periode moratorium empat bulan yang diberikan kepada para pengkhianat, yaitu dimulai dari 10 Dzulhijjah (setelah pengumuman Bara'ah oleh Ali bin Abi Thalib) hingga 10 Rabi'ul Akhir.
Periode ini, meskipun mencakup bagian dari bulan-bulan suci, utamanya adalah periode jeda militer yang dipaksakan. Selama empat bulan ini, umat Islam dilarang keras memulai permusuhan, bahkan jika mereka mengetahui musuh sedang merencanakan serangan. Hal ini menunjukkan komitmen terhadap keadilan: musuh diberi waktu yang cukup untuk merenungkan posisi mereka, memperbaiki kesalahan, dan memilih jalan damai.
Tujuan Moratorium
- Penyelesaian Perjanjian: Memberi waktu bagi suku-suku yang memiliki perjanjian untuk menyelesaikannya secara terhormat (sebagaimana disebutkan dalam 9:4).
- Kesempatan Bertaubat: Memberi waktu bagi para pengkhianat untuk mempertimbangkan Islam atau meninggalkan wilayah Jazirah Arab secara damai.
- Bukti Keadilan: Menunjukkan kepada seluruh Jazirah Arab bahwa perang hanya dilakukan setelah semua upaya damai, bahkan ultimatum yang didukung oleh tenggat waktu suci, telah gagal.
Ayat 5 secara eksplisit menunggu selesai-nya periode ini sebelum perintah militer diaktifkan (فَإِذَا ٱنْسَلَخَ). Ini menghilangkan tuduhan bahwa Islam memerintahkan serangan mendadak atau teror; sebaliknya, ia memerintahkan penundaan demi keadilan.
Perbandingan Ayat 5 dengan Ayat Perjanjian Lainnya
Kekuatan interpretasi kontekstual terletak pada kemampuan untuk menghubungkan 9:5 dengan ayat-ayat lain dalam surah yang sama yang berbicara tentang perjanjian.
Ayat 4: Penghormatan Janji
Ayat 4 adalah penolak pandangan 'Naskh Total'. Allah SWT berfirangan:
Kecuali orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan perjanjian dengan mereka dan mereka tidak mengurangi (janji mereka) sedikit pun dan tidak (pula) menolong seorang pun yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.
Ayat ini diturunkan sebelum Ayat 5 dan secara eksplisit memerintahkan umat Muslim untuk menepati janji mereka kepada musyrik yang setia. Ayat 5, yang datang setelahnya, tidak mungkin menasakh Ayat 4, karena keduanya berada dalam satu deklarasi hukum yang sama. Logikanya, Ayat 5 hanyalah kelanjutan dari Ayat 4, yang mengkhususkan: "Perangilah *hanya* mereka yang melanggar janji, tetapi hormati perjanjian dengan mereka yang menepati janji."
Ayat 7: Janji di Ka'bah
Ayat 7 kembali menegaskan prinsip tersebut, bertanya bagaimana bisa ada perjanjian di sisi Ka’bah (Masjidil Haram) dengan orang-orang musyrik yang telah berulang kali melanggar perjanjian, kecuali bagi mereka yang menepati perjanjian mereka di Masjidil Haram. Ini adalah penguatan prinsip: perjanjian damai adalah norma, kecuali jika pihak lawan secara jelas membatalkannya melalui pengkhianatan.
Hubungan timbal balik antara Ayat 4, 5, dan 6 menciptakan sebuah matriks hukum yang cermat dan berjenjang:
- Jalur Damai (9:4): Jika musuh menepati janji, hormati mereka.
- Jalur Hukuman (9:5): Jika musuh melanggar janji dan menolak tobat setelah tenggat waktu, perangilah.
- Jalur Perlindungan (9:6): Bahkan dalam keadaan perang, jika musuh meminta suaka, berikan dan lindungi mereka.
Ini adalah sistem hukum yang sangat terstruktur, jauh dari kekacauan atau perintah pembunuhan massal tanpa syarat.
Kesalahan Interpretasi oleh Kelompok Ekstremis
Kelompok-kelompok radikal modern (misalnya, Khawarij modern) melakukan kesalahan metodologis berikut dalam menafsirkan 9:5:
1. De-Kontekstualisasi Absolut
Mereka mengisolasi frasa فَٱقْتُلُوا ٱلْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُّمُوهُمْ (bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui mereka) dari empat konteks wajib:
- Konteks historis (pengkhianat spesifik di Jazirah Arab).
- Konteks waktu (setelah moratorium empat bulan berakhir).
- Konteks hukum (Ayat 4 dan 6 yang membatasi).
- Konteks tujuan (diakhiri dengan syarat bertaubat, shalat, dan zakat).
2. Mengabaikan Ayat 6
Ayat 6 hampir selalu dihilangkan dari diskusi ekstremis. Mengabaikan Ayat 6 adalah membatalkan prinsip dasar Syariah tentang suaka dan keamanan individu. Bagi kelompok radikal, perintah suaka (9:6) tidak cocok dengan narasi permusuhan total yang mereka usung.
3. Perluasan Makna Musyrikin
Dalam konteks modern, ekstremis sering memperluas makna ٱلْمُشْرِكِينَ dari 'pagan pengkhianat yang berjanji di Jazirah Arab' menjadi 'semua non-Muslim secara global' atau bahkan 'Muslim yang tidak sejalan dengan ideologi mereka.' Ini melanggar kaidah tafsir yang membatasi penerapan ayat pada sebab turunnya.
Dr. Tariq Ramadan, dalam analisisnya tentang Jihad, menekankan bahwa penafsiran 9:5 sebagai seruan perang abadi adalah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip Qur’ani tentang keadilan dan perjanjian. Teks ini adalah hukum kedaulatan yang ditujukan untuk mengakhiri krisis politik-militer, bukan doktrin misiologi global.
Kesimpulan: Mempertahankan Makna Keseimbangan
Surah At-Tawbah Ayat 5, meskipun dikenal sebagai ‘Ayat Pedang’, adalah teks hukum yang terikat erat pada situasi historis yang spesifik, yaitu krisis politik dan militer yang disebabkan oleh pengkhianatan perjanjian berulang kali oleh kelompok-kelompok musyrik di Jazirah Arab setelah periode penaklukan. Perintah untuk memerangi mereka baru muncul setelah tenggat waktu empat bulan penuh telah berakhir.
Interpretasi yang benar dan seimbang, yang dianut oleh mayoritas ulama (dari Al-Tabari hingga Al-Qaradawi), menegaskan bahwa:
- Ayat ini tidak menasakh ayat-ayat perdamaian secara umum, melainkan mengkhususkan subjek yang diperangi (takhshish).
- Perintah perang bersifat kondisional dan bertujuan untuk menegakkan keamanan dan mempromosikan tobat, sebagaimana dibuktikan oleh pengecualian tobat (di akhir Ayat 5) dan kewajiban memberikan suaka (Ayat 6).
- Hukum Islam secara fundamental menjamin perlindungan bagi non-Muslim yang hidup damai (Ahlul Dhimmah) dan menghormati perjanjian (sebagaimana ditegaskan dalam Ayat 4).
Oleh karena itu, upaya untuk menggeneralisasi Ayat 9:5 menjadi perintah perang global, abadi, dan tanpa batas, adalah penyimpangan yang mengabaikan keseluruhan struktur dan semangat Surah At-Tawbah serta tujuan universal Syariah Islam yang mengedepankan rahmat dan keadilan.
***
Ayat 5 dari Surah At-Tawbah adalah sebuah pelajaran abadi tentang penegakan hukum dalam situasi darurat militer. Ayat ini mengajarkan bahwa bahkan dalam deklarasi perang yang paling keras pun, jalan kembali menuju perdamaian, tobat, dan pengampunan selalu terbuka lebar. Ini adalah prinsip yang menegaskan bahwa kekerasan hanyalah respons terakhir setelah belas kasihan dan toleransi telah gagal, dan hanya ditujukan kepada mereka yang secara aktif memilih jalan permusuhan.
Penegasan Rahmat Allah
Artikel ini ditutup dengan penegasan dari bagian akhir Ayat 5: إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang). Kehadiran sifat Pengampun dan Penyayang ini tepat setelah perintah militer yang keras berfungsi sebagai pengingat bahwa tujuan akhir dari seluruh proses—bahkan perang—adalah untuk menciptakan kondisi di mana rahmat dan pengampunan Tuhan dapat diterima. Jika musuh memilih tobat, maka sifat Allah yang Maha Pengampunlah yang berkuasa, menghentikan pedang dan membiarkan mereka dalam kedamaian. Inilah keseimbangan hukum dan rahmat dalam Islam.
***
Analisis yang mendalam terhadap setiap frasa, konteks, dan interpretasi historis yang dilakukan oleh ulama salaf, memastikan bahwa teks suci ini dipahami tidak sebagai lisensi untuk agresi, melainkan sebagai sebuah manual hukum yang cermat untuk menanggapi pengkhianatan dan ancaman keamanan, selalu di bawah batasan moral yang ketat dan pintu tobat yang selalu terbuka. Tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur'an, termasuk Ayat 5, yang dapat dipisahkan dari keseluruhan sistem nilai dan keadilan yang diajarkan oleh Islam.
Memahami Ayat 5 membutuhkan kesabaran historis dan kesiapan untuk menerima kompleksitas hukum Islam. Ayat ini bukan akhir dari cerita, melainkan sebuah jembatan yang menghubungkan kondisi pengkhianatan masa lalu dengan potensi perdamaian di masa depan, asalkan keadilan dan perjanjian ditegakkan.
***
Lebih jauh, para ahli fikih telah membahas implikasi dari empat tindakan militer yang diperintahkan: bunuhlah (terhadap combatants), tangkaplah (menjadi tawanan perang), kepunglah (taktik pengepungan militer), dan intailah (persiapan intelijen militer). Semua ini adalah komponen dari peperangan yang terstruktur, bukan pembunuhan di luar hukum. Setiap tindakan ini memiliki kaidah fikih tersendiri yang sangat detail mengenai kapan boleh dilakukan dan bagaimana hak-hak tawanan harus dipenuhi. Keberadaan kerangka hukum yang sangat rinci ini menunjukkan bahwa perintah dalam 9:5 sama sekali tidak bertujuan pada kekejaman, melainkan pada penegakan hukum militer yang sah saat itu.
Analisis berlanjut pada pandangan Mazhab Maliki dan Syafi'i yang secara konsisten menolak interpretasi naskh total. Mereka mempertahankan bahwa Ayat al-Sayf hanya berlaku untuk kategori musyrikin tertentu, yaitu mereka yang tidak termasuk Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan mereka yang telah melanggar janji secara fatal. Ahlul Kitab, misalnya, memiliki jalur hukum yang berbeda, yaitu melalui pembayaran Jizyah (pajak perlindungan) jika mereka memilih untuk tidak masuk Islam, sebuah opsi yang secara eksplisit tidak ditawarkan kepada musyrik pengkhianat dalam konteks ini karena sifat permusuhan mereka yang akut.
Oleh karena itu, 9:5 memperkuat prinsip diferensiasi dalam hukum perang Islam: perlakuan terhadap musuh harus proporsional dengan ancaman dan sejarah pengkhianatan mereka. Mereka yang damai dihormati; mereka yang mencari suaka dilindungi; mereka yang berkhianat dan menolak damai setelah tenggat waktu, diperangi. Inilah inti dari keadilan Allah yang terkandung dalam Surah At-Tawbah.
***
Pemurnian makna 9:5 dari penyimpangan ekstremis adalah tugas teologis yang mendesak. Dengan kembali kepada tafsir klasik yang berpegangan pada konteks (sebab nuzul), dan menyeimbangkan ayat ini dengan ayat-ayat damai lainnya, kita mendapatkan gambaran utuh tentang hukum Jihad. Jihad pada intinya adalah perjuangan untuk keadilan, dan perang adalah instrumen terakhir yang digunakan untuk menghentikan kezaliman dan pengkhianatan politik, selalu dengan jalan tobat dan pengampunan yang terbuka lebar bagi pihak lawan yang memilih berdamai.