"Dan jika kamu memberikan balasan, balaslah setimpal dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Namun, jika kamu bersabar, sungguh, itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar." (QS. An-Nahl: 126)
Surat An-Nahl, yang berarti lebah, merupakan surat Makkiyah yang kaya akan pelajaran tauhid, hikmah penciptaan alam semesta, dan pedoman akhlak. Di antara ayat-ayatnya yang membahas prinsip muamalah dan keadilan sosial, terdapat ayat ke-126 yang memberikan pedoman mendalam mengenai respons seorang mukmin ketika dihadapkan pada kezhaliman atau perlakuan buruk. Ayat ini menawarkan dua pilihan prinsip: balasan setimpal (qishash) atau kesabaran yang mulia.
Ayat 126 dimulai dengan penegasan prinsip keadilan proporsional: "Dan jika kamu memberikan balasan, balaslah setimpal dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu." Ini menunjukkan bahwa Islam tidak menafikan hak untuk membalas perlakuan yang tidak adil. Dalam konteks hukum, ini adalah dasar bagi penetapan hukuman setimpal (qishash) atau ganti rugi yang seimbang. Tujuannya adalah menegakkan keadilan dan mencegah pelaku kejahatan dari mengulangi perbuatannya.
Namun, ayat ini tidak berhenti pada keadilan pembalasan semata. Ia kemudian menyajikan opsi yang lebih tinggi dan lebih mulia, sebuah pilihan yang menunjukkan kedewasaan spiritual dan kekuatan pengendalian diri seorang hamba Allah.
Bagian kedua ayat tersebut adalah inti spiritualnya: "Namun, jika kamu bersabar, sungguh, itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar." Kata "khairun" (lebih baik) di sini menempatkan kesabaran di atas prinsip pembalasan yang setara. Mengapa kesabaran dianggap lebih baik?
Pertama, kesabaran memutus rantai permusuhan. Jika setiap perlakuan buruk dibalas setimpal, siklus dendam dan kekerasan akan terus berputar tanpa akhir. Dengan memilih sabar, seorang mukmin memilih untuk menghentikan spiral negatif tersebut, menyerahkan urusan perhitungan akhir kepada Allah SWT. Ini adalah bentuk kedewasaan sosial yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Kedua, kesabaran adalah ujian kemuliaan jiwa. Bersabar ketika kita mampu membalas menunjukkan tingginya derajat takwa seseorang. Ia membuktikan bahwa kendali diri (nafsu) berada di bawah kendali iman. Allah menjanjikan bahwa kesabaran ini adalah kebaikan yang substansial, bukan sekadar keuntungan sesaat. Kebaikan tersebut mencakup ketenangan batin, pahala di sisi Allah, dan pengampunan atas kesalahan yang dilakukan oleh orang lain.
Ayat An-Nahl 126 relevan dalam berbagai konteks kontemporer, mulai dari konflik interpersonal, pertikaian politik, hingga perlakuan tidak adil di ranah publik. Ketika kita menjadi korban framing negatif, fitnah, atau kerugian materi, dorongan pertama seringkali adalah membalas dengan kekuatan yang sama atau bahkan lebih besar.
Namun, pengajaran Ilahi mengingatkan kita untuk sejenak berhenti dan mempertimbangkan. Apakah membalas akan menyelesaikan masalah, ataukah hanya akan memperkeruh keadaan? Bagi seorang Muslim yang memahami ayat ini, kesabaran bukanlah berarti kelemahan atau pasrah menerima penindasan secara mutlak. Kesabaran di sini adalah menahan diri dari pembalasan pribadi yang melampaui batas, sembari tetap mencari keadilan melalui jalur yang sah dan syar'i jika diperlukan. Membiarkan Allah yang menjadi hakim utama atas kezaliman orang lain adalah bentuk penyerahan diri tertinggi.
Pada akhirnya, Surat An-Nahl ayat 126 mengajarkan sebuah keseimbangan yang indah: Islam menghargai keadilan yang tegas (pembalasan setimpal), tetapi meninggikannya dengan anjuran mulia untuk memilih kesabaran ketika itu membawa kemaslahatan spiritual dan sosial yang jauh lebih besar. Pilihan untuk bersabar adalah investasi pahala dan kedamaian jiwa yang tak ternilai harganya.